Sudah bukan jamannya lagi,
kita warga Banyuwangi, baik yang meneruskan karyanya di Banyuwangi maupun yang
berada di perantauan untuk hanya berbangga-bangga soal Banyuwangi.
Memang saat ini Banyuwangi seakan-akan jadi
primadona, baik di bidang investasi, tata penyelenggaraan pemerintah, khususnya
lagi pariwisata.
Tak dipungkiri, Tuhan telah menganugerahi
penduduk Banyuwangi sebuah alam yang perlu banyak disyukuri. Kalau boleh
mengutip almarhum kolumnis Belanda yang tinggal di Bandung , MAW Brouwer; Tuhan sedang tersenyum
saat menciptakan Banyuwangi. Dari pantai yang indah (Grajagan, Pulau Merah
dll), gunung-gunung (Raung, Ijen) dan hamparan lanskap, hutan, sawah, ladang
yang indah di antara keduanya.
Yang tak kalah pentingnya, khususnya untuk
daya tarik wisata adalah orang-orangnya. Mereka ini membuat Banyuwangi sekarang
seperti laboratorium kebudayaan yang tak habis-habisnya untuk dibahas. Setiap
saat, para seniman Banyuwangi menciptakan tari-tarian, pertunjukan, gending-gending
baru dan kreasi seni lain.
Negeri yang penuh kontras. Meski mayoritas
beragama Islam, kesenian dan upacara sakral yang mengandung nuansa pemujaan
terhadap leluhur, seperti Seblang Bakungan, Seblang Olehsari, Kebo-keboan,
masih hidup terus.
Kabupaten dengan jumlah pesantren yang lebih banyak dari sekolah umum, tetapi kadang miris melihat kenyataan bahwa tempat-tempat maksiat juga terjaga eksistensinya.
Di saat kesenian rakyat daerah lain, tinggal
menunggu ajal seperti Lenong di Jakarta
atau Ludruk di Surabaya, kesenian rakyat seperti Damarwulan, Gandrung dll malah
menunjukkan aktivitas kegairahan yang meningkat. Ada kabar dua grup Damarwulan
di Muncar, yang mendapat tanggapan 30 kali dalam sebulan, kecuali masa libur
mereka saat Ramadhan dan sekitar hari raya haji Idul Adha.
Lagu-lagu daerah (meski belakangan diracuni
oleh selera murahan yang mengandalkan betotan syahwat sebagai daya tarik) tetap
menjadi tuan rumah di nagarinya sendiri. Dan menjawab tantangan jaman, musik
daerah yang digemari telah bermetamorfosis dari angklung, menjadi kendang
kempul atau yang belakangan dipengaruhi musik blues (kelompok POB dan
pengekornya). Sampai pada sekarang yang lebih sekedar mengikuti ajakan waktu, atas nama trend dan selera pasar, seperti koplo yang bisa jadi hanya liriknya saja yang berbahasa lokal tetapi
tidak ada identitas musik yang bisa diasosiasikan dengan kesenian Banyuwangi.
Bahkan tidak lagi mengikuti notasi musik Banyuwangi.
Kembali ke masalah Banyuwangi sebagai
laboratorium kebudayaan daerah. Kita mesti angkat topi kepada para seniman
seperti: Mbok Temu, Mbok Kusniah, Pak Mitro, Pak Tejo, Pak Sahuni, Pak Subari
Sofyan, Pak Bashir Nurdian, Pak Fatrah Abal, Pak Andang CY, Pak Hasnan
Singodimayan, Pak Armaya, Pak Achmad Aksoro, Pak S Yadi K, dan seniman-seniman lain yang tak dapat
disebut satu per satu yang hidup berserak se-antero Banyuwangi.
Karena pengetahuan dan pengalamannya yang
mumpuni, mereka ini jadi tempat bertanya. Tapi mengingat usianya, Banyuwangi
perlu merasa khawatir. Mereka ini perlu segera mendapat perhatian. Kalau boleh
memakai istilah bahasa Inggris, mereka ini adalah Perpustakaan yang terbakar (Libraries on fire).
Dan kalau sampai mereka meninggal, tanpa
banyak didokumentasikan, mereka akan membawa seluruh pengetahuannya yang sangat
berharga ke liang lahat. Dan generasi penerus cuma bisa mereka-reka.
Selama ini, mereka juga menjadi tempat
bertanya bagi para peneliti-peneliti dari berbagai universitas baik dalam
maupun luar negeri. Semestinya, kita masyarakat Banyuwangi sudah mulai berhenti
berbangga, bahwa satu dua orang senimannya menjadi obyek penelitian. Hanya
menjadi nara
sumber dari sebuah penelitian. Yang hasilnya dituliskan oleh peneliti-peneliti
luar. Karena dari luar, mereka ini mau tidak mau akan memakai kacamatanya
sendiri dalam melihat sebuah persoalan, melihat kenyataan yang ada.
Sudah saatnya Banyuwangi menuliskan
sejarahnya sendiri. Kita memang tidak bisa membendung peneliti penulis dari
luar untuk berhenti menulis tentang Banyuwangi. Justru kita malah harus
berterimakasih kepada mereka yang masih mempunyai perhatian kepada Banyuwangi.
Yang harus dilakukan adalah, para penulis
Banyuwangi untuk mencatat banyak-banyak, menulis banyak-banyak tentang
Banyuwangi, sehingga kita tidak menjadi obyek tulisan saja. Sudah saatnya
dihentikan penelitian yang diistilahkan sebagai “melihat dari kapal pesiar”,
peneliti asing yang mengeker dari kapal, dan menuliskan hasil penelitiannya. Yang
lebih parah, kalau hasil penelitian atau tulisan yang dipublikasikan
bertentangan dengan kehidupan sebenarnya (ini sangat mungkin terjadi kalau
model penelitian kapal pesiar dilakukan dan para peneliti asing, yang juga
punya interest melihat persoalan dari kepentingan mereka).
Sudah saatnya kita menulis sendiri sejarah
kita. Sudah bukan jamannya lagi kita meneriaki saudara kita yang mengangkat
persoalan dengan sudut pandang lokal. Dan kalau para penulis, pembuat film
Banyuwangi mau mendokumentasikan apa yang mereka lihat, mereka rasakan, hasil
tulisannya akan jauh lebih berwarna daripada apa yang ditulis oleh liyan (orang
lain).
Saat ini teknologi sudah membuat segalanya
menjadi mudah. Kalau penerbitan buku cetak susah, kita bisa tampilkan secara on-line. Film
dokumenter susah ditayangkan di televisi, kita cari media alternatif yang bisa
menayangkannya.
Dan kita biasakan, kalau ada orang
menulis buku yang kita tidak merasa cocok, kita balas dengan buku. Artikel kita
balas dengan artikel. Dan berhenti sekedar mencaci maki. Belajar dari
Damarwulan yang dulunya berdasarkan naskah ”paksaan” yang menjelekkan orang
Banyuwangi sendiri, harus kita balas dengan cerita yang lebih baik.
Tidak cukup hanya mengata-ngatai
perbuatan orang lain yang menulis jelek terhadap kita. Kita tidak bisa
menyalahkan penulis Damarwulan, karena dia menulis dengan sudut pandang dan
kepentingan nagarinya. Kita harus bikin cerita lebih baik, dan seperti sudah
dilakukan, berhenti mementaskan Damarwulan dengan sudut pandang Mataraman.
Sebenarnya sudah ada beberapa
penerbitan, sebagian berkala, seperti Majalah Kebudayaan Jejak yang kemudian
menjadi Lembar Kebudayaan, kemudian Komunitas Sejarah Banyuwangi Koseba
menerbitkan Mozaik Banyuwangi 1 dan 2, Majalah dwi-tahunan berbahasa Using,
Lontar yang diterbitkan oleh Balai Bahasa Jawa Timur di Surabaya, Jurnal Strungking, Jurnal NaguD. Dulu juga pernah ada majalah Seblang, tapi entah bagaimana nasibnya.
Atau pun yang berupa blog, seperti padangulan.wordpress atau osingkertarajasa.wordpress.com, lepasparagraf1.blogspot.com.
Namun, melihat materi yang begitu kaya,
sepertinya Banyuwangi memerlukan lebih banyak tangan putera-puterinya untuk
menuliskan sejarahnya sendiri.
Mudah-mudahan dengan gerakan pendokumentasian
sejarah Banyuwangi ini, Banyuwangi akan semakin baik ke depannya. Tidak sekedar
menjadi obyek, kita harus menjadi bagian yang menentukan hasil tulisan atau
penelitian tersebut. (iwandear@gmail.com)
sya setuju 100% bahwa kta harus bangkit. usul saya " saya pingin punya buku tentang sejarah nama-nama desa yg ada di banyuwangi. ni sya juga masih dalam proses nulis buku yang isinya Gendhing Using. masih ngerjakan buku 2, buku 1 sudah selesai yang berisi 500 Gendhing Using. tapi dalam pengerjaan buku tersebut saya merasa kekurangan referensi, mohon bimbingannya. trimakasih
BalasHapusSALAM LARUS.......
Kang Usman, inbox nang FB nisun antariksawan jusuf nomer HP riko, penting
BalasHapusKang Usman, atau email nomer HP riko yo: iwandear@gmail.com
BalasHapus