Mengutip budayawan Banyumas, Ahmad Tohari, Kompas mengatakan
selama ratusan tahun Dialek Banyumasan ini dianggap inferior daripada bahasa
Jawa bagian tengah yang dituturkan masyarakat Solo, Yogyakarta dan sekitarnya.
Padahal, menurut novelis trilogi Ronggeng Dukuh Paruk ini,
dialek Banyumasan mempunyai struktur gramatikal bahasa yang lebih dekat dengan
bahasa Jawa Kuno, yaitu akar bahasa Jawa.
Saya teringat saat
mengadakan Pelatihan Menulis Nganggit Nganggo Basa Using untuk guru-guru Basa
Using se Kabupaten Banyuwangi di aula Dinas Pendidikan Banyuwangi.
Salah seorang peserta, mengatakan dengan lantang, ia
cenderung malas mengajarkan bahasa Using karena “kasar” dan “tidak punya bahasa
alus.”
Contoh yang dipakai oleh penanya tersebut adalah: “Pak Guru,
cangkeme ana upane.” Menurutnya, bagaimana mungkin seorang murid berbicara dengan gurunya
menggunakan kata “cangkem.”
Yang disebut oleh Ahmad Tohari sebagai gramatikal bahasa
yang lebih dekat dengan bahasa Jawa Kuno, pun terjadi dalam bahasa Using
Belambangan. Bahasa ini mempunya akar yang sama yaitu bahasa Jawa kuno (Kawi).
Bahasa Kawi tidak mengenal unggah-ungguh kasar halus yang membedakan penutur
dari segi kasta sosialnya. Bisa dibandingkan juga bahasa Melayu atau bahasa
Betawi.
Jadi dalam logika berbahasa murid tersebut, kalimat bahasa
Using tersebut tidak salah. Yang salah adalah cara berpikir gurunya, yang
mengharuskan sebuah bahasa punya unggah-ungguh seperti bahasa Jawa.
Memang tidak bisa dipungkiri, banyak guru-guru yang
mengajarkan bahasa Using adalah orang-orang penutur bahasa Jawa, sehingga
mereka mempunya rasa yang berbeda dengan penutur bahasa Using. Dan kehadiran
masyarakat keturunan Jawa di Banyuwangi hampir menyamai jumlah orang asli
Banyuwangi. Sehingga banyak nilai-nilai budaya, termasuk bahasa ini, yang
membuat masyarakat keturunan Jawa mengalami gegar budaya (culture shock). Dan berlanjut pada kesimpulan bahwa orang Using itu
kasar, karena bahasanya yang egaliter.
Saya katakan terhadap guru tersebut, jangan mengukur badan
kita dengan menggunakan baju orang lain. Cara bicara orang Using berbeda dengan
orang Jawa. Tidak menggunakan unggah-ungguh bukan berarti kasar.
Menurut thesis Doktor Suparman Herusantosa di Universitas
Indonesia, berjudul Bahasa Using di
Kabupaten Banyuwangi (1987), Bahasa Using lah yang
sebenarnya masih memegang erat akarnya, yaitu bahasa Jawa Kuno. Bahasa Jawa dan
bahasa Using, sesama turunan dari Bahasa Jawa Kuno, diperkirakan mengalami
perpisahan dengan bahasa induknya sekitar tahun 1163 atau 1174 Masehi.
Jadi bahasa Using tanpa kosa kata yang membedakan orang dari
strata sosialnya merupakan sebuah bahasa yang utuh, yang tersendiri berbeda
dari bahasa Jawa. Gunakan lah bahasa Using sebisa mungkin, pada tempatnya, dan gunakan
bahasa lain pada tempatnya. Dengan begini, kesalahpahaman bisa dihindari. Dan bahasa Using menjadi tegak berdiri sejajar dengan bahasa lainnya.
iwandear@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar