Tanggal 22 Oktober 2015, hari Kamis malam saya sedang berkendara
di Jalan Tol Lingkar Luar Jakarta. Tiba-tiba telepon saya berbunyi. Di ujung
sana, ada suara yang saya kenal, ibu Giri Adnyani. Beliau ini salah satu
petinggi di Kementrian Pariwisata. Jabatannya Sekretaris Deputi Bidang
Pengembangan Pemasaran Pariwisata Mancanegara. Terdengar ambians di
belakangnya, suara orang-orang sedang rapat.
“Wan, aku ada perlu nih. Dirimu kan suka nulis pariwisata
Banyuwangi. Sanggup gak sekarang nulis untuk lomba pariwisata sedunia. Gak
banyak, hanya 1,200 kata plus abstraknya 300 kata.”“Tentang apa mbok?” Saya memanggil Ibu Giri memang mbok, panggilan akrab untuk perempuan yang lebih tua dalam bahasa Bali. Mbok Giri memang kakak kelas saya di kampus Singaraja Bali dulu.
“Pariwisata Banyuwangi."
Mendengar topiknya, saya tidak pakai pertimbangan yang lain.
“Siap, Mbok.”Hati saya berbunga-bunga, Banyuwangi dipilih mewakili Indonesia untuk sebuah lomba pariwisata dunia.
Setelah itu, baru saya sadar: “Deadline, kapan Mbok?”
Deadline menjadi
pertimbangan penting karena saya sedang mempersiapkan dua penerbitan buku dan
mengumumkan Lomba Mengarang Cerita
Berbahasa Using bulan Desember. Satu buku, novel Pak Hasnan Singodimayan
yang berjudul Niti Negari Bala Abangan
dan satu lagi Kembang Ronce 2015,
kumpulan cerita pendek berbahasa Using, hasil lomba yang diumumkan tengah tahun
ini.
Novel Pak Hasnan cukup rumit. Selain mengedit naskah aslinya
yang ditulis dalam bahasa Indonesia, juga mengedit versi Usingnya yang
dialihbahasakan oleh mbok Uun Hariyati. Mbok Uun ini bahkan tidak sekedar
mengalihbahasakan, tetapi menuliskan kembali setelah membaca bahasa
Indonesianya. Jadi, editingnya perlu banyak bolak-balik ke naskah bahasa
Indonesianya. Saya harus menghitung benar waktunya.
Kalau saya tidak bisa memenuhi tenggat waktu, deadline-nya,
saya bisa benar-benar dead.
“Hari Jumat depan,” kata Mbok Giri. Itu artinya seminggu
dari sekarang. “Iwan boleh ke Banyuwangi lusa, akhir pekan ini, ditemani oleh orang Kemenpar. Sanggup gak?”
Dalam hati saya agak menyesal menyanggupi, karena saat itu yang
ada dalam pikiran adalah Banyuwangi. Kapan lagi saya berbuat sesuatu untuk
tanah kelahiran di pentas dunia?
“Siap, mbok.”
“Nanti ada orang Kemenpar yang akan mengirim email detil
lombanya.”
Dalam perjalanan meneruskan pulang, hati saya bercampur aduk
antara semangat tinggi, berdebar-debar karena bebannya, gembira karena mendapat
kesempatan, tapi penuh tanya.
“Apa yang akan saya tulis? Saya tahu tentang pariwisata
Banyuwangi, tapi apa yang akan saya tulis untuk lomba tingkat dunia? Segi
apanya? Apa yang bikin panitia lombanya menoleh dan tertarik tentang
Banyuwangi?”
Saya langsung menghubungi Mila Day, teman seperjuangan, yang
dulu pernah menjadi anggota Komisi Penyiaran Indonesia Pusat, dan sekarang
dosen di Universitas Indonesia.
“Mil, bantu gua
dong,” pinta saya. Saya ingat dalam posting status facebooknya, Mila pernah memberi tautan tentang pariwisata. Mila
berjanji memberi beberapa referensi bacaan. “Rumusnya gampang, selalu ditambah
teknologi kalau mau pendekatan pariwisata itu menjadi menarik,” pesannya.
Esok harinya, segala persyaratan untuk perjalanan ke Banyuwangi
diurus. Berangkat hari Jumat setelah pulang kerja. Saya segera bergegas ke
Cengkareng ke terminal 2, tempat penerbangan Garuda. Boleh dibilang, saya jarang sekali naik Garuda dalam
perjalanan saya pulang ke Banyuwangi. Karena pertimbangan biaya, saya pakai Airasia, Batikair, Citilink, atau Lion, yang memang terhitung budget airline, penerbangan murah.
Di tempat parkir Terminal 2, saya tidak menemukan parkir
inap seperti di Termina 1. Terpaksa saya parkir biasa. Di tempat tunggu
penumpang, saya bertemu dua orang dari Kementrian yang akan terbang ke
Banyuwangi: Mbak Iin dan Mas Dito dari kantor Asisten Deputi Hubungan
Kelembagaan Kemenpar.
Saya selalu bersemangat mengunjungi tempat kelahiran saya,
Banyuwangi. Selalu ada hal-hal baru yang saya pelajari di sana. Selalu bertemu
orang-orang menarik, yang memberi inspirasi. Selalu menikmati makanan
tradisionalnya. Kunjungan saya ke Banyuwangi bisa empat lima kali setahun dalam
acara-acara lomba menulis, pelatihan menulis, hibah buku atau meluncurkan
buku-buku berbahasa Using, namun perjalanan pulang kali ini sama sekali
berbeda. Pulang membawa misi, membawa Banyuwangi yang pariwisatanya sedang
“panas” untuk ditunjukkan ke dunia. Rasanya agak berbeda. Sedikit
berdebar-debar, karena saya belum menemukan topik yang menarik.
Singkatnya, kami sampai di Juanda, dan ganti mobil travel
menuju Banyuwangi. Mampir makan tengah malam di Probolinggo. Esoknya, hari
Sabtu kami sampai di hotel. Jam 10 pagi kami sudah siap menuju kantor Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata di Jalan A. Yani, bertemu dengan kepala dinasnya, Pak
Yanuarto Bramuda. Sudah dua tahunan ini saya mengenal Pak Bramuda, karena saya sering meminjam Pelinggihan, pendopo kuno, yang menjadi bagian depan kantornya.
Di sana, Pak Bramuda menerangkan soal bagaimana Banyuwangi
yang dulu terkenal sebagai kota santet, mencoba dihapus menjadi kota internet.
Bagaimana kota yang dulunya adem ayem, menjadi sebuah kota yang dikenal dengan
karnaval dan festival. Yang paling membuat saya terkesan adalah bagaimana
mereka membuat pemerintah seperti perusahaan swasta. Re-inventing the government melalui bantuan teknologi sederhana,
grup chatting whatsapp.
Seluruh Satuan Kerja
Pemerintah Daerah (SKPD), menjadi anggota grup wa. Persoalan-persoalan yang
timbul, langsung diselesaikan dalam waktu satu hari. Contoh yang diberikan saat
itu adalah pecahnya pipa saluran air di Pantai Boom, karena digilas oleh
beratnya truk yang mengangkut peralatan setelah Jazz on the Beach. Persoalan
diselesaikan satu hari.
Contoh kedua, saat tumpukan batok kelapa muda menumpuk di
Pantai Pulau Merah, dan menjadi headline
di salah satu harian lokal: Pulau Merah Darurat Sampah. Berkoordinasi dengan
Perhutani Surabaya, Dinas Kebersihan dan Pertamanan, Bagian Perlengkapan, Camat
Pesanggaran, sampah yang menggunung, langsung bersih dalam dua hari. Bekas
tumpukan menjadi bersih seakan jalan yang baru dibangun. Masalah selesai segera
dengan mengeruk pasir memakai alat berat, mengubur batok dan memendamnya dengan
pasir,. Persoalan selesai dalam waktu dua hari, karena seminggu kemudian akan
dilaksanakan Lomba Surfing internasional di Pulau Merah.
Pemerintah dengan mindset lama, terkenal dengan cara
kerjanya yang bertele-tele, suka menyusahkan masyarakat dan hanya berurusan
dengan jasa publik, jasa sosial dan infrastruktur. Sementara pemerintah dengan
mindset seperti wirausaha, akan mempunyai sikap berorientasi pada hasil,
efisien, melayani publik seperti pengusaha melayani kliennya. Ini yang
dinamakan re-inventing the government.
Saya pikir pemerintah sekarang sedang melakukan hal ini. Mengadakan 38 event
wisata dan dikerjakan seluruhnya oleh pegawai negeri tanpa bantuan event
organizer, bukanlah hal yang sederhana. Mereka harus mengubah mindset mereka
sebagai pegawai negeri dan menjadi mental wirausahawan yang berorientasi
tujuan, efisien, memberi layanan yang baik dan memotong jalur birokrasi yang
tidak perlu.
Menurut kang Bramuda, pemerintah dengan mindset lama,
menyelesaikan masalah pipa pecah itu bisa berhari-hari. Perlu tiga hari untuk berkirim
surat ke dinas terkait, tiga hari kemudian dijawab itu pun kalau kepala
dinasnya berada di tempat, tiga hari lagi untuk menentukan siapa yang membayar
tagihan, dan seterusnya.
Esok harinya, hari Minggu, kebetulan ada upacara Kebo-keboan Alas
Malang. Sebenarnya dua orang tamu dari Kemenpar ingin menyaksikan upacara
tersebut. Tapi pada saat yang sama mereka ingin mencari tempat alternatif untuk acara
Employee Gathering karyawan kementrian Pariwisata. Jadi lah saya mengantarkan mereka
ke Segubang melihat Ijen Resort.
Saat saya sampai di sana, cuaca cerah. Gunung Ijen terlihat
jelas. Di atas kolam renangnya, seakan kaki Gunung Ijen menyentuh sisi luar
kolam. Hamparan padi berlapis-lapis mengingatkan saya pada Tabanan.
Malam harinya saya balik ke Surabaya naik travel juga.
Mampir makan tengah malam di Probolinggo. Menjelang subuh sudah sampai di
bandara Juanda. Pesawat pertama menuju Jakarta sudah menunggu. Pesawat mendarat
di Jakarta satu setengah jam kemudian. Saya menuju tempat parkir, dimana mobil
saya menginap 2 hari 16 jam 10 menit 26 detik. Total biaya parkir yang harus
dibayar: Rp. 501.000. Tagihan parkir paling mahal yang pernah saya bayar.
(Bersambung)
iwandear@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar