Ada berapa banyak novel tentang Banyuwangi? Tercatat ada
beberapa penulis yang menggarap ujung timur Jawa ini sebagai setting dan
bercerita tentang orang-orang dan budaya Blambangan.
Sebut saja Putu Praba Darana yang menulis trilogi: 1. Tanah Semenanjung 2.
Gema di Ufuk Timur dan 3. Banyuwangi yang semuanya berlatar sejarah. Terbit
tahun 1990.
Lantas ada Armaya yang menulis novel sejarah 1. Berdirinya
Kerajaan Macan Putih (1998) dan Banyuwangi (Tirtaganda) tahun 1994. Juga Laut
Selatan (2011) dan Keris Emas (2010).
Lantas ada novelet berbahasa Using karya Fauzi Abdullah atau
Kang Ujik tahun 2005 berjudul Pereng Puthuk Giri.
Penulis tetralogi Gajahmada kelahiran Tegaldlimo, Langit
Kresna Hariadi, juga menulis novel berlatar belakang sejarah Bre Wirabhumi,
berjudul Menak Jinggo, Sekar Kedaton tahun 2013.
Yang terakhir saya membaca naskah novelis budayawan yang
masih aktif menulis, Hasnan Singodimayan. Selain novelnya Badai Selat Bali
(1994) Kerudung Santet Gandrung (2003), Suluk Muktazilah (2011), beliau menulis
Niti Negari Bala Abangan, yang masih
dalam proses penerbitan. Novel berbahasa Indonesia itu dialihbahasakan ke
bahasa Using oleh seniwat Uun Hariyati.
Niti Negari Bala Abangan bersetting modern, tetapi pada saat
yang sama banyak mengupas fenomena kepurbaan yang ada di Banyuwangi dan bagian dunia
lain. Tak terbatas pada Hutan Purba (Alas Purwa) yang menurut Jayabaya
merupakan kepala dari Jawa, tapi juga mendiskusikan beragam masalah. Ada
geografi, kepercayaan orang Using, agama, dan persinggungan sosial lainnya.
Misalnya filosofi orang Using, sedulur papat: Aluwamah,
Sofiyah, Amarah dan Mutmainah (yang dalam bahasa Yunani disebut sebagai Egos,
Eros, Palemos dan Religios).
Fakta-fakta yang pernah menggelayut dalam langit Banyuwangi
modern juga tak luput dari pembicaraan, misalnya santet, pembunuhan orang yang
dicurigai sebagai dukun santet, tempat-tempat Banyuwangi seperti Kulandan, Buyukan,
Tumenggung dan Sukma Ilang di Olehsari.
Santet Celeng Kresek, yang bisa melumpuhkan orang, bahkan
disertakan juga mantranya. Semua diceritakan dari mulut tokoh-tokoh dalam novel
ini yang merupakan orang Banyuwangi asli.
Saya temukan banyak hal yang sebelumnya belum pernah saya
dengar, belum pernah saya baca dalam referensi buku lainnya. Persis seperti
tokohnya bernama Jurji Zaidan, yang ternyata namanya sendiri berasal dari
bahasa asing. Dan dalam lidah Arab, George dilafalkan Jurji.
Saya pikir novel ini harus menjadi bacaan wajib anak-anak
Banyuwangi yang ingin mengetahui sejarah nagarinya, tentang keterikatan dunia
purba pada dunia purba lainnya, dan tentang banyak hal lagi. Novel yang mencerahkan dan membuka wawasan tentang Banyuwangi.
iwandear@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar