Senin, 24 Februari
2014. Saya mendapat pesan singkat dari pelukis Kang S Yadi K, “Telah meninggal
dunia H. Sutejo Hadi Hanafi” Sawahan Pengantigan, dimakamakan pk 8.30.” Pesan
yang sungguh meretakkan hati siapa saja yang punya kepedulian terhadap
kelangsungan kehidupan berkesenian tradisional Banyuwangi.
Satu
buku telah terbakar lagi. Utamanya buku tentang ilmu gending dan angklung
Banyuwangi, yang dibawa ke liang lahat. Sebenarnya saya tidak begitu kenal
dengan Pak Tejo, yang biasanya disebut Haji Tejok oleh orang-orang yang
mengenalnya.
Pada
saat acara pertunjukan perdana Malam Mingguan di Gesora Taman Blambangan awal
2013, saya dikenalkan oleh Wak Hasnan Singodimayan. Terus beberapa kali bertemu
dalam acara lain, cuma sekelebatan. Tidak pernah ngobrol intens. ”Salah satu
maestro angklung Banyuwangi,” demikian Wak Hasnan membisiki saya.
Pada
saat Lebaran 2013 yang lalu, saya diantarkan oleh anak Wak Hasnan, Bonang
Prasunan, bersilaturahmi ke rumah Haji Tejok, di Sawahan Pengantiga, dekat Masjid Al Amin Pengantigan. Rumahnya agak masuk gang, dan sebagaimana tuan rumah orang
Banyuwangi lainnya, saya dijamu bagai tamu lebaran. Suguhan disajikan,
gerunggung rengginang ketan dan kue Banyuwangi lainnya.
Mengetahui
saya sedang berminat untuk menerbitkan naskah-naskah Banyuwangi, Haji Tejok
mengungkapkan keinginannya untuk menulis buku tentang angklung Banyuwangi. Saya
sanggupi untuk mencarikan jalan dan cara menerbitkan bukunya.
“Ya,
nanti bulan Desember ambil naskahnya ya. Sekarang pun sebenarnya sudah ada, hanya belum lengkap. Masih kesingsal di
beberapa tempat.”
Bulan
Desember, pada saat acara peluncuran buku dan pelatihan menulis yang saya
adakan, saya berusaha mampir, tetapi beliau sedang berkunjung ke tempat
saudaranya di daerah Banyuwangi Selatan.
Sebenarnya,
beliau bercerita, sudah pernah menulis buku soal angklung tersebut. Tetapi
draft buku tersebut dipinjam orang dan sampai sekarang tak tahu dimana
gerangan.
Begitu
menyatunya Haji Tejok dengan angklung, kata Wak Hasnan, beliau bisa mengenali
ada satu bambu yang hampir pecah di antara puluhan suara angklung.
Semasa
hidupnya, Haji Tejok bercerita, mulai mengenal angklung sedari kecil. Sampai
dewasa, ikut grup angklung. Yang saya ingat dari ceritanya, pada saat
pertunjukan angklung caruk, pasti ada rapalan yang mesti diamalkan. Khususnya
saat menghadapi dua desa yang dia sebutkan namanya.
”Jangan
sampai naik, tanpa apa-apa. Ada saja gangguannya, mulai dari angklung yang
ditabuh tapi tak bersuara, sampai si penabuh mengeluarkan berak darah. Memang
itu yang terjadi.” Malah ada grup-grup yang tidak berani, lebih baik
mengurungkan niatnya untuk caruk, daripada tidak bisa pulang.
Saya
termasuk awam mengenai angklung, angklung caruk dan tetek bengeknya. Tapi yang
saya catat dalam hati, Haji Tejok sudah berkeinginan menurunkan ilmunya pada
anak cucunya orang Banyuwangi. Tetapi sekarang, keinginan itu entah dimana.
Dan
saya kehilangan buku Banyuwangi. Buku dalam arti sebenarnya, yang sedang
digarap oleh beliau. Dan buku yang terbakar seperti kiasan saat sang maestro
membawa pengetahuannya ke liang kubur. Buku tentang kekayaan budaya Banyuwangi.
Pak
Haji Tejok, anda mendahului saya. Saya cuma bisa mengucap, mudah-mudahan
kuburnya dilapangkan, dosa-dosa diampuni. Dan doakan saya bisa menemukan buku
angklung yang anda impikan untuk diwariskan. Entah akan saya gali darimana.
Antariksawan
Jusuf
(iwandear@gmail.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar