Rabu, 29 Juli 2015

Mengembalikan nama bersejarah di Banyuwangi


Saat pulang kampung beberapa waktu lalu, saya terkaget-kaget saat menemukan jalan Kiai Saleh, yang sejak dulu bertempat di perempatan Lateng ke timur ke arah Kampung Melayu dan Mandar, berpindah ke sebelah Kali Elo di Kepatihan.

Apa yang membuat si pemindah seenaknya memindahkan jalan? Mestinya, jalan jangan dipindah karena banyak yang akan direpotkan, terutama orang-orang yang sejak dulu mengenal sebuah jalan dengan namanya. Pak Pos, pengantar surat. Surat-surat berharga yang mesti diganti karena KTP berganti nama jalan.

Soal Jalan Kiai Saleh di perbatasan Lateng dan Temenggungan, bukan asal comot. Pemilihan tempat tersebut untuk jalan di dekat langgar beliau dulu, merupakan hasil keputusan DPRD. Di daerah itu, Kiai Saleh, seorang ulama besar di Banyuwangi yang pernah hidup, dikenal sebagai pemimpin yang sangat anti penjajah Belanda. Beliau tidak mau disuap penjajah Belanda yang akan membangun pesantren besar untuknya. Beliau juga dikenal sebagai pemersatu banyak pihak yang berseteru. Pemimpin yang tidak melihat perbedaan ekonomi, latar belakang umatnya.

Kali Kajian, sumber mata air yang sampai sekarang masih berfungsi untuk tempat pemandian umum untuk masyarakat sekitar, konon dulunya dipakai untuk memandikan calon santri-santri. Sehingga dinamakan Kajian, untuk mereka yang akan memulai mengaji.

Tokoh besar yang ikut membidani kelahiran organisasi Islam terbesar di tanah air, Nahdlatul Ulama, adalah simbol perlawanan penjajah dan pemersatu umat.

Kehebatan beliau dalam ilmu bela diri, membawa banyak orang berguru, dari para bromocorah maupun jago-jago setempat dan orang-orang lainnya. Justru karena diplomasi bela dirinya ini, banyak jago-jago dan bromocorah menjadi orang baik-baik yang tidak mau berkelahi, sebagian karena merasa satu perguruan di bawah kendali Kiai Saleh.

Konon pula, Kiai Saleh yang mengharamkan acara ‘gantung gong’ di Lateng yang diikuti oleh masyarakat sampai sekarang. Gantung Gong merupakan istilah yang merujuk pada pertunjukan tradisional semacam gandrung dll yang dulu sempat menjadi ajang maksiat dengan beredarnya minuman keras dll. Beberapa orang yang melanggar larangan beliau ini ada yang kontan rumahnya terbakar, atau hartanya habis karena dijual dalam waktu dekat setelah acara pertunjukan tersebut.

Jadi pemindahan tempat Jalan Kiai Saleh ini sangat a-historis. Mestinya nama itu dikembalikan ke tempat di mana beliau menanamkan jasa besarnya untuk Banyuwangi.

Lebih jauh lagi, Banyuwangi mestinya lebih menghargai sejarahnya, dengan mengembalikan lagi nama-nama tempat bersejarah seperti Dandang Wiring yang berubah menjadi Penganjuran, Karang Tipis, Kulandan, Buyukan, Singo Dilagan (padahal Singo Negaran, Singo Mayan dan Singo Trunan masih ada) dan lain-lain.

Dan yang paling utama adalah mengembalikan nama besar Blambangan menjadi nama Kabupaten menggantikan Kabupaten Banyuwangi yang bikinan penjajah Belanda. Nama yang tampaknya sengaja dibikin untuk menenggelamkan nama Blambangan.

1 komentar:

  1. Setuju, isun pengen desa isun hang arane Dandang Wiring (Gagak hang wulu gulune mengkilat ku petek jago) di balekeno maneh.
    Mugo2 isun bisa ngarang lagune.

    BalasHapus