Selasa, 29 November 2016

Duduk semeja melawan sebuah hegemoni


Duduk semeja melawan sebuah hegemoni

Sebuah Catatan dari Temu Sastra Mastera di Banyuwangi

Dalam diskusi tanya jawab setelah pemaparan di acara Temu Sastra Masyarakat Sastra Asia Tenggara (Mastera) di Universitas PGRI Banyuwangi Senin 28 November 2016 kemarin, ada usulan dari Kang Agus Bain yang merupakan pegiat di Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Kang Agus melihat dalam perkembangan bahasa Using sekarang ini terdapat tiga “mazhab” penulisan, yaitu using, osing dan oseng. Usul Kang Agus sebaiknya orang-orang dari ketiga mazhab ini duduk bareng membicarakan persoalan tersebut.

Saya melihat usul ini hanya merupakan sebuah langkah mundur kalau dilakukan. Memang mayoritas orang seperti Kang Agus Bain ini adalah generasi ‘lama’ Banyuwangi yang tidak menikmati pelajaran Bahasa Using di sekolah. Jadi rata-rata mereka tidak tahu akan adanya ejaan dan tata bahasa baku. Seperti diketahui, pengajaran Bahasa Using sebagai muatan lokal baru diperkenalkan tahun 1997 di tiga kecamatan, setelah 2002 baru meluas ke berbagai kecamatan.

Generasi yang masuk sekolah SD sebelum 2002, banyak yang belum tahu kalau ternyata perangkat kebahasaan Bahasa Using sudah ada, yaitu Kamus Bahasa Daerah Using-Indonesia (2002), Pedoman Umum Ejaan Bahasa Using (2006) dan Tata Bahasa Baku Bahasa Using I (2006). Perdebatan berkepanjangan masalah ejaan, yang sampai diberi istilah ‘mazhab’ ini tidak akan terjadi kalau semua pihak mau mempelajari terlebih dahulu apa yang termuat dalam buku-buku ini. Dan semua pihak mau menurunkan tensi egonya sedikit, mempelajari dengan baik, agar apa yang sudah diwariskan oleh para sesepuh yang sudah susah payah menyusun seluruh perangkat bahasa itu dihargai sebagaimana mestinya.

Saya pikir sangat tidak adil membandingkan ketiga ‘mazhab’ untuk ‘duduk satu meja’, sebab hanya ada satu versi yang sudah ada Pedoman Ejaannya, ada Tata Bahasa dan ada kamusnya. Sementara versi yang lain hanya berupa versi pribadi yang keluar sporadis dalam media-media sosial. Bagaimana mungkin membandingkan sesuatu yang sudah jelas keberadaannya dalam bentuk buku dengan sesuatu yang masih dalam pikiran?

Salah seorang dari Badan Bahasa ikut menimpali, perdebatan dalam Bahasa Using akan membawa Bahasa Using menjadi lebih baik. Saya katakan, taraf perdebatannya sudah sampai pada taraf tidak konstruktif untuk Bahasa Using.

Bahasa Using ini memang miskin dalam tradisi tulisnya. Kalau dibilang karya fenomenal seperti Sritanjung, Sang Satyawan dan Sudamala dianggap karya berbahasa Using, juga kurang tepat karena ketiga karya itu ditulis dalam bahasa Kawi. Bahkan kata ‘using’ atau ‘sing’ (yang berarti tidak) pun tidak ada di dalamnya.

Setelah periode akhir 1800-an saat istilah using digunakan (menurut peneliti Belanda Ben Arps, istilah Using sudah dimuat dalam koran berbahasa Belanda), tidak muncul karya-karya berbahasa Using.

Saya membagi periode Bahasa Using tulis yang pertama antara 2002-2012 (saat perangkat kebahasaan sudah diterbitkan) dan tahun 2013 sampai sekarang (saat munculnya banyak karya berbahasa Using). Saat periode pertama itu hanya ada satu novelet, satu buku peribahasa, satu buku dongeng dan beberapa buku kumpulan puisi. Setelah tahun 2013, ada lebih dari 10 buku berbagai macam isi (novel, kumpulan cerpen, kumpulan artikel, kumpulan cerita anak, buku pengayaan sekolah) yang terbit. Pun demikian, untuk perkembangan Bahasa Using, masih perlu lebih banyak diterbitkan karya-karya lainnya.

Jadi kesimpulannya, untuk menunjang pengembangan dan pemertahanan Bahasa Using, perlu diperbanyak karya-karya. Berkarya. Berkarya. Berkarya. Kalau tidak, bahasa Using menghadapi ancaman dari luar, yaitu bahasa Jawa dan bahasa nasional. Dua bahasa dominan ini akan menyerap Bahasa Using, seperti yang saya amati pada hasil karya pemenang cerpen anak-anak SMP yang diselenggarakan oleh Sengker Kuwung Belambangan (SKB) dalam tiga tahun terakhir. Ada kecenderungan kenaikan prosentase penggunaan bahasa Jawa dari tahun ke tahun. Mudah-mudahan tren ini tidak semakin parah pada tahun-tahun berikutnya. Hegemoni ini harus dilawan kalau kita ingin Bahasa Using lebih tegak berdiri. Dan pihak yang bisa menolong untuk melawan hegemoni bahasa lain ini adalah orang Banyuwangi sendiri. Mestinya pihak-pihak orang Banyuwangi ini bersatu melawan ancaman 'luar' yang sudah di depan mata ini, dengan meninggalkan debat-debat yang tidak perlu.

iwandear@gmail.com

Selasa, 18 Oktober 2016

Bahasa Using lebih ringkas daripada bahasa Indonesia


Ada beberapa kata bahasa Using yang lebih ringkas daripada bahasa Indonesia. Kata yang diekspresikan hanya dengan satu kata, yang susah diartikan dengan satu padanan kata dalam bahasa Indonesia. Semua contoh diambil dari Kamus Bahasa Daerah Using-Indonesia.

Misalnya:

Bahasa Indonesia                                                                 Bahasa Using

 

Tidak punya malu                                                                                                 juari

Memancing, orang atau kail yang mudah dapat ikan                                  bangenan

Sesuatu yang menempel ke benda lain, misalnya karang gigi                    emplik

Telentang tak berdaya                                                                                         njekapang

Menaruh sesuatu sembarangan                                                                       gelibrugan

Tubuh rasanya hancur tak bertenaga                                                              impur

Bepergian kesana ke mari tanpa tujuan tertentu                                          keloproh

Pakaian terlalu ke bawah hampir menyentuh tanah                                    kengsreh

Dibacakan mantra dengan membakar dupa atau kemenyan                     kutug

Sakit perut yang tak tertahankan karena lapar                                              lempiriten

Buah yang muda tapi diperam supaya masak                                               mundur

Ikan laut yang sudah lama mati berbau busuk, bermata merah               manju

Bercerai atas permintaan istri                                                                           pasah

Capai karena terlalu lama menunggu sesuatu/seseorang                           pelekeren

Disuruh mengerjakan sesuatu terus menerus tanpa istirahat                    dipelentreng

Permainan judi dengan menebak gambar pada uang logam                      sampak

Burung yang terbang cepat ke arah tertentu, tapi tidak sampai hinggap sampar

Tidak langsung ke tempat tujuan, mampir ke sana ke mari                        selaper

Tunas batang padi yang tumbuh dari batang yang sudah dipanen           singgang

Melompat ke bawah                                                                                            temencog

Berusaha dengan sungguh-sungguh                                                                 ubed

Rasa pedas dan panas di tangan setelah memegang cabe                          kewedangen

Kamis, 06 Oktober 2016

Pelestarian Bahasa Using di Banyuwangi


Pelestarian Bahasa Using di Banyuwangi
Disampaikan sebagai salah satu makalah utama pada seminar internasional Bahasa Ibu sebagai Sumber Budaya Literasi, yang diselenggarakan oleh Balai Bahasa Jawa Barat tanggal 4-5 Oktober 2016 di Bandung.

ABSTRAK

Salah satu identitas yang merupakan ciri masyarakat di kabupaten paling ujung timur pulau Jawa, Banyuwangi, adalah bahasanya, yaitu bahasa Using. Daerah ini menurut Sri Margana (Perebutan Hegemoni Blambangan, 2013) belum memperoleh proporsi cukup dalam kajian kesejarahan Indonesia. Bahasa penduduk suku Using ini merupakan salah satu bahasa daerah utama yang digunakan oleh sebagian masyarakat, selain bahasa Jawa dan Madura.

   Bahasa Using, yang eksistensinya sebagai sebuah bahasa moderen diperjuangkan sejak tahun 1970-an, lebih dominan berkembang melalui  tradisi lisan. Selain sebagai bahasa pengantar dalam keluarga dan pergaulan, berkembang pula sastra lisan berupa lagu-lagu tradisional, maupun pantun (basanan) dan wangsalan yang digunakan dalam percakapan sehari-hari. Sementara bahasa Using tulis tidak berkembang dengan sempurna.

   Setelah diterbitkannya berbagai perangkat kebahasaan, seperti Kamus bahasa Using-Indonesia (2002), Pedoman Umum Ejaan Bahasa Using (2006) dan Tata Bahasa Baku Bahasa Using (2006) dan keluarnya Peraturan Daerah Nomor 5 tahun 2007 tentang Pembelajaran Bahasa Daerah pada Jenjang Pendidikan Dasar, sampai tahun 2012, hanya ada satu novelet berbahasa Using, enam buku pelajaran sekolah (2007), tiga buku dongeng dan satu buku tentang kata-kata mutiara dan peribahasa (2008).

   Usaha pelestarian bahasa tulis Using, revitalisasi, bukan language revival (Jones dan Singh, 2005 p. 105) dilakukan sekelompok masyarakat sejak tahun 2013 dengan mengadakan lomba mengarang cerpen, penerbitan berbagai macam buku sampai pada usaha penerbitan majalah berbahasa Using dan pemuatan cerita pendek mingguan di media massa.

   Tulisan ini membahas 1) Bagaimana usaha revitalisasi bahasa tulis Using dan dinamikanya dan 2) Bagaimana orang-orang Using bersikap dan bertindak untuk mempertahankan identitas diri melawan hegemoni bahasa lainnya.

Kata Kunci: revitalisasi bahasa, bahasa tulis Using, media buatan

 

PENDAHULUAN

Bahasa Using di Banyuwangi mengalami masa naik turun sejak awal abad 20 sampai sekarang. Sejak istilah Using diperkenalkan oleh C. Lekkerkerker (1923) maupun Joh. Scholte (1926) dan kumpulan kata-kata Bahasa Using yang ditulis oleh bupati Banyuwangi Notodiningrat (1910), serta sastrawan dan ahli bahasa Thomas Pigeaud (1929), bahasa Using mendapat perhatian lebih intens setelah tahun 1970-an.

   Sebelumnya Bahasa Using selalu dikatakan sebuah dialek Bahasa Jawa. Baru tahun 1987, seorang ahli bahasa dari Universitas Udayana, Suparman Herusantosa, menulis disertasinya berjudul: Bahasa Using di Kabupaten Banyuwangi. Meski setelahnya beberapa langkah dijalani, antara lain penerbitan Kamus Bahasa Daerah Using-Indonesia, Tata Bahasa Baku Bahasa Using, Tata Ejaan, Peraturan Daerah tentang Pengajaran Bahasa Using di sekolah, tak membuat bahasa Using tulis berkembang. Memang Bahasa Using kurang mendapat perhatian dari pemerintah daerah. Sejak tahun 2007, belum pernah ada lagi pelatihan untuk guru-guru pengajar bahasa Using, tidak ada lagi perbaikan materi pengajaran baik di tingkat sekolah menengah maupun sekolah dasar. Tidak pernah ada lagi penerbitan buku-buku penunjang pelajaran.

 

METODE PENELITIAN

Pembahasan ini menggunakan metode Deskriptif Kualitatif. Moleong (2007:6) memaknai Penelitian kualitatif sebagai upaya untuk memahami fenomena yang dialami oleh subyek penelitian misalnya pelaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain. Deskripsi dijabarkan berdasarkan fakta yang ada atau fenomena yang secara empiris dilakukan oleh masyarakat penuturnya.

    McLuhan (Dalam Danesi, 2010:7) mengatakan bahwa media dipakai untuk merekam dan memancarkan pesan, menyatakan bagaimana manusia memproses dan mengingatnya. Media bisa dibagi menjadi tiga kategori dasar, yaitu Media Alami, Buatan dan Mekanis. Media Alami adalah pemancaran gagasan dengan cara berbasis teknologi, seperti suara, ekspresi wajah, dan gerakan tangan. Media Buatan adalah bagaimana gagasan direpresentasikan dan dikirimkan menggunakan satu artefak tertentu. Misalnya, buku, novel, lukisan dan patung. Media mekanis adalah bagaimana gagasan dikirimkan menggunakan peralatan mekanis temuan manusia seperti telepon, radio dan televisi. Batasan bahasan dalam tulisan ini adalah seputar Media Buatan, yaitu majalah, buku, dan harian/tabloid.

   Bahasa dalam Media Buatan dibatasi dalam uraian sebagai apa yang tertulis berbentuk buku, majalah atau muncul dalam media massa seperti tabloid atau koran. Naskah-naskah yang dibicarakan di sini adalah naskah tulis bahasa Using modern atau yang diterbitkan setelah munculnya Kamus Bahasa Daerah Using-Indonesia tulisan Hasan Ali tahun 2002, di mana di dalamnya juga terdapat Tata cara penulisan yang disebut baku dalam bahasa Using. Perangkat kebahasaan bahasa Using modern, sudah tertata dengan ejaan yang sudah ditetapkan dan setelahnya diajarkan di sekolah-sekolah di Banyuwangi.

 

PEMBAHASAN

1.       Asal mula Using dan sebutan bahasa Using

Sebuah bahasa yang berkembang di daerah ujung timur pulau Jawa, dan berbeda dengan bahasa Jawa pada umumnya ditengarai, tercatat saat tahun 1860-an, seorang bupati kudus bernama Candranagara berkunjung ke Banyuwangi dan menyatakan bahwa penduduk setempat menggunakan “...bahasa Jawa tetapi dengan cara desa” (Arps, 2010:225).

   Tahun 1881, seorang Belanda bernama Van der Tuuk mencatat dalam tulisan tangan dua buah buku yang tersimpan di Universitas Leiden dan diberi kode Lor 3269 dan 3270 bertahun 1881. Diperkirakan oleh Herusantosa (1987:71) salah satu naskah yang berjudul “Banjoewangi dialect” tersebut dipersiapkan untuk menyusun sebuah kamus. Terdapat 550 kata yang ada dalam naskah tersebut.

   Masih di akhir abad 19, sebuah karya sastra berjudul Serat Sritanjung, versi yang ditulis oleh pujangga yang tak menuliskan namanya, berbahasa Jawa Kuna dan beraksara Arab pegon itu selesai dituliskan kembali tanggal 12 Syawal 1315 H atau 5 Maret 1898. Dalam naskah tersebut belum ada penyebutan “bahasa Using” bahkan kata /sing/ atau /using/ tidak ditemukan. Sebagai ungkapan yang berarti ‘tidak’, bahasa Jawa kuna yang digunakan dalam naskah tersebut menggunakan istilah yang cenderung sebagai bahasa Jawa kuna yaitu /tan/ atau /nana/. Sebagai catatan kata /nana/ masih digunakan dalam bahasa Using modern.

   Bupati Banyuwangi tahun 1910-1920, Raden Tumenggung Haryo Notodiningrat, menulis sebuah babad (1915) yang juga memuat 440 kata Bahasa orang Blambangan, yang artinya berbeda dengan bahasa Jawa.

   Istilah Using baru muncul di awal abad 20. Pada sebuah penerbitan majalah Indische Gids II (1923:1031), C. Lekkerkerker menyebut ‘orang Using’ (de Oesingers) mempunyai kepribadian, bahasa dan adat yang berbeda dengan orang Jawa lainnya. Inilah salah satu catatan paling awal mengenai istilah Using (Ditulis Oesing karena masih menggunakan ejaan lama dan berbahasa Belanda, yang menggabungkan OE sebagai huruf U dalam ejaan baru).

   Pada tahun 1926, seorang Belanda bernama Joh. Scholte, memberikan ceramahnya tentang “Gandrung Banyuwangi” (Gandroeng van Banjoewangi), mengatakan “Para gandrung adalah putri-putri orang Using, suatu suku bangsa yang harus dianggap sebagai sisa-sisa orang Blambangan yang beragama Hindu Jawa dan yang hingga kini bertahan di antara para transmigran di Banyuwangi untuk memelihara semurni mungkin adat istiadat mereka...Nama Using diberikan kepada orang Blambangan oleh para pendatang berdasarkan kata penyangkal “Using” atau “Sing” yang berarti “Tidak” atau “Bukan”.

   Ditambahkan pula “Orang Blambangan sendiri menamakan dirinya orang Jawa Asli. Nama yang paling tepat untuk mereka adalah orang Blambangan.”

Thomas Pigeaud, ahli sastra yang menulis kamus Jawa-Belanda, mengumpulkan kosakata Using banyak sekali dan pada tahun 1929 sudah siap untuk diterbitkan (Suparman, 1987:72). Pigeaud, yang juga pernah tinggal di Bali utara, menyatakan bahwa banyak sekali kosa kata Banyuwangi yang dimasukkan ke dalam buku “Kawi-Balineesh” yang disusunnya. Dalam ulasannya tentang bahasa dan wilayah Using, Pigeaud mengatakan bahwa daerah Using semula lebih luas daripada yang ada sekarang. Desa Biting dan Kemiri (Jember), Patoan (Situbondo), Blendungan (Bondowoso) semula termasuk daerah Using. Bahkan dari segi bahasanya semula termasuk Using.

   Setelah sekitar 40 tahunan tanpa ada catatan tentang bahasa tulis Using, tahun 1970-an pemerintah daerah Banyuwangi, sebagai bagian dari rezim Orde Baru, mencari identitas kultural, antara lain lewat kesenian dan bahasa, untuk melawan perilaku menyimpang generasi muda akibat pengaruh barat (Pranoto, 2014:111). Selain untuk mengisi kebuntuan setelah peristiwa 1965, pemerintah daerah menggalakkan kembali kesenian daerah dan menegakkan Using sebagai identitas kultural daerah.

   Tahun 1974, seorang dosen Hukum, Abdurrahman, menyusun diktat 14 halaman yang berjudul: “Sekedar petunjuk untuk sekedar berbicara bahasa Osing.”  Antara lain isinya kaidah ucapan, masalah unda usuk dan dialog-dialog dalam bahasa Using serta terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Juga disertai dengan rekaman percakapan, diterbitkan oleh FKSS IKIP Malang. (Suparman, 1987:71).

   Pencarian identitas kultural tersebut, termasuk di dalamnya adalah perjuangan Hasan Ali, penulis Kamus Daerah Using-Indonesia, mencari jalan agar bahasa Using, yang saat itu masih dianggap dialek jawa, berdiri sebagai sebuah bahasa tersendiri.

   Pada tahun 1987, seorang ahli bahasa asal Malang yang bermukim di Singaraja, Suparman Herusantosa, mempertahankan disertasinya di Universitas Indonesia, berjudul “Bahasa Using di Kabupaten Banyuwangi.” Suparman pula yang menyemangati Hasan Ali untuk menggeluti bahasa Using secara ilmiah, kalau tidak bahasa Using akan punah. (Arps, 2010).

   Sebutan “Using” atau “Bahasa Using” sebenarnya bukan tanpa penolakan. Melihat asal-usulnya, yaitu sebutan dari para pendatang terhadap suku asli, budayawan Banyuwangi Endro Wilis (2010) mengatakan bahwa masyarakat Banyuwangi seharusnya tersinggung dengan sebutan yang merendahkan tersebut. Dia menyarankan sebutan “Bahasa Banyuwangen” atau “Bahasa Blambangan” yang bisa menjadi alternatif yang lebih terhormat. Dengan alasan kesejarahan, penulis pernah mengusulkan mengembalikan segala kata Using menjadi Belambangan, jadi kabupaten Banyuwangi menjadi kabupaten Belambangan; bahasa Using menjadi bahasa Belambangan (Jawa Pos Radar Banyuwangi, Maret 2014).

   Setelah beberapa kegiatan, misalnya Saresehan Bahasa Using (1990) dan Kongres Bahasa Jawa di Batu (1996), bahasa Using mendapat rekomendasi untuk diajarkan di sekolah, berdasarkan SK Kakanwil Depdikbud Provinsi Jatim tahun 1997. Mulailah pengenalan pengajaran bahasa Using terbatas di sekolah dasar di tiga kecamatan dan diajarkan secara menyeluruh tahun 2005.

 

2.       Periode 2002 – 2012

Abdurrahman (1974) dalam buku kecilnya “Sekedar petunjuk untuk dapat berbicara bahasa Osing”, sebenarnya sudah memulai peringatan akan “lonceng kematian” bahasa Using dengan menulis “makin terdesaknya bahasa aslinya.”

   Tidak ada yang bisa menolong bahasa Using kecuali masyarakat penggunanya sendiri. Seperti dikatakan oleh Fennel yang dikutip oleh Jones dan Singh (2005:122), ”Bahasa minoritas yang terus mengecil jumlahnya,....hanya dapat diselamatkan oleh dirinya sendiri dan kemudian, hanya anggota masyarakat penggunanya yang berupaya untuk menghentikan pengecilannya.”

   Salah satu tahun terpenting dalam perkembangan bahasa Using tulis adalah diterbitkannya Kamus Bahasa Daerah Using-Indonesia oleh Dewan Kesenian Blambangan tahun 2002. Dalam kamus tersebut disisipkan pula Tata Ejaan Bahasa Using. Dari sinilah bahasa Using moderen memulai langkahnya dan menggerakkan penerbitan lain yang signifikan dalam perkembangan bahasa Using.

   Selain tiga buku pelajaran Lancar Basa Using untuk Sekolah Dasar masing-masing kelas 4,5,6 (2005) dan tiga buku pelajaran Lancar Basa Using untuk SMP masing-masing untuk kelas 7, 8, 9 terbit tahun 2007, serta sebuah buku Dongeng (2002), Unen-Unen Basa Using (2003). Dua buku yang disebut terakhir lebih banyak sebagai buku penunjang pelajaran.

   Pada tahun 2005, Dewan Kesenian Blambangan menerbitkan Pereng Puthuk Giri, sebuah novelet bahasa Using pertama, yang ditulis oleh Abdullah Fauzi. Novelet ini merupakan karya prosa pertama dalam periode bahasa Using moderen.

   Tahun 2012, sekelompok dosen dari Universitas Jember, Ayu Sutarto, Marwoto dan Heru SP Saputra, mengeluarkan buku dongeng yang berjudul Mutiara Yang Tersisa III, Kearifan Lokal dalam Cerita Rakyat Using. Cerita utama disajikan dalam bahasa Indonesia, dan disandingkan bersamaan dengan bahasa Using dan bahasa Inggris.

 

3.       Periode 2013 dan seterusnya

Sampai tahun 2013 ini, tidak cukup banyak Media Buatan yang dapat diakses oleh pelajar yang belajar bahasa Using di sekolah. Idealnya, anak-anak sekolah tak hanya belajar mengenai bahasa tersebut di dalam kelas, tetapi mendapati bahasa tersebut di luar kelas.

Kekhawatiran tersebut didasari oleh ancaman kematian bahasa itu sendiri.

When a language dies, it is not because a community has forgotten how to speak, but because another language has gradually ousted the old one as the dominant language for political and social reasons. Typically, a younger generation will learn an ‘old’ language from their parents as a mother tongue, but will be exposed from a young age to another more fashionable and socially useful language at school.” (Aitchison, 2001:235).

(Kematian sebuah bahasa bukan karena komunitas tersebut lupa cara bertutur, tetapi karena bahasa lain secara perlahan menggantikannya sebagai bahasa yang lebih dominan secara politis maupun sosial. Biasanya, generasi mudanya belajar ‘bahasa kuna’ dari orang tua mereka sebagai bahasa ibu, lantas berhadapan dengan bahasa lain yang lebih kekinian dan secara sosial lebih bermanfaat di sekolah.)

   Seperti akar bahasanya, yaitu bahasa Kawi, bahasa Using tidak mengenal unggah-ungguh berdasar perbedaan kasta sosial seperti bahasa Jawa. Tetapi justru karena itu, oleh sebagian besar pendatang Jawa, bahasa Using dianggap tidak bermartabat. Dengan kuatnya pengaruh Jawa, generasi Using, apalagi yang berasal dari keluarga Jawa, memandang bahasa ini kurang bergengsi.

   Dalam lingkungan pergaulan sekarang, generasi tersebut juga lebih diajarkan berbahasa Indonesia, bahkan berbahasa Inggris yang lebih banyak ditemui dalam pergaulan.

   Yang membuat situasinya makin parah adalah: bahasa Using tidak mempunyai tradisi tulis yang kuat. Layaknya karya tradisional lainnya, sastra using berkembang sebagai sastra lisan, dalam bentuk lagu-lagu rakyat, pantun dan lain-lain.

   Keadaan itu menimbulkan kegerahan beberapa orang diaspora Banyuwangi maupun yang tinggal di Banyuwangi. Sekumpulan orang yang mempunyai visi sama untuk meningkatkan budaya baca tulis bahasa Using khususnya dan ikut menjaga budaya secara umum. Budaya membaca, harus juga didukung dengan tersedianya buku-buku. Munculnya buku harus didukung oleh penulisan, jadi terjaga adanya sebuah kegiatan literasi yang berkelanjutan.

   Kelompok komunitas ini bergerak dengan menggunakan pendanaan mandiri tanpa bantuan pemerintah.

   Buku-buku yang diterbitkan ini sebagian dijual bebas di toko buku dan sebagian lagi dihibahkan ke sekolah-sekolah dan rumah baca untuk menggairahkan karya tulis berbahasa Using. Lomba mengarang tahunan itu sekarang sudah memasuki tahun yang keempat. Buku kumpulan hasil lombanya yang diberi judul Kembang Ronce sudah terbit tiga judul di tahun 2013-2014-2015. Gairah menulis sebenarnya sudah cukup besar karena setiap tahun rata-rata ada sekitar 50 naskah yang masuk ke panitia.

   Walaupun hasil Lomba setiap tahun menunjukkan hasil yang relatif stagnan, yang disayangkan adalah Kelompok umur SD bahkan berkurang sampai sama sekali tidak ada yang berpartisipasi.

Menilik perkembangannya, seperti yang terlihat dalam hasil lomba mengarang cerita pendek berbahasa Using, terjadilah apa yang disebut “Bunuhdiri Bahasa” (Language suicide). Fenomena ini terjadi saat dua bahasa yang mirip, yang kurang bergengsi meminjam kosakata, konstruksi dan ucapan dari bahasa lain yang secara social lebih diterima. Dalam proses jangka panjang, akhirnya bahasa tersebut akan diserap secara menyeluruh (Jean Aitchison,2001).

   Banyak kosakata dan ungkapan yang dipakai dalam hasil karangan tersebut, merupakan pinjaman dari bahasa Jawa, yang mirip dengan bahasa Using. Bahkan kadang memakai ungkapan bahasa Indonesia. Dalam buku Isun Dhemen Basa Using #2, disebutkan Bahasa Jawa dan Bahasa Using, karena akar yang sama tadi, mempunyai: a. Kata-kata yang sama tetapi beda arti b. Kata-kata yang mirip dengan arti yang sama c. Kata-kata dan ungkapan yang sama sekali berbeda. (Jusuf: 2014).

   Bisa dikatakan tahun 2013 merupakan salah satu tonggak penting dalam perkembangan bahasa Using dalam Media Buatan. Tahun tersebut ditandai dengan terbitnya empat buku berbahasa Using, dan dimulainya kegiatan tahunan yang menjadikan tumbuhnya kegiatan menulis dalam bahasa Using.

   Buku dongeng yang ditampilkan dalam tujuh bahasa sekaligus ditulis oleh pegiat wisata Aekanu Hariyono, berjudul Kemiren (Kisah Barong Jakripah dan Paman Iris). Cerita tersebut diambil dari legenda rakyat Kemiren Banyuwangi, yang sering ditampilkan dalam pertunjukan tradisional Barong. Cerita dalam bahasa Indonesia dan Using, dan ditampilkan pula dalam bahasa Inggris, Belanda, Perancis, Jawa dan Italia.

   Sebuah novel dwi bahasa Using-Indonesia, Nawi BKL Inah, diterbitkan oleh Penerbit Republika di Jakarta Juni 2013. Pada akhir tahun itu juga, diterbitkan buku Isun Dhemen Basa Using, yang merupakan buku penunjang pelajaran sekolah.

   Tahun 2014, merupakan tahun yang aktif untuk karya Bahasa Using yang muncul dalam Media Buatan dalam bentuk buku-buku:

1.       Enam Mata Tentang Banyuwangi (kumpulan artikel tiga bahasa)

2.       Markas Ketelon (kumpulan cerita anak-anak)

3.       Kembang Ronce 2014 (kumpulan cerita pendek hasil Lomba Mengarang)

   Di lain pihak, perkembangan berikutnya, tahun 2014 juga membawa kabar buruk dalam bahasa Using. Setelah pengajaran bahasa Using di SMP dan Tsanawiyah dibubarkan menyusul Kurikulum 2013 yang mensyaratkan guru harus mengajar sesuai dengan bidang studinya, terjadi pula efek “kurang komunikasi” dari pihak yang berurusan dengan Perencanaan Status dan pihak yang berususan dengan Perencanaan Korpus.

   Dalam istilah Strategi Perencanaan Bahasa, Corpus Planning yaitu perubahan pada bahasanya, sementara Status Planning dikatakan bersifat sosiopolitis sehingga tidak hanya melulu berurusan dengan bahasa tetapi menyangkut juga unsur sosial, bisnis, media dan sebagainya.

   Singkat kata, Status Planning dilaksanakan oleh politisi dan petugas administrasi, sementara Corpus Planning oleh ahli bahasa. Karena ahli bahasa biasanya tidak punya posisi menentukan secara politis, sementara politisi tidak punya pengetahuan sosiolinguistik yang cukup, pertukaran ide-ide antar dua kubu ini sering tidak terkoordinasi dengan benar, bahkan malah tidak terjadi sama sekali. Akibatnya, proses promosi pengembangan bahasa menjadi melemah dalam kadar yang signifikan (Bartens 2001:29).

   Meski sudah ada Peraturan Daerah nomor 5 tahun 2007 tentang Pembelajaran Bahasa Daerah pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Pengakuan oleh Badan Bahasa Pusat tentang kontribusi Bahasa Using pada Bahasa Indonesia (Budiwiyanto, 2011), pengajaran bahasa Using mengalami penyusutan karena keluarnya Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 19 tahun 2014, pasal 2:

 

“Bahasa daerah diajarkan secara terpisah sebagai mata pelajaran muatan lokal wajib di seluruh sekolah/madrasah di Jawa Timur, yang meliputi Bahasa Jawa dan bahasa Madura dengan Kurikulum sebagaimana tersebut dalam Lampiran.”

 

   Dengan tidak disebut secara hitam putih dalam Pergub tersebut, dalam sebuah pelatihan menulis, seorang guru menerangkan bahwa sebagian guru sekolah dasar juga meninggalkan pengajaran bahasa Using karena Pergub tersebut.

Penerbitan karya berbahasa Using dalam Media Buatan di tahun 2015 menjadi lebih produktif lagi:

1.       Nganggit Nganggo Basa Using (pelajaran menulis)

2.       Jala Sutera (kumpulan cerpen)

3.       Niti Negari Bala Abangan (novel dwi bahasa Using-Indonesia)

4.       Belambangan 1771 (kumpulan cerpen sejarah)

5.       Kembang Ronce 2015 (kumpulan cerpen hasil Lomba Mengarang)

   Sampai pertengahan 2016, meski baru satu buku yang terbit, yaitu Isun Dhemen Basa Using 2, yang merupakan buku penunjang pelajaran sekolah, komunitas tersebut berhasil memulai kerjasamanya untuk menerbitkan cerpen setiap minggu di media cetak Tabloid Bisnis Banyuwangi mulai Maret 2016.

   Komunitas juga memberi penguatan dalam dunia maya dengan membentuk grup Facebook: 1. Pelajaran Bahasa Using dan 2. Cerpen Using. Dalam media ini, segala pertanyaan menyangkut materi masing-masing didiskusikan. Untuk grup Pelajaran Bahasa Using, rujukan yang digunakan adalah pelajaran Bahasa Using yang diajarkan di sekolah. Demikian juga pelatihan-pelatihan menulis yang dilaksanakan untuk umum maupun untuk guru-guru pengajar bahasa Using.

 

KESIMPULAN DAN SARAN

Usaha revitalisasi bahasa Using lewat Media Buatan di Banyuwangi tidak banyak melibatkan peran pemerintah. Setelah keluarnya Perda tentang Pengajaran Bahasa Using tahun 2007, tidak ada lagi usaha-usaha yang dilakukan pemerintah untuk mendorong tegaknya bahasa Using di Banyuwangi.

   Bahasa Using menghadapi Bunuhdiri Bahasa karena kuatnya pengaruh bahasa lain terbukti banyaknya kosakata yang dipakai dalam hasil Lomba Mengarang cerita pendek Berbahasa Using. Sehingga perlu dicarikan jalan penguatan dalam hal pengajaran di dalam kelas maupun materi-materi Media Buatan yang menunjang berkembangnya bahasa tersebut.

   Disarankan agar 1) diperbanyak pelatihan untuk guru-guru pengajar, terutama yang tidak mempunyai latar belakang bahasa Using, 2) diperbanyak buku-buku pelajaran maupun pengayaan, 3) diperbanyak media yang menggunakan bahasa Using terutama Media Buatan dan Media Mekanis, 4)pemerintah daerah mempunyai perhatian yang lebih intens terhadap bahasa Using.

 

REFERENSI:

Aitchison, Jean, 2001, Language change: progress or decay?, Cambridge University Press, Cambridge

Arifin, Winarsih P. 1995, Babad Blambangan, Bentang, Yogyakarta

Arps, Bernard, 2010, ‘Terwujudnya Bahasa Using di Banyuwangi dan Peranan Media Elektronik di dalamnya (Selayang Pandang 1970-2009) dalam Geliat Bahasa Selaras Zaman: Perubahan Bahasa-Bahasa di Indonesia pasca Orde Baru, ILCAA Tokyo University for Foreign Studies, Tokyo

Budiwiyanto, Adi, Kontribusi Kosakata Bahasa Daerah Dalam Bahasa Indonesia, artikel Badan Pengembangan Dan Pembinaan Bahasa, (diunduh tanggal 15 Juli 2016) http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/artikel/1285

Danesi, Marcel, 2010, Pengantar Memahami Semiotika Media, Jalasutra, Yogyakarta

Jones, Mari C. and Ishtla Singh, 2005, Exploring Language Change, Routledge, New York

Jusuf, Antariksawan ed., 2014, Membicarakan Seni dan Sastra Banyuwangi, Pustaka Larasan, Denpasar

Jusuf, Antariksawan dan Hani Z. Noor, Isun Dhemen Basa Using 2, SKB, Banyuwangi

Jusuf, Antariksawan, Dari Using dan Banyuwangi kembali ke Blambangan, artikel di Jawa Pos Radar Banyuwangi, 20 Juni 2014

--------------------------, The Imminent Death of Banyuwangi’s Using Language, artikel  di The Jakarta Post, 1 Nov 2014

Hariyono, Aekanu, 2013, Kemiren (Kisah Barong Jakripah dan Paman Iris), Kiling Osing Banyuwangi, Banyuwangi

Herusantosa, Suparman, 1987, Bahasa Using di Kabupaten Banyuwangi, UI, disertasi tidak diterbitkan

Margana, Sri, 2012, Perebutan Hegemoni Blambangan, Pustaka Ifada, Yogyakarta

Maskur dkk, 2005, Lancar Basa Using untuk SD/MI kelas 4, 5, 6, Pemkab Banyuwangi

---------------, 2007, Lancar Basa Using untuk SMP/MTs kelas 7,8,9 Pemkab Banyuwangi

Moleong, Lexi J, 2004, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosda Karya, Bandung

Sutarto, Ayu dkk, 2012, Mutiara yang Tersisa III, Kearifan Lokal dalam Cerita Rakyat Using, Kompyaswisda Jatim, Jember

Wilis, Endro,  Istilah ‘Using’ adalah Racun yang Melumpuhkan Jiwa dalam Lembar Kebudayaan, PSBB, Banyuwangi edisi 10 Maret 2010

Senin, 26 September 2016

Lima Usulan untuk perbaikan Pariwisata Banyuwangi

Pada  saat hari Perayaan Kopi Se dunia yang digelar pertengahan September lalu di Jambu, Licin, saya bertemu beberapa orang asing dan berdiskusi dengan beberapa stakeholder pariwisata Banyuwangi, ada kerawat desa Jambu kecamatan Licin, ada Teguh Siswanto ketua panitia acara tersebut, asosiasi guide, penulis wisata Sanjaya Chandra, arsitek, fotografer, travel agent, pegiat kopi dan beberapa pegiat komunitas lain yang tertarik untuk membicarakan, bagaimana membuat pariwisata Banyuwangi lebih baik.
 
Ada lima hal yang saya rangkum dari diskusi tersebut dan dari wisatawan Kanada, Etienne, yang saya temui bersama Kisma Donna, seorang guide yang juga menjadi moderator pada diskusi hari kopi di Jambu. Etienne baru saja turun dari Ijen dan ikut menyeruput gurihnya kopi Banyuwangi.
 
1. Perlu pegawai pemerintah atau petugas yang membantu wisatawan asing khususnya di tempat pemberhentian kendaraan umum, misalnya di stasiun atau terminal bis. Petugas yang berseragam dan bermodal telepon ini, haruslah orang yang minimal bisa berbahasa Inggris. Gunanya? Setiap ada wisatawan yang turun, dia akan membantu menelepon hotel tempat sang wisatawan akan menginap, supaya dijemput. Hal yang paling menakutkan untuk wisatawan asing adalah baru saja menginjakkan kaki di Banyuwangi, dia dikerumuni oleh banyak orang yang ingin memanfaatkan orang asing untuk kepentingannya sendiri. Ditarik sana-sini oleh orang-orang yang akan membohongi dia soal tarif angkutan. Andai saja ada petugas itu, petugas lah yang akan mengamankan perjalanan turis ini. Kalau sudah booking hotel, dia yang akan menghubungi hotelnya, kalau belum, dia akan mencarikan kendaraan umum atau taxi dengan tarif yang sesuai.
 
2. Toilet umum yang bersih. Setelah dua jam naik kendaraan, biasanya orang perlu buang air. Nah, mestinya di beberapa tempat di Banyuwangi, misalnya di Ketapang, di beberapa daerah di kota, di Kemiren, di Jambu, di Ijen, di Pulau Merah dan di tempat-tempat wisata lainnya, tersedia toilet umum yang sekelas hotel bintang lima. Dan tentunya perlu dirawat dan dibersihkan selalu. Yang ada sekarang, banyak toilet yang standarnya belum cukup tinggi sehingga wisatawan asing khususnya, atau wisatawan lokal yang sudah mempunyai gaya hidup yang tinggi, jijik menggunakan toilet umum tersebut. Pastilah tidak ada keberatan kalau sekedar mengeluarkan uang Rp. 5.000 rupiah untuk sebuah layanan bintang lima. Ada usulan dari salah seorang anggota diskusi, kalau sekarang tidak cukup banyak toilet dengan kelas tersebut, kenapa pemda Banyuwangi tidak bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan yang ada, misalnya bank, untuk membuat toilet bintang lima tersebut menggunakan dana CSR mereka. Sebagai imbalannya, mereka bisa menulis: Toilet yang bagus ini dibangun oleh bank A, misalnya.
 
3. Tarif yang jelas. Memang sangat tidak menyenangkan kalau merasa diri ditipu. Turis memerlukan tarif yang jelas untuk memasuki sebuah tempat. Tidak masalah misalnya tarif antara orang asing dan orang lokal dibedakan sepuluh kalinya, tetapi harus ditulis yang jelas. Yang juga penting adalah semua orang dikasih karcis sesuai yang dibayarnya. Perlu ada tulisan di setiap pintu masuk, “Kalau tidak mendapat pelayanan yang baik, misalnya karcis yang tidak sesuai, harap sms ke nomor sekian-sekian.”  
 
4. Ijen sudah penuh sesak. Menurut Etienne, perlu diberi aturan, berapa orang yang boleh mencapai puncak Ijen pada jam tertentu. Sehingga berapa jumlah orang yang naik, bisa disesuaikan berdasar jumlah orang yang turun. Terlalu banyak orang pada saat yang sama akan mengurangi kenyamanan wisatawan maupun kekuatan kapasitas tanah yang diinjak-injak oleh wisatawan.
 
5. Satu lagi usulan yang menarik dari arsitek Andit Ardianto yang harus dipertimbangkan oleh Pemda adalah, perlunya gerbang yang khas Banyuwangi saat memasuki kabupaten Banyuwangi. Terletak di pintu masuk, misalnya Paltuding, Bajulmati, Ketapang, atau Kalibaru dan Blimbingsari, sehingga secara psikologis wisatawan merasa mereka melewati sebuah peralihan. Jadi, masuk ke dalam Kabupaten Banyuwangi seperti sebuah memasuki ritual inisiasi, seperti memasuki sebuah gerbang menuju tempat yang enak untuk dijelajahi, seperti merasakan kelahiran kembali menjadi seorang yang merasa lebih baik karena memasuki Banyuwangi.
 
Mudah-mudahan bisa terwujud untuk kebaikan pariwisata Banyuwangi.

iwandear@gmail.com adalah yang menuliskan narasi pemenang penghargaan UNWTO untuk Banyuwangi dan PATA untuk Lalare Orkestra tahun 2016


Jumat, 23 September 2016

Jangan ada bikini di Pantai Boom Banyuwangi

Mau kemana pariwisata (Boom) Banyuwangi? Saya mendapat kiriman foto sepasang turis asing yang sedang berjemur berbikini dan penutup dadanya hampir melorot di pantai Boom yang hanya 500 meter dari daerah kota Banyuwangi.

Jangan memandang remeh masalah ini. Begitu tidak ada keberatan, lain kali mereka akan topless terbuka bagian atas, atau malah telanjang bulat di tempat publik.

Bukan masalah munafik atau tidak, Boom adalah tempat umum, tempat publik di mana banyak keluarga Banyuwangi menghabiskan waktu senggangnya bersama anak-anak dan anggota keluarga lainnya. Wisatawan yang telanjang bukanlah pendidikan yang baik untuk anak-anak Banyuwangi. Dalam standar etika ketimuran kita, bertelanjang di tempat umum adalah sesuatu yang tidak bisa diterima. Degradasi moral, bukanlah sesuatu yang kita harapkan dari dunia wisata yang makin berkembang di Banyuwangi. Dan degradasi moral, efeknya tidak selalu langsung di depan mata.

Mereka tidak boleh seenak udel berbuat menurut norma mereka. Bahkan di negeri mereka yang katanya liberal itu pun, tempat berjemur yang sampai telanjang di batasi pada tempat-tempat tertentu. Apalagi di “rumah” kita sendiri.

Pariwisata tidak berarti memberi keleluasaan orang lain untuk mengacak-acak etika masyarakat setempat. Setiap daerah punya standar etikanya masing-masing yang bisa diterima oleh masyarakat di tempat tersebut. Contohnya: meludah sembarangan, makan permen karet, menyeberang sembarangan (jaywalking), akan dihukum denda di Singapura. Padahal di Banyuwangi boleh-boleh saja. Jadi setiap daerah boleh menegakkan aturannya masing-masing selama dibenarkan oleh aturan.

Ada pepatah “Di mana bumi di pijak di situ langit di junjung”. Orang asing pun mengerti hal itu karena mereka juga punya pepatah yang mirip: When in Rome, do as the Romans do. Wisatawan asing ini pun sangat menghargai budaya setempat. Sebagai turis mereka, selalu mempersiapkan diri mempelajari tempat-tempat yang akan dikunjungi.

Tentu mereka akan sangat mahfum, kalau pemerintah daerah setempat mengeluarkan larangan: Dilarang berjemur menggunakan bikini atau telanjang di pantai ini. Apalagi kalau pemandu wisatanya mengingatkan juga akan hal ini.

Turis perempuan yang hendak berjemur, disarankan memakai pakaian renang biasa (beda dengan bikini) yang masih dapat diterima di Banyuwangi apabila dikenakan di pantai atau di kolam renang.

Lain halnya, kalau wisatawan ini berjemur berbikini atau telanjang di tempat-tempat yang sifatnya pribadi, misalnya di pinggir kolam renang di hotel tertentu yang tidak semua masyarakat umum punya akses.

Sebagai gambaran, pantai Boom ini merupakan oase masyarakat kota menghabiskan waktu luang bersama keluarga menikmati deburan ombak, bermain pasir dan bercengkerama.

Saat ini pantai Boom sudah ditata. Bentangan pasir yang lebar, tempat pelajan kaki yang nyaman, pedagang yang sudah diatur penempatannya sehingga tidak lagi menghalangi pandangan wisatawan yang berkunjung ke sana, dan sebuah amphiteater sumbangan CSR dari Telkomsel.

Meski berpasir hitam, pantai Boom tetap indah dengan pemandangan pulau Bali di seberang, dan pada saat cuaca terang, dua buah gunung perkasa di sebelah barat, yang kakinya mencengkeram kota Banyuwangi. Pantai ini juga penting untuk konservasi lingkungan karena juga menjadi tempat penyu mendarat dan bertelur meneruskan kelangsungan kehidupan.

Apalagi ke depan, Pantai Boom akan ditata menjadi marina yang akan didarati kapal-kapal wisata, dan dari video rancangannya, dilengkapi dengan tiga buah hotel pencakar langit. Nantinya, Boom akan menjadi tempat jujugan turis lewat laut.

Lain kali, akan lebih banyak turis yang menghabiskan waktunya di Boom. Jangan sampai terlambat.

iwandear@gmail.com

Kamis, 15 September 2016

Kilas Balik Lalare Orkestra dan hadiah Emas PATA


Sebelum Penghargaan internasional dan tepuktangan membahana pada pertunjukannya, lahirnya Lalare Orkestra awal mulanya adalah sebuah program dari Kementrian Pendidikan untuk merevitalisasi kesenian yang hampir punah.
Ketua Rumah Budaya Osing (RBO) yang juga guru SMPN1, Hasan Basri, dan Wakil Ketua Purwadi menggagas program pelestarian itu dengan memanfaatkan potensi lingkungan sekitar. Yang dilirik adalah potensi bambu. Benda yang banyak ditemui di hampir semua daerah terutama di Kemiren, yang merupakan markas RBO. Bambu yang banyak terdapat terutama di pinggir-pinggir sungai, menjadi tak berharga apabila hanya dibikin pagar, atau untuk pembuatan alas penjemur pindang.
Semula, pelatihan yang dibikin adalah pembuatan alat tabuh tradisional. Diundanglah ahli pembuat angklung dari Taman Suruh bernama Ardi dan guru SMPN1 Syaiful, yang sekaligus membuat jadwal berlatih memainkan alat mustik yang mereka bikin. Karena yang terlibat 29 anak-anak Kemiren, grupnya dinamakan Laren (Lare Kemiren).
Angklung dianggap terlalu mainstream, terlalu umum, kentulitan-lah akhirnya dijadikan pilihan. Menurut Syaiful, angklung menggunakan bumbung, dengan resonansi menjadi satu bagian dengan bilah bunyi. Biasanya, angklung terdiri dari 14-15 nada. Sementara Kentulitan tidak memiliki ruang resonansi, resonansinya terpisah dan terbuat dari kayu yang juga dipakai sebagai penyangga.Mereka ini  juga belajar membuat angklung, slenthem, patrol, saron, pethit yang semuanya terbuat dari bambu.
Suatu saat, pertemuan Masyarakat Adat yang dituanrumahi oleh RBO, menampilkan Laren. Ketua Dewan Kesenian Blambangan (DKB) Samsudin Adlawi yang mendatangi acara tersebut tertarik untuk menampilkannya sebagai bagian dari Banyuwangi Festival.
Untuk latihan rutin yang diadakan DKB bertempat di RBO maupun di SMPN1 Banyuwangi, direkrutlah dedengkot musik Banyuwangi Yon DD, Ketua sanggar Damarwangi Sayun Sisiyanto, Ribut dan Syaiful. Syaiful, yang juga melatih anak-anak bermain musik tradisional sebagai Penata Artistik dan Pelatih Senior di Sanggar Jingga Putih Gladag Rogojampi pimpinan maestro Sumitro Hadi, menarik pula anak asuhannya dari SMPN1 Banyuwangi tempat sehari-hari ia mengajar, dan juga dari Rogojampi, Singojuruh, dan Srono. Sayun juga mengajak murid-muridnya dari Wonosobo, Srono, Muncar dan sekitarnya. Hingga jumlahnya mencapai 100 anak.
Yang membedakan keduanya adalah Laren memainkan lagu-lagu “sawahan” lagu-lagu kuno desa Kemiren. Misalnya lagu Kertas Mabur, Kembang Jeruk, Thetho Lelung, Lemar-Lemir, Lebak-lebak, Walang Kekek.
Sementara Lalare Orkestra memainkan musik dan lagu daerah yang lebih modern dan diaransemen ulang.  Lagu-lagu yang dibawakan antara lain: Ulan Andhung-andhung, Padhang Ulan, Umbul-umbul Belambangan, Belajar Ngaji, Ayo Sekolah, Kupu Cedhung, Usum Layangan.
Pentas mereka pertama adalah saat Penghargaan Seniman Dan Budayawan Banyuwangi oleh DKB bertempat di RBO bulan Desember  2014. Lantas disusul Green and Recycle Fashion Week tanggal 13 Maret 2015. Dan puncaknya pada tanggal 1 Agustus 2015, di pentas Taman Blambangan, digelarlah Festival Perkusi dan Konser Lalare Orkestra. Lalare Orkestra, menampilkan 13 lagu tradisional, disaksikan oleh sekitar 5000 penonton. Penampilannya yang hampir tiada cacatnya itu, berkat latihan dan kerja keras, mengundang tepuk tangan ribuan penonton. Mereka ini masa depan Banyuwangi, yang menjaga warisan kesenian tradisional Banyuwangi.
Tidak salah, kalau organisasi pariwisata Asia Pacific PATA, mengganjarnya dengan sebuah Penghargaan Emas kategori Warisan Budaya dan Kebudayaan, yang diserahkan tanggal 9 September 2016 di acara konvensi PATA di ICE Serpong Indonesia. Dalam penghargaan PATA Gold Award, Indonesia mendapat tiga penghargaan, salah satunya Lalare Orkestra.
Sebelumnya, pada bulan Januari 2016, Indonesia (Banyuwangi) memenangkan Penghargaan bergengsi  Bidang Inovasi dalam Kebijakan Publik dan Pemerintahan, dari  United Nations World Tourism Organisation (UNWTO), badan PBB urusan pariwisata.
 
 Ditulis oleh Antariksawan Jusuf, Ketua Paguyuban Sengker Kuwung Belambangan yang menuliskan naskah kemenangan Banyuwangi untuk UNWTO dan PATA 2016.

Jumat, 29 Juli 2016

Dari Tabloid Bisnis Banyuwangi 25-30 Juli 2016


Antariksawan Jusuf, Bawa Budaya Using “Go” Internasional

Sosoknya sederhana, bersahaja. Namun semangatnya tak pernah padam nguri-nguri buydaya Using. Dialah, Antariksawan Jusuf, putera asli Banyuwangi yang go internasional. Salah satu karyanya yang paling bergengsi adalah membuat makalah dalam mensuksekan pariwisata Banyuwangi di kancah internasional. Terbaru, dia kembali mengharumkan Banyuwangi dalam ajang PATA Gold Award 2016. Tak hanya itu, pelestarian bahasa Using menjadi jalur perjuangannya di Banyuwangi. Seperti apa, kisahnya?

Meski berada di balik layar, Kang Iwan, sapaan akrab, Antariksawan Jusuf, layak diacungi jempol. Setelah sukses mengangkat Banyuwangi sebagai kota pariwisata dunia awal tahun 2016 lalu, kini penghargaan bergengsi bidang pariwisata kembali direbut Banyuwangi. Yakni, penghargaan dari Organisasi Pariwisata Asia Pasifik (PATA), yang mengganjar PATA Gold Award 2016 dalam kategori Warisan Budaya dan Kebudayaan (Heritage and Culture: Lalare Orchestra).

Kang Iwan mengisahkan, rasa bangga dan kecintaan yang mendalam akan kampung halamannya yang membawanya pada lomba-lomba pariwisata yang diikutinya.  Penghargaan PATA ini adalah penghargaan internasional tentang pariwisata kedua yang diterimanya tahun ini. Sebelumnya ia juga menyabet penghargaan tertinggi pariwisata dari United Nations World Tourism Organisation (UNWTO) yang diserahkan di Madrid Spanyol bulan Januari lalu.

Penghargaan PATA Gold Award tidak kalah bergengsinya dari UNWTO karena keduanya melewati persaingan ketat 212 proprosal yang masuk dari 71 negara dan individu. Penghargaan lainnya untuk Indonesia adalah PATA Gold Award untuk Marketing – Primary Government Destination: Total Solar Eclipse – Indonesia, yang menceritakan suksesnya pemerintah Indonesia menjual fenomena alam gerhana matahari total. Satu lagi adalah karya fotografi untuk kategori Travel Journalism – Travel Photograph – Journey of the Wanderer yang dibuat oleh Handi Lakonso dan dimuat dalam majalah inflight Garuda Indonesia Colors.

Menurut Kang Iwan, yang juga ketua Paguyuban Sengker Kuwung Belambangan (SKB) ini, ia menulis beberapa karya tentang pariwisata Banyuwangi. Selain Lalare Orchestra, ia juga menulis soal bandara Banyuwangi baru yang mengusung konsep green bandara dan kuartet Warisan budaya Banyuwangi, yang tidak hanya berfungsi sebagai bahan mainan anak-anak yang mendidik, tapi juga mengenalkan berbagai kekayaan Banyuwangi kepada wisatawan di Banyuwangi, singkatnya kuartet tersebut bisa juga sebagai bahan promosi wisata. Project Banyuwangi, tentang Rumah Apung Bangsring, sebenarnya juga ditulis untuk ajang PATA 2016 oleh Arif Wibowo, insinyur yang kembali untuk membangun kampungnya Lulian (Olehsari). Tetapi rupanya nasib mengatakan lain. Tulisan mengenai Bangsring tidak membuat dewan juri terkesima.

Mengapa Lalare Orkestra? “Judul selengkapnya adalah: Lalare Orkestra – The Future of Traditional Music Maestros. Di antara sekian banyak event dalam balutan Banyuwangi Festival, Lalare Orkestra adalah yang juga mengemban misi pendidikan juga. Saya kira nilai plusnya ada di situ. Meski baru sekali diselenggarakan, Lalare Orkestra menyimpan bara semangat orang-orang Banyuwangi mencintai kesenian mereka sendiri. Mereka ini adalah masa depan Banyuwangi. Kalau masih anak-anak saja mereka bisa tampil dengan luar biasa begini, pasti di masa depan Banyuwangi akan lebih baik dalam bidang keseniannya. Sementara daerah lain kesulitan mencari anak-anak yang mau meneruskan kesenian tradisional daerahnya, Banyuwangi malah berlimpah. Dan yang tampil dalam Lalare Orkestra adalah anak-anak terbaik yang terpilih. Mereka ini aset besar Banyuwangi untuk tetap menjadi jujugan pariwisata unggulan.”

Ia menambahkan: “Pariwisata Banyuwangi tak hanya mengandalkan pantai yang indah, karang-karang laut yang terjaga, gunung berapi yang punya kawah besar indah, tetapi saya kira yang lebih penting adalah orang-orangnya yang mempunyai gairah besar untuk berkesenian, menjaga ritual adatnya, yang menjaga kekayaan kulinernya, dan yang mempersiapkan generasi anak-anak untuk menjaga semuanya.”

Kecintaannya pada masa depan anak-anak Banyuwangi, yang semestinya mengemban pula warisan nenek moyang berupa Bahasa Using, membuat Kang Iwan bersama teman-teman yang mempunyai visi sama, mendirikan Paguyuban Sengker Kuwung Belambangan. Prihatin akan nasib Bahasa Using dan anak-anak yang mewarisi bahasa ini, ia menerbitkan beberapa kumpulan cerita pendek, cerita anak-anak dan buku-buku penunjang pelajaran sekolah.

“Mereka ini yang membawa obor Bahasa Using ke depan. Mereka mesti didukung. Sayangnya, orang Banyuwangi tidak punya tradisi menulis tentang bahasanya. Sehingga banyak ilmu dari orang-orang tua yang hilang begitu saja. Orang-orang tua yang ilmu tentang Usingnya begitu banyak, akan membawa ilmu mereka ke liang lahat kalau tidak segera ditulis dan dibukukan. Tanpa bahasa Using, kesenian dan ritual adat Banyuwangi juga dalam bahaya. Karena semuanya menggunakan bahasa Using.”

Untuk itu, Sengker beberapa kali mengadakan pelatihan menulis menggunakan bahasa Using, mengadakan lomba mengarang memakai bahasa Using dan membukukannya. Usaha inilah yang selama ini ia lakukan bersama paguyuban SKB.

“Jadi menurut hemat saya, pemerintah juga harus punya perhatian besar terhadap pelestarian bahasa Using supaya dapat menjaga roh kesenian dan adat yang ingin mereka jaga sampai masa depan,” katanya.

Menurut Kang Iwan dari pembicaraanya dengan salah satu pelatih dan penyusun program Lalare Orkestra, yaitu Moh. Syaiful guru SMPN1 Banyuwangi, melihat performa Lalare Orkestra, masing-masing kecamatan ingin menampilkan orkestra anak-anak mereka masing-masing. Hal ini akan menumbuhkan industri pendukung pariwisata yang sangat bagus untuk Banyuwangi. Guru kesenian, pembuat gamelan, pelatih tari otomatis akan mendapat cipratan dari pariwisata yang berkembang.

Menurut rilis yang dikeluarkan PATA, tahun 2016  ini ada 4 kategori yang diberi PATA Grand Award, 26 PATA Gold Awards, dan satu Honorable Mention.

PATA adalah organisasi non-profit yang berurusan dengan perkembangan travel dan pariwisata ke, dari dan dalam lingkungan Asia Pasifik. Anggotanya terdiri atas 95 pemerintah, negara bagian dan badan pariwisata kota, 29 perusahaan penerbangan, bandara, perusahaan pelayaran, dan 63 institusi pendidikan, serta ratusan perusahaan yang terlibat dalam industri pariwisata.

Tahun ini Indonesia akan menjadi tuan rumah konferensi PATA yang akan berlangsung di Indonesia Convention and Exhibition (ICE) di Bumi Serpong Damai, Tangerang Selatan, tanggal 7-9 September. Sementara penyerahan hadiah akan dilaksanakan hari Jumat tanggal 9 September, saat berlangsungnya PATA Travel Mart.

“Harapan saya sederhana hanya ingin menggali potensi Banyuwangi. Dan ini bisa dilakukan siapa saja yang ingin membangun Banyuwangi. Jadi warga generasi muda Banyuwangi bersama-sama kita berkarya,” pungkasnya (Wid)

 

 

 

 

 

Kamis, 21 Juli 2016

Lalare Orkestra: The future of traditional music maestros


Project title: Lalare Orkestra: The future of traditional music maestros

Synopsis:

The people of Java island’s most eastern regency Banyuwangi have always been proud with their traditional music. Aside from their rituals, from sacred trance dance to an elaborate wedding celebration, traditional music is inseparable. Traditional popular songs find their huge fans beyond the regency’s border, creating a growing music industry. In 2008, there were over 50 recording companies.

Unlike in some parts of the country which saw many traditional performing arts under threat, Banyuwangi traditional performing arts are alive and healthy. A regular music group normally consists of maximum 13 people, among others with two sets of bamboo slit drums, a set of gongs, triangle, flute, traditional violin.

The Lalare Orkestra (Children Orchestra) is a performance by 100 school children of various age from 8-13 years old, aiming to create a powerful branding for traditional music and bringing traditional music performance to the next level. The child musicians are hand-picked by music maestros who serve later as their trainers.

The 100 children from various districts in Banyuwangi enjoyed a six-month practice under supervision of traditional music maestros before performing before thousands of audience as a part of Banyuwangi Festival.

For Banyuwangi and the audience in general, it was the first time a traditional music peformance enjoyed an applause they have never seen before.

With the success of the performance, the government of Banyuwangi will make it a regular event featured on the Banyuwangi Festival which stretches almost a year long.

In 2016 Banyuwangi festival,  the member of young musicians will be doubled to 200 performers.

Impact of project:

With the rising popularity of the Lalare Orkestra, every 25 districts in Banyuwangi prepare to have their own child orchestra as they dream to perform in Banyuwangi Festival. The government is to hold a competition among children music groups annually.

Uniqueness of project:

Massive child musicians performing orchestratic

Budget:

The local government of Banyuwangi regency provided all the financial backup up to Rupiah 200,000,000 ($15,384), and expecting to see the future of Banyuwangi traditional music maestros.

 

Roles and responsibility of person involved:

Moh. Syaiful, music trainer

Links:



https://www.youtube.com/watch?v=uOARODEZ-0g

 

Minggu, 10 Juli 2016


Paguyuban Sengker Kuwung Belambangan (SKB) tanggal 7 Juli 2016 melaksanakan penandatanganan Nota Kesepakatan dengan tiga seniman Banyuwangi: Andang CY, Bs Noerdian dan Machfud Hr (almarhum, yang diwakili oleh ahli warisnya) perihal penerbitan lagu-lagu mereka.

“Pak Andang mengaku prihatin dengan perkembangan lagu-lagu Banyuwangi sekarang ini sehingga beliau sangat ingin mengenalkan lagu-lagu Banyuwangi klasik yang mempunyai lirik yang mendidik, yang penuh semangat dan santun kepada anak-anak sekolah. Itu sebabnya Pak Andang sangat berharap penerbitan ini bisa terlaksana dan dibagikan secara gratis ke sekolah-sekolah di seluruh wilayah Kabupaten banyuwangi,” jelas Ketua SKB Antariksawan Jusuf.

Sebenarnya, lagu-lagu tersebut tadinya sudah berada di tangan sebuah penerbit di Surabaya sejak tahun 2013, tapi tidak kunjung terwujud. Kemudian Pak Andang meminta SKB untuk mengambil alih hak naskahnya dari penerbit tersebut untuk diterbitkan sendiri.

Selain not angka, buku yang memuat kumpulan lagu-lagu klasik tersebut dilengkapi pula dengan not balok. Diharapkan buku tersebut bisa disertai dengan rekaman lagu-lagunya. Mimpi Pak Andang, kalau ada CD rekaman lagu-lagunya, bisa diputar saat jam istirahat sekolah, sehingga lagu-lagu tersebut makin akrab di telinga anak-anak sekolah di Banyuwangi.

Lagu-lagu “Trio Mabasan”, begitu mereka menyebut grupnya, sering dijadikan lagu-lagu pilihan dalam lomba paduan suara tingkat nasional bahkan sampai tingkat dunia. Itulah sebabnya, sungguh amat disayangkan jika anak-anak sekolah di Banyuwangi  sendiri kurang mengenalnya.

Jumlah buku yang akan dibagian secara gratis sebanyak 1.400 eksemplar, yang mana jumlah tersebut sudah menjangkau seluruh sekolah yang ada di Kabupaten Banyuwangi, mulai tingkat SD, SMP, SMK dan SM

“SKB merupakan sebuah organisasi non-profit yang tidak menggunakan dana APBD dalam kegiatannya. Semua pendanaan kegiatan SKB dilakukan secara mandiri dan atau gotong-royong dengan para simpatisan, utamanya para perantau asal Banyuwangi. Untuk kegiatan yang diperkirakan menelan biaya seratus jutaan ini, SKB akan mencarikan dana kepada pribadi-pribadi atau lembaga-lembaga yang bersedia ikut mendukung kegiatan ini,” jawab Antariksawan.

Diharapkan, tahun ini buku serta CD sudah dapat dihibahkan ke sekolah-sekolah di Kabupaten Banyuwangi.

SKB sudah dua kali melakukan kegiatan hibah  buku-buku berbahasa Using untuk sekolah-sekolah di Banyuwangi, bekerjasama dengan Ikawangi Jabodetabek, juga dengan organisasi alumni angkatan Damar ’84. Sampai saat ini ada 12 judul buku berbahasa Using dan satu seri kartu permainan Kuartet tentang Banyuwangi yang telah diluncurkan oleh SKB. Selain menerbitkan buku, SKB juga beberapa kali mengadakan pelatihan menulis dan mengadakan lomba mengarang cerita pendek berbahasa Using setiap tahun, yang hasilnya diterbitkan dalam sebuah buku.

Mudah-mudahan dengan kegiatan-kegiatan semacam ini, bisa pula menumbuhkan geliat komunitas-komunitas lain untuk melakukan kegiatan serupa. Sehingga pelestarian semua kekayaan budaya bisa dilakukan dengan lebih baik, bersama-sama dan berkesinambungan.