Kebetulan anak pertama saya ulang tahun tanggal 29 Juli, dan
saya ingin memberinya hadiah “The highest birthday celebration ever” di puncak
Ijen. Di samping saya juga ingin menanamkan semangat yang saya punyai jaman
sekolah dulu: Jangan sebut sebagai anak
Banyuwangi kalau belum mendaki Ijen. (Selain berjalan kaki beberapa kali, tahun
1983, saya pernah bersepeda solo sendirian dari Banyuwangi-Asembagus-Gerduwatak
Bondowoso-Sukasari-Jampit-Paltuding-Licin-balik lagi Banyuwangi. Saya kira
itulah pertama kali ada sepeda mencapai Paltuding di jaman pendakian dimulai dari Jambu).
Pada hari itu, hari kedua lebaran. Pada saat yang sama ada
keramaian upacara adat Ider Bumi di Kemiren. Tahun 2013, kami sudah sempat
menyaksikan Ider Bumi. Jadi tidak terlalu kehilangan.
Hari Selasa itu saya berangkat dari rumah di Lateng pukul
6.30. Sebenarnya, meski masih terbiasa puasa, jauh lebih enak kalau sarapan
terlebih dahulu dua jam sebelum mendaki. Saya pikir bisa temukan penjual
makanan di jalan, tapi yang ada hanya penjual bakso. Bahkan sampai Jambu,
sebelum memasuki perkebunan menuju Ijen, tak satupun ada penjual makanan.
Apa boleh buat. Setelah mencapai Paltuding, kami mencari
warung dan satu-satunya warung yang buka, tak hanya menyediakan mie instant,
tapi juga ketupat lebaran, dan gule encer penuh lemak.
Saya dipersilahkan mengambil ketupat sendiri, dan mengambil
kuah gule dan daging berlemak di panci yang masih di atas kompor. Beberapa
orang lokal, menikmati kehangatan di depan perapian.
Begitu piring ketupat gule mencapai meja, lemak gule tadi
sudah kembali mengeras, dan menempel di gigi. Anak saya terkecil minta tukar
pop mie. Sisa-sisa lemak di mulut, saya siram dengan teh hangat.
Saat minta bon, saya hanya bisa tersenyum, ternyata ketupat
gulenya, tidak dihitung. “Magih lebaran,” kata ibu penjual.
Setelah ke toilet yang lumayan bersih dengan air mengalir
kencang, lebih dari rata-rata toilet di rest-area cum pompa bensin di beberapa
kota di pantura, kami mulai mendaki. Yang menjadi pertanyaan saya dari awal,
mengapa tak sepeser pun kami dimintai retribusi. Uang retribusi ini penting
untuk menjaga kebersihan. Lihatlah, meski ada tempat sampah di kiri kanan
jalan, tapi seakan berhari-hari sampah itu tidak diurus. Bahkan sepertinya,
para pendaki wisata ini sepertinya tidak melihat tempat sampah yang tersedia,
dan membuang sampah tepat di sebelah tempat sampah.
Kabut menggantung sepanjang jalan. Nyaris, jarak pandang
sekitar 5-7 meter. Di beberapa tempat,
ada beberapa batang kayu roboh yang bisa kami jadikan tempat istirahat ketika
kaki sudah berat untuk dilangkahkan. Sebenarnya ada pula, tempat
peristirahatan, tapi terlihat tidak bersih.
Kami mencapai Pondok Bunder (2214 meter di atas permukaan
laut) kira-kira dua jam kemudian. Mendapati pemikul belerang yang menjual souvenir
belerang yang dicetak berbentuk kura-kura, teddy bear atau dinosaurus. Beberapa
yang lain, ada yang berupa tulisan I Love Ijen 2014.
Setelah Pondok Bunder, jalanan sedikit mendaki, setelah itu
mendatar. Kabut masih tebal. Sampai di puncak bibir kawah kira-kira pukul
11.30. Kami sangat beruntung, kabut bergerak cepat dari puncak. Lantas
terlihatlah Ijen, danau kawah yang berwarna hijau, satu dua orang pemikul
belerang yang menawarkan tenaga memandu kalau mau turun ke kawah.
Tak sampai sepuluh menit cuaca cerah, kabut datang lagi.
Untung kami sudah foto-foto.
Kemudian kami turun dengan beberapa catatan:
1.
Mestinya ada retribusi di Paltuding, sehingga
pemeliharaan tempat wisata lebih terjamin. Saya tidak tahu siapakah yang
berkepentingan, apakah Pemda Banyuwangi atau Pemda Bondowoso, karena sepanjang
jalan menuju Pondok Bunder, selalu didapati perbatasan kedua kabupaten.
2.
Mesti ada pasukan pembersih sampah yang bisa
digaji dari retribusi pengunjung.
3.
Pada tempat istirahat yang sudah lumayan bagus (terutama
mungkin untuk berteduh pengunjung saat musim hujan), disediakan pula toilet
yang bersih dan air yang berkecukupan. Saya yakin pengunjung (yang sebagian
orang kota) tidak berkeberatan untuk membayar asal toiletnya bersih dan dijaga
kebersihannya. Daripada mesti mencari pohon besar untuk buang air.
4.
Di pinggir-pinggir jalanan menuju Pondok Bunder
atau menuju puncak, diberi pagar pengaman.
5.
Selain blue fire, yang konon hanya ada dua
fenomenanya di dunia ini, bisa juga ditawarkan kepada wisatawan, nonton
sunrise, di bibir kawah. Mengapa hanya Bromo yang bisa menyuguhkan nonton
sunrise ini, yang ditungguin ratusan wisatawan, sementara yang punya slogan
Sunrise of Java adalah Banyuwangi? Memang melihat matahari terbit ini bagi
sebagian orang sangat menakjubkan. Seorang teman dari Australia, bernama
Dorothy McIlvena, mengistilahkannya: “Saat dimana saya merasa paling dekat
dengan Tuhan, dalam keadaan hidup.”
6.
Andai saya punya cukup duit, dan diijinkan oleh
pemilik kawasan, saya ingin membangun gondola, skylift atau apapun namanya,
dari Paltuding menuju bibir kawah. Agar lebih banyak orang, terutama
orang-orang tua dan orang yang secara fisik tidak mampu mendaki, bisa menikmati
keindahan Gunung Ijen. Gunung Ijen untuk semua. Sehingga orang Banyuwangi pun
dapat lebih menghargai anugerah Tuhan yang sudah diberikan kepada Banyuwangi.
Seorang teman dari Singapura bernama Affendi Senin, menulis dalam komentar
facebook saya,” Lucky for you to have nature's
beauty right at your doorstep. In Singapore, our highest hill is only about
100+ meters tall.” Sungguh beruntung punya keindahan alam pas di depan pintu rumah, katanya. Memang, usulan skylift
ini bakal ada yang keberatan, karena akan memicu lebih cepat kerusakan alam.
Tapi di sisi lainnya, kalau dikelola dengan baik, retribusi wisatawan ini dapat
menjaga keindahan alamnya dengan lebih baik.
Ijen betul-betul memberi sebuah pengalaman yang tak
terlupakan.
iwandear@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar