Ejaan bahasa Belambangan Pak Endro Wilis dan bahasa Using Pak
Hasan Ali
Ada dua budayawan Banyuwangi yang menulis buku mengenai
ejaan bahasa Belambangan/Using. Yang pertama adalah Bp. B.E. Endro Wilis yang
menulis Cara Penulisan Dan Pengucapan
Kata-Kata Belambangan, diterbitkan oleh Pusat Studi Budaya Banyuwangi tahun
2001. Dan yang kedua Bp. Hasan Ali yang menulis Pedoman Umum Ejaan Bahasa Using (Cara Menulis dan Membaca Bahasa Using)
diterbitkan oleh Dewan Kesenian Blambangan tahun 2006.
Dua-duanya sudah almarhum (semoga dilapangkan kuburnya).
Sebelumnya perlu saya sebutkan tentang ‘perbedaan’ kalau mau
disebut sebagai perbedaan penyebutan nama bahasa, yang lebih ideologis alasannya, antara
kedua orang tokoh ini.
Pak Endro Wilis lebih memilih istilah bahasa Belambangan.
Karena menurut beliau “Using” lebih berarti penghinaan kepada bangsa Blambangan.
Memang istilah “Using” atau “Oesing” dalam ejaan lama, menurut orang Belanda
Joh Scholte yang menulis tahun 1926 sebuah artikel berjudul Gandroeng van Banjoewangi mengacu pada
sisa-sisa orang Blambangan yang beragama Hindu Jawa yang memelihara adat
istiadat dan hidup di antara para pendatang dari Madura, Kulonan (Jawa Tengah),
Bali, Bugis dsb.
“Nama Using diberikan pada orang Blambangan oleh para
pendatang berdasarkan kata penyangkal ‘Using’ atau ‘Sing’ yang berarti ‘tidak’
atau ‘bukan’.
Orang Blambangan sendiri menamakan dirinya orang Jawa asli.
Nama yang paling tepat untuk mereka adalah orang Blambangan.”
Pak Hasan Ali menyangkal bahwa konotasi Using itu
merendahkan. Karena Scholte sendiri menyebut dalam tulisan yang sama dengan
nada yang membanggakan. “Semangat juang rakyat Blambangan tidak pernah sama
sekali padam dan keturunannya yang ada sekarang merupakan suku-suku bangsa yang
gagah fisiknya dan berkepribadian serta berkembang dengan cepat, berpegang kuat
pada adat istiadat, tetapi juga mudah
menerima peradaban baru.
Ukuran tubuh yang tinggi-tinggi yang terdapat pada kaum
lelaki dan warna kuning yang menyolok yang dipunyai kaum wanitanya serta
keserasian ukuran dari bagian-bagian tubuh serta muka mereka yang membuktikan
asal mereka sebagai satu ras yang mulia di jaman dahulu kala.”
Jadi penyebutan Using tidak masalah.
Saya pribadi lebih suka menyebut bahasa Blambangan, karena
letak geografisnya ada di wilayah Blambangan. Orang-orangnya pun seharusnya
disebut orang Blambangan. Bahkan kabupatennya seharusnya dikembalikan namanya
menjadi Kabupaten Blambangan.
Dengan sebutan wilayahnya, orang-orang keturunan dari suku
lain, misalnya Jawa, Madura, Bali, Mandar, Tionghoa, Arab menjadi punya semacam
kewajiban untuk berbahasa Blambangan, tempat mereka tinggal. Sementara, karena
mengacu pada etnik tertentu, seperti sekarang bahasa Using, orang dari etnis
lain tidak punya kepentingan.
Kembali, ke masalah ejaan dari beliau berdua.
1.
Dua-duanya menyatakan bahwa huruf mati
(konsonan) dalam bahasa Blambangan/Using adalah 20 buah, yaitu: b,c,d,dh, g, h,
j, k,l, m, n, ng, ny, p, r, s, t, th, w, y.
Pak Endro membaginya lagi menjadi Huruf Dasar Mapan dan
Luwes. (Menurut saya tidak terlalu material untuk dibicarakan)
2.
Dan ada lima huruf hidup (dalam penyederhanaan)
a, i, u, o, e (yang boleh dikembangkan menjadi e, è, é apabila diperlukan untuk
membedakan arti).
Pak Endro membagi lagi menjadi Huruf Sandang (dasar0 Entheng
dan Abot. (Menurut saya tidak terlalu material untuk dibicarakan)
Untuk menulis bunyi seperti dalam kata bahasa Indonesia
/ada/, dua-duanya menulis /ana/ bukan /ono/.
Jadi penulisan menurut mereka berdua adalah:
angka ‘angka’ bukan ongko
sega ‘nasi’ bukan sego
lara ‘sakit’ bukan loro ‘dua’
Ini juga penulisan yang sudah diajarkan di sekolah-sekolah
sebagai muatan lokal.
3.
Memang keduanya memberi istilah yang
berbeda-beda untuk unsur-unsur yang ada.
a.
Dua-duanya menyebutkan, tidak ada Diftong.
Maksudnya diftong adalah dua
huruf hidup yang berurutan. Jadi: Tetap ditulis
/sapi/ boleh diucapkan ‘sapai’
kalau berada di akhir kata.
/kaku/ boleh diucapkan ‘kakau’
/pari/ boleh diucapkan ‘parai’
/api-api/ boleh diucapkan ‘api-apai’
b.
Umlaut (seperti diucapkan dengan dua konsonan).
Istilah yang dipakai Pak Endro adalah bunyi yang “berat tapi melemas”. Yaitu
hasil dari huruf n, w. L, r, m, y, ny, ng yang dipengaruhi huruf hidup ‘u’ dan ‘i’.
Contoh:
/umah/ diucapkan ‘ummah’
/sira/ diucapkan ‘sirra’
/Jamillah/ diucapkan ‘Jamillah’
c.
Palatal (seperti ada sisipan ‘y’ setelah
beberapa huruf tertentu), tidak dibicarakan dalam buku Pak Endro.
Misalnya:
/bathuk/ diucapkan ‘byathuk’
/sebar/ diucapkan ‘sebyar’
d.
Glotal (dalam buku Pak Endro disebut Sigeg).
Glotal itu adalah suara seperti huruf /k/
yang muncul di akhir kata.
Dalam buku Pak Hasan, Glotal/sigeg tidak
dituliskan.
Misalnya:
/bako/ diucapkan /bakok/
/sate/ diucapkan /satek/
Yang menarik adalah Pak Endro membagi
Glotal stop (Sigeg) tadi menjadi tiga:
A.
Sigeg Angkeq (akhiran seperti dalam kata /emak/
atau /enak/ yang ditulis dengan huruf ‘q’. Ini sama sekali tidak disinggung
dalam buku Pak Hasan.
Misal:
/emaq/
/bapaq/
/tamaq/
/manuk kakaqtuwaq/
B.
Sigeg Athuk (akhiran /k/ yang dibunyikan ringan
tapi jelas)
Misal:
/anak/
/apik/
/tuwek/
/belarak/
C.
Sigeg Sereg (akhiran /g/ yang disuarakan dengan
jelas dan lebih dalam/berat)
Misal:
/endhog/
/bedhug/
/geludhug/
/gabag/
Catatan penulis:
Saya setuju penggunaan akhiran /k/, /q/ dan /g/ digunakan dalam bahasa
Blambangan/Using ini. Karena huruf-huruf itu membedakan arti.
Misalnya:
/papaq/ ‘tumpul/ berbeda artinya dengan /papag/ ‘jemput’
/ambek/ 'menangis berlama-lama' berbeda dengan /ambeg/ 'berhenti mengalir'
(Dalam buku Pak Hasan Ali, semuanya ditulis dengan akhiran /k/, /q/ dan /g/ ditulis dengan /k/ atau /g/ saja)
(Hanya saja, menurut saya, dalam buku Pak Endro, ada yang terbalik. Huruf
/q/ semestinya tidak mengakhiri huruf kata seperti /enak/ menjadi /enaq/ karena
/k/ sebenarnya dibunyikan ‘ringan tapi jelas’ seperti dalam /enak/ atau /emak/. Sementara huruf /q/
seharusnya muncul dalam kata seperti /anaq/ bukan /anak/, /dheweq/ bukan /dhewek/ atau /sepaq/ bukan /sepak/.
Ini seperti penulisan huruf qof dalam bahasa Arab dalam kata /siddiq/ dan
huruf kaf dalam kata /tamak/ dan bukan sebaliknya.
4.
Pak Endro menulis, huruf hidup /u/ dan /i/ yang
mendahului dan mengakhiri huruf Dasar sambil membunuh Huruf Dasar berikutnya,
bunyinya berubah.
Misal:
/umbul/ diucapkan ‘ombol’
/urub/ diucapkan ‘orob’
/pitik/ diucapkan ‘petek’
/miring/ diucapkan ‘mereng’
/using/ diucapkan ‘oseng’
Dan kalau diberi imbuhan /di-/, bunyinya kembali ke bunyi semula,
seperti yang tertulis:
/diumbulaken/ diucapkan ‘diumbulaken’ bukan
‘diombolaken’
/diurubi/ diucapkan ‘diurubi’ bukan ‘diorobi’
/pitike/ diucapkan ‘pitike’ bukan ‘peteke’
/dimiringaken/ diucapkan ‘dimiringaken’
bukan ‘dimerengaken’
/usinge/ diucapkan ‘usinge’ bukan ‘osenge’
5.
Gugus Konsonan
Kedua penulis setuju, konsonan yang
berurutan hanya ada di tengah dan bukan di awal kata.
Kecuali, ada beberapa:
a.
Yang di awal: mbarep, mbisuk, ndaru, ndika
b.
Yang di tengah: seblak, aclak, omprok
c.
Tiruan bunyi: bruk, jreng, plung
d.
Kata serapan dari bahasa lain: blok, drama,
gratis, klakson
Sementara kata bahasa Jawa seperti:
Glugu, krupuk, klasa, kraton dalam bahasa
Belambangan/Using ditulis:
Gelugu, kerupuk, kelasa, keraton
Jadi, yang betul: Belambangan bukan
Blambangan.
Bacaan:
Endro Wilis, Cara Penulisan dan Pengucapan
Kata-kata Belambangan, PSBB, 2001
Hasan Ali, Ejaan Bahasa Using (Cara Menulis
dan Membaca Bahasa Using) DKB, 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar