Pelestarian Bahasa Using di Banyuwangi
Disampaikan sebagai salah satu makalah utama pada seminar internasional Bahasa Ibu sebagai Sumber Budaya Literasi, yang diselenggarakan oleh Balai Bahasa Jawa Barat tanggal 4-5 Oktober 2016 di Bandung.
ABSTRAK
Salah satu identitas yang merupakan ciri masyarakat di kabupaten paling
ujung timur pulau Jawa, Banyuwangi, adalah bahasanya, yaitu bahasa Using.
Daerah ini menurut Sri Margana (Perebutan Hegemoni Blambangan, 2013) belum
memperoleh proporsi cukup dalam kajian kesejarahan Indonesia. Bahasa penduduk
suku Using ini merupakan salah satu bahasa daerah utama yang digunakan oleh
sebagian masyarakat, selain bahasa Jawa dan Madura.
Bahasa Using, yang eksistensinya
sebagai sebuah bahasa moderen diperjuangkan sejak tahun 1970-an, lebih dominan
berkembang melalui tradisi lisan. Selain
sebagai bahasa pengantar dalam keluarga dan pergaulan, berkembang pula sastra
lisan berupa lagu-lagu tradisional, maupun pantun (basanan) dan wangsalan yang
digunakan dalam percakapan sehari-hari. Sementara bahasa Using tulis tidak
berkembang dengan sempurna.
Setelah diterbitkannya
berbagai perangkat kebahasaan, seperti Kamus bahasa Using-Indonesia (2002),
Pedoman Umum Ejaan Bahasa Using (2006) dan Tata Bahasa Baku Bahasa Using (2006)
dan keluarnya Peraturan Daerah Nomor 5 tahun 2007 tentang Pembelajaran Bahasa
Daerah pada Jenjang Pendidikan Dasar, sampai tahun 2012, hanya ada satu novelet
berbahasa Using, enam buku pelajaran sekolah (2007), tiga buku dongeng dan satu
buku tentang kata-kata mutiara dan peribahasa (2008).
Usaha pelestarian bahasa tulis
Using, revitalisasi, bukan language revival (Jones dan Singh, 2005
p. 105) dilakukan sekelompok masyarakat sejak tahun 2013 dengan mengadakan
lomba mengarang cerpen, penerbitan berbagai macam buku sampai pada usaha
penerbitan majalah berbahasa Using dan pemuatan cerita pendek mingguan di media
massa.
Tulisan ini
membahas 1) Bagaimana usaha revitalisasi bahasa tulis Using dan dinamikanya dan
2) Bagaimana orang-orang Using bersikap dan bertindak untuk mempertahankan
identitas diri melawan hegemoni bahasa lainnya.
Kata Kunci: revitalisasi bahasa, bahasa tulis Using, media
buatan
PENDAHULUAN
Bahasa Using di Banyuwangi mengalami masa naik turun sejak awal abad 20
sampai sekarang. Sejak istilah Using diperkenalkan oleh C. Lekkerkerker (1923)
maupun Joh. Scholte (1926) dan kumpulan kata-kata Bahasa Using yang ditulis oleh
bupati Banyuwangi Notodiningrat (1910), serta sastrawan dan ahli bahasa Thomas
Pigeaud (1929), bahasa Using mendapat perhatian lebih intens setelah tahun
1970-an.
Sebelumnya Bahasa Using selalu
dikatakan sebuah dialek Bahasa Jawa. Baru tahun 1987, seorang ahli bahasa dari
Universitas Udayana, Suparman Herusantosa, menulis disertasinya berjudul: Bahasa Using di Kabupaten Banyuwangi.
Meski setelahnya beberapa langkah dijalani, antara lain penerbitan Kamus Bahasa
Daerah Using-Indonesia, Tata Bahasa Baku Bahasa Using, Tata Ejaan, Peraturan
Daerah tentang Pengajaran Bahasa Using di sekolah, tak membuat bahasa Using
tulis berkembang. Memang Bahasa Using kurang mendapat perhatian dari pemerintah
daerah. Sejak tahun 2007, belum pernah ada lagi pelatihan untuk guru-guru
pengajar bahasa Using, tidak ada lagi perbaikan materi pengajaran baik di
tingkat sekolah menengah maupun sekolah dasar. Tidak pernah ada lagi penerbitan
buku-buku penunjang pelajaran.
METODE PENELITIAN
Pembahasan ini menggunakan metode Deskriptif Kualitatif. Moleong
(2007:6) memaknai Penelitian kualitatif sebagai upaya untuk memahami fenomena
yang dialami oleh subyek penelitian misalnya pelaku, persepsi, motivasi,
tindakan dan lain-lain. Deskripsi dijabarkan berdasarkan fakta yang ada atau
fenomena yang secara empiris dilakukan oleh masyarakat penuturnya.
McLuhan (Dalam Danesi,
2010:7) mengatakan bahwa media dipakai untuk merekam dan memancarkan pesan,
menyatakan bagaimana manusia memproses dan mengingatnya. Media bisa dibagi
menjadi tiga kategori dasar, yaitu Media
Alami, Buatan dan Mekanis. Media Alami adalah pemancaran
gagasan dengan cara berbasis teknologi, seperti suara, ekspresi wajah, dan
gerakan tangan. Media Buatan adalah
bagaimana gagasan direpresentasikan dan dikirimkan menggunakan satu artefak
tertentu. Misalnya, buku, novel, lukisan dan patung. Media mekanis adalah bagaimana gagasan dikirimkan menggunakan
peralatan mekanis temuan manusia seperti telepon, radio dan televisi. Batasan
bahasan dalam tulisan ini adalah seputar Media Buatan, yaitu majalah, buku, dan
harian/tabloid.
Bahasa dalam Media Buatan
dibatasi dalam uraian sebagai apa yang tertulis berbentuk buku, majalah atau
muncul dalam media massa seperti tabloid atau koran. Naskah-naskah yang
dibicarakan di sini adalah naskah tulis bahasa Using modern atau yang diterbitkan
setelah munculnya Kamus Bahasa Daerah Using-Indonesia tulisan Hasan Ali tahun
2002, di mana di dalamnya juga terdapat Tata cara penulisan yang disebut baku
dalam bahasa Using. Perangkat kebahasaan bahasa Using modern, sudah tertata
dengan ejaan yang sudah ditetapkan dan setelahnya diajarkan di sekolah-sekolah
di Banyuwangi.
PEMBAHASAN
1.
Asal mula Using dan sebutan bahasa Using
Sebuah bahasa yang berkembang di daerah ujung timur pulau Jawa, dan
berbeda dengan bahasa Jawa pada umumnya ditengarai, tercatat saat tahun
1860-an, seorang bupati kudus bernama Candranagara berkunjung ke Banyuwangi dan
menyatakan bahwa penduduk setempat menggunakan “...bahasa Jawa tetapi dengan
cara desa” (Arps, 2010:225).
Tahun 1881, seorang Belanda bernama
Van der Tuuk mencatat dalam tulisan tangan dua buah buku yang tersimpan di
Universitas Leiden dan diberi kode Lor 3269 dan 3270 bertahun 1881.
Diperkirakan oleh Herusantosa (1987:71) salah satu naskah yang berjudul
“Banjoewangi dialect” tersebut dipersiapkan untuk menyusun sebuah kamus.
Terdapat 550 kata yang ada dalam naskah tersebut.
Masih di akhir abad 19, sebuah
karya sastra berjudul Serat Sritanjung,
versi yang ditulis oleh pujangga yang tak menuliskan namanya, berbahasa Jawa
Kuna dan beraksara Arab pegon itu selesai dituliskan kembali tanggal 12 Syawal
1315 H atau 5 Maret 1898. Dalam naskah tersebut belum ada penyebutan “bahasa
Using” bahkan kata /sing/ atau /using/ tidak ditemukan. Sebagai ungkapan yang
berarti ‘tidak’, bahasa Jawa kuna yang digunakan dalam naskah tersebut
menggunakan istilah yang cenderung sebagai bahasa Jawa kuna yaitu /tan/ atau
/nana/. Sebagai catatan kata /nana/ masih digunakan dalam bahasa Using modern.
Bupati Banyuwangi tahun
1910-1920, Raden Tumenggung Haryo Notodiningrat, menulis sebuah babad (1915)
yang juga memuat 440 kata Bahasa orang Blambangan, yang artinya berbeda dengan
bahasa Jawa.
Istilah Using baru muncul di
awal abad 20. Pada sebuah penerbitan majalah Indische Gids II (1923:1031), C. Lekkerkerker menyebut ‘orang Using’
(de Oesingers) mempunyai kepribadian,
bahasa dan adat yang berbeda dengan orang Jawa lainnya. Inilah salah satu
catatan paling awal mengenai istilah Using (Ditulis Oesing karena masih
menggunakan ejaan lama dan berbahasa Belanda, yang menggabungkan OE sebagai
huruf U dalam ejaan baru).
Pada tahun 1926, seorang
Belanda bernama Joh. Scholte, memberikan ceramahnya tentang “Gandrung
Banyuwangi” (Gandroeng van Banjoewangi), mengatakan “Para gandrung adalah
putri-putri orang Using, suatu suku bangsa yang harus dianggap sebagai
sisa-sisa orang Blambangan yang beragama Hindu Jawa dan yang hingga kini
bertahan di antara para transmigran di Banyuwangi untuk memelihara semurni
mungkin adat istiadat mereka...Nama Using diberikan kepada orang Blambangan
oleh para pendatang berdasarkan kata penyangkal “Using” atau “Sing” yang
berarti “Tidak” atau “Bukan”.
Ditambahkan pula “Orang
Blambangan sendiri menamakan dirinya orang Jawa Asli. Nama yang paling tepat
untuk mereka adalah orang Blambangan.”
Thomas Pigeaud, ahli sastra yang menulis kamus Jawa-Belanda,
mengumpulkan kosakata Using banyak sekali dan pada tahun 1929 sudah siap untuk
diterbitkan (Suparman, 1987:72). Pigeaud, yang juga pernah tinggal di Bali
utara, menyatakan bahwa banyak sekali kosa kata Banyuwangi yang dimasukkan ke
dalam buku “Kawi-Balineesh” yang disusunnya. Dalam ulasannya tentang bahasa dan
wilayah Using, Pigeaud mengatakan bahwa daerah Using semula lebih luas daripada
yang ada sekarang. Desa Biting dan Kemiri (Jember), Patoan (Situbondo),
Blendungan (Bondowoso) semula termasuk daerah Using. Bahkan dari segi bahasanya
semula termasuk Using.
Setelah sekitar 40 tahunan
tanpa ada catatan tentang bahasa tulis Using, tahun 1970-an pemerintah daerah
Banyuwangi, sebagai bagian dari rezim Orde Baru, mencari identitas kultural, antara
lain lewat kesenian dan bahasa, untuk melawan perilaku menyimpang generasi muda
akibat pengaruh barat (Pranoto, 2014:111). Selain untuk mengisi kebuntuan
setelah peristiwa 1965, pemerintah daerah menggalakkan kembali kesenian daerah
dan menegakkan Using sebagai identitas kultural daerah.
Tahun 1974, seorang dosen
Hukum, Abdurrahman, menyusun diktat 14 halaman yang berjudul: “Sekedar petunjuk
untuk sekedar berbicara bahasa Osing.” Antara lain isinya kaidah ucapan, masalah unda
usuk dan dialog-dialog dalam bahasa Using serta terjemahannya dalam bahasa
Indonesia. Juga disertai dengan rekaman percakapan, diterbitkan oleh FKSS IKIP
Malang. (Suparman, 1987:71).
Pencarian identitas kultural
tersebut, termasuk di dalamnya adalah perjuangan Hasan Ali, penulis Kamus
Daerah Using-Indonesia, mencari jalan agar bahasa Using, yang saat itu masih
dianggap dialek jawa, berdiri sebagai sebuah bahasa tersendiri.
Pada tahun 1987, seorang ahli
bahasa asal Malang yang bermukim di Singaraja, Suparman Herusantosa,
mempertahankan disertasinya di Universitas Indonesia, berjudul “Bahasa Using di
Kabupaten Banyuwangi.” Suparman pula yang menyemangati Hasan Ali untuk
menggeluti bahasa Using secara ilmiah, kalau tidak bahasa Using akan punah.
(Arps, 2010).
Sebutan “Using” atau “Bahasa
Using” sebenarnya bukan tanpa penolakan. Melihat asal-usulnya, yaitu sebutan dari
para pendatang terhadap suku asli, budayawan Banyuwangi Endro Wilis (2010)
mengatakan bahwa masyarakat Banyuwangi seharusnya tersinggung dengan sebutan
yang merendahkan tersebut. Dia menyarankan sebutan “Bahasa Banyuwangen” atau
“Bahasa Blambangan” yang bisa menjadi alternatif yang lebih terhormat. Dengan
alasan kesejarahan, penulis pernah mengusulkan mengembalikan segala kata Using
menjadi Belambangan, jadi kabupaten Banyuwangi menjadi kabupaten Belambangan;
bahasa Using menjadi bahasa Belambangan (Jawa Pos Radar Banyuwangi, Maret 2014).
Setelah beberapa kegiatan,
misalnya Saresehan Bahasa Using (1990) dan Kongres Bahasa Jawa di Batu (1996),
bahasa Using mendapat rekomendasi untuk diajarkan di sekolah, berdasarkan SK
Kakanwil Depdikbud Provinsi Jatim tahun 1997. Mulailah pengenalan pengajaran
bahasa Using terbatas di sekolah dasar di tiga kecamatan dan diajarkan secara
menyeluruh tahun 2005.
2.
Periode 2002 – 2012
Abdurrahman (1974) dalam buku kecilnya “Sekedar petunjuk untuk dapat
berbicara bahasa Osing”, sebenarnya sudah memulai peringatan akan “lonceng
kematian” bahasa Using dengan menulis “makin terdesaknya bahasa aslinya.”
Tidak ada yang bisa menolong
bahasa Using kecuali masyarakat penggunanya sendiri. Seperti dikatakan oleh
Fennel yang dikutip oleh Jones dan Singh (2005:122), ”Bahasa minoritas yang
terus mengecil jumlahnya,....hanya dapat diselamatkan oleh dirinya sendiri dan
kemudian, hanya anggota masyarakat penggunanya yang berupaya untuk menghentikan
pengecilannya.”
Salah satu tahun terpenting
dalam perkembangan bahasa Using tulis adalah diterbitkannya Kamus Bahasa Daerah
Using-Indonesia oleh Dewan Kesenian Blambangan tahun 2002. Dalam kamus tersebut
disisipkan pula Tata Ejaan Bahasa Using. Dari sinilah bahasa Using moderen
memulai langkahnya dan menggerakkan penerbitan lain yang signifikan dalam
perkembangan bahasa Using.
Selain tiga buku pelajaran Lancar
Basa Using untuk Sekolah Dasar masing-masing kelas 4,5,6 (2005) dan tiga buku
pelajaran Lancar Basa Using untuk SMP masing-masing untuk kelas 7, 8, 9 terbit
tahun 2007, serta sebuah buku Dongeng (2002), Unen-Unen Basa Using (2003). Dua
buku yang disebut terakhir lebih banyak sebagai buku penunjang pelajaran.
Pada tahun 2005, Dewan
Kesenian Blambangan menerbitkan Pereng
Puthuk Giri, sebuah novelet bahasa Using pertama, yang ditulis oleh
Abdullah Fauzi. Novelet ini merupakan karya prosa pertama dalam periode bahasa
Using moderen.
Tahun 2012, sekelompok dosen
dari Universitas Jember, Ayu Sutarto, Marwoto dan Heru SP Saputra, mengeluarkan
buku dongeng yang berjudul Mutiara Yang
Tersisa III, Kearifan Lokal dalam Cerita Rakyat Using. Cerita utama
disajikan dalam bahasa Indonesia, dan disandingkan bersamaan dengan bahasa
Using dan bahasa Inggris.
3.
Periode 2013 dan seterusnya
Sampai tahun 2013 ini, tidak cukup banyak Media Buatan yang dapat
diakses oleh pelajar yang belajar bahasa Using di sekolah. Idealnya, anak-anak
sekolah tak hanya belajar mengenai bahasa tersebut di dalam kelas, tetapi
mendapati bahasa tersebut di luar kelas.
Kekhawatiran tersebut didasari oleh ancaman kematian bahasa itu
sendiri.
“When a language dies, it is not because a
community has forgotten how to speak, but because another language has
gradually ousted the old one as the dominant language for political and social
reasons. Typically, a younger generation will learn an ‘old’ language from
their parents as a mother tongue, but will be exposed from a young age to
another more fashionable and socially useful language at school.” (Aitchison,
2001:235).
(Kematian sebuah bahasa bukan karena komunitas tersebut lupa cara
bertutur, tetapi karena bahasa lain secara perlahan menggantikannya sebagai
bahasa yang lebih dominan secara politis maupun sosial. Biasanya, generasi
mudanya belajar ‘bahasa kuna’ dari orang tua mereka sebagai bahasa ibu, lantas
berhadapan dengan bahasa lain yang lebih kekinian dan secara sosial lebih
bermanfaat di sekolah.)
Seperti akar bahasanya, yaitu
bahasa Kawi, bahasa Using tidak mengenal unggah-ungguh berdasar perbedaan kasta
sosial seperti bahasa Jawa. Tetapi justru karena itu, oleh sebagian besar
pendatang Jawa, bahasa Using dianggap tidak bermartabat. Dengan kuatnya
pengaruh Jawa, generasi Using, apalagi yang berasal dari keluarga Jawa,
memandang bahasa ini kurang bergengsi.
Dalam lingkungan pergaulan
sekarang, generasi tersebut juga lebih diajarkan berbahasa Indonesia, bahkan
berbahasa Inggris yang lebih banyak ditemui dalam pergaulan.
Yang membuat situasinya makin
parah adalah: bahasa Using tidak mempunyai tradisi tulis yang kuat. Layaknya
karya tradisional lainnya, sastra using berkembang sebagai sastra lisan, dalam
bentuk lagu-lagu rakyat, pantun dan lain-lain.
Keadaan itu menimbulkan
kegerahan beberapa orang diaspora Banyuwangi maupun yang tinggal di Banyuwangi.
Sekumpulan orang yang mempunyai visi sama untuk meningkatkan budaya baca tulis
bahasa Using khususnya dan ikut menjaga budaya secara umum. Budaya membaca,
harus juga didukung dengan tersedianya buku-buku. Munculnya buku harus didukung
oleh penulisan, jadi terjaga adanya sebuah kegiatan literasi yang
berkelanjutan.
Kelompok komunitas ini
bergerak dengan menggunakan pendanaan mandiri tanpa bantuan pemerintah.
Buku-buku yang diterbitkan ini
sebagian dijual bebas di toko buku dan sebagian lagi dihibahkan ke
sekolah-sekolah dan rumah baca untuk menggairahkan karya tulis berbahasa Using.
Lomba mengarang tahunan itu sekarang sudah memasuki tahun yang keempat. Buku
kumpulan hasil lombanya yang diberi judul Kembang
Ronce sudah terbit tiga judul di tahun 2013-2014-2015. Gairah menulis
sebenarnya sudah cukup besar karena setiap tahun rata-rata ada sekitar 50
naskah yang masuk ke panitia.
Walaupun hasil Lomba setiap tahun menunjukkan hasil yang relatif
stagnan, yang disayangkan adalah Kelompok umur SD bahkan berkurang sampai sama
sekali tidak ada yang berpartisipasi.
Menilik perkembangannya, seperti yang terlihat dalam hasil lomba mengarang
cerita pendek berbahasa Using, terjadilah apa yang disebut “Bunuhdiri Bahasa” (Language suicide). Fenomena ini terjadi
saat dua bahasa yang mirip, yang kurang bergengsi meminjam kosakata, konstruksi
dan ucapan dari bahasa lain yang secara social lebih diterima. Dalam proses
jangka panjang, akhirnya bahasa tersebut akan diserap secara menyeluruh (Jean
Aitchison,2001).
Banyak kosakata dan ungkapan
yang dipakai dalam hasil karangan tersebut, merupakan pinjaman dari bahasa
Jawa, yang mirip dengan bahasa Using. Bahkan kadang memakai ungkapan bahasa
Indonesia. Dalam buku Isun Dhemen Basa
Using #2, disebutkan Bahasa Jawa dan Bahasa Using, karena akar yang sama
tadi, mempunyai: a. Kata-kata yang sama tetapi beda arti b. Kata-kata yang
mirip dengan arti yang sama c. Kata-kata dan ungkapan yang sama sekali berbeda.
(Jusuf: 2014).
Bisa dikatakan tahun 2013
merupakan salah satu tonggak penting dalam perkembangan bahasa Using dalam
Media Buatan. Tahun tersebut ditandai dengan terbitnya empat buku berbahasa
Using, dan dimulainya kegiatan tahunan yang menjadikan tumbuhnya kegiatan
menulis dalam bahasa Using.
Buku dongeng yang ditampilkan
dalam tujuh bahasa sekaligus ditulis oleh pegiat wisata Aekanu Hariyono,
berjudul Kemiren (Kisah Barong Jakripah
dan Paman Iris). Cerita tersebut diambil dari legenda rakyat Kemiren
Banyuwangi, yang sering ditampilkan dalam pertunjukan tradisional Barong.
Cerita dalam bahasa Indonesia dan Using, dan ditampilkan pula dalam bahasa
Inggris, Belanda, Perancis, Jawa dan Italia.
Sebuah novel dwi bahasa
Using-Indonesia, Nawi BKL Inah,
diterbitkan oleh Penerbit Republika di Jakarta Juni 2013. Pada akhir tahun itu
juga, diterbitkan buku Isun
Dhemen Basa Using, yang merupakan buku penunjang pelajaran sekolah.
Tahun 2014, merupakan tahun
yang aktif untuk karya Bahasa Using yang muncul dalam Media Buatan dalam bentuk
buku-buku:
1.
Enam Mata Tentang Banyuwangi (kumpulan artikel
tiga bahasa)
2. Markas
Ketelon (kumpulan cerita anak-anak)
3.
Kembang Ronce 2014 (kumpulan cerita pendek hasil
Lomba Mengarang)
Di lain pihak, perkembangan
berikutnya, tahun 2014 juga membawa kabar buruk dalam bahasa Using. Setelah
pengajaran bahasa Using di SMP dan Tsanawiyah dibubarkan menyusul Kurikulum
2013 yang mensyaratkan guru harus mengajar sesuai dengan bidang studinya,
terjadi pula efek “kurang komunikasi” dari pihak yang berurusan dengan
Perencanaan Status dan pihak yang berususan dengan Perencanaan Korpus.
Dalam istilah Strategi
Perencanaan Bahasa, Corpus Planning
yaitu perubahan pada bahasanya, sementara Status
Planning dikatakan bersifat sosiopolitis sehingga tidak hanya melulu
berurusan dengan bahasa tetapi menyangkut juga unsur sosial, bisnis, media dan
sebagainya.
Singkat kata, Status Planning dilaksanakan oleh
politisi dan petugas administrasi, sementara Corpus Planning oleh ahli bahasa. Karena ahli bahasa biasanya tidak
punya posisi menentukan secara politis, sementara politisi tidak punya
pengetahuan sosiolinguistik yang cukup, pertukaran ide-ide antar dua kubu ini
sering tidak terkoordinasi dengan benar, bahkan malah tidak terjadi sama sekali.
Akibatnya, proses promosi pengembangan bahasa menjadi melemah dalam kadar yang
signifikan (Bartens 2001:29).
Meski sudah ada Peraturan
Daerah nomor 5 tahun 2007 tentang Pembelajaran Bahasa Daerah pada Jenjang
Pendidikan Dasar dan Pengakuan oleh Badan Bahasa Pusat tentang kontribusi
Bahasa Using pada Bahasa Indonesia (Budiwiyanto, 2011), pengajaran bahasa Using
mengalami penyusutan karena keluarnya Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 19
tahun 2014, pasal 2:
“Bahasa daerah
diajarkan secara terpisah sebagai mata pelajaran muatan lokal wajib di seluruh
sekolah/madrasah di Jawa Timur, yang meliputi Bahasa Jawa dan bahasa Madura
dengan Kurikulum sebagaimana tersebut dalam Lampiran.”
Dengan tidak disebut secara
hitam putih dalam Pergub tersebut, dalam sebuah pelatihan menulis, seorang guru
menerangkan bahwa sebagian guru sekolah dasar juga meninggalkan pengajaran
bahasa Using karena Pergub tersebut.
Penerbitan karya berbahasa Using dalam Media Buatan di tahun 2015
menjadi lebih produktif lagi:
1.
Nganggit Nganggo Basa Using (pelajaran menulis)
2. Jala
Sutera (kumpulan cerpen)
3. Niti
Negari Bala Abangan (novel dwi bahasa Using-Indonesia)
4. Belambangan
1771 (kumpulan cerpen sejarah)
5.
Kembang Ronce 2015 (kumpulan cerpen hasil Lomba
Mengarang)
Sampai pertengahan 2016, meski
baru satu buku yang terbit, yaitu Isun
Dhemen Basa Using 2, yang merupakan buku penunjang pelajaran sekolah,
komunitas tersebut berhasil memulai kerjasamanya untuk menerbitkan cerpen
setiap minggu di media cetak Tabloid Bisnis Banyuwangi mulai Maret 2016.
Komunitas juga memberi
penguatan dalam dunia maya dengan membentuk grup Facebook: 1. Pelajaran Bahasa
Using dan 2. Cerpen Using. Dalam media ini, segala pertanyaan menyangkut materi
masing-masing didiskusikan. Untuk grup Pelajaran Bahasa Using, rujukan yang
digunakan adalah pelajaran Bahasa Using yang diajarkan di sekolah. Demikian
juga pelatihan-pelatihan menulis yang dilaksanakan untuk umum maupun untuk
guru-guru pengajar bahasa Using.
KESIMPULAN DAN SARAN
Usaha revitalisasi bahasa Using lewat Media Buatan di Banyuwangi tidak
banyak melibatkan peran pemerintah. Setelah keluarnya Perda tentang Pengajaran
Bahasa Using tahun 2007, tidak ada lagi usaha-usaha yang dilakukan pemerintah
untuk mendorong tegaknya bahasa Using di Banyuwangi.
Bahasa Using menghadapi
Bunuhdiri Bahasa karena kuatnya pengaruh bahasa lain terbukti banyaknya
kosakata yang dipakai dalam hasil Lomba Mengarang cerita pendek Berbahasa
Using. Sehingga perlu dicarikan jalan penguatan dalam hal pengajaran di dalam
kelas maupun materi-materi Media Buatan yang menunjang berkembangnya bahasa
tersebut.
Disarankan agar 1) diperbanyak
pelatihan untuk guru-guru pengajar, terutama yang tidak mempunyai latar
belakang bahasa Using, 2) diperbanyak buku-buku pelajaran maupun pengayaan, 3)
diperbanyak media yang menggunakan bahasa Using terutama Media Buatan dan Media
Mekanis, 4)pemerintah daerah mempunyai perhatian yang lebih intens terhadap
bahasa Using.
REFERENSI:
Aitchison, Jean, 2001, Language
change: progress or decay?, Cambridge University Press, Cambridge
Arifin, Winarsih P. 1995, Babad Blambangan, Bentang, Yogyakarta
Arps, Bernard, 2010, ‘Terwujudnya Bahasa Using di Banyuwangi
dan Peranan Media Elektronik di dalamnya (Selayang Pandang 1970-2009) dalam Geliat Bahasa Selaras Zaman: Perubahan
Bahasa-Bahasa di Indonesia pasca Orde Baru, ILCAA Tokyo University for
Foreign Studies, Tokyo
Budiwiyanto, Adi, Kontribusi Kosakata Bahasa Daerah Dalam
Bahasa Indonesia, artikel Badan Pengembangan Dan Pembinaan Bahasa, (diunduh
tanggal 15 Juli 2016) http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/artikel/1285
Danesi, Marcel, 2010, Pengantar
Memahami Semiotika Media, Jalasutra, Yogyakarta
Jones, Mari C. and Ishtla Singh, 2005, Exploring Language Change, Routledge, New York
Jusuf, Antariksawan ed., 2014, Membicarakan Seni dan Sastra Banyuwangi, Pustaka Larasan, Denpasar
Jusuf, Antariksawan dan Hani Z. Noor, Isun Dhemen Basa Using 2, SKB, Banyuwangi
Jusuf, Antariksawan, Dari
Using dan Banyuwangi kembali ke Blambangan, artikel di Jawa Pos Radar
Banyuwangi, 20 Juni 2014
--------------------------, The Imminent Death of
Banyuwangi’s Using Language, artikel
di The Jakarta Post, 1 Nov 2014
Hariyono, Aekanu, 2013, Kemiren
(Kisah Barong Jakripah dan Paman Iris), Kiling Osing Banyuwangi, Banyuwangi
Herusantosa, Suparman, 1987, Bahasa Using di Kabupaten Banyuwangi, UI, disertasi tidak
diterbitkan
Margana, Sri, 2012, Perebutan
Hegemoni Blambangan, Pustaka Ifada, Yogyakarta
Maskur dkk, 2005, Lancar
Basa Using untuk SD/MI kelas 4, 5, 6, Pemkab Banyuwangi
---------------, 2007, Lancar
Basa Using untuk SMP/MTs kelas 7,8,9 Pemkab Banyuwangi
Moleong, Lexi J, 2004, Metodologi
Penelitian Kualitatif, Remaja Rosda Karya, Bandung
Sutarto, Ayu dkk, 2012, Mutiara
yang Tersisa III, Kearifan Lokal dalam Cerita Rakyat Using, Kompyaswisda
Jatim, Jember
Wilis, Endro, Istilah ‘Using’ adalah Racun yang Melumpuhkan
Jiwa dalam Lembar Kebudayaan, PSBB, Banyuwangi edisi 10 Maret 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar