Selasa, 23 September 2014

Unair, seberapa penting untuk Banyuwangi?


Pada saat pulang kampung pertengahan September kemarin, saya sempat melewati bekas sekolah SMPP, sekarang SMAN 1 Giri. Dari sisi timur, tertulis Universitas Airlangga.

Sebelumnya memang pernah saya dengar kontroversi soal keputusan Pemda mengundang Unair untuk buka cabang di Banyuwangi. Unair Banyuwangi sudah melakukan kuliah perdananya mulai 8 September yang lalu. Menghadirkan empat program studi Kedokteran Hewan, Budidaya Perikanan, Akutansi dan Kesehatan Masyarakat.

Keberatan universitas lokal di Banyuwangi, seperti Universitas 17 Agustus (Untag) sebenarnya juga masuk akal. Mestinya Unair membuka program studi yang belum ada pada universitas-universitas lokal. Agar tidak terjadi persaingan yang nadanya bertentangan dengan otonomi daerah.

Di luar berbagai kontroversi tersebut, saya setuju dengan Untag untuk alasan yang berbeda. Saya mengerti keinginan Bupati Anas, bahwa dengan adanya universitas yang namanya sudah berkibar, makin banyak mahasiswa yang akan datang ke Banyuwangi. Yang dipakai contoh Yogyakarta, yang setiap bulan membawa uang masuk ke Yogyakarta 400 miliar sebulan. Uang sebanyak itu, didapat tanpa melakukan gembar-gembor supaya orang melakukan investasi di sana. Uang itu merupakan kiriman dari daerah-daerah untuk bekal bulanan mahasiswa di sana.

Kalau saya semestinya, biarkan anak-anak Banyuwangi merantau ke luar daerah. Anak-anak Banyuwangi akan menjadi jauh lebih luas horisonnya kalau ke luar dari Banyuwangi. Mereka akan mencari identitas mereka, misalnya dengan berbahasa Using. Mereka belajar dari orang lain, lebih tangguh dan lebih cinta Banyuwangi dengan caranya sendiri.

Para perantau ditempa mentalnya dan menjadi lebih kuat. Para diaspora biasanya bekerja dua kali lebih keras daripada orang lokal, karena tuntutan mempertahankan hidupnya dan sekaligus membantu saudara-saudaranya di daerah. Ini mentalitas orang perantauan. Lihatlah etnis Tionghoa atau etnis Padang, yang semangat survivenya jauh lebih tinggi karena budaya merantau.

Dan dengan merantau, mereka ini akan bertemu dengan mahasiswa dari daerah lain. Mahasiswa dari daerah lain ini pada suatu saat, kembali ke daerahnya. Suatu saat mereka akan menjadi orang-orang yang terpandang dan berduit di daerahnya. Di sini, unsur pertemanan akan menjadi modal utama untuk melobi.

Saya bahkan berharap, pemerintah daerah maupun pemerintah pusat, memberi beasiswa untuk anak-anak Banyuwangi atau Indonesia untuk berkuliah di luar negeri. Dengan demikian, jaringan internasionalnya lebih kuat. Suatu saat, jaringan yang terjalin semasa kuliah ini, menjadi suatu kekuatan tersendiri.

Misalnya pertemanan antara pengusaha Indonesia James Ryadi dengan mantan presiden Amerika Bill Clinton. Atau mantan wakil perdana menteri Malaysia Anwar Ibrahim yang selalu bangga berbahasa logat Indonesia (Bahasa Baku Malaysia), karena beliau mantan mahasiswa Universitas Indonesia. Atau bahkan pertemanan Bupati Anas saat menjadi anggota DPR dengan pemilik pabrik semen Bosowa, Erwin Aksa.

Pada saat pulang, mereka lebih jernih melihat persoalan yang ada di rumahnya. Lebih punya ide untuk membangun kondisi yang lebih baik, karena mereka pernah melihat bandingannya.

Hanya saja, keberadaan Unair di Banyuwangi, tentu akan membantu keluarga-keluarga kurang mampu, yang anaknya ingin kuliah di sebuah universitas yang mempunyai nama besar. Yang sudah dikenal di tanah air.
iwandear@gmail.com

1 komentar:

  1. Tidak spesifik perlukah Unair di Banyuwangi ? Mngkin penulis merasa antara setuju dan tidak. Karena smakin bnyak pendatang, efeknya bnyak(baik dan buruk) termasuk berpengaruh ke budaya Using.

    BalasHapus