Senin, 16 November 2015

Bahasa Using dan upaya menegakkan jatidiri

Harian Kompas, 16 Nov 2015, memuat sebuah berita yang menyoroti perkembangan bahasa Jawa dialek Banyumasan. Dialek yang sering disebut bahasa “Ngapak” ini dipakai sekitar enam juta penutur di daerah Banyumas, Cilacap, Kebumen, Purbalingga, Banjarnegara, Tegal, Brebes, sebagian Wonosobo dan Pemalang.

Mengutip budayawan Banyumas, Ahmad Tohari, Kompas mengatakan selama ratusan tahun Dialek Banyumasan ini dianggap inferior daripada bahasa Jawa bagian tengah yang dituturkan masyarakat Solo, Yogyakarta dan sekitarnya.

Padahal, menurut novelis trilogi Ronggeng Dukuh Paruk ini, dialek Banyumasan mempunyai struktur gramatikal bahasa yang lebih dekat dengan bahasa Jawa Kuno, yaitu akar bahasa Jawa.

 Saya teringat saat mengadakan Pelatihan Menulis Nganggit Nganggo Basa Using untuk guru-guru Basa Using se Kabupaten Banyuwangi di aula Dinas Pendidikan Banyuwangi.

Salah seorang peserta, mengatakan dengan lantang, ia cenderung malas mengajarkan bahasa Using karena “kasar” dan “tidak punya bahasa alus.”

Contoh yang dipakai oleh penanya tersebut adalah: “Pak Guru, cangkeme ana upane.” Menurutnya, bagaimana mungkin seorang murid berbicara dengan gurunya menggunakan kata “cangkem.”

Yang disebut oleh Ahmad Tohari sebagai gramatikal bahasa yang lebih dekat dengan bahasa Jawa Kuno, pun terjadi dalam bahasa Using Belambangan. Bahasa ini mempunya akar yang sama yaitu bahasa Jawa kuno (Kawi). Bahasa Kawi tidak mengenal unggah-ungguh kasar halus yang membedakan penutur dari segi kasta sosialnya. Bisa dibandingkan juga bahasa Melayu atau bahasa Betawi.

Jadi dalam logika berbahasa murid tersebut, kalimat bahasa Using tersebut tidak salah. Yang salah adalah cara berpikir gurunya, yang mengharuskan sebuah bahasa punya unggah-ungguh seperti bahasa Jawa.

Memang tidak bisa dipungkiri, banyak guru-guru yang mengajarkan bahasa Using adalah orang-orang penutur bahasa Jawa, sehingga mereka mempunya rasa yang berbeda dengan penutur bahasa Using. Dan kehadiran masyarakat keturunan Jawa di Banyuwangi hampir menyamai jumlah orang asli Banyuwangi. Sehingga banyak nilai-nilai budaya, termasuk bahasa ini, yang membuat masyarakat keturunan Jawa mengalami gegar budaya (culture shock). Dan berlanjut pada kesimpulan bahwa orang Using itu kasar, karena bahasanya yang egaliter.

Saya katakan terhadap guru tersebut, jangan mengukur badan kita dengan menggunakan baju orang lain. Cara bicara orang Using berbeda dengan orang Jawa. Tidak menggunakan unggah-ungguh bukan berarti kasar.

Menurut thesis Doktor Suparman Herusantosa di Universitas Indonesia, berjudul Bahasa Using di Kabupaten Banyuwangi (1987), Bahasa Using lah yang sebenarnya masih memegang erat akarnya, yaitu bahasa Jawa Kuno. Bahasa Jawa dan bahasa Using, sesama turunan dari Bahasa Jawa Kuno, diperkirakan mengalami perpisahan dengan bahasa induknya sekitar tahun 1163 atau 1174 Masehi.

Jadi bahasa Using tanpa kosa kata yang membedakan orang dari strata sosialnya merupakan sebuah bahasa yang utuh, yang tersendiri berbeda dari bahasa Jawa. Gunakan lah bahasa Using sebisa mungkin, pada tempatnya, dan gunakan bahasa lain pada tempatnya. Dengan begini, kesalahpahaman bisa dihindari. Dan bahasa Using menjadi tegak berdiri sejajar dengan bahasa lainnya.

iwandear@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar