Selasa, 29 Desember 2015

Berdoa untuk Banyuwangi dan Indonesia


Badan Pariwisata Dunia, United Nations World Tourism Organization (UNWTO), menyelenggarakan Lomba tahunan sejak 2003. Menurut websitenya, UNWTO ini mempunyai 153 negara anggota dan 350 anggota Afiliasi dari seluruh dunia.

Kategori yang diselenggarakan dalam lombanya adalah:

1.       Pemimpin yang memberi Kreasi dan Menyebarkan Pengetahuan (Creation and Dissemination of Knowledge) dan Penghargaan Seumur Hidup (Lifetime Achievement)

2.       Inovasi oleh Pemerintah

3.       Inovasi oleh Perusahaan

4.       Inovasi oleh Organisasi Non-Pemerintah

5.       Inovasi bidang Riset dan Teknologi

Lomba tahun ini diikuti oleh 109 proyek yang diajukan dari berbagai negara. Indonesia mengirimkan tiga proposal dan tiga-tiganya masuk menjadi finalis. Selengkapnya sebagai berikut:

A.      Finalis Award Bidang Inovasi dalam Kebijakan Publik dan Pemerintahan

1.       Kantor Walikota Medellin KOLUMBIA

2.       Kantor Dinas Pariwisata Banyuwangi INDONESIA

3.       Badan Pariwisata Afrika Timur KENYA

4.       Badan Pariwisata Puerto Rico PUERTO RICO

 

B.      Finalis UNWTO Award untuk Inovasi oleh Perusahaan

1.       Projeto Fartura – Plentifulnes Project – BRAZIL

2.       Garuda Indonesia – Membersihkan Pantai Bali Beach – INDONESIA

3.       Anyksciai Regional Park Direction – Jembatan di antara Puncak Pepohonan – LITHUANIA

4.       Melia Hotel – Professional Experience Project Pertama – SPANYOL

5.       Switzerland Explorers Tours – Bis Wisata 100% Elektric pertama di dunia – SWITZERLAND

 

C.      Finalis UNWTO Award untuk Inovasi oleh Organisasi Non-Pemerintah (LSM)

1.       Friends International – Gerakan Menyelamatkan Anak – KAMBOJA

2.       Yayasan Karang Lestari – Penyelamatan Terumbu Karang – INDONESIA

3.       Samrakshak Samuha Nepal – Program Sisterhood of Survivors (SOS) – NEPAL

4.       Children in the Wilderness – AFRIKA SELATAN

 

D.      Finalis UNWTO Award untuk Inovasi di bidang Riset dan Teknologi

1.       Fundacao Parque Tecnologico Itaipu – BRAZIL

2.       Rijeka Tourist Board – Aplikasi Bergerak Bike Rijeka – CROATIA

3.       Organisasi Pariwisata Korea – Platform untuk Wisata Kesehatan Online – REPUBLIK KOREA

Masing-masing finalis akan diminta memperesentasikan kegiatan mereka melalui video dan diterangkan dengan powerpoint pada tanggal 18 Januari di Palacio Neptuno Madrid.

Pengumuman Pemenangnya akan diselenggarakan tanggal 20 Januari di Madrid Spanyol dalam sebuah acara Gala Dinner.

Mudah-mudahan Indonesia menjadi pemenangnya.

Rabu, 16 Desember 2015

Seminar Bahasa Using, Catatan dan Masukan

(Sekedar informasi, catatan dan masukan ini sudah langsung diserahkan ke Ketua Panitia Bp. Bambang Lukito. Catatan dengan beberapa tambahan poin ini bagian dari diskusi terbuka untuk masalah yang menyangkut urusan publik).

 Saya diundang untuk menghadiri sebuah Seminar Ilmiah Nasional Bahasa Oseng, Mengungkap Perbedaan Bahasa Oseng dengan Bahasa Jawa. Seminar ini dilaksanakan oleh Dewan Kesenian Blambangan yang didukung oleh DPD RI dan Dinas Pendidikan Kabupaten Banyuwangi.
Berikut beberapa catatan saya:

1.     Konstruksi pemikiran panitia (yang semuanya anggota Dewan Kesenian Blambangan) dari semula seminar ini patut dipertanyakan, karena Bahasa Using sudah dinyatakan sebagai bahasa sejak 1987 dengan adanya desertasi S3 Universitas Indonesia “Bahasa Using di Kabupaten Banyuwangi”, kemudian ada Kamus Bahasa Daerah Using-Indonesia, Pedoman Ejaan Umum Bahasa Using, Perda Banyuwangi no 5/2005, sudah diajarkan di sekolah dasar sejak 1997.

Jadi diskusi (saya lebih suka menyebut diskusi, tidak bisa disebut seminar sebab tidak ada penyanggah atau pembandingnya) itu, merupakan sebuah setback (langkah mundur). Mengapa merobohkan lagi sesuatu yang sudah berdiri meski belum sempurna. Semestinya Panitia memikirkan bagaimana membangun bahasa Using ke depan, bukan melangkah mundur.

2.     Penyebutan Oseng, sama sekali tidak ada rujukan satu pun. Merupakan syahwat panitia yang ingin diakui sebagai orang yang paling tahu. Sementara secara legal formal, masih menggunakan ejaan Using. Panitia sangat tidak punya etika, menggunakan ejaan yang tanpa rujukan yang berpotensi membingungkan guru-guru, seperti yang diungkapkan oleh Ketua KKG Bahasa Using Singojuruh, Kang Juwono. Dengan begini, panitia tidak ikut menegakkan bangunan bahasa Using yang sudah dibangun oleh almarhum Hasan Ali dan kawan-kawan. Jadi, penghargaan yang ditujukan kepada Pak Hasan Ali hanyalah basa-basi.

3.     Panitia tidak serius menggarap diskusinya. Kalau serius tentu akan mengundang:

a.     Doktor Himawan, kepala biro Hukum Pemprov, orang yang berada di balik Peraturan Gubernur no. 19/2014. Pergub inilah yang diprotes keras oleh DKB.

b.     Prof. Dr. Setya Yuwono Sudikan, MA dosen Unesa Surabaya yang dituduh sebagai pembisik pemprov untuk melabeli bahasa Using sebagai dialek, sehingga tidak disebut sebagai bahasa dalam Pergub tersebut.

c.     Drs. Amir Machmud, M. Pd. Kepala Balai Bahasa Jawa Timur, yang mengurusi permasalahan bahasa di Jawa Timur.

Saya katakan tidak serius, karena panitia mengirim undangan kepada Pak Himawan dan Pak Amir Mahmud, pada hari Kamis, empat hari sebelum hari H seminar. Mestinya mereka ini lah yang diberi waktu cukup untuk mempresentasikan diskursus yang menjadi awal perdebatan.

d.     Kalau panitia serius, tentu akan menggalang seluruh kekuatan Banyuwangi menjadi satu untuk “melawan” musuh bersama, sehingga tujuan akhir untuk merevisi Pergub bisa dilakukan. Yang dilakukan panitia malah memecah-belah kekuatan di Banyuwangi seperti yang terjadi pada diskusi kemarin. Energi orang Banyuwangi habis untuk perdebatan oseng-using yang percuma, sementara mestinya seluruh energi disatukan untuk melawan para pemegang kekuasaan di pemprov.

4.     Diskusi kemarin, berencana mengundang Prof. Dr. Ayu Sutarto, sayang beliau pada hari yang sama masuk rumah sakit. Jadi ukuran nasionalnya yang mana? Seluruh penyaji, kecuali Ibu Emilia Contessa yang tidak menyajikan makalah, semua dari Banyuwangi.

 5.     Ada poin-poin yang disampaikan oleh dua orang pemakalah: 1. Kang Hasan Basri, bahwa kalau orang lain, lembaga lain menyebut Using sebagai dialek, kita teliti saja sendiri. Dan pemakalah lain: MH Qowim cenderung menyalahkan para peneliti dari luar, apakah pemilihan sampelnya, apakah Titik Pengamatan atau Daerah Penelitan. Atau peneliti luar sudah mempunyai kesimpulan sebelum penelitian dilakukan.

Membuat penelitian sendiri bukanlah sesuatu yang haram, tetapi prosudur ilmiah yang namanya penelitian juga harus dilakukan. Yang paling sederhana, seminar mestinya ada makalah pembanding/penyanggahnya. Dan yang jauh lebih penting adalah penelitian tersebut diuji oleh tim yang berkompeten dalam bidangnya, dengan prosedur yang sudah baku dalam dunia penelitian. Penilaian tidak cukup sorak-sorai teman-teman saja.

Soal menyalahkan peneliti dari luar, dalam dunia etika keilmuwan, kita boleh menyalahkan peneliti manapun. Tidak dengan mencerca mereka di depan umum bahwa penelitian mereka tidak valid, sampelnya salah, daerah penelitiannya keliru. Tapi bikinlah penelitian setara dan melalui ujian yang sama. Qowim sebagai Ketua Pusat Penelitian Bahasa Oseng semestinya tahu prosedur ilmiah. (Barangkali ada yang bisa memberi tahu kepada saya, Pusat Penelitian Bahasa Oseng ini sudah menghasilkan penelitian apa, hasilnya pernah dimuat di jurnal ilmiah apa, atau pernah diajukan lewat perguruan tinggi mana).

6.     Saya pernah berbicara dengan Pak Himawan menanyakan secara langsung soal Pergub 19/2014 tentang Mata Pelajaran Bahasa Daerah sebagai Muatan Lokal Wajib di Sekolah/Madrasah dan Perda Jatim No. 9/2014 tentang Penyelenggaraan Pendidikan pada saat Uji Sahih Undang-undang Bahasa Daerah di Surabaya. Beliau menyatakan sebenarnya tidak ada masalah dengan pengajaran bahasa Using, tergantung Pemda setempat.

Pada kesempatan lain, saya mendapat info dari Kang Hasan Basri, guru di SMPN1 yang ikut memberi materi dalam buku pelajaran, serta informasi dari Kelompok Kerja Guru Bahasa Using, dari tahun 2007, tidak pernah ada lagi pelatihan untuk guru-guru yang pada dasarnya mereka adalah bukan sarjana bahasa Using. Tidak pernah ada lagi materi ajar baru.

Jadi pada saat diskusi di Pendopo kemarin diteriakkan “Bahasa Using sebagai Harga Mati”, seakan-akan menjadi teriakan heroik. Pada kenyataannya, Pemerintah daerah dan DKB, dari tahun 2007 sampai keluarnya Pergub tersebut, tidak pernah melakukan sesuatu untuk membangun nguri-uri bahasa Using. Tidak menyisihkan anggaran untuk menguatkan pembelajaran bahasa Using. Jadi sebelum menyalahkan orang lain, dalam hal ini pemprov, ada baiknya kita menoleh lagi apa yang sudah kita kerjakan.

7.     Muncul pula dalam diskusi kemarin, usulan mengganti ejaan ortografi yang sekarang, yang dianggap terlalu kejawa-jawaan. “Pantas saja diakui sebagai dialek bukan bahasa,” demikian salah seorang pengusul. Ini adalah pemahawam orang awam. Pada penelitian dialektologi, untuk menentukan apakah sebuah bahasa itu dialek atau bahasa, tidak dilihat dari ejaan ortografinya, melainkan dari fonetiknya, yang ditulis dari tuturan sampel.

8.     Saya berpendapat, perbanyaklah karya-karya dalam bahasa Using ini justru dengan ejaan ortografi yang orang lain bisa membacanya. Sebuah kata yang sama dengan bahasa Jawa atau Indonesia, untuk menunjukkan berbeda artinya dengan bahasa Using. Bukan malah menghindar. Istilahnya kita harus bertempur pada ‘level playing field’ yang sama. Dengan ejaan yang sama dengan Jawa, ternyata orang Jawa tidak mengerti dengan benar kalimat-kalimat yang tersusun. akan menunjukkan bahwa bahasa Using berbeda dengan bahasa Jawa. Semakin banyak karya, semakin gampang meyakinkan mereka bahwa kedua bahasa ini berbeda. (Sebenarnya, Doktor Suparman sudah mengatakan dalam thesisnya tahun 1987, bahwa kedua bahasa ini mempunyai akar yang sama, tetapi terpisah dan berkembang seperti sekarang. Jadi mubazir lah kalau mencoba lagi mengutak-atik bahwa bahasa Jawa berbeda dengan bahasa Using).


 

Minggu, 06 Desember 2015

Pak Hasan Ali yang saya kenal


Pak Hasan Ali yang saya kenal
(memperingati hari ulang tahun Pak Hasan Ali 7 Desember)
Saya merasa beruntung menjadi salah satu generasi lare Belambangan yang mengenal secara langsung almarhum Pak Hasan Ali semasa hidupnya. Itu pun sebenarnya tidak terlalu intens. Saya menemui beliau pada saat liburan lebaran atau kalau sedang ada penugasan liputan ke arah Banyuwangi.
Pertama kali saya datang ke Mangir, Rogojampi, tempat terakhir beliau tinggal, diterima di ruang tamu rumahnya yang sangat sederhana. Rumahnya yang hanya bertembok gedhek, tetapi sangat rapi. Yang saya rasakan adalah: I found a friend in him. Pembawaannya yang ramah, sangat ngemong kepada orang yang lebih muda, dan memberi banyak saya wawasan tentang Banyuwangi. Misalnya, tentang rasa percaya diri yang harus dibangkitkan pada generasi mudanya. Lantas, beliau bercerita soal upaya para pemegang kebijakan di Banyuwangi pada tahun 1970-an, membalikkan cerita Damarwulan, dari sebuah ironi menjelek-jelekkan raja Blambangan, tetapi pada saat yang sama menjadi salah satu kesenian yang sangat digemari oleh rakyat Banyuwangi, menjadi cerita sebaliknya.
“Fiksi kita balas dengan fiksi,” kata beliau. Jadilah sejak saat itu, pakem cerita Damarwulan menjadi cerita yang mengagungkan Minakjinggo, karakter yang diyakini sebagai tokoh sejarah Bhre Wirabumi, satu-satunya anak lelaki Hayam Wuruk dari pihak selir, sebagai pewaris tahta yang dianggap lebih berhak dari anak perempuan Hayam Wuruk. 
Pada saat mewawancarai beliau soal Seblang, beliau bercerita juga soal penafsiran syair-syair gending tradisional Banyuwangi, yang sudah melampaui jamannya. Sebuah ide yang melahirkan tulisan lain untuk saya.
Angkatan Pujangga Baru tahun ’45 dianggap angkatan yang mengenalkan bentuk tak beraturan dari puisi-puisi yang dibilang pembaharuan. Sementara sudah puluhan bahkan ratusan tahun  sebelumnya syair gending tradisional Gandrung Banyuwangi atau lirik-lirik kuno yang dilantunkan  pada pertunjukan adat Seblang, bentuknya sudah tidak beraturan, tidak mengindahkan persajakan dan persamaan bunyi.
Pada tatanan isi, gending-gending tersebut juga sangat maju. Biasanya, isi pada lirik-lirik mantra dan upacara adat, menceritakan hubungan manusia dengan sesembahannya. Sementara lirik gending tradisional Gandrung Banyuwangi, bercerita di luar pakem tradisional, misalnya tentang kisah kasih antar manusia, atau cerita tentang taktik perang gerilya. Soal yang terakhir ini, diyakini karena orang-orang Banyuwangi tercerai-berai setelah berbagai perang yang melanda Blambangan. Medium gandrung yang bisa berpindah-pindah ngamen dari satu desa ke desa lain dan berkeliling tanpa banyak hambatan dari penguasa Belanda, dimanfaatkan untuk memberi wejangan yang dibungkus dengan lirik lagu.  Lirik gending Seblang Lukenta misalnya: //Lawang gedhe wonten hang njagi/ medala ring lawang butulan/ Wis biyasane ngemong adhine/ sak tinjak baliya mulih// - //Pintu besar ada yang jaga/ keluarlah lewat pintu yang rapuh/ Sudah biasa momong sang adik/ sekali tendang lantas kembali//.
Pak Hasan adalah narasumber yang sangat informatif. Pengalamannya sebagai anggota DPRD, sebagai panjak gandrung, sebagai ketua Dewan Kesenian Blambangan membawa pembicaraan seperti tak pernah ingin saya putus. Satu-satunya pemutus adalah waktu yang sudah menunjukkan jam dua dinihari. Padahal, kondisi badannya tidak tangguh lagi.
Pada tahun 1990-an, hubungan dengan telepon bukan sesuatu yang gampang dilakukan. Terutama karena tarif mahalnya kalau dilakukan secara inter-lokal. Telepon genggam belum ada. Saya sadari pertemuan dengan beliau adalah waktu-waktu yang sangat berharga.
Suatu saat beliau bercerita soal kamus Bahasa Daerah Using-Indonesia, yang pada saat pembuatannya banyak pula mendapat tantangan dari orang-orang Banyuwangi sendiri. Bukan hanya karena cara pengumpulannya yang tidak lazim. Saat itu komputer merupakan suatu barang mewah dan tidak setiap orang punya akses seperti sekarang. Tanpa komputer, Pak Hasan masih menggunakan mesin tulis manual dan mengetik satu per satu kata entry di luar kepala. Tanpa bantuan kartu entry kata.
Pada umumnya, penyusun kamus dibantu oleh kartu yang mencatat setiap entry kata baru. Setiap kartu ini mencatat setiap kata, arti katanya, pengucapannya, penggunaannya dalam konteks. Setiap menemukan kata baru, penyusun kamus menuliskannya dan memasukkan sesuai dengan urutan abjadnya. Tapi tidak Pak Hasan Ali. Ia bekerja tanpa kartu itu.
Di tengah-tengah pengerjaannya, untunglah ada seorang Jepang bernama Igarasi yang datang dan melihat, lantas merekomendasi Toyota Foundation untuk membekali Pak Hasan dengan sebuah komputer. Herannya, pada saat proses pembuatan kamus tersebut, ada beberapa orang Banyuwangi yang nyinyir, mengatakan bahwa kamus itu tak akan pernah selesai. Apa yang dilakukan oleh Pak Hasan? Tetap bekerja menyelesaikan kamus tersebut. Karya akan mematikan gerundelan orang yang tidak penting. Dan setelah kamus itu selesai, tak juga ada pengakuan dari orang-orang tersebut. Dalam hati saya membatin, orang-orang ini,  mestinya memperkaya hasil kerja Pak Hasan, bukan mencemooh apa yang dikerjakannya untuk Banyuwangi.
Salah satu yang dikejar Pak Hasan untuk menyelesaikan kamus itu adalah keprihatinannya melihat kondisi bahasa Using, salah satu bahasa lokal yang digunakan banyak dalam gending-gending kesenian ataupun tuturan dalam upacara adat di Banyuwangi. Tanpa ada pembelajaran bahasa ini di sekolah-sekolah, usia bahasa ini tinggal menunggu waktu. Pak Hasan waktu itu mengatakan,  sebagai medium, tanpa adanya bahasa ini, tak akan ada gandrung atau kesenian dan upacara adat lainnya.
Setelah beberapa kali pertemuan, ruang tamu berpindah ke belakang, di meja makan yang sekaligus meja kerjanya yang berada di depan rak-rak bukunya. “Buku saya hanya soal bahasa dan sejarah,” kata beliau menerangkan. Sesekali beliau mengambilkan saya referensi berupa buku atau fotokopian, yang kemudian dikembalikan ke tempatnya semula. Beliau perlu beberapa menit tambahan untuk memastikan naskah itu tersimpan rapi dalam arti harfiah, merapikan pinggir-pinggirnya sampai lurus.
Obsesinya yang sampai sekarang belum kesampaian adalah membawa Perang Bayu ke dalam buku serial Sejarah Nasional Indonesia (SNI). Matanya pernah seakan melihat saya dengan tidak percaya, saat saya bawakan enam jilid buku SNI, yang saya dapatkan dari sebuah pameran buku di Istora. Berkali-kali menanyakan,"Benar buku ini untuk saya?" Isi satu seri buku SNI itu lah yang terus menjadi ganjalan penuh kegundahan beliau, jauh sebelum beliau menerima seri buku tersebut.
“Bagaimana mungkin perang yang diakui sendiri oleh Belanda, yang menghabiskan biaya dan nyawa serdadu Belanda terbanyak mulai Belanda ada di nusantara sampai saat itu, tidak masuk ke dalam sejarah bangsa kita?” ungkapnya.
Upaya memasukkan bagian paling heroik dalam sejarah Blambangan, yang dikenal dengan Perang Bayu, ke dalam buku SNI yang saat itu akan diperbaharui, membuat saya menjadi semacam kurir yang menghubungkan Pak Hasan dengan tim penulis SNI. Salah satunya adalah Ibu Prof. Dr. Herlina Lubis, dosen Universitas Padjadjaran. Beberapa kali saya membawa naskah yang disiapkan oleh Pak Hasan dan menitipkannya pada Tim Penulis SNI yang sering menggelar rapatnya di kantor kementrian Pendidikan di Senayan Jakarta.
Buku sejarah kita memang diwariskan dari Belanda. Sehingga nama-nama pahlawan yang disebut dalam sejarah nasional adalah mereka yang pernah takluk atau dikalahkan penjajah Belanda. Sementara nama-nama dan peristiwa yang pernah memalukan Belanda, tidak pernah masuk dalam perjalanan sejarah yang mereka bikin, termasuk Perang Bayu, bulan Desember 1771.
Dalam buku Perebutan Hegemoni Blambangan, penulisnya Pak Sri Margana mengatakan, orang-orang Banyuwangi menentukan hari lahir kotanya tiga tahun lebih awal. Justru pilihan ini disadari dari awal. Pak Hasan , sebagai pengusul tanggal tersebut, mencari  hari di mana pahlawan Belambangan meluluhlantakkan penjajah sebagai rujukan hari lahir. Beliau meyakini, manusia tidak bisa memilih hari lahirnya, tetapi hari kelahiran sebuah kota atau daerah, bisa dicari sesuai dengan rujukan sebuah peristiwa yang mengilhami, yang membangkitkan semangat heroisme dan menginspirasi warganya untuk mewarisi semangat kakek buyutnya.  Bukan hari saat penjajah memberi beslit untuk menunjuk bupati baru di tempat baru, sebagai upaya menghilangkan jejak Blambangan. Apalagi tanggal saat bupati yang bersumpah setia kepada penjajah menduduki kantor baru. Karena pada tanggal-tanggal itu tidak ada satupun kenangan yang bisa dibanggakan anak cucu dan pada saat yang sama  mencederai perasaan para pahlawan yang berjuang mengusir para penjajah dari tanah air.
Kelemahan Pak Hasan adalah memberi label pada Perang Bayu, sebagai perang Puputan, yang rujukannya tidak dapat ditemui. Perdebatan panjang dengan orang-orang yang berseberangan secara ideologis, menafikkan ide tentang pentingnya memilih tanggal tersebut sebagai hari lahir Banyuwangi. Bengkerengan tentang ada tidaknya istilah Puputan menutupi pentingnya pemilihan tanggal 18 Desember sebagai hari lahir Banyuwangi.
Tentu saja, dengan mengatasnamakan Angkatan ’45, beliau menolak ide menggunakan tanggal 20 Oktober atau 24 Oktober 1773, sebagai hari jadi Banyuwangi. Memang pada tanggal tersebut, bupati pertama Mas Alit menempati pendopo barunya di Banyuwangi. Sehingga, sebagian orang bersikeras, tanggal ini lah sebagai tanggal lahirnya kota Banyuwangi.
“Bagaimana mungkin kita mengakui tanggal yang digunakan penjajah untuk memindahkan ibukota, menjadi tanggal hari lahir Banyuwangi? Mana ada pelajaran moral untuk pewaris Banyuwangi?” kata beliau bersemangat.
Jiwa besar beliau terlihat pada saat merekomendasikan saya untuk mewawancarai Pak Fatrah Abal (almarhum) meski beliau ini adalah salah satu yang ikut berseberangan soal Puputan Bayu. “Pak Fat teman baik saya di luar perbedaan yang kami punya.” Sampai sekarang, saya hanya sekali bertemu dengan Pak Fat, dan belum sempat berbicara panjang lebar tentang Banyuwangi. Mudah-mudahan keduanya diberi kubur yang lebar dan terang.
Penyesalan terbesar saya akan beliau adalah tak bisa mengantarnya ke liang kubur. Dan dari puterinya, Virgi, belakangan, saya mendengar ternyata beliau pernah meminta tolong sopir puterinya yang lain, mbak Emilia Contessa di Jakarta, untuk mengantarnya ke rumah saya di Pamulang. Tetapi tidak pernah terjadi. 
Pesan beliau untuk saya terakhir kali bertemu dengan beliau adalah: “Banyak-banyaklah menulis dalam bahasa Using.”  Wekas yang saya ingat sampai sekarang. “Sebagai bahasa yang utuh, bahasa Using harus bisa menjadi bahasa yang digunakan sebagai bahasa pengantar di sekolah, di kantor, bahkan sebagai bahasa ilmiah.  Bahasa Using harus bisa menerjemahkan buku-buku asing dan yang lebih bagus  kalau karya-karya berbahasa Using diterjemahkan ke bahasa asing.”
Mudah-mudahan Pak Hasan menyaksikan apa yang diperjuangkannya sedikit demi sedikit menunjukkan hasilnya. Lebih penting lagi, apa yang beliau perjuangkan, soal Perang Bayu dalam SNI dan bahasa Using menjadi bahasa yang utuh, bisa terlaksana di kemudian hari.
Selamat ulang tahun Pak Hasan!
 

Senin, 30 November 2015

Surat Terbuka untuk Panitia Seminar Bahasa 'Oseng' (Bagian 2)


SURAT TERBUKA UNTUK PANITIA SEMINAR BAHASA OSENG (Bagian 2)
Seminar nasional Bahasa  “Oseng”, karena masuk dalam minggu tenang Pilkada, akhirnya diundur dari tanggal 7 Desember menjadi tanggal 14 Desember 2015. Saya bergembira, mudah-mudahan dengan waktu yang lebih panjang ini, panitia mempunyai waktu lebih banyak untuk berpikir, mempertimbangkan berbagai masukan, antara lain:
1.        Salah satu alasan diadakannya seminar ini adalah Pergub tahun 2014 yang tidak mengakui Using sebagai bahasa. Jadi tujuan utamanya adalah “menguatkan bahasa Using.” Apabila Panitia memaksakan pembahasan soal ejaan “Using” dan berusaha menggantinya menjadi “Oseng” sudah jelas hanya pekerjaan yang tidak memberi reward untuk bahasa Using.
   Sudah jelas, hanya dengan mendengarnya pun banyak pihak yang menentang. Saya termasuk yang menentang, karena menurut saya belum waktunya. Justru dalam posisi sekarang ini, yaitu pengakuan yang belum 100 persen, bahasa Using yang sudah diajarkan di sekolah dari tahun 1997, jangan diutak-atik. Toh, secara teori dapat dipertanggungjawabkan bahkan sampai ke tingkat thesis doktoral di Universitas Indonesia dan secara praktik, dasar-dasar yang sudah dibangun oleh almarhum pak Hasan Ali, sudah bisa berjalan. Meski perlu ada perbaikan, setuju 100 persen.
   Jadi, musuh yang sebenarnya adalah yang berada di luar Banyuwangi, dalam hal ini orang-orang “pembisik” pemerintah provinsi yang masih berkeyakinan bahwa Using itu dialek Jawa.
   Lebih baik energi yang ada digunakan untuk menguatkan bahasa ini. Bagaimana caranya? Bukan dengan mengutak-atik tatanan yang sedang dibangun, tetapi dengan memperbanyak KARYA dalam bahasa Using.
   Kalau Using digunakan terus menerus dan menelorkan karya-karya bermutu, kita tidak perlu meyakinkan orang-orang di provinsi untuk mengakui Using. Mereka tentu akan melihat, bahwa Using menjadi bahasa yang, istilah peneliti dari Balai Bahasa Jawa Timur, Oktavia Erwantoro, mempunyai vitalitas tinggi dalam masyarakat.
   Misalnya, apakah Using sudah punya majalah? Sudah punya koran? Sudah menjadi pengantar dalam bahasa ilmiah? Sudahkah menjadi bahasa pengantar di radio? Televisi lokal? Apakah Using dalam hari tertentu menjadi bahasa pengantar di sekolah?
   Sejak tahun 2007, tidak ada, sekali lagi TIDAK ADA, buku pelajaran baru yang dikeluarkan oleh Pemda (yang biasanya dilaksanakan oleh Dewan Kesenian Blambangan). TIDAK ADA pelatihan untuk guru-guru yang mengajar bahasa Using. Sebagai garda depan dalam membangun dasar bahasa Using untuk anak-anak Banyuwangi, guru-guru ini perlu bantuan dari Pemda untuk memperkaya pengetahuannya, mengembangkan wawasannya dalam pengajaran bahasa Using. Karena semua guru ini bukanlah sarjana bahasa Using. Jadi mereka perlu penataran yang terus-menerus.
   Terhitung dari sejak diajarkannya bahasa Using di sekolah tahun 1997, hanya ada satu kamus Using-Indonesia, satu karya berbahasa Using yang diterbitkan DKB, ada 11 karya berbahasa Using yang diterbitkan oleh pihak lain, satu majalah Lontar Using yang diterbitkan oleh Balai Bahasa Jawa Timur. Rupanya dengan jumlah sebanyak itu, tidak cukup untuk mengubah pikiran orang lain bahwa Using itu merupakan suatu bahasa.
   Ini lah yang menjadi Pekerjaan Rumah besar, tidak hanya untuk Panitia, tetapi seluruh pihak yang mempunyai kepentingan untuk menjadikan bahasa Using diakui oleh masyarakat luar.  Apakah itu pemerintah daerah, DKB, dan pihak-pihak lain yang punya ketertarikan untuk mengembangkan bahasa Using. Mari, pihak-pihak yang punya kepentingan bersama ini, bergandeng tangan untuk kepentingan bersama: bahasa Using. Bukan kepentingan pihak-pihak tertentu yang ingin mengambil kesempatan untuk mendapat pengakuan, bahwa dia yang paling hebat dalam ilmu bahasa.
   Dan sebagai catatan, gerakan besar ini tidak bermaksud “mengusingkan” Banyuwangi, tetapi sebagai pemilik Using, menegakkan marwah bahasa Using sehingga sejajar dengan bahasa Jawa dan Madura maupun bahasa lainnya.
 
2.       Dalam sebuah postingan Facebook, saya membaca bahwa Panitia juga ingin menunjukkan bahwa Using itu beda dengan bahasa Jawa.
   Ini adalah sebuah keinginan yang bagus untuk melepaskan diri dari bahasa Jawa. Saya katakan melepaskan, karena bahasa Jawa dan bahasa Using mempunyai satu induk yang sama, yaitu bahasa Sansekerta (Jawa Kuna). Secara teori, dua bahasa ini berpisah tahun 1150-an dan membentuknya seperti sekarang.
   Jadi wajar saja, kalau ada irisan satu sama lain. Meskipun bahasa Using sebenarnya lebih mirip dengan bahasa Kawi, yang tidak punya unggah-ungguh yang membedakan penutur berdasar kasta sosial, banyak kata-kata yang mirip, bahkan sama.
   Cara membuktikan tidak dengan mengatakan dalam sebuah seminar “Bahasa Using berbeda dengan bahasa Jawa”, tetapi bikin lah karya sebanyak-banyaknya yang khas Using, penuh dengan idiom Using yang berbeda dengan Jawa. Dalam pepatah Inggris dikatakan “Actions louder than words”. Karya akan jauh lebih kuat dari sekedar pembicaraan beberapa jam dalam seminar.
   Sekali lagi, bahasa Using tidak semakin jejeg, tidak semakin besar, hanya karena sebuah seminar, tetapi dengan banyaknya karya.
 
3.       Apalagi, cara Panitia yang langsung mengganti “Using” dalam judul besar seminarnya menjadi “Oseng” sangatlah tidak etis. Perda Pemerintah Banyuwangi masih berbunyi Using. Kamus yang ada Using-Indonesia, Tata Bahasa masih Using, thesis S3, masih berbunyi “Bahasa Using di Kabupaten Banyuwangi.” Apakah Panitia lebih besar dari Pemerintah Daerah yang mengeluarkan Perda? Apakah Panitia sudah mengeluarkan revisi Tata Bahasa dan Kamus yang diterbitkan oleh DKB? Apakah Panitia sudah memverifikasi hasil penelitian yang akan diajukan setara dengan thesis doktoral, yang artinya siap diuji oleh lembaga penelitian yang berkepentingan seperti Balai Bahasa atau LIPI?  
   Betul, seluruh teori di dunia ini harus selalu di-challenge. Karena ilmu terus berkembang. Dan sistem ejaan yang sudah dikeluarkan Pak Hasan Ali bukanlah kitab suci. Wajar kalau dichallenge. Tetapi, ikutilah prosedur yang biasa dalam dunia keilmuan. Seminar yang materinya akan menjadi rujukan keilmuan, harus lah diuji oleh lembaga-lembaga yang berkepentingan di atas. Bukan sebuah seminar yang hasilnya diakui sendiri kevaliditasnya. Buktikan dengan melibatkan lembaga lain yang berwenang.
   Dalam postingan itu disebutkan seminar sebagai seminar bergengsi. Gengsi tidaknya sebuah seminar, tidak karena klaim Panitia seminar. Gengsi sebuah seminar adalah magnitude hasilnya, apakah misalnya meruntuhkan teori yang ada dan tidak kalah penting bagaimana kemanfaatannya untuk orang banyak. Kalau hasil seminar hanya untuk gagah-gagahan, tidak banyak manfaatnya, makin banyak tudingan mencemooh yang harus diterima Panitia.
4.       Saya termasuk yang setuju untuk memperbaiki bahasa Using. Misalnya dalam hal, memasukkan huruf /f/ dan /q/ dalam alfabet Using, yang selama ini tidak digunakan. Dalam perkembangan jaman modern ini dan kondisi orang Using yang makin pintar dan berpendidikan, huruf /f/ sangat sering ditemukan. Dan huruf /q/ sangat bisa menjadi pembeda dengan bahasa Jawa misalnya.
Banyak juga, kata-kata yang belum tercatat dalam kamus Using-Indonesia. Inilah yang seharusnya dikerjakan, memperkaya kamus yang ada.
 
Selamat berseminar.
Antariksawan Jusuf
Ketua Sengker Kuwung-Belambangan (SKB)
SKB berkomitmen untuk membangun daerah, termasuk dokumentasi budaya dengan menerbitkan buku-buku berbahasa Using.
Kepedulian SKB terhadap Basa Using sudah diwujudkan melalui penerbitan buku-buku berbahasa Using, mengadakan pelatihan menulis berbahasa Using untuk guru-guru dan peminat basa Using lainnya, menyelenggarakan lomba mengarang cerpen berbahasa Using, menerbitkan novel berbahasa Using dan menghibahkan buku-buku berbahasa Using sebagai bacaan pengayaan untuk sekolah seluruh Kabupaten Banyuwangi.

Kamis, 26 November 2015

Surat Terbuka untuk Panitia Seminar Bahasa "Oseng"

Surat Terbuka untuk Panitia Seminar Bahasa “Oseng”

Sebuah panitia seminar di Banyuwangi berencana menggelar seminar bahasa “Oseng” tanggal 7 Desember 2015. Ada dua hal yang perlu dicermati:
   Pertama, seminar tersebut salah satunya adalah berangkat dari keprihatinan adanya surat Peraturan Gubernur Jawa Timur No. 19 tahun 2014 yang diundangkan sejak 3 April 2014, tentang Mata Pelajaran Bahasa Daerah Sebagai Muatan Lokal Wajib di Sekolah/Madrasah.
   Dalam Pasal 2 Peraturan itu disebutkan: “Bahasa Daerah diajarkan secara terpisah sebagai mata pelajaran muatan lokal wajib di seluruh sekolah/madrasah di Jawa Timur, yang meliputi Bahasa Jawa dan bahasa Madura dengan Kurikulum sebagaimana tersebut dalam Lampiran.”
Dengan pasal itu, artinya bahasa Using tidak diakui sebagai bahasa yang bisa diajarkan di sekolah-sekolah. Pasal ini juga memperkuat pemahaman sebagian orang, yang harus diajarkan di sekolah Banyuwangi sebagai muatan lokal adalah bahasa Jawa. Menurut keterangan salah seorang guru, pengajaran bahasa Jawa mulai kelas 1 SD sampai SMU.
   Sementara, bahasa Using sudah diajarkan sejak 1997, saat pertama diperkenalkan di tiga kecamatan, berdasar  SK Kakanwil Depdikbud Provinsi Jatim tanggal 30 Januari 1996 No. 1751/104/D/1996.
   Lantas, diperkuat lagi dengan Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi No. 5 tahun 2007, yang pasal 3 nya berbunyi: “Pembelajaran bahasa Using sebagai kurikulum muatan lokal wajib dilaksanakan pada seluruh jenjang pendidikan dasar, baik negeri maupun swasta di Kabupaten Banyuwangi.”
   Tapi dengan adanya Peraturan Gubernur itu, Perda menjadi gamang. Meskipun, ada juga Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur no. 9 tahun 2014, dan diundangkan mulai 22 Agustus 2014, yang Pasal 17 ayat 2 menyatakan “Bahasa Daerah yang diajarkan sebagai muatan lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ialah Bahasa Jawa atau Bahasa Madura atau bahasa lainnya yang digunakan oleh masyarakat di wilayah kabupaten/kota setempat.”
   Jadi Perda Jatim yang terakhir ini mengakui bahasa Using secara tidak langsung meski tidak dibunyikan, tapi nyatanya pemahamannya sepertinya tidak sampai ke bawah. Sehingga bahasa Using tetap tersisih.
    Kalau seminar itu memang bertujuan untuk memberi kejelasan soal bahasa Using sebagai muatan lokal, kasarnya agar Pemprov Jatim mengganti kata-kata dalam Peraturan Gubernurnya, semestinya diundang juga: Dr. Himawan Estu Bagijo, yang menjadi Kepala Biro Hukum Pemerintah Provinsi. Beliau lah yang mengonsep dan menggodog peraturan tersebut, termasuk Pergub, sebelum dibahas dan disahkan di DPRD Jawa Timur.  Paling tidak, dengan hadirnya beliau, interpretasi hukum atas Pergub bisa jadi terang. Lebih bagus lagi, kalau beliau dapat merevisi Pergub tersebut. Kalau tidak percuma saja, hasil seminar itu akan mengambang di awang-awang. Apalagi, Pak Himawan ini adalah “putera Banyuwangi” yang menghabiskan masa sekolah SD dan SMPnya di Wongsorejo.
   Yang juga berkepentingan dalam seminar itu dan semestinya diundang adalah: Drs. Amir Machmud M.Pd yang menjadi Kepala Badan Bahasa Jawa Timur di Surabaya. Beliau ini yang mengurus seluruh tetek bengek mengenai kebahasaan di Jawa Timur.
   Juga ada Prof. Dr. Imam Suyitno M.Pd, dosen Universitas Negeri Malang. Beliau ini orang Banyuwangi yang thesis S2 dan S3nya tentang bahasa Using. Serta kajian-kajiannya yang intens tentang bahasa Using, antara lain: (1) Penggunaan Pronomina dalam Tuturan Bahasa Using Banyuwangi (2) Ungkapan Tradisional dalam Tuturan Bahasa Using Banyuwangi (3)Pemertahanan Budaya Etnik Using melalui Pengintegrasian Lagu Daerah Banyuwangi ke dalam Kurikulum Muatan Lokal Pembelajaran Bahasa Using. Dan banyak karya lainnya.
   Soal kedua. Panitia seminar, setuju menggunakan kata “Oseng” dalam seminar tersebut. Panitia rupanya lupa bahwa kata tersebut adalah baru usulan, baru wacana. Kata tersebut tidak punya rujukan satupun. Belum diseminarkan, tidak punya Tata Ejaan, tidak ada Kamus dan lain-lain. Sementara “Using”, yang sudah menjadi kajian dalam thesis S3 Universitas Indonesia oleh Dr. Suparman Herusantosa berjudul “Bahasa Using di Kabupaten Banyuwangi”, juga mempunyai legalitas lain, misalnya ada Tata Ejaannya, ada Tata Bahasa bakunya, ada kamusnya, dan penyebutan secara legal formal dalam Perda yang dikeluarkan oleh Pemda Banyuwangi.
   Panitia juga melecehkan Pemerintah Daerah yang mengeluarkan Perda, menghina Dewan Kesenian Blambangan (DKB) yang sudah menerbitkan buku-buku pelajaran, Kamus Using-Indonesia, dan buku Pedoman Umum Ejaan Bahasa Using serta buku-buku lainnya.
   Anologi yang bisa dikemukakan begini. Misalnya, kita tidak setuju dengan sebutan “Indonesia” karena tidak sesuai dengan bunyinya, tetapi kita lebih suka dengan “Endonesya” apakah serta-merta kita bisa munculkan dalam sebuah ranah formal seperti seminar? Tentu tidak.
   Memang aturan bahasa bukan sesuatu yang rigid seperti kitab suci, tetapi sesuatu penggantian tetaplah harus melewati proses akademik yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan: Dewan Kesenian Blambangan, ahli bahasa, peneliti bahasa, Forum Kerja Guru, para guru, dan bagian masyarakat lainnya. Proses harus dilewati. Tidak serta merta seperti yang dilakukan Panitia itu sekarang.
   Panitia semestinya tahu bahwa bahasa Using sudah diajarkan di sekolah sejak tahun 1997 dengan tata bahasa baku dan sebagainya. Menafikkan ini, berarti Panitia tidak peduli dengan masa depan bahasa Using itu sendiri, dengan cara merusak kemapanan yang sudah ada. Karena sudah Kamus Umum Bahasa Daerah Using-Indonesia yang diterbitkan DKB dan buku-buku pelajaran untuk sekolah.  Keputusan Panitia menggunakan kata ‘Oseng’ akan berpotensi membingungkan banyak guru dan ribuan murid yang mempelajari bahasa Using. Dengan demikian, Panitia telah menjadi agen perusakan bahasa Using, bukan agen yang menguatkan bahasa, yang sekarang perlu ditegakkan sehingga bisa mendapat pengakuan dari provinsi dan lembaga lainnya.
   Yang ironis lagi, semangat seminar yang akan diadakan tanggal 7 Desember ini salah satunya untuk memperingati hari lahirnya Pejuang Bahasa Using Bapak Hasan Ali pada tanggal tersebut. Beliau sudah meletakkan dasar, sampai bahasa Using berdiri dan diajarkan di sekolah. Beliau juga yang melahirkan kamus 24.000 entry bahasa Using-Indonesia. Tetapi penggunaan "Oseng", sama dengan melecehkan dan menafikkan karya beliau.

 Antariksawan Jusuf
Ketua Sengker Kuwung-Belambangan (SKB)

SKB berkomitmen untuk membangun daerah, termasuk dokumentasi budaya dengan menerbitkan buku-buku berbahasa Using.
Kepedulian SKB terhadap Basa Using sudah diwujudkan melalui penerbitan buku-buku berbahasa Using, mengadakan pelatihan menulis berbahasa Using untuk guru-guru dan peminat basa Using lainnya, menyelenggarakan lomba mengarang cerpen berbahasa Using, menerbitkan novel berbahasa Using dan menghibahkan buku-buku berbahasa Using sebagai bacaan pengayaan untuk sekolah seluruh Kabupaten Banyuwangi.

Senin, 16 November 2015

Bahasa Using dan upaya menegakkan jatidiri

Harian Kompas, 16 Nov 2015, memuat sebuah berita yang menyoroti perkembangan bahasa Jawa dialek Banyumasan. Dialek yang sering disebut bahasa “Ngapak” ini dipakai sekitar enam juta penutur di daerah Banyumas, Cilacap, Kebumen, Purbalingga, Banjarnegara, Tegal, Brebes, sebagian Wonosobo dan Pemalang.

Mengutip budayawan Banyumas, Ahmad Tohari, Kompas mengatakan selama ratusan tahun Dialek Banyumasan ini dianggap inferior daripada bahasa Jawa bagian tengah yang dituturkan masyarakat Solo, Yogyakarta dan sekitarnya.

Padahal, menurut novelis trilogi Ronggeng Dukuh Paruk ini, dialek Banyumasan mempunyai struktur gramatikal bahasa yang lebih dekat dengan bahasa Jawa Kuno, yaitu akar bahasa Jawa.

 Saya teringat saat mengadakan Pelatihan Menulis Nganggit Nganggo Basa Using untuk guru-guru Basa Using se Kabupaten Banyuwangi di aula Dinas Pendidikan Banyuwangi.

Salah seorang peserta, mengatakan dengan lantang, ia cenderung malas mengajarkan bahasa Using karena “kasar” dan “tidak punya bahasa alus.”

Contoh yang dipakai oleh penanya tersebut adalah: “Pak Guru, cangkeme ana upane.” Menurutnya, bagaimana mungkin seorang murid berbicara dengan gurunya menggunakan kata “cangkem.”

Yang disebut oleh Ahmad Tohari sebagai gramatikal bahasa yang lebih dekat dengan bahasa Jawa Kuno, pun terjadi dalam bahasa Using Belambangan. Bahasa ini mempunya akar yang sama yaitu bahasa Jawa kuno (Kawi). Bahasa Kawi tidak mengenal unggah-ungguh kasar halus yang membedakan penutur dari segi kasta sosialnya. Bisa dibandingkan juga bahasa Melayu atau bahasa Betawi.

Jadi dalam logika berbahasa murid tersebut, kalimat bahasa Using tersebut tidak salah. Yang salah adalah cara berpikir gurunya, yang mengharuskan sebuah bahasa punya unggah-ungguh seperti bahasa Jawa.

Memang tidak bisa dipungkiri, banyak guru-guru yang mengajarkan bahasa Using adalah orang-orang penutur bahasa Jawa, sehingga mereka mempunya rasa yang berbeda dengan penutur bahasa Using. Dan kehadiran masyarakat keturunan Jawa di Banyuwangi hampir menyamai jumlah orang asli Banyuwangi. Sehingga banyak nilai-nilai budaya, termasuk bahasa ini, yang membuat masyarakat keturunan Jawa mengalami gegar budaya (culture shock). Dan berlanjut pada kesimpulan bahwa orang Using itu kasar, karena bahasanya yang egaliter.

Saya katakan terhadap guru tersebut, jangan mengukur badan kita dengan menggunakan baju orang lain. Cara bicara orang Using berbeda dengan orang Jawa. Tidak menggunakan unggah-ungguh bukan berarti kasar.

Menurut thesis Doktor Suparman Herusantosa di Universitas Indonesia, berjudul Bahasa Using di Kabupaten Banyuwangi (1987), Bahasa Using lah yang sebenarnya masih memegang erat akarnya, yaitu bahasa Jawa Kuno. Bahasa Jawa dan bahasa Using, sesama turunan dari Bahasa Jawa Kuno, diperkirakan mengalami perpisahan dengan bahasa induknya sekitar tahun 1163 atau 1174 Masehi.

Jadi bahasa Using tanpa kosa kata yang membedakan orang dari strata sosialnya merupakan sebuah bahasa yang utuh, yang tersendiri berbeda dari bahasa Jawa. Gunakan lah bahasa Using sebisa mungkin, pada tempatnya, dan gunakan bahasa lain pada tempatnya. Dengan begini, kesalahpahaman bisa dihindari. Dan bahasa Using menjadi tegak berdiri sejajar dengan bahasa lainnya.

iwandear@gmail.com

Senin, 09 November 2015

Obituari: Pak Maskur


Hari Minggu tanggal 1 November 2015, saya masih sempat minum kopi bareng Pak Masykur, mantan ketua Dewan Kesenian Blambangan (DKB). Jumat tanggal 6 November saya dapat kabar beliau meninggal setelah bermain badminton. Mudah-mudahan beliau dilapangkan kuburnya, diampuni dosanya.

Saya sebenarnya tidak banyak “bergaul” dengan beliau. Sebelum perkenalan jabat tangan, saya sudah membaca buku pelajaran bahasa Using untuk anak sekolah SD/MI dan SMP/Tsanawiyah yang beliau gawangi bersama penulis lain yaitu, Lancar Basa Using. Sampai sebelum meninggal, beliau juga masih menjadi Ketua Tim Pembelajaran Bahasa Using.

Hanya sesekali beliau mendatangi acara yang saya bikin. Beliau lebih banyak kesibukannya di luar malah, sehingga terakhir bertemu bulan Mei 2015 saat peluncuran buku kumpulan cerpen Jala Sutra karya Moh. Syaiful dan Nur Holipah.

Beliau masih bersemangat kalau diajak berbicara soal kebudayaan Banyuwangi dan bagaimana melestarikannya. Hari minggu itu misalnya, beliau bercerita beberapa kali ke Surabaya untuk bolak-balik ingin mendudukan bahasa Using pada tempatnya. Seperti diketahui, Peraturan Gubernur tahun 2014, hanya merujuk pada bahasa Jawa dan Madura sebagai bahasa yang diajarkan di sekolah sebagai muatan lokal.

Tanpa menyebut bahasa Using, peraturan tersebut seperti menafikkan keberadaan bahasa Using yang sudah mulai diajarkan di sekolah tahun 1997.

Siang tanggal 1 November itu, Pak Maskur bercelana pendek dan datang dengan semangat menggebu untuk membicarakan berbagai perkembangan yang ada di Banyuwangi. Satu nasihatnya yang saya ingat adalah: “Janganlah sakit hati dengan orang yang lemah.”

“Maaf kan mereka, bantu mereka, meski omongan mereka kadang menyakitkan hati kita,” kata beliau.

Selamat jalan Pak Maskur.

Rabu, 23 September 2015

Niti Negari Bala Abangan, novel Banyuwangi yang mencerahkan


Ada berapa banyak novel tentang Banyuwangi? Tercatat ada beberapa penulis yang menggarap ujung timur Jawa ini sebagai setting dan bercerita tentang orang-orang dan budaya Blambangan.    

Sebut saja Putu Praba Darana yang menulis trilogi: 1. Tanah Semenanjung 2. Gema di Ufuk Timur dan 3. Banyuwangi yang semuanya berlatar sejarah. Terbit tahun 1990.

Lantas ada Armaya yang menulis novel sejarah 1. Berdirinya Kerajaan Macan Putih (1998) dan Banyuwangi (Tirtaganda) tahun 1994. Juga Laut Selatan (2011) dan Keris Emas (2010).

Lantas ada novelet berbahasa Using karya Fauzi Abdullah atau Kang Ujik tahun 2005 berjudul Pereng Puthuk Giri.

Penulis tetralogi Gajahmada kelahiran Tegaldlimo, Langit Kresna Hariadi, juga menulis novel berlatar belakang sejarah Bre Wirabhumi, berjudul Menak Jinggo, Sekar Kedaton tahun 2013.

Yang terakhir saya membaca naskah novelis budayawan yang masih aktif menulis, Hasnan Singodimayan. Selain novelnya Badai Selat Bali (1994) Kerudung Santet Gandrung (2003), Suluk Muktazilah (2011), beliau menulis Niti Negari Bala Abangan, yang masih dalam proses penerbitan. Novel berbahasa Indonesia itu dialihbahasakan ke bahasa Using oleh seniwat Uun Hariyati.

Niti Negari Bala Abangan bersetting modern, tetapi pada saat yang sama banyak mengupas fenomena kepurbaan yang ada di Banyuwangi dan bagian dunia lain. Tak terbatas pada Hutan Purba (Alas Purwa) yang menurut Jayabaya merupakan kepala dari Jawa, tapi juga mendiskusikan beragam masalah. Ada geografi, kepercayaan orang Using, agama, dan persinggungan sosial lainnya.  

Misalnya filosofi orang Using, sedulur papat: Aluwamah, Sofiyah, Amarah dan Mutmainah (yang dalam bahasa Yunani disebut sebagai Egos, Eros, Palemos dan Religios).

Fakta-fakta yang pernah menggelayut dalam langit Banyuwangi modern juga tak luput dari pembicaraan, misalnya santet, pembunuhan orang yang dicurigai sebagai dukun santet, tempat-tempat Banyuwangi seperti Kulandan, Buyukan, Tumenggung dan Sukma Ilang di Olehsari.

Santet Celeng Kresek, yang bisa melumpuhkan orang, bahkan disertakan juga mantranya. Semua diceritakan dari mulut tokoh-tokoh dalam novel ini yang merupakan orang Banyuwangi asli.

Saya temukan banyak hal yang sebelumnya belum pernah saya dengar, belum pernah saya baca dalam referensi buku lainnya. Persis seperti tokohnya bernama Jurji Zaidan, yang ternyata namanya sendiri berasal dari bahasa asing. Dan dalam lidah Arab, George dilafalkan Jurji.

Saya pikir novel ini harus menjadi bacaan wajib anak-anak Banyuwangi yang ingin mengetahui sejarah nagarinya, tentang keterikatan dunia purba pada dunia purba lainnya, dan tentang banyak hal lagi. Novel yang mencerahkan dan membuka wawasan tentang Banyuwangi.

iwandear@gmail.com

Senin, 14 September 2015

Ejaan Pak Endro Wilis dan Pak Hasan Ali


Ejaan bahasa Belambangan Pak Endro Wilis dan bahasa Using Pak Hasan Ali

Ada dua budayawan Banyuwangi yang menulis buku mengenai ejaan bahasa Belambangan/Using. Yang pertama adalah Bp. B.E. Endro Wilis yang menulis Cara Penulisan Dan Pengucapan Kata-Kata Belambangan, diterbitkan oleh Pusat Studi Budaya Banyuwangi tahun 2001. Dan yang kedua Bp. Hasan Ali yang menulis Pedoman Umum Ejaan Bahasa Using (Cara Menulis dan Membaca Bahasa Using) diterbitkan oleh Dewan Kesenian Blambangan tahun 2006.
Dua-duanya sudah almarhum (semoga dilapangkan kuburnya).
Sebelumnya perlu saya sebutkan tentang ‘perbedaan’ kalau mau disebut sebagai perbedaan penyebutan nama bahasa, yang lebih ideologis alasannya, antara kedua orang tokoh ini.
Pak Endro Wilis lebih memilih istilah bahasa Belambangan. Karena menurut beliau “Using” lebih berarti penghinaan kepada bangsa Blambangan. Memang istilah “Using” atau “Oesing” dalam ejaan lama, menurut orang Belanda Joh Scholte yang menulis tahun 1926 sebuah artikel berjudul Gandroeng van Banjoewangi mengacu pada sisa-sisa orang Blambangan yang beragama Hindu Jawa yang memelihara adat istiadat dan hidup di antara para pendatang dari Madura, Kulonan (Jawa Tengah), Bali, Bugis dsb.

“Nama Using diberikan pada orang Blambangan oleh para pendatang berdasarkan kata penyangkal ‘Using’ atau ‘Sing’ yang berarti ‘tidak’ atau ‘bukan’.

Orang Blambangan sendiri menamakan dirinya orang Jawa asli. Nama yang paling tepat untuk mereka adalah orang Blambangan.”

Pak Hasan Ali menyangkal bahwa konotasi Using itu merendahkan. Karena Scholte sendiri menyebut dalam tulisan yang sama dengan nada yang membanggakan. “Semangat juang rakyat Blambangan tidak pernah sama sekali padam dan keturunannya yang ada sekarang merupakan suku-suku bangsa yang gagah fisiknya dan berkepribadian serta berkembang dengan cepat, berpegang kuat pada adat istiadat, tetapi  juga mudah menerima peradaban baru.

Ukuran tubuh yang tinggi-tinggi yang terdapat pada kaum lelaki dan warna kuning yang menyolok yang dipunyai kaum wanitanya serta keserasian ukuran dari bagian-bagian tubuh serta muka mereka yang membuktikan asal mereka sebagai satu ras yang mulia di jaman dahulu kala.”
Jadi penyebutan Using tidak masalah.
Saya pribadi lebih suka menyebut bahasa Blambangan, karena letak geografisnya ada di wilayah Blambangan. Orang-orangnya pun seharusnya disebut orang Blambangan. Bahkan kabupatennya seharusnya dikembalikan namanya menjadi Kabupaten Blambangan.

Dengan sebutan wilayahnya, orang-orang keturunan dari suku lain, misalnya Jawa, Madura, Bali, Mandar, Tionghoa, Arab menjadi punya semacam kewajiban untuk berbahasa Blambangan, tempat mereka tinggal. Sementara, karena mengacu pada etnik tertentu, seperti sekarang bahasa Using, orang dari etnis lain tidak punya kepentingan.

Kembali, ke masalah ejaan dari beliau berdua.

1.       Dua-duanya menyatakan bahwa huruf mati (konsonan) dalam bahasa Blambangan/Using adalah 20 buah, yaitu: b,c,d,dh, g, h, j, k,l, m, n, ng, ny, p, r, s, t, th, w, y.

Pak Endro membaginya lagi menjadi Huruf Dasar Mapan dan Luwes. (Menurut saya tidak terlalu material untuk dibicarakan)

2.       Dan ada lima huruf hidup (dalam penyederhanaan) a, i, u, o, e (yang boleh dikembangkan menjadi e, è, é apabila diperlukan untuk membedakan arti).

Pak Endro membagi lagi menjadi Huruf Sandang (dasar0 Entheng dan Abot. (Menurut saya tidak terlalu material untuk dibicarakan)

Untuk menulis bunyi seperti dalam kata bahasa Indonesia /ada/, dua-duanya menulis /ana/ bukan /ono/.

Jadi penulisan menurut mereka berdua adalah:

angka ‘angka’ bukan ongko

sega ‘nasi’ bukan sego

lara ‘sakit’ bukan loro ‘dua’

Ini juga penulisan yang sudah diajarkan di sekolah-sekolah sebagai muatan lokal.

3.       Memang keduanya memberi istilah yang berbeda-beda untuk unsur-unsur yang ada.

a.       Dua-duanya menyebutkan, tidak ada Diftong.

Maksudnya diftong adalah dua huruf hidup yang berurutan. Jadi: Tetap ditulis

/sapi/ boleh diucapkan ‘sapai’ kalau berada di akhir kata.

/kaku/ boleh diucapkan ‘kakau’

/pari/ boleh diucapkan ‘parai’

/api-api/ boleh diucapkan ‘api-apai’

b.      Umlaut (seperti diucapkan dengan dua konsonan). Istilah yang dipakai Pak Endro adalah bunyi yang “berat tapi melemas”. Yaitu hasil dari huruf n, w. L, r, m, y, ny, ng yang dipengaruhi huruf hidup ‘u’ dan ‘i’.

Contoh:

/umah/ diucapkan ‘ummah’

/sira/ diucapkan ‘sirra’

/Jamillah/ diucapkan ‘Jamillah’

c.       Palatal (seperti ada sisipan ‘y’ setelah beberapa huruf tertentu), tidak dibicarakan dalam buku Pak Endro.

Misalnya:

/bathuk/ diucapkan ‘byathuk’

/sebar/ diucapkan ‘sebyar’

 

d.      Glotal (dalam buku Pak Endro disebut Sigeg).

Glotal itu adalah suara seperti huruf /k/ yang muncul di akhir kata.

Dalam buku Pak Hasan, Glotal/sigeg tidak dituliskan.

 

Misalnya:

/bako/ diucapkan /bakok/

/sate/ diucapkan /satek/

 

Yang menarik adalah Pak Endro membagi Glotal stop (Sigeg) tadi menjadi tiga:

A.      Sigeg Angkeq (akhiran seperti dalam kata /emak/ atau /enak/ yang ditulis dengan huruf ‘q’. Ini sama sekali tidak disinggung dalam buku Pak Hasan.

Misal:

/emaq/

/bapaq/

/tamaq/

/manuk kakaqtuwaq/

 

B.      Sigeg Athuk (akhiran /k/ yang dibunyikan ringan tapi jelas)

Misal:

/anak/

/apik/

/tuwek/

/belarak/

 

C.      Sigeg Sereg (akhiran /g/ yang disuarakan dengan jelas dan lebih dalam/berat)

Misal:

/endhog/

/bedhug/

/geludhug/

/gabag/

 

Catatan penulis:

Saya setuju penggunaan akhiran /k/, /q/ dan /g/ digunakan dalam bahasa Blambangan/Using ini. Karena huruf-huruf itu membedakan arti.

Misalnya:

/papaq/ ‘tumpul/ berbeda artinya dengan /papag/ ‘jemput’
/ambek/ 'menangis berlama-lama' berbeda dengan /ambeg/ 'berhenti mengalir'

(Dalam buku Pak Hasan Ali, semuanya ditulis dengan akhiran /k/, /q/ dan /g/ ditulis dengan /k/ atau /g/ saja)
 

(Hanya saja, menurut saya, dalam buku Pak Endro, ada yang terbalik. Huruf /q/ semestinya tidak mengakhiri huruf kata seperti /enak/ menjadi /enaq/ karena /k/ sebenarnya dibunyikan ‘ringan tapi jelas’ seperti dalam  /enak/ atau /emak/. Sementara huruf /q/ seharusnya muncul dalam kata seperti /anaq/ bukan /anak/, /dheweq/ bukan /dhewek/ atau /sepaq/ bukan /sepak/.

Ini seperti penulisan huruf qof dalam bahasa Arab dalam kata /siddiq/ dan huruf kaf dalam kata /tamak/ dan bukan sebaliknya.

 

4.       Pak Endro menulis, huruf hidup /u/ dan /i/ yang mendahului dan mengakhiri huruf Dasar sambil membunuh Huruf Dasar berikutnya, bunyinya berubah.

Misal:

/umbul/ diucapkan ‘ombol’

/urub/ diucapkan ‘orob’

/pitik/ diucapkan ‘petek’

/miring/ diucapkan ‘mereng’

/using/ diucapkan ‘oseng’

 

Dan kalau diberi imbuhan /di-/, bunyinya kembali ke bunyi semula, seperti yang tertulis:

/diumbulaken/ diucapkan ‘diumbulaken’ bukan ‘diombolaken’

/diurubi/ diucapkan ‘diurubi’ bukan ‘diorobi’

/pitike/ diucapkan ‘pitike’ bukan ‘peteke’

/dimiringaken/ diucapkan ‘dimiringaken’ bukan ‘dimerengaken’

/usinge/ diucapkan ‘usinge’ bukan ‘osenge’

 

5.       Gugus Konsonan

Kedua penulis setuju, konsonan yang berurutan hanya ada di tengah dan bukan di awal kata.

 

Kecuali, ada beberapa:

a.       Yang di awal: mbarep, mbisuk, ndaru, ndika

b.      Yang di tengah: seblak, aclak, omprok

c.       Tiruan bunyi: bruk, jreng, plung

d.      Kata serapan dari bahasa lain: blok, drama, gratis, klakson

 

Sementara kata bahasa Jawa seperti:

Glugu, krupuk, klasa, kraton dalam bahasa Belambangan/Using ditulis:

Gelugu, kerupuk, kelasa, keraton

 

Jadi, yang betul: Belambangan bukan Blambangan.

 


 

Bacaan:

Endro Wilis, Cara Penulisan dan Pengucapan Kata-kata Belambangan, PSBB, 2001

Hasan Ali, Ejaan Bahasa Using (Cara Menulis dan Membaca Bahasa Using) DKB, 2006