Generasi Banyuwangi yang menjalani masa sekolah SD sebelum
tahun 2000 memang tidak pernah merasakan pelajaran Bahasa Using. Dan itu adalah
generasi yang sekarang berumur 25-an ke atas, yang bisa dikatakan buta bahasa Using
baku.
Jadi tidak bisa ‘dipaido’ kalau ada yang masih suka
mengklaim bahwa bahasa Using di desanya paling deles dan menuliskannya dengan
cara semaunya sendiri.
Bahasa Using tulis yang baku sudah diajarkan di
sekolah-sekolah. Meski bahasa Using sudah diperkenalkan terbatas pada tiga
kecamatan tahun 1997, baru pada tahun 2006 lah Dewan Kesenian Blambangan
mengeluarkan dua buku yang sangat penting:
1.
Tata Bahasa Baku Bahasa Using
2.
Pedoman Umum Ejaan Bahasa Using (Cara Menulis
dan Membaca Bahasa Using)
Isi buku tersebut, antara lain menjawab pertanyaan
orang-orang Banyuwangi yang belum pernah belajar penulisan baku, misalnya
mengapa ditulis “Using” bukan “Osing”.
Mengapa perlu bahasa baku? Penulisan baku diperlukan justru
untuk menyatukan berbagai dialek yang ada pada bahasa Using. Sama seperti
bahasa Inggris, dialek Ratu, dialek Cockney di London timur, dialek Amerika,
dialek Australia, tulisannya sama, meskipun cara mengucapkannya lain-lain.
Bahasa Indonesia juga begitu. Sebuah kata, dibaca dengan berbagai variasi bunyi
karena yang mengatakan orang dari Medan, Jawa, NTT yang berbeda-beda cara mengucapkannya.
Tetapi tulisannya tetap sama. Tidak apa-apa, sah-sah saja.
Nah, bentuk ragam baku inilah yang sudah diajarkan di
sekolah-sekolah dari tahun 1997 sampai sekarang. Lantas bahasa Using, dialek
mana yang dipakai? Kemiren? Parijatah? Mangir? Apakah memakai /bain/, /bawin/, /bahin/,
/byaen/, /bewen/? Dialek dalam bahasa Using begitu banyak. /Isun/? /Ihun/? /Isen/?
/Un/? Atau /paran/? /Paren/? /Paen/? Di sinilah perlunya pembakuan, sehingga
semua orang merujuk pada penulisan yang sama tetapi boleh mengucapkan sesuai
dengan dialeknya masing-masing.
Jadi,
/isun/ adalah yang baku. /isen/ /ihun/ ini lebih ke variasi
bahasa percakapan.
/bain/ adalah yang baku. /baen; bewen; bawin; bahin/ adalah
variasi ucapnya.
Dalam pengucapan, semua dialek benar adanya. Tidak ada desa
yang lebih deles dari desa lainnya.
Kalau kita sedang menuliskan sesuatu dan kita ragu-ragu,
kemana kita mesti mengecek kebakuan kata tersebut? Lihat di Kamus Bahasa Daerah Using-Indonesia,
yang juga diterbitkan oleh DKB tahun 2002.
Kamus itu adalah kamus pertama dan belum pernah direvisi
selama ini, sehingga banyak pula kata-kata yang belum tercatat di sana. Untuk
itu, apabila ada keraguan, dan dalam kamus kata itu belum ada, kita bisa
menggunakan prinsip-prinsip yang ada pada buku Tata Ejaan Bahasa Using. Atau bertanyalah pada guru yang
mengajarkan bahasa Using. Atau pada grup diskusi FaceBook seperti Pelajaran Bahasa Using. Jadi
kesalahannya tidak diulang-ulang. Kalau kita semua sudah membiasakan diri untuk
menulis sesuai dengan aturan yang baku, niscaya bahasa Using akan lebih kuat.
Kalau kita seenaknya menulis seperti kemauan kita, sama saja dengan meruntuhkan
bangunan bahasa Using yang sudah dibangun oleh para pendahulu yang meletakkan
dasar untuk pengajaran bahasa Using.
Jadi jangan lagi menulis:
/ojo/ tapi tulislah /aja/
/osing; oseng/ tapi tulislah /using/
/apuo/ tapi tulislah /apuwa/
/dadung/ tapi tulislah /dhadhung/
Kadhung dudu rika isun,
sapa maning hang arep nguri-nguri basa Using?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar