Selasa, 29 November 2016

Duduk semeja melawan sebuah hegemoni


Duduk semeja melawan sebuah hegemoni

Sebuah Catatan dari Temu Sastra Mastera di Banyuwangi

Dalam diskusi tanya jawab setelah pemaparan di acara Temu Sastra Masyarakat Sastra Asia Tenggara (Mastera) di Universitas PGRI Banyuwangi Senin 28 November 2016 kemarin, ada usulan dari Kang Agus Bain yang merupakan pegiat di Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Kang Agus melihat dalam perkembangan bahasa Using sekarang ini terdapat tiga “mazhab” penulisan, yaitu using, osing dan oseng. Usul Kang Agus sebaiknya orang-orang dari ketiga mazhab ini duduk bareng membicarakan persoalan tersebut.

Saya melihat usul ini hanya merupakan sebuah langkah mundur kalau dilakukan. Memang mayoritas orang seperti Kang Agus Bain ini adalah generasi ‘lama’ Banyuwangi yang tidak menikmati pelajaran Bahasa Using di sekolah. Jadi rata-rata mereka tidak tahu akan adanya ejaan dan tata bahasa baku. Seperti diketahui, pengajaran Bahasa Using sebagai muatan lokal baru diperkenalkan tahun 1997 di tiga kecamatan, setelah 2002 baru meluas ke berbagai kecamatan.

Generasi yang masuk sekolah SD sebelum 2002, banyak yang belum tahu kalau ternyata perangkat kebahasaan Bahasa Using sudah ada, yaitu Kamus Bahasa Daerah Using-Indonesia (2002), Pedoman Umum Ejaan Bahasa Using (2006) dan Tata Bahasa Baku Bahasa Using I (2006). Perdebatan berkepanjangan masalah ejaan, yang sampai diberi istilah ‘mazhab’ ini tidak akan terjadi kalau semua pihak mau mempelajari terlebih dahulu apa yang termuat dalam buku-buku ini. Dan semua pihak mau menurunkan tensi egonya sedikit, mempelajari dengan baik, agar apa yang sudah diwariskan oleh para sesepuh yang sudah susah payah menyusun seluruh perangkat bahasa itu dihargai sebagaimana mestinya.

Saya pikir sangat tidak adil membandingkan ketiga ‘mazhab’ untuk ‘duduk satu meja’, sebab hanya ada satu versi yang sudah ada Pedoman Ejaannya, ada Tata Bahasa dan ada kamusnya. Sementara versi yang lain hanya berupa versi pribadi yang keluar sporadis dalam media-media sosial. Bagaimana mungkin membandingkan sesuatu yang sudah jelas keberadaannya dalam bentuk buku dengan sesuatu yang masih dalam pikiran?

Salah seorang dari Badan Bahasa ikut menimpali, perdebatan dalam Bahasa Using akan membawa Bahasa Using menjadi lebih baik. Saya katakan, taraf perdebatannya sudah sampai pada taraf tidak konstruktif untuk Bahasa Using.

Bahasa Using ini memang miskin dalam tradisi tulisnya. Kalau dibilang karya fenomenal seperti Sritanjung, Sang Satyawan dan Sudamala dianggap karya berbahasa Using, juga kurang tepat karena ketiga karya itu ditulis dalam bahasa Kawi. Bahkan kata ‘using’ atau ‘sing’ (yang berarti tidak) pun tidak ada di dalamnya.

Setelah periode akhir 1800-an saat istilah using digunakan (menurut peneliti Belanda Ben Arps, istilah Using sudah dimuat dalam koran berbahasa Belanda), tidak muncul karya-karya berbahasa Using.

Saya membagi periode Bahasa Using tulis yang pertama antara 2002-2012 (saat perangkat kebahasaan sudah diterbitkan) dan tahun 2013 sampai sekarang (saat munculnya banyak karya berbahasa Using). Saat periode pertama itu hanya ada satu novelet, satu buku peribahasa, satu buku dongeng dan beberapa buku kumpulan puisi. Setelah tahun 2013, ada lebih dari 10 buku berbagai macam isi (novel, kumpulan cerpen, kumpulan artikel, kumpulan cerita anak, buku pengayaan sekolah) yang terbit. Pun demikian, untuk perkembangan Bahasa Using, masih perlu lebih banyak diterbitkan karya-karya lainnya.

Jadi kesimpulannya, untuk menunjang pengembangan dan pemertahanan Bahasa Using, perlu diperbanyak karya-karya. Berkarya. Berkarya. Berkarya. Kalau tidak, bahasa Using menghadapi ancaman dari luar, yaitu bahasa Jawa dan bahasa nasional. Dua bahasa dominan ini akan menyerap Bahasa Using, seperti yang saya amati pada hasil karya pemenang cerpen anak-anak SMP yang diselenggarakan oleh Sengker Kuwung Belambangan (SKB) dalam tiga tahun terakhir. Ada kecenderungan kenaikan prosentase penggunaan bahasa Jawa dari tahun ke tahun. Mudah-mudahan tren ini tidak semakin parah pada tahun-tahun berikutnya. Hegemoni ini harus dilawan kalau kita ingin Bahasa Using lebih tegak berdiri. Dan pihak yang bisa menolong untuk melawan hegemoni bahasa lain ini adalah orang Banyuwangi sendiri. Mestinya pihak-pihak orang Banyuwangi ini bersatu melawan ancaman 'luar' yang sudah di depan mata ini, dengan meninggalkan debat-debat yang tidak perlu.

iwandear@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar