Sekali lagi muncul pertanyaan dalam diskusi grup facebook
Banyuwangi, tentang Pulau Merah yang banyak diinggriskan menjadi Red Island. Pertama muncul dalam Gesah
Cara Banyuwangian Aseli dan kedua dalam Komunitas Sejarah Blambangan.
Sebenarnya kasus Red Island bukan yang pertama. Ada
juga Teluk Hijau jadi Green Bay dan
Grajagan jadi G-Land.
Sejatinya, dalam
lingkup yang lebih besar dalam bahasa nasional kita, memang tidak ada kebijakan
yang tegas, dalam menuliskan ejaan nama negara, apakah sebenarnya kita mesti
mengadopsi
(a)
bunyinya, seperti
(b) mengganti sebagian katanya dan meniru
bunyinya, seperti
New Zealand menjadi Selandia Baru
(c) menerjemahkannya, ke dalam bahasa kita,
seperti
Cote d’Ivoire menjadi Pantai Gading
South Korea menjadi Korea Selatan
Central African Republic menjadi Republik Afrika Tengah
(d) menyesuaikan dengan lidah kita
Belgium menjadi Belgia
Holland menjadi Belanda
France menjadi Perancis
(e) tetap seperti aslinya, dan dibaca seperti
aslinya seperti
Meskipun sah-sah
saja kita menamai negara lain dengan apa yang sudah kita sepakati, tetapi tidak
pernah diaplikasikan pada nama daerah. Tapi tidak pernah kita bilang York Baru
(New York), Gunung Cahaya (Jabal Nur), Membangun (Medina), sementara antara
Peking atau Beijing hanya karena perbedaan dialek saja.
Dan kita konsisten
untuk tetap ikut menulis seperti aslinya, mungkin dengan lafal yang berbeda
meski sulit untuk lidah kita, seperti Reykjavik, Arkansas (kita baca Arkansas
bukan Arkanso seperti orang Amerika melafalkannya), Villeneuve Loubet (dengan
huruf t di belakang Loubet yang tidak dilafalkan) di Prancis selatan, Nong Pla
Lai kota pantai di Thailand.
Mungkin saja ada
yang berpikir, dengan bahasa Inggris yang lebih menginternasional, nama Red Island tersebut akan menjadi lebih
gampang diingat. Bisa jadi efek yang terjadi justru sebaliknya. Orang asing,
merasa lebih merasakan eksotisme nama tempat lokal daripada yang sudah
diinggriskan.
Tiga K tempat yang
menjadi (masih dan ada yang pernah disebut sebagai ”ibukota” pariwisata Asia
dalam buku wisata tulisan Tony Wheeler dari Lonely Planet): Kuta, Kabul dan Khaosarn, tetap
memakai nama lokal dan lebih menikmati keglamorannya di antara wisatawan.
Jadi semestinya, kita tidak
terlalu “keminggris” dengan menerjemahkan seluruh tempat menjadi bahasa
Inggris. Biarkan ia tetap lokal, tetap eksotis, dan tetap tumbuh besar dalam
namanya sendiri.
Kecuali, kalau ada orang asing
yang menamai Pulau Merah menjadi Red
Island , itu urusan dia.
G-Land itu sebutan di antara mereka. Bukan di antara kita. Mestinya dalam
pembicaraan antar kita sendiri, mestinya tetap Grajagan. Tetap Pulau Merah. Atau
kalaupun terpaksa, saat berbicara dengan orang asing, dalam tulisan misalnya,
kita tulis Pulau Merah, Red
Island . Nama asli Pulau
Merah tetap muncul.
Jadi jangan sampai muncul kata-kata berikut dan jadi bahan tertawaan:
Tukang kayu jadi Carpenter
Panderejo jadi Prosperous
Blacksmith
Kampung Melayu menjadi Malay
Kampoong
Dandang Wiring jadi Yellowish
Red Crow
Genteng jadi The Roof
Kalibaru jadi New River
Bajulmati jadi Dead
Crocodile
Pelawangan jadi Water
Gate
Gumuk Banteng jadi Bull
Hill
Watu Kebo jadi Buffalo
Rock
Mari kita nikmati bahasa kita sendiri.
(iwandear@gmail.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar