1.
Konstruksi
pemikiran panitia (yang semuanya anggota Dewan Kesenian Blambangan) dari semula
seminar ini patut dipertanyakan, karena Bahasa Using sudah dinyatakan sebagai
bahasa sejak 1987 dengan adanya desertasi S3 Universitas Indonesia “Bahasa
Using di Kabupaten Banyuwangi”, kemudian ada Kamus Bahasa Daerah
Using-Indonesia, Pedoman Ejaan Umum Bahasa Using, Perda Banyuwangi no 5/2005,
sudah diajarkan di sekolah dasar sejak 1997.
Jadi diskusi (saya lebih suka menyebut
diskusi, tidak bisa disebut seminar sebab tidak ada penyanggah atau
pembandingnya) itu, merupakan sebuah setback (langkah mundur). Mengapa
merobohkan lagi sesuatu yang sudah berdiri meski belum sempurna. Semestinya
Panitia memikirkan bagaimana membangun bahasa Using ke depan, bukan melangkah mundur.
2.
Penyebutan
Oseng, sama sekali tidak ada rujukan satu pun. Merupakan syahwat panitia yang
ingin diakui sebagai orang yang paling tahu. Sementara secara legal formal,
masih menggunakan ejaan Using. Panitia sangat tidak punya etika, menggunakan
ejaan yang tanpa rujukan yang berpotensi membingungkan guru-guru, seperti yang
diungkapkan oleh Ketua KKG Bahasa Using Singojuruh, Kang Juwono. Dengan begini,
panitia tidak ikut menegakkan bangunan bahasa Using yang sudah dibangun oleh
almarhum Hasan Ali dan kawan-kawan. Jadi, penghargaan yang ditujukan kepada Pak
Hasan Ali hanyalah basa-basi.
3.
Panitia
tidak serius menggarap diskusinya. Kalau serius tentu akan mengundang:
a.
Doktor
Himawan, kepala biro Hukum Pemprov, orang yang berada di balik Peraturan
Gubernur no. 19/2014. Pergub inilah yang diprotes keras oleh DKB.
b.
Prof.
Dr. Setya Yuwono Sudikan, MA dosen Unesa Surabaya yang dituduh sebagai pembisik
pemprov untuk melabeli bahasa Using sebagai dialek, sehingga tidak disebut
sebagai bahasa dalam Pergub tersebut.
c.
Drs.
Amir Machmud, M. Pd. Kepala Balai Bahasa Jawa Timur, yang mengurusi
permasalahan bahasa di Jawa Timur.
Saya
katakan tidak serius, karena panitia mengirim undangan kepada Pak Himawan dan
Pak Amir Mahmud, pada hari Kamis, empat hari sebelum hari H seminar. Mestinya
mereka ini lah yang diberi waktu cukup untuk mempresentasikan diskursus yang
menjadi awal perdebatan.
d.
Kalau
panitia serius, tentu akan menggalang seluruh kekuatan Banyuwangi menjadi satu
untuk “melawan” musuh bersama, sehingga tujuan akhir untuk merevisi Pergub bisa
dilakukan. Yang dilakukan panitia malah memecah-belah kekuatan di Banyuwangi
seperti yang terjadi pada diskusi kemarin. Energi orang Banyuwangi habis untuk
perdebatan oseng-using yang percuma, sementara mestinya seluruh energi
disatukan untuk melawan para pemegang kekuasaan di pemprov.
4.
Diskusi
kemarin, berencana mengundang Prof. Dr. Ayu Sutarto, sayang beliau pada hari
yang sama masuk rumah sakit. Jadi ukuran nasionalnya yang mana? Seluruh
penyaji, kecuali Ibu Emilia Contessa yang tidak menyajikan makalah, semua dari
Banyuwangi.
Membuat penelitian sendiri bukanlah sesuatu
yang haram, tetapi prosudur ilmiah yang namanya penelitian juga harus
dilakukan. Yang paling sederhana, seminar mestinya ada makalah
pembanding/penyanggahnya. Dan yang jauh lebih penting adalah penelitian tersebut
diuji oleh tim yang berkompeten dalam bidangnya, dengan prosedur yang sudah
baku dalam dunia penelitian. Penilaian tidak cukup sorak-sorai teman-teman
saja.
Soal menyalahkan peneliti dari luar,
dalam dunia etika keilmuwan, kita boleh menyalahkan peneliti manapun. Tidak
dengan mencerca mereka di depan umum bahwa penelitian mereka tidak valid,
sampelnya salah, daerah penelitiannya keliru. Tapi bikinlah penelitian setara
dan melalui ujian yang sama. Qowim sebagai Ketua Pusat Penelitian Bahasa Oseng
semestinya tahu prosedur ilmiah. (Barangkali ada yang bisa memberi tahu kepada
saya, Pusat Penelitian Bahasa Oseng ini sudah menghasilkan penelitian apa,
hasilnya pernah dimuat di jurnal ilmiah apa, atau pernah diajukan lewat
perguruan tinggi mana).
6.
Saya
pernah berbicara dengan Pak Himawan menanyakan secara langsung soal Pergub
19/2014 tentang Mata Pelajaran Bahasa Daerah sebagai Muatan Lokal Wajib di
Sekolah/Madrasah dan Perda Jatim No. 9/2014 tentang Penyelenggaraan Pendidikan
pada saat Uji Sahih Undang-undang Bahasa Daerah di Surabaya. Beliau menyatakan
sebenarnya tidak ada masalah dengan pengajaran bahasa Using, tergantung Pemda
setempat.
Pada kesempatan lain, saya mendapat info
dari Kang Hasan Basri, guru di SMPN1 yang ikut memberi materi dalam buku
pelajaran, serta informasi dari Kelompok Kerja Guru Bahasa Using, dari tahun
2007, tidak pernah ada lagi pelatihan untuk guru-guru yang pada dasarnya mereka
adalah bukan sarjana bahasa Using. Tidak pernah ada lagi materi ajar baru.
Jadi pada saat diskusi di Pendopo
kemarin diteriakkan “Bahasa Using sebagai Harga Mati”, seakan-akan menjadi
teriakan heroik. Pada kenyataannya, Pemerintah daerah dan DKB, dari tahun 2007
sampai keluarnya Pergub tersebut, tidak pernah melakukan sesuatu untuk
membangun nguri-uri bahasa Using. Tidak menyisihkan anggaran untuk menguatkan
pembelajaran bahasa Using. Jadi sebelum menyalahkan orang lain, dalam hal ini
pemprov, ada baiknya kita menoleh lagi apa yang sudah kita kerjakan.
7.
Muncul
pula dalam diskusi kemarin, usulan mengganti ejaan ortografi yang sekarang,
yang dianggap terlalu kejawa-jawaan. “Pantas saja diakui sebagai dialek bukan
bahasa,” demikian salah seorang pengusul. Ini adalah pemahawam orang awam. Pada
penelitian dialektologi, untuk menentukan apakah sebuah bahasa itu dialek atau
bahasa, tidak dilihat dari ejaan ortografinya, melainkan dari fonetiknya, yang
ditulis dari tuturan sampel.
8.
Saya
berpendapat, perbanyaklah karya-karya dalam bahasa Using ini justru dengan
ejaan ortografi yang orang lain bisa membacanya. Sebuah kata yang sama
dengan bahasa Jawa atau Indonesia, untuk menunjukkan berbeda artinya dengan bahasa Using. Bukan
malah menghindar. Istilahnya kita harus bertempur pada ‘level playing field’
yang sama. Dengan ejaan yang sama dengan Jawa, ternyata orang Jawa tidak
mengerti dengan benar kalimat-kalimat yang tersusun. akan menunjukkan bahwa
bahasa Using berbeda dengan bahasa Jawa. Semakin banyak karya, semakin gampang
meyakinkan mereka bahwa kedua bahasa ini berbeda. (Sebenarnya, Doktor Suparman
sudah mengatakan dalam thesisnya tahun 1987, bahwa kedua bahasa ini mempunyai
akar yang sama, tetapi terpisah dan berkembang seperti sekarang. Jadi mubazir
lah kalau mencoba lagi mengutak-atik bahwa bahasa Jawa berbeda dengan bahasa
Using).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar