Selasa, 09 September 2014

Using atau Oseng?


Beberapa hari lalu, dalam grup facebook Gesah Cara Using Banyuwangenan Aselai (GCUBA), muncul lagi diskusi mengenai apakah ejaan yang betul itu Using atau Oseng? Diskusi ini didasari pada sebuah artikel yang muncul pada Radar Banyuwangi, berjudul: Gintangan Salah satu Bahasa Oseng Tua (6 Sep 14).

Menjadi pembicaraan karena kata ejaan, yang merujuk ke bahasa Using, ditulis Oseng, bukan seperti yang sudah standar Using. Banyak juga yang sebenarnya mengusulkan kata lain seperti Osing atau Useng.

Kalau secara definisi, ejaan atau spelling itu adalah proses atau aktivitas untuk membentuk kata dari sekumpulan huruf. Sebagai bagian dari Orthography (dari bahasa Yunani) yang artinya “Cara benar dalam menulis” (termasuk di dalamnya mengeja).

Memang Bahasa Using (saya mencoba menggunakan ejaan bahasa Using baku seperti yang diajarkan di sekolah Banyuwangi, sebagai muatan lokal sejak tahun 2007), sebagai bahasa tulis umurnya boleh dikata masih usia batita.

Tradisi menulis dalam bahasa Using, tidak banyak catatannya. Catatan-catatan orang Belanda jaman dulu, hanya mencatat sebagian kata-kata saja.

Bahasa adalah sebuah alat untuk berkomunikasi. Alat untuk menyampaikan sesuatu agar orang lain mengerti apa yang dimaksudkan. Karenanya, bahasa itu adalah konsensus, apa yang disepakati oleh orang banyak. Memang untuk mencatat bunyinya diperlukan ilmu kebahasaan yang disebut Phonetic yang mempelajari fisik bunyi, atau Phonology yang membicarakan bagian abstrak bunyi.

Ilmu apa yang mengatur ejaan? Untuk tatacara penulisan, Bahasa Using, lebih seperti Bahasa Inggris, lebih ke alphabetis, bukan syllabis (seperti bahasa Jepang katakana) atau logografis (bahasa China).[1] Penulisannya lebih didasarkan pada alfabet (huruf Latin).

Karena bahasa itu konsensus, ejaan juga konsensus, tergantung apa yang disepakati oleh masyarakat atau otoritas bahasa.

Misalnya, dalam bahasa yang sama, kata yang sama, arti yang sama, pengucapan yang sama, karena perbedaan otoritas ini, orang Amerika dan Inggris mengejanya berbeda.

Meski bunyinya perlu ilmu Phonetic dan Phonology, tetapi Amerika nulis: color, nite, propellant, tons, theater, dialog, defense, leukemia.

Sementara Inggris nulis: colour, night, propellent, tonnes, theatre, dialogue, defence, leaukemia.

Siapa yang benar? Tidak ada yang salah, dua-duanya benar, karena disepakati dalam teritori berbeda. Atau di bawah otoritas yang berbeda. Menjadi salah kalau seorang penulis tidak konsisten. Misalnya dalam satu naskah dia mengeja COLOUR (cara Inggris) tetapi dalam bagian lain dia menulis DIALOG (cara Amerika).

Sama halnya dengan Indonesia dan Malaysia. Sekali lagi, kata yang sama, bunyi yang sama, arti yang sama ditulis berbeda:

Indonesia: agung, pingsan, beda

Malaysia: agong, pengsan, beza

Bahkan untuk suatu ukuran (matematis), bukan kata-kata, tergantung kesepakatan dari masyarakat pemakai atau otoritas negara yang mengesahkan:

Malaysia yang dipengaruhi Inggris, menggunakan koma, untuk merujuk pada angka desimal dan titik untuk angka pecahan di belakang angka satuan terakhir. Misalnya seribu setengah ditulis: 1,000.5

Sementara Indonesia yang dipengaruhi Belanda, menulis: 1.000,5

Kalau masih tidak percaya, bahwa ejaan itu konsensus, perhatikan penulisan ejaan bunyi ayam berikut:

Orang Jawa mengeja: Kukuruyuk

Orang Sunda: Kongkorongok

Orang Inggris: Cock-a-doodle-doo

Apakah bunyi ayam berbeda? Kurang lebih sama, tetapi ejaan yang disepakati masing-masing masyarakat penggunanya berbeda.

Kembali ke masalah Using atau Oseng. Keduanya tidak masalah, mana yang disetujui, dianggap baku, itu yang kita ikuti. Ejaan Using, memang mencapai derajat tertingginya karena sudah ditulis menjadi disertasi doktoral yang diajukan pada senat Universitas Indonesia tahun 1987 berjudul: Bahasa Using di Kabupaten Banyuwangi.

Setelah itu muncullah Kamus Bahasa Daerah Using-Indonesia tahun 2002, yang dilampiri juga dengan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Using. Di situ misalnya, ada aturan, dalam bahasa Using tidak terdapat DIFTONG, namun dalam ujaran terdapat bunyi diftong (ai) sebagai alofon dari fonem /i/ dan bunyi diftong (au) sebagai alofon dari fonem /u/. Sehingga tidak ada penulisan: ikau (cukup iku) atau ikai (cukup iki).

Apakah Bahasa Using boleh diubah ejaannya? Selama bukan kitab suci, tak ada keputusan yang tidak membolehkan. Perlu diketahui dalam perjalanannya, sebuah bahasa mengalami perbaikan. Jaman dulu bahasa Inggris hanya punya 22 huruf. Meski sekarang sudah 26 huruf plus 40-an bunyi atau fonem dari ucapan secara umum. Sehingga penyempurnaan itu sangat mungkin dilakukan.

Bahasa Indonesia pun pernah mengalami penyempurnaan (lewat kepres No. 57 tahun 1972) dari Ejaan Lama, yang menulis U dengan OE, atau C dengan TJ dan J dengan DJ.

Jadi bisa diubah kalau konsensus masyarakatnya begitu. Hanya saja, mestinya selama ejaan yang sudah disepakati sebelumnya belum diubah, ya semua pihak harus menghormati konsensus yang ada. Semua pihak harus menggunakan ejaan baku yang sudah disepakati.

Dan kalau kita merasa, ejaan itu perlu diubah, ubahlah dengan derajat argumen yang sama. Anda tidak bisa meruntuhkan teori relativitas Einstein, dengan mengatakan bahwa Einstein adalah seorang yang gila. Teori itu harus diruntuhkan juga dengan sebuah teori yang sepadan. Ini adalah etika keilmuan biasa. Artikel ada hak jawabnya. Buku dibalas buku. Teori dilawan dengan teori yang lain. Thesis doktoral dibalas dengan thesis setingkat.  

Kalau ada argumentasi, bahwa Perda yang menjadikan Bahasa Using sudah ketinggalan jaman, mari kita bikin usulan, diseminarkan, panggil semua stake-holder bahasa Using, Dewan Kesenian Blambangan, anggota masyarakat, seniman, budayawan, LSM bahasa, anggota DPR, sehingga muncul kesepakatan baru yang dianggap lebih cocok, yang dimunculkan dalam Perda baru. Tidak masalah. Tetapi kita ikuti prosedurnya. Dan tidak mensubversi aturan baku yang sudah disepakati bersama.





[1] Venezky, Richard L,. The American Way of Spelling, the Structure and Origins of American English Orthography, The Guilfor Press, New York, 1999

Tidak ada komentar:

Posting Komentar