Duduk semeja melawan sebuah hegemoni
Sebuah Catatan dari Temu Sastra Mastera di Banyuwangi
Dalam diskusi tanya jawab setelah pemaparan di acara Temu
Sastra Masyarakat Sastra Asia Tenggara (Mastera) di Universitas PGRI Banyuwangi
Senin 28 November 2016 kemarin, ada usulan dari Kang Agus Bain yang merupakan
pegiat di Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Kang Agus melihat dalam
perkembangan bahasa Using sekarang ini terdapat tiga “mazhab” penulisan, yaitu
using, osing dan oseng. Usul Kang Agus sebaiknya orang-orang dari ketiga mazhab
ini duduk bareng membicarakan persoalan tersebut.
Saya melihat usul ini hanya merupakan sebuah langkah mundur
kalau dilakukan. Memang mayoritas orang seperti Kang Agus Bain ini adalah
generasi ‘lama’ Banyuwangi yang tidak menikmati pelajaran Bahasa Using di
sekolah. Jadi rata-rata mereka tidak tahu akan adanya ejaan dan tata bahasa
baku. Seperti diketahui, pengajaran Bahasa Using sebagai muatan lokal baru
diperkenalkan tahun 1997 di tiga kecamatan, setelah 2002 baru meluas ke
berbagai kecamatan.
Generasi yang masuk sekolah SD sebelum 2002, banyak yang
belum tahu kalau ternyata perangkat kebahasaan Bahasa Using sudah ada, yaitu Kamus Bahasa Daerah Using-Indonesia
(2002), Pedoman Umum Ejaan Bahasa Using
(2006) dan Tata Bahasa Baku Bahasa Using
I (2006). Perdebatan berkepanjangan masalah ejaan, yang sampai diberi
istilah ‘mazhab’ ini tidak akan terjadi kalau semua pihak mau mempelajari
terlebih dahulu apa yang termuat dalam buku-buku ini. Dan semua pihak mau
menurunkan tensi egonya sedikit, mempelajari dengan baik, agar apa yang sudah
diwariskan oleh para sesepuh yang sudah susah payah menyusun seluruh perangkat
bahasa itu dihargai sebagaimana mestinya.
Saya pikir sangat tidak adil membandingkan ketiga ‘mazhab’
untuk ‘duduk satu meja’, sebab hanya ada satu versi yang sudah ada Pedoman
Ejaannya, ada Tata Bahasa dan ada kamusnya. Sementara versi yang lain hanya
berupa versi pribadi yang keluar sporadis dalam media-media sosial. Bagaimana
mungkin membandingkan sesuatu yang sudah jelas keberadaannya dalam bentuk buku dengan
sesuatu yang masih dalam pikiran?
Salah seorang dari Badan Bahasa ikut menimpali, perdebatan
dalam Bahasa Using akan membawa Bahasa Using menjadi lebih baik. Saya katakan,
taraf perdebatannya sudah sampai pada taraf tidak konstruktif untuk Bahasa
Using.
Bahasa Using ini memang miskin dalam tradisi tulisnya. Kalau
dibilang karya fenomenal seperti Sritanjung,
Sang Satyawan dan Sudamala dianggap
karya berbahasa Using, juga kurang tepat karena ketiga karya itu ditulis dalam
bahasa Kawi. Bahkan kata ‘using’ atau ‘sing’ (yang berarti tidak) pun tidak ada
di dalamnya.
Setelah periode akhir 1800-an saat istilah using digunakan
(menurut peneliti Belanda Ben Arps, istilah Using sudah dimuat dalam koran
berbahasa Belanda), tidak muncul karya-karya berbahasa Using.
Saya membagi periode Bahasa Using tulis yang pertama antara
2002-2012 (saat perangkat kebahasaan sudah diterbitkan) dan tahun 2013 sampai
sekarang (saat munculnya banyak karya berbahasa Using). Saat periode pertama
itu hanya ada satu novelet, satu buku peribahasa, satu buku dongeng dan
beberapa buku kumpulan puisi. Setelah tahun 2013, ada lebih dari 10 buku
berbagai macam isi (novel, kumpulan cerpen, kumpulan artikel, kumpulan cerita
anak, buku pengayaan sekolah) yang terbit. Pun demikian, untuk perkembangan
Bahasa Using, masih perlu lebih banyak diterbitkan karya-karya lainnya.
Jadi kesimpulannya, untuk menunjang pengembangan dan
pemertahanan Bahasa Using, perlu diperbanyak karya-karya. Berkarya. Berkarya.
Berkarya. Kalau tidak, bahasa Using menghadapi ancaman dari luar, yaitu bahasa
Jawa dan bahasa nasional. Dua bahasa dominan ini akan menyerap Bahasa Using,
seperti yang saya amati pada hasil karya pemenang cerpen anak-anak SMP yang
diselenggarakan oleh Sengker Kuwung Belambangan (SKB) dalam tiga tahun
terakhir. Ada kecenderungan kenaikan prosentase penggunaan bahasa Jawa dari
tahun ke tahun. Mudah-mudahan tren ini tidak semakin parah pada tahun-tahun
berikutnya. Hegemoni ini harus dilawan kalau kita ingin Bahasa Using lebih
tegak berdiri. Dan pihak yang bisa menolong untuk melawan hegemoni bahasa lain
ini adalah orang Banyuwangi sendiri. Mestinya pihak-pihak orang Banyuwangi ini bersatu melawan ancaman 'luar' yang sudah di depan mata ini, dengan meninggalkan debat-debat yang tidak perlu.
iwandear@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar