Sebagian penutur bahasa Using ada
yang menanyakan soal bunyi /-ai/ atau /-au/ yang terdengar dalam percakapan
bahasa Using. Mengapa dalam pelajaran sekolah, bunyi /-ai/ atau /-au/ itu tidak
pernah ditulis. Jadi seakan-akan ejaan yang diajarkan di sekolah itu tidak sesuai
dengan omongan yang sebenarnya.
Sebagai contoh: /ikai/ ditulis /iki/ atau /ikau/
ditulis /iku/. Mengapa /ikai/ tidak ditulis /ikai/ dan /ikau/ ditulis “ikau”?
Sebelumnya, perlu diperkenalkan, dalam ilmu
bahasa, ada istilah “fonem” yaitu satuan terkecil dalam bahasa yang bisa
membedakan arti.
Misalnya, kata /suduk/ (Ind: ‘tusuk’) dan /suwuk/
(Ind: ‘jampi-jampi’), terdapat perbedaan arti karena perbedaan huruf /d/ dan
/w/. Dengan demikian /d/ dan /w/ adalah fonem dalam bahasa Using.
Satu
lagi istilah ilmu bahasa, ada yang dinamakan “diftong” yang merupakan dua bunyi
huruf hidup yang menjadi satu (berurutan). Dalam bahasa Indonesia, misalnya,
ada /au/dalam kata /harimau/. Pemisahan suku katanya adalah ha-ri-mau, bukan
ha-ri-ma-u. Jadi /au/ merupakan diftong, satu fonem dalam bahasa Indonesia. Contoh
lain /tunai/, suku katanya adalah tu-nai. Jadi /ai/ adalah diftong dan fonem
dalam bahasa Indonesia.
Dalam bahasa Using, ada bunyi /ai/ dan /au/,
apakah itu merupakan diftong? Kalau iya, seharusnya ditulis, sementara kalau
bukan diftong tidak perlu ditulis seperti yang selama ini sudah dilakukan.
Kalau kita kembalikan kepada definisi
tentang fonem di atas, bunyi /ai/ dan /au/ tidak membedakan arti, jadi bukan
merupakan fonem.
Kemunculan bunyi /ai/ atau /au/ hanya ada
pada posisi akhir frasa atau kalimat. Pada kata yang sama, apabila tidak muncul
dalam akhir frasa atau kalimat, bunyi itu tidak keluar.
Frasa merupakan susunan kata-kata yang
merupakan dari sebuah kalimat, tetapi tidak bisa berdiri sendiri. Sementara
kalimat adalah kumpulan kata-kata yang mempunyai arti dan berdiri sendiri,
sehingga diakhiri dengan tanda baca titik. Sedangkan frasa tidak bisa diakhiri
titik, karena memang belum selesai.
Ambil misal, kata:
/kelendi/
‘bagaimana’ apabila di posisi terakhir frasa akan diucapkan: /kelendai/.
Sementara, dalam frasa:
/kelendi
iki/ akan diucapkan /kelendi ikai/ bukan /kelendai ikai/.
Itulah mengapa, dalam penulisan baku/standar
(di dalam artikel, buku, pelajaran di sekolah dll), bunyi /ai/ dan /au/ tidak
lah perlu ditulis.
Akan halnya dalam bahasa tulis yang informal
seperti dalam pesan pendek dalam telepon, media sosial dll yang sifatnya
seperti obrolan, tidak ada yang menyalahkan apabila akan menulis /ikai/ atau /ikau/.
Tetapi sebisa mungkin, kita harus menerapkan bahasa Using dengan ejaan yang
benar.
Dikatakan oleh penyusun buku “Tata Bahasa
Using” almarhum Hasan Ali, dalam bahasa Using tidak terdapat bunyi diftong,
yaitu bunyi dua huruf hidup berurutan yang membedakan arti. Benarkah demikian?
Saya menemukan paling tidak empat diftong,
yang membedakan arti. Bukan /ai/ atau /au/ tetapi tambahan /u/ pada vokal dalam
kata sifat yang artinya ‘sangat’.
Diftong itu adalah /ui/, /ua/, /ue/, /uo/.
Baik di dalam sebuah kata atau yang mengawalinya.
Bandingkan, diftong yang muncul di awal
kata, dengan kata yang diimbuhinya:
/uindhul/ ‘sangat enak’ dan /indhul/ ‘enak’
/uadoh/ ‘sangat jauh’ dan /adoh/ ‘jauh’.
/uomes/ ‘sangat telaten’ dan /omes/
‘telaten’
/uelek/ ‘sangat jelek’ dan /elek/ ‘jelek’
Atau yang di dalam kata:
/cuilil/ ‘sangat kecil’ dan /cilil/ ‘kecil’
/tueles/’sangat basah’ dan /teles/ ‘basah’
/kuathah/ ‘sangat banyak’ dan ‘kathah/
‘banyak’
/kuothor/ ‘sangat kotor’ dan /kothor/
‘kotor’
Kalau dalam pemisahan suku
katanya, dua huruf tersebut akan menjadi:
/uindhul/ à
uin-dhul
/uadoh/ à
ua-doh
/uomes/ à
uo-mes
/uelek/ à
ue-lek
Atau yang di dalam kata:
/cuilil/ à
cui-lil
/tueles/ à
tue-les
/kuathah/ à
kua-thah
/kuothor/ à
kuo-thor
Jelas penambahan fonem /u/ pada kata sifat
ini membedakan arti, karenanya menurut saya, inilah diftong dalam bahasa Using.
Kalau anda punya pemikiran lain silahkan
dibantah.
(iwandear@gmail.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar