Pada saat pulang kampung pertengahan September kemarin, saya sempat melewati bekas
sekolah SMPP, sekarang SMAN 1 Giri. Dari sisi timur, tertulis Universitas
Airlangga.
Sebelumnya memang pernah saya dengar kontroversi soal
keputusan Pemda mengundang Unair untuk buka cabang di Banyuwangi. Unair
Banyuwangi sudah melakukan kuliah perdananya mulai 8 September yang lalu.
Menghadirkan empat program studi Kedokteran Hewan, Budidaya Perikanan, Akutansi
dan Kesehatan Masyarakat.
Keberatan universitas lokal di Banyuwangi, seperti
Universitas 17 Agustus (Untag) sebenarnya juga masuk akal. Mestinya Unair
membuka program studi yang belum ada pada universitas-universitas lokal. Agar
tidak terjadi persaingan yang nadanya bertentangan dengan otonomi daerah.
Di luar berbagai kontroversi tersebut, saya setuju dengan
Untag untuk alasan yang berbeda. Saya mengerti keinginan Bupati Anas, bahwa
dengan adanya universitas yang namanya sudah berkibar, makin banyak mahasiswa yang
akan datang ke Banyuwangi. Yang dipakai contoh Yogyakarta, yang setiap bulan
membawa uang masuk ke Yogyakarta 400 miliar sebulan. Uang sebanyak itu, didapat tanpa melakukan gembar-gembor supaya orang melakukan investasi di sana. Uang itu merupakan kiriman
dari daerah-daerah untuk bekal bulanan mahasiswa di sana.
Kalau saya semestinya, biarkan anak-anak Banyuwangi merantau
ke luar daerah. Anak-anak Banyuwangi akan menjadi jauh lebih luas horisonnya
kalau ke luar dari Banyuwangi. Mereka akan mencari identitas mereka, misalnya
dengan berbahasa Using. Mereka belajar dari orang lain, lebih tangguh dan lebih
cinta Banyuwangi dengan caranya sendiri.
Para perantau ditempa mentalnya dan menjadi lebih kuat. Para
diaspora biasanya bekerja dua kali lebih keras daripada orang lokal, karena
tuntutan mempertahankan hidupnya dan sekaligus membantu saudara-saudaranya di
daerah. Ini mentalitas orang perantauan. Lihatlah etnis Tionghoa atau etnis Padang, yang semangat survivenya jauh lebih tinggi karena budaya merantau.
Dan dengan merantau, mereka ini akan bertemu dengan
mahasiswa dari daerah lain. Mahasiswa dari daerah lain ini pada suatu saat,
kembali ke daerahnya. Suatu saat mereka akan menjadi orang-orang yang
terpandang dan berduit di daerahnya. Di sini, unsur pertemanan akan menjadi
modal utama untuk melobi.
Saya bahkan berharap, pemerintah daerah maupun pemerintah
pusat, memberi beasiswa untuk anak-anak Banyuwangi atau Indonesia untuk
berkuliah di luar negeri. Dengan demikian, jaringan internasionalnya lebih
kuat. Suatu saat, jaringan yang terjalin semasa kuliah ini, menjadi suatu
kekuatan tersendiri.
Misalnya pertemanan antara pengusaha Indonesia James Ryadi
dengan mantan presiden Amerika Bill Clinton. Atau mantan wakil perdana menteri
Malaysia Anwar Ibrahim yang selalu bangga berbahasa logat Indonesia (Bahasa
Baku Malaysia), karena beliau mantan mahasiswa Universitas Indonesia. Atau
bahkan pertemanan Bupati Anas saat menjadi anggota DPR dengan pemilik pabrik
semen Bosowa, Erwin Aksa.
Pada saat pulang, mereka lebih jernih melihat persoalan yang
ada di rumahnya. Lebih punya ide untuk membangun kondisi yang lebih baik,
karena mereka pernah melihat bandingannya.
Hanya saja, keberadaan Unair di Banyuwangi, tentu akan
membantu keluarga-keluarga kurang mampu, yang anaknya ingin kuliah di sebuah
universitas yang mempunyai nama besar. Yang sudah dikenal di tanah air.
iwandear@gmail.com
Tidak spesifik perlukah Unair di Banyuwangi ? Mngkin penulis merasa antara setuju dan tidak. Karena smakin bnyak pendatang, efeknya bnyak(baik dan buruk) termasuk berpengaruh ke budaya Using.
BalasHapus