Sabtu, 01 Maret 2014

Haji Tejok, Maestro Angklung (Radar Banyuwangi 28 Feb 2014)



Senin, 24 Februari 2014. Saya mendapat pesan singkat dari pelukis Kang S Yadi K, “Telah meninggal dunia H. Sutejo Hadi Hanafi” Sawahan Pengantigan, dimakamakan pk 8.30.” Pesan yang sungguh meretakkan hati siapa saja yang punya kepedulian terhadap kelangsungan kehidupan berkesenian tradisional Banyuwangi.
Satu buku telah terbakar lagi. Utamanya buku tentang ilmu gending dan angklung Banyuwangi, yang dibawa ke liang lahat. Sebenarnya saya tidak begitu kenal dengan Pak Tejo, yang biasanya disebut Haji Tejok oleh orang-orang yang mengenalnya.
Pada saat acara pertunjukan perdana Malam Mingguan di Gesora Taman Blambangan awal 2013, saya dikenalkan oleh Wak Hasnan Singodimayan. Terus beberapa kali bertemu dalam acara lain, cuma sekelebatan. Tidak pernah ngobrol intens. ”Salah satu maestro angklung Banyuwangi,” demikian Wak Hasnan membisiki saya.
Pada saat Lebaran 2013 yang lalu, saya diantarkan oleh anak Wak Hasnan, Bonang Prasunan, bersilaturahmi ke rumah Haji Tejok, di Sawahan Pengantiga, dekat Masjid Al Amin Pengantigan. Rumahnya agak masuk gang, dan sebagaimana tuan rumah orang Banyuwangi lainnya, saya dijamu bagai tamu lebaran. Suguhan disajikan, gerunggung rengginang ketan dan kue Banyuwangi lainnya.
Mengetahui saya sedang berminat untuk menerbitkan naskah-naskah Banyuwangi, Haji Tejok mengungkapkan keinginannya untuk menulis buku tentang angklung Banyuwangi. Saya sanggupi untuk mencarikan jalan dan cara menerbitkan bukunya.
“Ya, nanti bulan Desember ambil naskahnya ya. Sekarang pun sebenarnya sudah ada, hanya belum lengkap. Masih kesingsal di beberapa tempat.”
Bulan Desember, pada saat acara peluncuran buku dan pelatihan menulis yang saya adakan, saya berusaha mampir, tetapi beliau sedang berkunjung ke tempat saudaranya di daerah Banyuwangi Selatan.
Sebenarnya, beliau bercerita, sudah pernah menulis buku soal angklung tersebut. Tetapi draft buku tersebut dipinjam orang dan sampai sekarang tak tahu dimana gerangan.
Begitu menyatunya Haji Tejok dengan angklung, kata Wak Hasnan, beliau bisa mengenali ada satu bambu yang hampir pecah di antara puluhan suara angklung.
Semasa hidupnya, Haji Tejok bercerita, mulai mengenal angklung sedari kecil. Sampai dewasa, ikut grup angklung. Yang saya ingat dari ceritanya, pada saat pertunjukan angklung caruk, pasti ada rapalan yang mesti diamalkan. Khususnya saat menghadapi dua desa yang dia sebutkan namanya.
”Jangan sampai naik, tanpa apa-apa. Ada saja gangguannya, mulai dari angklung yang ditabuh tapi tak bersuara, sampai si penabuh mengeluarkan berak darah. Memang itu yang terjadi.” Malah ada grup-grup yang tidak berani, lebih baik mengurungkan niatnya untuk caruk, daripada tidak bisa pulang.
Saya termasuk awam mengenai angklung, angklung caruk dan tetek bengeknya. Tapi yang saya catat dalam hati, Haji Tejok sudah berkeinginan menurunkan ilmunya pada anak cucunya orang Banyuwangi. Tetapi sekarang, keinginan itu entah dimana.
Dan saya kehilangan buku Banyuwangi. Buku dalam arti sebenarnya, yang sedang digarap oleh beliau. Dan buku yang terbakar seperti kiasan saat sang maestro membawa pengetahuannya ke liang kubur. Buku tentang kekayaan budaya Banyuwangi.
Pak Haji Tejok, anda mendahului saya. Saya cuma bisa mengucap, mudah-mudahan kuburnya dilapangkan, dosa-dosa diampuni. Dan doakan saya bisa menemukan buku angklung yang anda impikan untuk diwariskan. Entah akan saya gali darimana.
Antariksawan Jusuf
(iwandear@gmail.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar