Jumat, 05 September 2014

Dari Bandung untuk Banyuwangi

(Dimuat Radar Banyuwangi 5 Sep 2014)
Saya berbicara dengan teman lama, mantan pemimpin redaksi Pikiran Rakyat Budhiana Kartawijaya yang sekarang menjadi kepala pengembangan media digital Pikiran Rakyat serta anggota Dewan Kehormatan PWI Jawa Barat. Dia lumayan punya ketertarikan dengan Banyuwangi, karena saat masih di Persatuan Mahasiswa Islam Indonesia, dia berkenalan dengan Pak Abdullah Azwar Anas.

Pada intinya dia mendukung penuh segala kreasi kreatif yang dijalankan pemda Banyuwangi saat ini. Dan seperti Banyuwangi, Bandung yang walikotanya seorang arsitek, Ridwan Kamil, berusaha membangun kotanya dengan partisipasi masyarakat.

Saya pernah berbincang cukup intens dengan Kang Emil, begitu sapaan akrab Ridwal Kamil, sebelum beliau menjadi walikota. Saat itu Kang Emil, yang membangun komplek Rasuna di Jakarta menjadi seperti Singapura karena dia juga terlibat dalam menyiapkan masterplan Marina Bay Singapura, mempunyai ide membuat kuis televisi.

Kuis ini, akan menilai kota-kota mana yang nyaman untuk ditinggali. Kota mana yang membuat warganya keluar rumah untuk bergabung dengan warga lain beraktivitas. Kota yang sehat tidaklah membuat penduduknya mengurung diri dalam rumah. Kota yang ramah, menyediakan tempat-tempat publik yang banyak sehingga komunitas berkumpul dan menikmati kenyamanan kota secara bersama-sama. Tidak malah membuat munculnya sifat egoisme dan semuanya untuk diri sendiri. Warga kota saling tolong-menolong dan bahu-membahu untuk membangun kotanya supaya cantik, indah, dan enak untuk ditinggali.

Kota besar yang ramah, adalah kota yang antar satu gedung tinggi ke gedung tinggi lainnya, terhubungkan di tingkat duanya, dengan sebuah pedestrian, tempat pejalan kaki. Kota yang membuat warganya menjadi sehat hanya karena menyusuri jalanan yang menghubungkan gedung satu dengan lainnya. Pejalan kaki, terasa nyaman dan menikmati segala aktivitas perkotaan di lantai dua.

Apabila agak terburu-buru, sudah tersedia transportasi publik yang menghubungkan titik-titik perkotaan. Sehingga seluruh kota dapat dijangkau dengan kendaraan yang ramah, nyaman serta murah. Kota yang tidak memaksa penduduknya berjam-jam duduk dimobil, menghabiskan banyak bahan bakar, dilanda stres, dan tidak toleran terhadap orang lain karena macet membuat mereka gampang kehilangan kesabaran.

Balik ke Banyuwangi. Teman saya Budhiana, menyebut Bandung Creative City Forum, yang pada hari-hari tertentu seminggu sekali, anggota berbagai komunitas berkumpul mengajukan programnya masing-masing. Dari situ muncul gagasan dan ide-ide bagus yang bisa diadopsi oleh pemerintah kota. Pikiran-pikiran liar akan muncul. Misalnya Urban accupuncture. Titik-titik kota yang gelap dan sepi, dibikin kegiatan oleh anggota komunitas itu, sehingga hidup dan terang. Kebutuhannya disokong oleh berbagai komunitas.

Kegiatan festival kreatifnya, diisi oleh berbagai kegiatan yang menginspirasi orang dan tampil kreatif. Seperti pertunjukan musik, video mapping, mural lapangan, movie screening, workshop memotret, workshop menggambar dan workshop pemberdayaan lainnya. Beruntung Bandung mempunyai Institut Teknologi Bandung, yang banyak mendukung kegiatan tersebut. Tak hanya ITB, kegiatan lain juga dimotori oleh komunitas-komunitas yang tergadung dalam BCCF.

Saya kira, Dewan Kesenian Blambangan bersama dengan berbagai komunitas kreatif Banyuwangi bisa mengadopsi kegiatan ini. Pemda sudah menggelar banyak kegiatan dengan merentang berbulan-bulan berbagai festival, acara pertunjukan, ritual dan olahraga. Tinggal berbagai komunitas yang ada untuk mengisinya, memberi masukan, memperkaya, menyiapkan generasi berikutnya dengan berbagai pelatihan.

Satu lagi dari pemkot Bandung yang membuat saya iri adalah acara Rabu Nyunda. Saya bermimpi, ada Jemuah Using. Dimana semua PNS dan pegawai kantor-kantor lain, pada hari Jumat berpakaian tradisional, memakai udeng (ikat kepala) atau minimal berbatik Gajah Uling pada hari Jumat. Ini memperkuat kecintaan pada daerahnya sekaligus mendorong industri batik lokal untuk terus berkembang.

Dan pada hari Jumat, seluruh pembicaraan di kantor-kantor, diusahakan menggunakan bahasa Using. Dengan demikian, usaha pelestarian dan ikut nguri-uri bahasa Blambangan dilakukan oleh seluruh pihak yang ada di Banyuwangi. Dan sedikit demi sedikit bahasa Using akan semakin kental untuk menjadi tuan rumah di latarnya sendiri. Bahasa Using akan tumbuh menjadi bahasa yang menjadi kebanggaan orang Banyuwangi.

iwandear@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar