Senin, 26 September 2016

Lima Usulan untuk perbaikan Pariwisata Banyuwangi

Pada  saat hari Perayaan Kopi Se dunia yang digelar pertengahan September lalu di Jambu, Licin, saya bertemu beberapa orang asing dan berdiskusi dengan beberapa stakeholder pariwisata Banyuwangi, ada kerawat desa Jambu kecamatan Licin, ada Teguh Siswanto ketua panitia acara tersebut, asosiasi guide, penulis wisata Sanjaya Chandra, arsitek, fotografer, travel agent, pegiat kopi dan beberapa pegiat komunitas lain yang tertarik untuk membicarakan, bagaimana membuat pariwisata Banyuwangi lebih baik.
 
Ada lima hal yang saya rangkum dari diskusi tersebut dan dari wisatawan Kanada, Etienne, yang saya temui bersama Kisma Donna, seorang guide yang juga menjadi moderator pada diskusi hari kopi di Jambu. Etienne baru saja turun dari Ijen dan ikut menyeruput gurihnya kopi Banyuwangi.
 
1. Perlu pegawai pemerintah atau petugas yang membantu wisatawan asing khususnya di tempat pemberhentian kendaraan umum, misalnya di stasiun atau terminal bis. Petugas yang berseragam dan bermodal telepon ini, haruslah orang yang minimal bisa berbahasa Inggris. Gunanya? Setiap ada wisatawan yang turun, dia akan membantu menelepon hotel tempat sang wisatawan akan menginap, supaya dijemput. Hal yang paling menakutkan untuk wisatawan asing adalah baru saja menginjakkan kaki di Banyuwangi, dia dikerumuni oleh banyak orang yang ingin memanfaatkan orang asing untuk kepentingannya sendiri. Ditarik sana-sini oleh orang-orang yang akan membohongi dia soal tarif angkutan. Andai saja ada petugas itu, petugas lah yang akan mengamankan perjalanan turis ini. Kalau sudah booking hotel, dia yang akan menghubungi hotelnya, kalau belum, dia akan mencarikan kendaraan umum atau taxi dengan tarif yang sesuai.
 
2. Toilet umum yang bersih. Setelah dua jam naik kendaraan, biasanya orang perlu buang air. Nah, mestinya di beberapa tempat di Banyuwangi, misalnya di Ketapang, di beberapa daerah di kota, di Kemiren, di Jambu, di Ijen, di Pulau Merah dan di tempat-tempat wisata lainnya, tersedia toilet umum yang sekelas hotel bintang lima. Dan tentunya perlu dirawat dan dibersihkan selalu. Yang ada sekarang, banyak toilet yang standarnya belum cukup tinggi sehingga wisatawan asing khususnya, atau wisatawan lokal yang sudah mempunyai gaya hidup yang tinggi, jijik menggunakan toilet umum tersebut. Pastilah tidak ada keberatan kalau sekedar mengeluarkan uang Rp. 5.000 rupiah untuk sebuah layanan bintang lima. Ada usulan dari salah seorang anggota diskusi, kalau sekarang tidak cukup banyak toilet dengan kelas tersebut, kenapa pemda Banyuwangi tidak bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan yang ada, misalnya bank, untuk membuat toilet bintang lima tersebut menggunakan dana CSR mereka. Sebagai imbalannya, mereka bisa menulis: Toilet yang bagus ini dibangun oleh bank A, misalnya.
 
3. Tarif yang jelas. Memang sangat tidak menyenangkan kalau merasa diri ditipu. Turis memerlukan tarif yang jelas untuk memasuki sebuah tempat. Tidak masalah misalnya tarif antara orang asing dan orang lokal dibedakan sepuluh kalinya, tetapi harus ditulis yang jelas. Yang juga penting adalah semua orang dikasih karcis sesuai yang dibayarnya. Perlu ada tulisan di setiap pintu masuk, “Kalau tidak mendapat pelayanan yang baik, misalnya karcis yang tidak sesuai, harap sms ke nomor sekian-sekian.”  
 
4. Ijen sudah penuh sesak. Menurut Etienne, perlu diberi aturan, berapa orang yang boleh mencapai puncak Ijen pada jam tertentu. Sehingga berapa jumlah orang yang naik, bisa disesuaikan berdasar jumlah orang yang turun. Terlalu banyak orang pada saat yang sama akan mengurangi kenyamanan wisatawan maupun kekuatan kapasitas tanah yang diinjak-injak oleh wisatawan.
 
5. Satu lagi usulan yang menarik dari arsitek Andit Ardianto yang harus dipertimbangkan oleh Pemda adalah, perlunya gerbang yang khas Banyuwangi saat memasuki kabupaten Banyuwangi. Terletak di pintu masuk, misalnya Paltuding, Bajulmati, Ketapang, atau Kalibaru dan Blimbingsari, sehingga secara psikologis wisatawan merasa mereka melewati sebuah peralihan. Jadi, masuk ke dalam Kabupaten Banyuwangi seperti sebuah memasuki ritual inisiasi, seperti memasuki sebuah gerbang menuju tempat yang enak untuk dijelajahi, seperti merasakan kelahiran kembali menjadi seorang yang merasa lebih baik karena memasuki Banyuwangi.
 
Mudah-mudahan bisa terwujud untuk kebaikan pariwisata Banyuwangi.

iwandear@gmail.com adalah yang menuliskan narasi pemenang penghargaan UNWTO untuk Banyuwangi dan PATA untuk Lalare Orkestra tahun 2016


Tidak ada komentar:

Posting Komentar