Sabtu, 16 Januari 2016

Pariwisata Banyuwangi menuju Spanyol (1)


Tanggal 22 Oktober 2015, hari Kamis malam saya sedang berkendara di Jalan Tol Lingkar Luar Jakarta. Tiba-tiba telepon saya berbunyi. Di ujung sana, ada suara yang saya kenal, ibu Giri Adnyani. Beliau ini salah satu petinggi di Kementrian Pariwisata. Jabatannya Sekretaris Deputi Bidang Pengembangan Pemasaran Pariwisata Mancanegara. Terdengar ambians di belakangnya, suara orang-orang sedang rapat.
“Wan, aku ada perlu nih. Dirimu kan suka nulis pariwisata Banyuwangi. Sanggup gak sekarang nulis untuk lomba pariwisata sedunia. Gak banyak, hanya 1,200 kata plus abstraknya 300 kata.”

“Tentang apa mbok?” Saya memanggil Ibu Giri memang mbok, panggilan akrab untuk perempuan yang lebih tua dalam bahasa Bali. Mbok Giri memang kakak kelas saya di kampus Singaraja Bali dulu.

“Pariwisata Banyuwangi."

   Mendengar topiknya, saya tidak pakai pertimbangan yang lain.
“Siap, Mbok.”

Hati saya berbunga-bunga, Banyuwangi dipilih mewakili Indonesia untuk sebuah lomba pariwisata dunia.

Setelah itu, baru saya sadar: “Deadline, kapan Mbok?”

   Deadline menjadi pertimbangan penting karena saya sedang mempersiapkan dua penerbitan buku dan mengumumkan Lomba Mengarang Cerita Berbahasa Using bulan Desember. Satu buku, novel Pak Hasnan Singodimayan yang berjudul Niti Negari Bala Abangan dan satu lagi Kembang Ronce 2015, kumpulan cerita pendek berbahasa Using, hasil lomba yang diumumkan tengah tahun ini.
   Novel Pak Hasnan cukup rumit. Selain mengedit naskah aslinya yang ditulis dalam bahasa Indonesia, juga mengedit versi Usingnya yang dialihbahasakan oleh mbok Uun Hariyati. Mbok Uun ini bahkan tidak sekedar mengalihbahasakan, tetapi menuliskan kembali setelah membaca bahasa Indonesianya. Jadi, editingnya perlu banyak bolak-balik ke naskah bahasa Indonesianya. Saya harus menghitung benar waktunya.

Kalau saya tidak bisa memenuhi tenggat waktu, deadline-nya, saya bisa benar-benar dead.
“Hari Jumat depan,” kata Mbok Giri. Itu artinya seminggu dari sekarang.

“Iwan boleh ke Banyuwangi lusa, akhir pekan ini, ditemani oleh orang Kemenpar. Sanggup gak?”

Dalam hati saya agak menyesal menyanggupi, karena saat itu yang ada dalam pikiran adalah Banyuwangi. Kapan lagi saya berbuat sesuatu untuk tanah kelahiran di pentas dunia?
“Siap, mbok.”

“Nanti ada orang Kemenpar yang akan mengirim email detil lombanya.”
   Dalam perjalanan meneruskan pulang, hati saya bercampur aduk antara semangat tinggi, berdebar-debar karena bebannya, gembira karena mendapat kesempatan, tapi penuh tanya.

“Apa yang akan saya tulis? Saya tahu tentang pariwisata Banyuwangi, tapi apa yang akan saya tulis untuk lomba tingkat dunia? Segi apanya? Apa yang bikin panitia lombanya menoleh dan tertarik tentang Banyuwangi?”
   Saya langsung menghubungi Mila Day, teman seperjuangan, yang dulu pernah menjadi anggota Komisi Penyiaran Indonesia Pusat, dan sekarang dosen di Universitas Indonesia.

“Mil, bantu gua dong,” pinta saya. Saya ingat dalam posting status facebooknya, Mila pernah memberi tautan tentang pariwisata. Mila berjanji memberi beberapa referensi bacaan. “Rumusnya gampang, selalu ditambah teknologi kalau mau pendekatan pariwisata itu menjadi menarik,” pesannya.
   Esok harinya, segala persyaratan untuk perjalanan ke Banyuwangi diurus. Berangkat hari Jumat setelah pulang kerja. Saya segera bergegas ke Cengkareng ke terminal 2, tempat penerbangan Garuda. Boleh dibilang, saya jarang sekali naik Garuda dalam perjalanan saya pulang ke Banyuwangi. Karena pertimbangan biaya, saya pakai Airasia, Batikair, Citilink, atau Lion, yang memang terhitung budget airline, penerbangan murah.

   Di tempat parkir Terminal 2, saya tidak menemukan parkir inap seperti di Termina 1. Terpaksa saya parkir biasa. Di tempat tunggu penumpang, saya bertemu dua orang dari Kementrian yang akan terbang ke Banyuwangi: Mbak Iin dan Mas Dito dari kantor Asisten Deputi Hubungan Kelembagaan Kemenpar.
   Saya selalu bersemangat mengunjungi tempat kelahiran saya, Banyuwangi. Selalu ada hal-hal baru yang saya pelajari di sana. Selalu bertemu orang-orang menarik, yang memberi inspirasi. Selalu menikmati makanan tradisionalnya. Kunjungan saya ke Banyuwangi bisa empat lima kali setahun dalam acara-acara lomba menulis, pelatihan menulis, hibah buku atau meluncurkan buku-buku berbahasa Using, namun perjalanan pulang kali ini sama sekali berbeda. Pulang membawa misi, membawa Banyuwangi yang pariwisatanya sedang “panas” untuk ditunjukkan ke dunia. Rasanya agak berbeda. Sedikit berdebar-debar, karena saya belum menemukan topik yang menarik.

   Singkatnya, kami sampai di Juanda, dan ganti mobil travel menuju Banyuwangi. Mampir makan tengah malam di Probolinggo. Esoknya, hari Sabtu kami sampai di hotel. Jam 10 pagi kami sudah siap menuju kantor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata di Jalan A. Yani, bertemu dengan kepala dinasnya, Pak Yanuarto Bramuda. Sudah dua tahunan ini saya mengenal Pak Bramuda, karena saya sering meminjam Pelinggihan, pendopo kuno, yang menjadi bagian depan kantornya.
   Di sana, Pak Bramuda menerangkan soal bagaimana Banyuwangi yang dulu terkenal sebagai kota santet, mencoba dihapus menjadi kota internet. Bagaimana kota yang dulunya adem ayem, menjadi sebuah kota yang dikenal dengan karnaval dan festival. Yang paling membuat saya terkesan adalah bagaimana mereka membuat pemerintah seperti perusahaan swasta. Re-inventing the government melalui bantuan teknologi sederhana, grup chatting whatsapp.

 Seluruh Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD), menjadi anggota grup wa. Persoalan-persoalan yang timbul, langsung diselesaikan dalam waktu satu hari. Contoh yang diberikan saat itu adalah pecahnya pipa saluran air di Pantai Boom, karena digilas oleh beratnya truk yang mengangkut peralatan setelah Jazz on the Beach. Persoalan diselesaikan satu hari.
   Contoh kedua, saat tumpukan batok kelapa muda menumpuk di Pantai Pulau Merah, dan menjadi headline di salah satu harian lokal: Pulau Merah Darurat Sampah. Berkoordinasi dengan Perhutani Surabaya, Dinas Kebersihan dan Pertamanan, Bagian Perlengkapan, Camat Pesanggaran, sampah yang menggunung, langsung bersih dalam dua hari. Bekas tumpukan menjadi bersih seakan jalan yang baru dibangun. Masalah selesai segera dengan mengeruk pasir memakai alat berat, mengubur batok dan memendamnya dengan pasir,. Persoalan selesai dalam waktu dua hari, karena seminggu kemudian akan dilaksanakan Lomba Surfing internasional di Pulau Merah.

   Pemerintah dengan mindset lama, terkenal dengan cara kerjanya yang bertele-tele, suka menyusahkan masyarakat dan hanya berurusan dengan jasa publik, jasa sosial dan infrastruktur. Sementara pemerintah dengan mindset seperti wirausaha, akan mempunyai sikap berorientasi pada hasil, efisien, melayani publik seperti pengusaha melayani kliennya. Ini yang dinamakan re-inventing the government. Saya pikir pemerintah sekarang sedang melakukan hal ini. Mengadakan 38 event wisata dan dikerjakan seluruhnya oleh pegawai negeri tanpa bantuan event organizer, bukanlah hal yang sederhana. Mereka harus mengubah mindset mereka sebagai pegawai negeri dan menjadi mental wirausahawan yang berorientasi tujuan, efisien, memberi layanan yang baik dan memotong jalur birokrasi yang tidak perlu.
   Menurut kang Bramuda, pemerintah dengan mindset lama, menyelesaikan masalah pipa pecah itu bisa berhari-hari. Perlu tiga hari untuk berkirim surat ke dinas terkait, tiga hari kemudian dijawab itu pun kalau kepala dinasnya berada di tempat, tiga hari lagi untuk menentukan siapa yang membayar tagihan, dan seterusnya.

   Esok harinya, hari Minggu, kebetulan ada upacara Kebo-keboan Alas Malang. Sebenarnya dua orang tamu dari Kemenpar ingin menyaksikan upacara tersebut. Tapi pada saat yang sama mereka ingin mencari tempat alternatif untuk acara Employee Gathering karyawan kementrian Pariwisata. Jadi lah saya mengantarkan mereka ke Segubang melihat Ijen Resort.
   Saat saya sampai di sana, cuaca cerah. Gunung Ijen terlihat jelas. Di atas kolam renangnya, seakan kaki Gunung Ijen menyentuh sisi luar kolam. Hamparan padi berlapis-lapis mengingatkan saya pada Tabanan.




   Malam harinya saya balik ke Surabaya naik travel juga. Mampir makan tengah malam di Probolinggo. Menjelang subuh sudah sampai di bandara Juanda. Pesawat pertama menuju Jakarta sudah menunggu. Pesawat mendarat di Jakarta satu setengah jam kemudian. Saya menuju tempat parkir, dimana mobil saya menginap 2 hari 16 jam 10 menit 26 detik. Total biaya parkir yang harus dibayar: Rp. 501.000. Tagihan parkir paling mahal yang pernah saya bayar.


(Bersambung)

iwandear@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar