Kamis, 27 Februari 2014

Mestikah Red Island daripada Pulau Merah?

Sekali lagi muncul pertanyaan dalam diskusi grup facebook Banyuwangi, tentang Pulau Merah yang banyak diinggriskan menjadi Red Island. Pertama muncul dalam Gesah Cara Banyuwangian Aseli dan kedua dalam Komunitas Sejarah Blambangan.
   Sebenarnya kasus Red Island bukan yang pertama. Ada juga Teluk Hijau jadi Green Bay dan Grajagan jadi G-Land.
   Sejatinya, dalam lingkup yang lebih besar dalam bahasa nasional kita, memang tidak ada kebijakan yang tegas, dalam menuliskan ejaan nama negara, apakah sebenarnya kita mesti mengadopsi
(a)    bunyinya, seperti
Papua New Guinea menjadi Papua Nugini
Croatia menjadi Kroasia
(b)   mengganti sebagian katanya dan meniru bunyinya, seperti
New Zealand menjadi Selandia Baru
(c)    menerjemahkannya, ke dalam bahasa kita, seperti
Cote d’Ivoire menjadi Pantai Gading
South Korea menjadi Korea Selatan
Central African Republic menjadi Republik Afrika Tengah
(d) menyesuaikan dengan lidah kita
      Belgium menjadi Belgia
      Holland menjadi Belanda
      France menjadi Perancis
(e)    tetap seperti aslinya, dan dibaca seperti aslinya seperti
Malaysia
Thailand

   Meskipun sah-sah saja kita menamai negara lain dengan apa yang sudah kita sepakati, tetapi tidak pernah diaplikasikan pada nama daerah. Tapi tidak pernah kita bilang York Baru (New York), Gunung Cahaya (Jabal Nur), Membangun (Medina), sementara antara Peking atau Beijing hanya karena perbedaan dialek saja.
   Dan kita konsisten untuk tetap ikut menulis seperti aslinya, mungkin dengan lafal yang berbeda meski sulit untuk lidah kita, seperti Reykjavik, Arkansas (kita baca Arkansas bukan Arkanso seperti orang Amerika melafalkannya), Villeneuve Loubet (dengan huruf t di belakang Loubet yang tidak dilafalkan) di Prancis selatan, Nong Pla Lai kota pantai di Thailand.
   Mungkin saja ada yang berpikir, dengan bahasa Inggris yang lebih menginternasional, nama Red Island tersebut akan menjadi lebih gampang diingat. Bisa jadi efek yang terjadi justru sebaliknya. Orang asing, merasa lebih merasakan eksotisme nama tempat lokal daripada yang sudah diinggriskan.
   Tiga K tempat yang menjadi (masih dan ada yang pernah disebut sebagai ”ibukota” pariwisata Asia dalam buku wisata tulisan Tony Wheeler dari Lonely Planet): Kuta, Kabul dan Khaosarn, tetap memakai nama lokal dan lebih menikmati keglamorannya di antara wisatawan.
Jadi semestinya, kita tidak terlalu “keminggris” dengan menerjemahkan seluruh tempat menjadi bahasa Inggris. Biarkan ia tetap lokal, tetap eksotis, dan tetap tumbuh besar dalam namanya sendiri.
Kecuali, kalau ada orang asing yang menamai Pulau Merah menjadi Red Island, itu urusan dia. G-Land itu sebutan di antara mereka. Bukan di antara kita. Mestinya dalam pembicaraan antar kita sendiri, mestinya tetap Grajagan. Tetap Pulau Merah. Atau kalaupun terpaksa, saat berbicara dengan orang asing, dalam tulisan misalnya, kita tulis Pulau Merah, Red Island. Nama asli Pulau Merah tetap muncul.
Jadi jangan sampai muncul kata-kata berikut dan jadi bahan tertawaan:

Tukang kayu jadi Carpenter
Panderejo jadi Prosperous Blacksmith
Kampung Melayu menjadi Malay Kampoong
Dandang Wiring jadi Yellowish Red Crow
Genteng jadi The Roof
Kalibaru jadi New River
Bajulmati jadi Dead Crocodile
Singonegaran jadi Land of Lion
Pelawangan jadi Water Gate
Gumuk Banteng jadi Bull Hill
Watu Kebo jadi Buffalo Rock


Mari kita nikmati bahasa kita sendiri.

(iwandear@gmail.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar