Rabu, 16 Desember 2015

Seminar Bahasa Using, Catatan dan Masukan

(Sekedar informasi, catatan dan masukan ini sudah langsung diserahkan ke Ketua Panitia Bp. Bambang Lukito. Catatan dengan beberapa tambahan poin ini bagian dari diskusi terbuka untuk masalah yang menyangkut urusan publik).

 Saya diundang untuk menghadiri sebuah Seminar Ilmiah Nasional Bahasa Oseng, Mengungkap Perbedaan Bahasa Oseng dengan Bahasa Jawa. Seminar ini dilaksanakan oleh Dewan Kesenian Blambangan yang didukung oleh DPD RI dan Dinas Pendidikan Kabupaten Banyuwangi.
Berikut beberapa catatan saya:

1.     Konstruksi pemikiran panitia (yang semuanya anggota Dewan Kesenian Blambangan) dari semula seminar ini patut dipertanyakan, karena Bahasa Using sudah dinyatakan sebagai bahasa sejak 1987 dengan adanya desertasi S3 Universitas Indonesia “Bahasa Using di Kabupaten Banyuwangi”, kemudian ada Kamus Bahasa Daerah Using-Indonesia, Pedoman Ejaan Umum Bahasa Using, Perda Banyuwangi no 5/2005, sudah diajarkan di sekolah dasar sejak 1997.

Jadi diskusi (saya lebih suka menyebut diskusi, tidak bisa disebut seminar sebab tidak ada penyanggah atau pembandingnya) itu, merupakan sebuah setback (langkah mundur). Mengapa merobohkan lagi sesuatu yang sudah berdiri meski belum sempurna. Semestinya Panitia memikirkan bagaimana membangun bahasa Using ke depan, bukan melangkah mundur.

2.     Penyebutan Oseng, sama sekali tidak ada rujukan satu pun. Merupakan syahwat panitia yang ingin diakui sebagai orang yang paling tahu. Sementara secara legal formal, masih menggunakan ejaan Using. Panitia sangat tidak punya etika, menggunakan ejaan yang tanpa rujukan yang berpotensi membingungkan guru-guru, seperti yang diungkapkan oleh Ketua KKG Bahasa Using Singojuruh, Kang Juwono. Dengan begini, panitia tidak ikut menegakkan bangunan bahasa Using yang sudah dibangun oleh almarhum Hasan Ali dan kawan-kawan. Jadi, penghargaan yang ditujukan kepada Pak Hasan Ali hanyalah basa-basi.

3.     Panitia tidak serius menggarap diskusinya. Kalau serius tentu akan mengundang:

a.     Doktor Himawan, kepala biro Hukum Pemprov, orang yang berada di balik Peraturan Gubernur no. 19/2014. Pergub inilah yang diprotes keras oleh DKB.

b.     Prof. Dr. Setya Yuwono Sudikan, MA dosen Unesa Surabaya yang dituduh sebagai pembisik pemprov untuk melabeli bahasa Using sebagai dialek, sehingga tidak disebut sebagai bahasa dalam Pergub tersebut.

c.     Drs. Amir Machmud, M. Pd. Kepala Balai Bahasa Jawa Timur, yang mengurusi permasalahan bahasa di Jawa Timur.

Saya katakan tidak serius, karena panitia mengirim undangan kepada Pak Himawan dan Pak Amir Mahmud, pada hari Kamis, empat hari sebelum hari H seminar. Mestinya mereka ini lah yang diberi waktu cukup untuk mempresentasikan diskursus yang menjadi awal perdebatan.

d.     Kalau panitia serius, tentu akan menggalang seluruh kekuatan Banyuwangi menjadi satu untuk “melawan” musuh bersama, sehingga tujuan akhir untuk merevisi Pergub bisa dilakukan. Yang dilakukan panitia malah memecah-belah kekuatan di Banyuwangi seperti yang terjadi pada diskusi kemarin. Energi orang Banyuwangi habis untuk perdebatan oseng-using yang percuma, sementara mestinya seluruh energi disatukan untuk melawan para pemegang kekuasaan di pemprov.

4.     Diskusi kemarin, berencana mengundang Prof. Dr. Ayu Sutarto, sayang beliau pada hari yang sama masuk rumah sakit. Jadi ukuran nasionalnya yang mana? Seluruh penyaji, kecuali Ibu Emilia Contessa yang tidak menyajikan makalah, semua dari Banyuwangi.

 5.     Ada poin-poin yang disampaikan oleh dua orang pemakalah: 1. Kang Hasan Basri, bahwa kalau orang lain, lembaga lain menyebut Using sebagai dialek, kita teliti saja sendiri. Dan pemakalah lain: MH Qowim cenderung menyalahkan para peneliti dari luar, apakah pemilihan sampelnya, apakah Titik Pengamatan atau Daerah Penelitan. Atau peneliti luar sudah mempunyai kesimpulan sebelum penelitian dilakukan.

Membuat penelitian sendiri bukanlah sesuatu yang haram, tetapi prosudur ilmiah yang namanya penelitian juga harus dilakukan. Yang paling sederhana, seminar mestinya ada makalah pembanding/penyanggahnya. Dan yang jauh lebih penting adalah penelitian tersebut diuji oleh tim yang berkompeten dalam bidangnya, dengan prosedur yang sudah baku dalam dunia penelitian. Penilaian tidak cukup sorak-sorai teman-teman saja.

Soal menyalahkan peneliti dari luar, dalam dunia etika keilmuwan, kita boleh menyalahkan peneliti manapun. Tidak dengan mencerca mereka di depan umum bahwa penelitian mereka tidak valid, sampelnya salah, daerah penelitiannya keliru. Tapi bikinlah penelitian setara dan melalui ujian yang sama. Qowim sebagai Ketua Pusat Penelitian Bahasa Oseng semestinya tahu prosedur ilmiah. (Barangkali ada yang bisa memberi tahu kepada saya, Pusat Penelitian Bahasa Oseng ini sudah menghasilkan penelitian apa, hasilnya pernah dimuat di jurnal ilmiah apa, atau pernah diajukan lewat perguruan tinggi mana).

6.     Saya pernah berbicara dengan Pak Himawan menanyakan secara langsung soal Pergub 19/2014 tentang Mata Pelajaran Bahasa Daerah sebagai Muatan Lokal Wajib di Sekolah/Madrasah dan Perda Jatim No. 9/2014 tentang Penyelenggaraan Pendidikan pada saat Uji Sahih Undang-undang Bahasa Daerah di Surabaya. Beliau menyatakan sebenarnya tidak ada masalah dengan pengajaran bahasa Using, tergantung Pemda setempat.

Pada kesempatan lain, saya mendapat info dari Kang Hasan Basri, guru di SMPN1 yang ikut memberi materi dalam buku pelajaran, serta informasi dari Kelompok Kerja Guru Bahasa Using, dari tahun 2007, tidak pernah ada lagi pelatihan untuk guru-guru yang pada dasarnya mereka adalah bukan sarjana bahasa Using. Tidak pernah ada lagi materi ajar baru.

Jadi pada saat diskusi di Pendopo kemarin diteriakkan “Bahasa Using sebagai Harga Mati”, seakan-akan menjadi teriakan heroik. Pada kenyataannya, Pemerintah daerah dan DKB, dari tahun 2007 sampai keluarnya Pergub tersebut, tidak pernah melakukan sesuatu untuk membangun nguri-uri bahasa Using. Tidak menyisihkan anggaran untuk menguatkan pembelajaran bahasa Using. Jadi sebelum menyalahkan orang lain, dalam hal ini pemprov, ada baiknya kita menoleh lagi apa yang sudah kita kerjakan.

7.     Muncul pula dalam diskusi kemarin, usulan mengganti ejaan ortografi yang sekarang, yang dianggap terlalu kejawa-jawaan. “Pantas saja diakui sebagai dialek bukan bahasa,” demikian salah seorang pengusul. Ini adalah pemahawam orang awam. Pada penelitian dialektologi, untuk menentukan apakah sebuah bahasa itu dialek atau bahasa, tidak dilihat dari ejaan ortografinya, melainkan dari fonetiknya, yang ditulis dari tuturan sampel.

8.     Saya berpendapat, perbanyaklah karya-karya dalam bahasa Using ini justru dengan ejaan ortografi yang orang lain bisa membacanya. Sebuah kata yang sama dengan bahasa Jawa atau Indonesia, untuk menunjukkan berbeda artinya dengan bahasa Using. Bukan malah menghindar. Istilahnya kita harus bertempur pada ‘level playing field’ yang sama. Dengan ejaan yang sama dengan Jawa, ternyata orang Jawa tidak mengerti dengan benar kalimat-kalimat yang tersusun. akan menunjukkan bahwa bahasa Using berbeda dengan bahasa Jawa. Semakin banyak karya, semakin gampang meyakinkan mereka bahwa kedua bahasa ini berbeda. (Sebenarnya, Doktor Suparman sudah mengatakan dalam thesisnya tahun 1987, bahwa kedua bahasa ini mempunyai akar yang sama, tetapi terpisah dan berkembang seperti sekarang. Jadi mubazir lah kalau mencoba lagi mengutak-atik bahwa bahasa Jawa berbeda dengan bahasa Using).


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar