Saya berbicara dengan teman lama, mantan pemimpin redaksi
Pikiran Rakyat Budhiana Kartawijaya yang sekarang menjadi kepala pengembangan
media digital Pikiran Rakyat serta anggota Dewan Kehormatan PWI Jawa Barat. Dia
lumayan punya ketertarikan dengan Banyuwangi, karena saat masih di Persatuan
Mahasiswa Islam Indonesia, dia berkenalan dengan Pak Abdullah Azwar Anas.
Pada intinya dia mendukung penuh segala kreasi kreatif yang
dijalankan pemda Banyuwangi saat ini. Dan seperti Banyuwangi, Bandung yang
walikotanya seorang arsitek, Ridwan Kamil, berusaha membangun kotanya dengan
partisipasi masyarakat.
Saya pernah berbincang cukup intens dengan Kang Emil, begitu
sapaan akrab Ridwal Kamil, sebelum beliau menjadi walikota. Saat itu Kang Emil,
yang membangun komplek Rasuna di Jakarta menjadi seperti Singapura karena dia
juga terlibat dalam menyiapkan masterplan Marina Bay Singapura, mempunyai ide
membuat kuis televisi.
Kuis ini, akan menilai kota-kota mana yang nyaman untuk
ditinggali. Kota mana yang membuat warganya keluar rumah untuk bergabung dengan
warga lain beraktivitas. Kota yang sehat tidaklah membuat penduduknya mengurung
diri dalam rumah. Kota yang ramah, menyediakan tempat-tempat publik yang banyak
sehingga komunitas berkumpul dan menikmati kenyamanan kota secara bersama-sama.
Tidak malah membuat munculnya sifat egoisme dan semuanya untuk diri sendiri.
Warga kota saling tolong-menolong dan bahu-membahu untuk membangun kotanya
supaya cantik, indah, dan enak untuk ditinggali.
Kota besar yang ramah, adalah kota yang antar satu gedung
tinggi ke gedung tinggi lainnya, terhubungkan di tingkat duanya, dengan sebuah
pedestrian, tempat pejalan kaki. Kota yang membuat warganya menjadi sehat hanya
karena menyusuri jalanan yang menghubungkan gedung satu dengan lainnya. Pejalan
kaki, terasa nyaman dan menikmati segala aktivitas perkotaan di lantai dua.
Apabila agak terburu-buru, sudah tersedia transportasi
publik yang menghubungkan titik-titik perkotaan. Sehingga seluruh kota dapat
dijangkau dengan kendaraan yang ramah, nyaman serta murah. Kota yang tidak
memaksa penduduknya berjam-jam duduk dimobil, menghabiskan banyak bahan bakar,
dilanda stres, dan tidak toleran terhadap orang lain karena macet membuat
mereka gampang kehilangan kesabaran.
Balik ke Banyuwangi. Teman saya Budhiana, menyebut Bandung Creative City Forum, yang pada
hari-hari tertentu seminggu sekali, anggota berbagai komunitas berkumpul mengajukan
programnya masing-masing. Dari situ muncul gagasan dan ide-ide bagus yang bisa
diadopsi oleh pemerintah kota. Pikiran-pikiran liar akan muncul. Misalnya Urban accupuncture. Titik-titik kota
yang gelap dan sepi, dibikin kegiatan oleh anggota komunitas itu, sehingga
hidup dan terang. Kebutuhannya disokong oleh berbagai komunitas.
Kegiatan festival kreatifnya, diisi oleh berbagai kegiatan
yang menginspirasi orang dan tampil kreatif. Seperti pertunjukan musik, video mapping, mural lapangan, movie screening, workshop memotret,
workshop menggambar dan workshop pemberdayaan lainnya. Beruntung Bandung
mempunyai Institut Teknologi Bandung, yang banyak mendukung kegiatan tersebut. Tak
hanya ITB, kegiatan lain juga dimotori oleh komunitas-komunitas yang tergadung
dalam BCCF.
Saya kira, Dewan Kesenian Blambangan bersama dengan berbagai
komunitas kreatif Banyuwangi bisa mengadopsi kegiatan ini. Pemda sudah
menggelar banyak kegiatan dengan merentang berbulan-bulan berbagai festival,
acara pertunjukan, ritual dan olahraga. Tinggal berbagai komunitas yang ada
untuk mengisinya, memberi masukan, memperkaya, menyiapkan generasi berikutnya
dengan berbagai pelatihan.
Satu lagi dari pemkot Bandung yang membuat saya iri adalah
acara Rabu Nyunda. Saya bermimpi, ada Jemuah Using. Dimana semua PNS dan
pegawai kantor-kantor lain, pada hari Jumat berpakaian tradisional, memakai
udeng (ikat kepala) atau minimal berbatik Gajah Uling pada hari Jumat. Ini
memperkuat kecintaan pada daerahnya sekaligus mendorong industri batik lokal
untuk terus berkembang.
Dan pada hari Jumat, seluruh pembicaraan di kantor-kantor,
diusahakan menggunakan bahasa Using. Dengan demikian, usaha pelestarian dan
ikut nguri-uri bahasa Blambangan
dilakukan oleh seluruh pihak yang ada di Banyuwangi. Dan sedikit demi sedikit
bahasa Using akan semakin kental untuk menjadi tuan rumah di latarnya sendiri. Bahasa
Using akan tumbuh menjadi bahasa yang menjadi kebanggaan orang Banyuwangi.
iwandear@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar