Pak Hasan Ali yang saya kenal
(memperingati hari ulang tahun Pak Hasan Ali 7 Desember)
Saya merasa beruntung menjadi salah satu generasi lare Belambangan yang mengenal secara
langsung almarhum Pak Hasan Ali semasa hidupnya. Itu pun sebenarnya tidak
terlalu intens. Saya menemui beliau pada saat liburan lebaran atau kalau sedang
ada penugasan liputan ke arah Banyuwangi.
Pertama kali saya datang ke Mangir, Rogojampi, tempat
terakhir beliau tinggal, diterima di ruang tamu rumahnya yang sangat sederhana.
Rumahnya yang hanya bertembok gedhek, tetapi sangat rapi. Yang saya rasakan
adalah: I found a friend in him.
Pembawaannya yang ramah, sangat ngemong kepada orang yang lebih muda, dan
memberi banyak saya wawasan tentang Banyuwangi. Misalnya, tentang rasa percaya
diri yang harus dibangkitkan pada generasi mudanya. Lantas, beliau bercerita
soal upaya para pemegang kebijakan di Banyuwangi pada tahun 1970-an,
membalikkan cerita Damarwulan, dari sebuah ironi menjelek-jelekkan raja
Blambangan, tetapi pada saat yang sama menjadi salah satu kesenian yang sangat digemari
oleh rakyat Banyuwangi, menjadi cerita sebaliknya.
“Fiksi kita balas dengan fiksi,” kata beliau. Jadilah sejak
saat itu, pakem cerita Damarwulan menjadi cerita yang mengagungkan Minakjinggo,
karakter yang diyakini sebagai tokoh sejarah Bhre Wirabumi, satu-satunya anak
lelaki Hayam Wuruk dari pihak selir, sebagai pewaris tahta yang dianggap lebih
berhak dari anak perempuan Hayam Wuruk.
Pada saat mewawancarai beliau soal Seblang, beliau bercerita juga
soal penafsiran syair-syair gending tradisional Banyuwangi, yang sudah
melampaui jamannya. Sebuah ide yang melahirkan tulisan lain untuk saya.
Angkatan Pujangga Baru tahun ’45 dianggap angkatan yang
mengenalkan bentuk tak beraturan dari puisi-puisi yang dibilang pembaharuan. Sementara
sudah puluhan bahkan ratusan tahun sebelumnya
syair gending tradisional Gandrung Banyuwangi atau lirik-lirik kuno yang
dilantunkan pada pertunjukan adat
Seblang, bentuknya sudah tidak beraturan, tidak mengindahkan persajakan dan
persamaan bunyi.
Pada tatanan isi, gending-gending tersebut juga sangat maju.
Biasanya, isi pada lirik-lirik mantra dan upacara adat, menceritakan hubungan
manusia dengan sesembahannya. Sementara lirik gending tradisional Gandrung
Banyuwangi, bercerita di luar pakem tradisional, misalnya tentang kisah kasih
antar manusia, atau cerita tentang taktik perang gerilya. Soal yang terakhir
ini, diyakini karena orang-orang Banyuwangi tercerai-berai setelah berbagai perang
yang melanda Blambangan. Medium gandrung yang bisa berpindah-pindah ngamen dari satu desa ke desa lain dan berkeliling
tanpa banyak hambatan dari penguasa Belanda, dimanfaatkan untuk memberi
wejangan yang dibungkus dengan lirik lagu. Lirik gending Seblang Lukenta misalnya: //Lawang gedhe wonten hang njagi/ medala ring
lawang butulan/ Wis biyasane ngemong adhine/ sak tinjak baliya mulih// - //Pintu
besar ada yang jaga/ keluarlah lewat pintu yang rapuh/ Sudah biasa momong sang
adik/ sekali tendang lantas kembali//.
Pak Hasan adalah narasumber yang sangat informatif.
Pengalamannya sebagai anggota DPRD, sebagai panjak gandrung, sebagai ketua
Dewan Kesenian Blambangan membawa pembicaraan seperti tak pernah ingin saya putus.
Satu-satunya pemutus adalah waktu yang sudah menunjukkan jam dua dinihari. Padahal,
kondisi badannya tidak tangguh lagi.
Pada tahun 1990-an, hubungan dengan telepon bukan sesuatu
yang gampang dilakukan. Terutama karena tarif mahalnya kalau dilakukan secara
inter-lokal. Telepon genggam belum ada. Saya sadari pertemuan dengan beliau
adalah waktu-waktu yang sangat berharga.
Suatu saat beliau bercerita soal kamus Bahasa Daerah
Using-Indonesia, yang pada saat pembuatannya banyak pula mendapat tantangan
dari orang-orang Banyuwangi sendiri. Bukan hanya karena cara pengumpulannya
yang tidak lazim. Saat itu komputer merupakan suatu barang mewah dan tidak
setiap orang punya akses seperti sekarang. Tanpa komputer, Pak Hasan masih
menggunakan mesin tulis manual dan mengetik satu per satu kata entry di luar kepala. Tanpa bantuan kartu entry kata.
Pada umumnya, penyusun kamus dibantu oleh kartu yang
mencatat setiap entry kata baru.
Setiap kartu ini mencatat setiap kata, arti katanya, pengucapannya, penggunaannya dalam
konteks. Setiap menemukan kata baru, penyusun kamus menuliskannya dan
memasukkan sesuai dengan urutan abjadnya. Tapi tidak Pak Hasan Ali. Ia bekerja tanpa kartu itu.
Di tengah-tengah pengerjaannya,
untunglah ada seorang Jepang bernama Igarasi yang datang dan melihat, lantas merekomendasi
Toyota Foundation untuk membekali
Pak Hasan dengan sebuah komputer. Herannya, pada saat proses pembuatan kamus
tersebut, ada beberapa orang Banyuwangi yang nyinyir, mengatakan bahwa kamus
itu tak akan pernah selesai. Apa yang dilakukan oleh Pak Hasan? Tetap bekerja menyelesaikan kamus tersebut. Karya akan mematikan gerundelan orang yang tidak penting. Dan setelah kamus itu selesai, tak juga ada
pengakuan dari orang-orang tersebut. Dalam hati saya membatin, orang-orang ini,
mestinya memperkaya hasil kerja Pak
Hasan, bukan mencemooh apa yang dikerjakannya untuk Banyuwangi.
Salah satu yang dikejar Pak Hasan untuk menyelesaikan kamus
itu adalah keprihatinannya melihat kondisi bahasa Using, salah satu bahasa
lokal yang digunakan banyak dalam gending-gending kesenian ataupun tuturan
dalam upacara adat di Banyuwangi. Tanpa ada pembelajaran bahasa ini di
sekolah-sekolah, usia bahasa ini tinggal menunggu waktu. Pak Hasan waktu itu
mengatakan, sebagai medium, tanpa adanya
bahasa ini, tak akan ada gandrung atau kesenian dan upacara adat lainnya.
Setelah beberapa kali pertemuan, ruang tamu berpindah ke
belakang, di meja makan yang sekaligus meja kerjanya yang berada di depan
rak-rak bukunya. “Buku saya hanya soal bahasa dan sejarah,” kata beliau
menerangkan. Sesekali beliau mengambilkan saya referensi berupa buku atau
fotokopian, yang kemudian dikembalikan ke tempatnya semula. Beliau perlu
beberapa menit tambahan untuk memastikan naskah itu tersimpan rapi dalam arti
harfiah, merapikan pinggir-pinggirnya sampai lurus.
Obsesinya yang sampai sekarang belum kesampaian adalah
membawa Perang Bayu ke dalam buku serial Sejarah Nasional Indonesia (SNI).
Matanya pernah seakan melihat saya dengan tidak percaya, saat saya bawakan enam
jilid buku SNI, yang saya dapatkan dari sebuah pameran buku di Istora. Berkali-kali menanyakan,"Benar buku ini untuk saya?" Isi satu
seri buku SNI itu lah yang terus menjadi ganjalan penuh kegundahan beliau, jauh sebelum beliau
menerima seri buku tersebut.
“Bagaimana mungkin perang yang diakui sendiri oleh Belanda,
yang menghabiskan biaya dan nyawa serdadu Belanda terbanyak mulai Belanda ada di
nusantara sampai saat itu, tidak masuk ke dalam sejarah bangsa kita?” ungkapnya.
Upaya memasukkan bagian paling heroik dalam sejarah
Blambangan, yang dikenal dengan Perang Bayu, ke dalam buku
SNI yang saat itu akan diperbaharui, membuat saya menjadi semacam kurir yang
menghubungkan Pak Hasan dengan tim penulis SNI. Salah satunya adalah Ibu Prof.
Dr. Herlina Lubis, dosen Universitas Padjadjaran. Beberapa kali saya membawa
naskah yang disiapkan oleh Pak Hasan dan menitipkannya pada Tim Penulis SNI
yang sering menggelar rapatnya di kantor kementrian Pendidikan di Senayan
Jakarta.
Buku sejarah kita memang diwariskan dari Belanda. Sehingga
nama-nama pahlawan yang disebut dalam sejarah nasional adalah mereka yang
pernah takluk atau dikalahkan penjajah Belanda. Sementara nama-nama dan
peristiwa yang pernah memalukan Belanda, tidak pernah masuk dalam perjalanan
sejarah yang mereka bikin, termasuk Perang Bayu, bulan Desember 1771.
Dalam buku Perebutan
Hegemoni Blambangan, penulisnya Pak Sri Margana mengatakan, orang-orang
Banyuwangi menentukan hari lahir kotanya tiga tahun lebih awal. Justru pilihan
ini disadari dari awal. Pak Hasan , sebagai pengusul tanggal tersebut, mencari hari di mana pahlawan Belambangan
meluluhlantakkan penjajah sebagai rujukan hari lahir. Beliau meyakini, manusia
tidak bisa memilih hari lahirnya, tetapi hari kelahiran sebuah kota atau
daerah, bisa dicari sesuai dengan rujukan sebuah peristiwa yang mengilhami,
yang membangkitkan semangat heroisme dan menginspirasi warganya untuk mewarisi
semangat kakek buyutnya. Bukan hari saat
penjajah memberi beslit untuk menunjuk bupati baru di tempat baru, sebagai
upaya menghilangkan jejak Blambangan. Apalagi tanggal saat bupati yang bersumpah
setia kepada penjajah menduduki kantor baru. Karena pada tanggal-tanggal itu
tidak ada satupun kenangan yang bisa dibanggakan anak cucu dan pada saat yang
sama mencederai perasaan para pahlawan
yang berjuang mengusir para penjajah dari tanah air.
Kelemahan Pak Hasan adalah memberi label pada Perang Bayu, sebagai
perang Puputan, yang rujukannya tidak dapat ditemui. Perdebatan panjang dengan
orang-orang yang berseberangan secara ideologis, menafikkan ide tentang
pentingnya memilih tanggal tersebut sebagai hari lahir Banyuwangi. Bengkerengan tentang ada tidaknya
istilah Puputan menutupi pentingnya pemilihan tanggal 18 Desember sebagai hari
lahir Banyuwangi.
Tentu saja, dengan mengatasnamakan Angkatan ’45, beliau
menolak ide menggunakan tanggal 20 Oktober atau 24 Oktober 1773, sebagai hari
jadi Banyuwangi. Memang pada tanggal tersebut, bupati pertama Mas Alit menempati
pendopo barunya di Banyuwangi. Sehingga, sebagian orang bersikeras, tanggal ini lah
sebagai tanggal lahirnya kota Banyuwangi.
“Bagaimana mungkin kita mengakui tanggal yang digunakan
penjajah untuk memindahkan ibukota, menjadi tanggal hari lahir Banyuwangi? Mana
ada pelajaran moral untuk pewaris Banyuwangi?” kata beliau bersemangat.
Jiwa besar beliau terlihat pada saat merekomendasikan saya
untuk mewawancarai Pak Fatrah Abal (almarhum) meski beliau ini adalah salah
satu yang ikut berseberangan soal Puputan Bayu. “Pak Fat teman baik saya di
luar perbedaan yang kami punya.” Sampai sekarang, saya hanya sekali bertemu
dengan Pak Fat, dan belum sempat berbicara panjang lebar tentang Banyuwangi.
Mudah-mudahan keduanya diberi kubur yang lebar dan terang.
Penyesalan terbesar saya akan beliau adalah tak bisa
mengantarnya ke liang kubur. Dan dari puterinya, Virgi, belakangan, saya
mendengar ternyata beliau pernah meminta tolong sopir puterinya yang lain, mbak
Emilia Contessa di Jakarta, untuk mengantarnya ke rumah saya di Pamulang.
Tetapi tidak pernah terjadi.
Pesan beliau untuk saya terakhir kali bertemu dengan beliau
adalah: “Banyak-banyaklah menulis dalam bahasa Using.” Wekas
yang saya ingat sampai sekarang. “Sebagai bahasa yang utuh, bahasa Using harus
bisa menjadi bahasa yang digunakan sebagai bahasa pengantar di sekolah, di
kantor, bahkan sebagai bahasa ilmiah.
Bahasa Using harus bisa menerjemahkan buku-buku asing dan yang lebih
bagus kalau karya-karya berbahasa Using diterjemahkan ke bahasa asing.”
Mudah-mudahan Pak Hasan menyaksikan apa yang
diperjuangkannya sedikit demi sedikit menunjukkan hasilnya. Lebih penting lagi,
apa yang beliau perjuangkan, soal Perang Bayu dalam SNI dan bahasa Using menjadi
bahasa yang utuh, bisa terlaksana di kemudian hari.
Selamat ulang tahun Pak Hasan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar