Kamis, 28 Agustus 2014

Tolak Mister Tukul Jalan-jalan di Banyuwangi

Pada saat menjadi tuan rumah halal bi halal untuk diaspora Using di Pendopo Banyuwangi 29 Juli 2014, Bupati Abdullah Azwar Anas bercerita betapa dulu nama Banyuwangi hanya dikenal orang luar karena dukunnya. Setiap orang penting yang ditemuinya, termasuk dari jajaran kepolisian dan militer, begitu tahu Pak Anas dari Banyuwangi, langsung berkomentar tentang seorang dukun di Sasak Perot yang bupati pun tidak kenal namanya.

Masalah itu lah salah satu yang ingin dibuang dari image Banyuwangi. Memang perlu waktu, tapi setelah pemerintahannya berjalan empat tahun, Banyuwangi sekarang dikenal sebagai juara dalam hal penghijauan, ada program sedekah oksigen, beasiswa sebaya. Dan banyak program lain yang intinya mengajak kerja keroyokan rakyatnya untuk ikut membangun.

Hasilnya sederet penghargaan baik untuk bupati sebagai sosok pemimpin maupun Banyuwangi sebagai daerah yang perlu dicontoh oleh daerah lain dalam hal tata pengelolaan daerah dan pemerintahan.

Saya terkaget-kaget, pada saat melihat posting seorang kawan di facebook, tentang kunjungan Mister Tukul Jalan-jalan yang kedua di Banyuwangi.

Tayangan Mister Tukul Jalan-jalan biasanya menampilkan bintang tamu orang yang berpakaian ala orang alim berjubah dan berblangkon, kemudian ada bintang tamu perempuan. Dan dalam pengakuannya, mereka melihat makhluk alam lain.

Pada tayangan pertama tahun lalu, Tukul mengunjungi Watu Dodol dan bekas pabrik di Sukowidi. Lantas digambarkan berbagai makhluk menyeramkan.

Mengapa saya menyerukan agar masyarakat Banyuwangi menolak program Mister Tukul Jalan-jalan? Program ini selain melanggar aturan penyiaran P3 SPS, juga membuat masyarakat makin meyakini hal-hal gaib yang menjurus ke arah syirik.

Peduli amat kalau program ini dibuat di daerah lain yang masih mau menerima, dan KPI juga tak hendak melarang penayangannya di televisi. Tetapi kalau syuting di Banyuwangi, orang-orang Banyuwangi yang tadinya tidak menonton, jadi ikut menonton dan memberi image jelek kepada tempat-tempat yang seharusnya bisa diceritakan dengan cara lain yang lebih indah.  Unsur kedekatan (proximity), bisa membuat unsur keingintahuan pemirsa semakin meningkat. 

Memang tidak dipungkiri, banyak juga orang Banyuwangi yang masih mempercayai hal-hal supranatural. Tetapi pelajaran lewat tayangan serial itu sama sekali tidak mendukung keinginan bupati untuk menghilangkan kesan Banyuwangi dan dunia perdukunannya.

Di dalam P3 dan SPS KPI tahun 2012 diatur soal tayang mistik. Misalnya Pasal 1, ayat : 27, SPS berbunyi Adegan mistik dan supranatural adalah gambar atau rangkaian gambar dan/atau suara yang menampilkan dunia gaib, paranormal, klenik, praktek spiritual magis, mistik atau kontak dengan makhluk halus secara verbal dan/atau nonverbal.

Kemudian di Pasal 31 SPS disebutkan Program siaran yang menampilkan muatan mistik, horor, dan/atau supranatural DILARANG melakukan rekayasa seolah-olah sebagai peristiwa sebenarnya KECUALI dinyatakan secara tegas sebagai reka adegan atau fiksi.

Lalu dalam Pasal 32 SPS berbunyi Program siaran yang menampilkan muatan mistik, horor dan/atau supranatural yang menimbulkan ketakutan dan kengerian khalayak dikategorikan sebagai siaran klasifikasi D dan hanya DAPAT disiarkan pada pukul 22.00-03.00 waktu setempat.

Bagaimana Banyuwangi bisa menolak tayangan tersebut? Pasa sebuah proses syuting, tentulah diperlukan ijin kepada pihak yang berwenang. Seharusnya pihak berwenang di Banyuwangi menolak untuk memberikan ijin syuting acara yang membodohi pemirsa tersebut.

Kita sambut Tukul kalau syuting program lainnya, tapi tidak untuk Mister (i) Tukul Jalan-jalan. Kita tidak ingin memperpanjang daftar hubungan Banyuwangi dengan hal-hal supranatural. Kita akan buka tangan lebar-lebar kalau stasiun televisi penayang Mister Tukul Jalan-jalan menayangkan jelajah kuliner di Banyuwangi, keindahan alam bumi Blambangan, kecantikan pertunjukan keseniannya, atau sejarah Blambangannya yang masih perlu banyak digali.

Dan untuk program Mister Tukul Jalan-jalan (atau program serupa di berbagai layar kaca), kita hanya bisa berdoa, mudah-mudahan -- pembuat program, kru-nya, produsernya, programmingnya, salesnya, terutama host-nya – mendapat hidayah untuk tidak lagi berhubungan dengan program tersebut.
iwandear@gmail.com

Senin, 18 Agustus 2014

Siapa Mereka? Tokoh dan Budayawan Banyuwangi






RESENSI:


Judul: Siapa Mereka? Tokoh dan Budayawan Banyuwangi

Penulis: Eko Budi Setianto

Editor:  H. Abdullah Fauzi, Setyo Puguh Widodo, Aekanu Hariyono

Penerbit: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banyuwangi

Halaman: 110 +  iv

 

Saat di Anjungan Jawa Timur Taman Mini Indonesia Indah tanggal 10 Agustus 2014, Pemkab Banyuwangi menyuguhkan berbagai kesenian daerah. Pada saat yang sama Pemkab juga membagikan majalah Banyuwangi, brosur, VCD gending Banyuwangi dan buku Siapa Mereka? Tokoh Seniman dan Budayawan Banyuwangi.

Sebelum membaca isinya, pada acara yang diselenggarakan bersamaan dengan halal bi halal Ikatan Keluarga Banyuwangi (Ikawangi) di Jakarta Bogor Depok Tangerang Bekasi Cilegon, saya hanya berkomentar: “Mestinya, buku ini diterbitkan tahun-tahun kemarin.”

Tak apalah, lebih baik terlambat daripada tidakk ada sama sekali. Ketua Dewan Kesenian Blambangan, Samsudin Adlawi, pada halaman Sambutan mengatakan:  “Itu sebabnya, penulisan buku biografi ini patut disambut dengan gempita. Masih terdapat beberapa kekurangan dalam buku ini, seperti pemilihan tokoh dan pengupasan yang kurang detail. Namun, sebagai langkah awal, buku ini sudah informative.”

Semestinya diterbitkan beberapa tahun lalu. Sehingga beberapa orang yang ada dalam buku tersebut, yang sekarang sudah menghadap Yang Maha Hidup, bisa lebih tersenyum senang sebelum menghadap. Paling tidak almarhum atau almarhumah, merasa kiprahnya dihargai oleh penerusnya.

Tokoh-tokoh seni dan budaya yang sudah membaktikan dirinya, menggali bakatnya, mengasah keahliannya, bahkan menyerahkan hidupnya pada Banyuwangi semestinya memang harus diapresiasi. Lewat catatan dalam buku model begini salah satunya. Lewat catatan yang bisa diwariskan ke anak cucu pengetahuannya.

PLT Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata M. Y. Bramuda, S. Sos, MBA MM, menulis dalam Sambutan, banyak jejak yang takk terlacak...padahal jejak itu sering berupa petunjuk penting tentang sejarah, kehidupan dan berbagai kejadian. Banyuwangi sebagai pusat Kerajaan Blambangan, meninggalkan banyak jejak masa lalu yang berpengaruh terhadap pengungkapan sejarah dan budaya masyarakat Blambangan.

“Sebagai langkah awal, kita mencoba menyusurinya kembali melalui kiprah dan kesaksian para tokohnya, khususnya dari kalangan seniman dan budayawan,” tulis Bramuda.

Memang, generasi muda sekarang bisa banyak memetik pelajaran dari tokoh-tokoh Banyuwangi yang barangkali namanya sebagian belum pernah mereka dengar. Atau lagu-lagu mereka yang tidak lagi akrab di telinga. Paling tidak mereka bisa mengetahui perjalanan hidup tokoh-tokoh ini.

Yang agak disayangkan, sebenarnya buku ini bisa dibikin lebih sempurna. Ada salah ketik yang agak mengganggu di sana sini. Misalnya, nama sebenarnya Pak Andang CY itu siapa? Apakah Chalif (seperti dalam daftar isi) atau Chatif (hal. 10) atau Chatip (hal. 34)? Pak Basir Noerdian dadi Basir Noerdin (daftar isi). Atau yang agak kebablasan almarhum Pak Hasan Ali lahir tahun 1973 (hal. 39), dan diberi judul: Sebuah Perpustakaan Hidup (tetapi sudah almarhum.)  Ada juga judulnya yang agak mengganggu: Seniman dan Budayawan Banyuwangi, tetapi di dalamnya dibeberkan pula biografi Kusniah, Semi, Sudartik, Sumiyati, Supinah dan Yuliatin.

Yang lebih menjadi perhatian saya, sebenarnya pada konsep bukunya. 1. Mengapa tidak memudahkan pembaca dengan mengelompokkan mereka pada Seni Musik, Seni Pertunjukan, Seni Sastra, Seni Rupa, misalnya. 2. Apa kriteria yang dipakai, sehingga seorang tokoh mendapat tempat pada buku itu. Sebenarnya, sangat enak kalau penjelasan dua hal ini dijeberkan pada halaman sebelum isi.

Usaha Dinas Kebudayaan dan Pariwisata menerbitkan buku ini haruslah mendapat apresiasi yang lebih dari sekedar dua jempol. Saya berharap, akan ada lagi buku kedua, ketiga dan seterusnya. Karena masih banyak tokoh seni dan budaya lainnya, yang belum disebut dalam buku tersebut.

Akan lebih komprehensif, kalau catatan tokoh ini tidak berhenti pada tokoh seni dan budaya. Banyuwangi punya segudang tokoh lain yang sangat berperan dalam perkembangan bangsa ini. Meski sebagian tidak lagi tinggal di Banyuwangi.

Ada yang berperan dalam bidang pemerintahan (sampai tingkat menteri), militer (beberapa jenderal), pejabat setingkat dirjen, CEO BUMN nasional, atau doktor-doktor di berbagai universitas atau tokoh lainnya.

Setidaknya, kalau ada tambahan tokoh-tokoh tadi, bisa menjadikan orang Banyuwangi lainnya, ikut berbangga, tidak lagi minder sebagai orang Banyuwangi. Dan tokoh-tokoh tadi bisa menjadi inspirasi anak-anak muda Banyuwangi untuk membangun kampung halamannya. Gancang wis.

 

iwandear@gmail.com

Rabu, 13 Agustus 2014

Kapan ana kamus Indonesia-Using?


Temenan tah Basa Using wis kelebu salah siji basa? Tah iki mung dialek Basa Jawa? Pitakonan gedigi iki magih muter ring antarane diskusi-diskusi formal ugo informal. Teka ring antarane mahasiswa lan dosen ring Jurusan Basa Jawa Universitas Negeri Surabaya, ugo ring Fakultas Sastra Universitas Jember sampik ring grup-grup gesah ring media sosial facebook.  
Isun ya rada kepileng rungu Kang Samsudin Adlawi Ketua Umum Dewan Kesenian Blambangan awal Agutus sore hang ngucap kadhung pemerintah daerah Jawa Timur mung ngakoni basa ring Jawa Timur iku ya mung loro: Basa Jawa ambi Basa Medura. Basa Using kelebu dialek Basa Jawa.
Setemene sak mareke metu tesise dosen Universitas Udayana ruwahe Prof. Suparman Herusantosa, ring Universitas Indonesia, hang duweni judul: Bahasa Using di Kabupaten Banyuwangi tanggal 18 April 1987, kudune wis mungkasi kabeh. Kudune kari nguwataken jejege Basa Using ring telatahe dhewek.

Ruwahe Pak Hasan Ali, salah siji budayawan hang ngadheg paling ngarep ndadekaken Basa Using dadi Muatan Lokal ring sekolah, wis ngawiti nerbitaken kamus Using-Indonesia. Uga Tata Bahasa Basa Using lan cara penulisane pisan.
Masiya tah wis, cara nulise iki sampik saiki magih ana hang sing setuju. Tuladhane, apuwa o ditulis a, padha kaya ring Basa Jawa bain. Malah, ana pisan kang sing setuju ring penyebutan ucap Using. Dadi hing ana arane uwong Using, utawa Basa Using. Dhung bisa Using dadiya Banyuwangen tah Blambangan. Kerana penemune uwong-uwong iku, Using iku ujar sebutan uwong liyan utamane bangsa Landa jaman penjajahan bengen, hang ngelek-elek, ujar hang ngenyek nyang uwong Blambangan.

Wis kesuwur mulai jaman Landa bengen, uwong Blambangan hing gelem dadi antek penjajah. Saben dikongkon, saben ditawani megawe, jawabe “Sing”.
Taping penemunisun, paran hang wis diakoni saiki, ya iku hang dijaga, dirumat, digedhekaken. Paran anane, diuri-uri. Wis dadi adate, basa iku sing mung dienggo alat omong-omongan. Basa bisa dadi alat komunikasi ring akeh media. Bisa dadi basa pengantar ring sekolah, pelajaran agama, dadi basa ilmiah, basa ring sekolahan, basa ring sastra, basa ring majalah, koran, radio, tipi, lan ring media liyane.

Kadhung wis dadi sewijine basa hang wutuh, kudune Basa Using ya bisa ngalihbasaaken teka basa liyan paran bain hang ana hubungane ambi menungsa.
Nyatane, akeh uwong hang kelayu sinau basa Using, rada kesandhung-sandhung, gerayang-gerayang kaya uwong melaku ring peteng-petengan. Uwong turune suku liya hang manggon ring kabupaten  Banyuwangi, wong jaban sarjana-sarjana ring universitas hang duweni studi bab Banyuwangi, ya karepe bisa pisan ngomong lan nulis Basa Using. Aja maning uwong jaba, lare-lare Banyuwangi kang sing patiya serawung ambi Basa Using, hing bisa ngecepres, nggoleti paran ucap-ucap kang yane weruh basa Indonesiane, taping sing weruh Basa Usinge.

Acake, paran Basa Usinge: selamat pagi; sebagai remaja berprestasi; alat komunikasi; hotline; kepala rumah tangga; kesempatan; halaman buku; mencabut status tanggap darurat.
Mula, kudu diakoni Basa Using tulis, rada kasep anggone merujuk. Kalinganiya, seprene bisa diitung deriji tangan tengen akehe buku-buku hang nganggo Basa Using. Mung ana siji tah loro novel, siji kumpulan cerita cendhek, siji kumpulan artikel, loro leksikon kumpulan ujar, kira-kira lima buku undharasa.

Liyane maning endi? Pitakonan iki kanggone awak dhewek kabeh. Awak dhewek hang bisa nambahi akehe buku-buku iku mau.
Makene merujuke tambah gelis, ngadhege tambah jejeg, uwong-uwong hang penter basa Indonesia bisa gampang sinau, kudune gancang ditulis kamus Indonesia-Using, jodho selisihe kamus Using-Indonesia hang wis ana.

Kadhung wis ana kamus Indonesia-Using iki, Basa Using arep diakoni dadi salah sijine basa tah? Hing kathik nganteni ndaru. Pokoke awak-awak dhewek wis padha ngersaya nguri-uri basa iki, muga-muga uwong liya ya ngerasakaken usahane.
Paran sih gunane Basa Using? Basa iku tengere kebudayaan. Kadhung basa iki ilang, gandrung hing ana maning, kerana gending-gending gandrung iku Basa Using. Hing ana Seblang. Uwong Using kari nganteni itungan dina, mung ana ring catetan sejarah.

iwandear@gmail.com

Selasa, 05 Agustus 2014

Lepaskan bayi ikan balik ke laut


Lepaskan bayi ikan balik ke laut

 

 
 
 
 
 
Beberapa hari setelah lebaran 2014, saya bermain ke Boom, pesisir yang sekarang terlihat lebih cantik. Ada aktivitas nelayan sedang menjaring ikan. Bermodalkan perahu, nelayan tersebut menyebar jaring panjang sampai agak ke tengah, perahunya berputar sampai mendarat lagi.

Setelah jaring ditarik dari kiri dan kanan, pelan-pelan sampai di ujung jaring, seperti ikan paus yang menganga, jala Trawl yang bermata halus ini menunggu tangkapan ikan-ikan yang ada di antara jaring tadi untuk masuk. Ikan kecil maupun sedang semua tertangkap, tak ada yang lolos.

Sampai di pinggir, ikan tangkapan dimasukkan ke keranjang. Sebagian pengunjung pantai, langsung membeli ikan-ikan kecil yang masih bergeleparan meregang nyawa. Untuk ukuran pendatang, sekilo ikan Rp. 15-20 ribu sangatlah murah. Ikan segar yang sangat gurih hanya dengan digoreng saja.

Karena jaring jala yang bermata kecil, semua tangkapan berbagai macam biota laut: cumi-cumi, ubur-ubur, ikan buntal, teri, pethek, dan berbagai macam bayi ikan lainnya.

Ketika saya unggah di facebook hasil “tangkapan” tersebut, saya diprotes beberapa orang teman, dengan mengatakan: “Lepaskan bayi ikan balik ke laut.”

Saya pikir suruhan mereka ini main-main. Semula saya hanya berpikir, anak penyu saja yang wajib dilepaskan. Kebetulan, sore harinya Rabu 30 Agustus 2014, Pemda dan para penggiat lingkungan, mengagendakan acara pelepasan tukik (anak penyu) di pantai ini. Diharapkan beberapa anak penyu ini akan menjadi dewasa dan kembali ke pantai mereka berenang pertama kalinya dan bertelur untuk kelangsungan hidup anak cucu mereka. Anak cucu penyu, bukan anak cucu para penggiat lingkungan.

Ternyata, dalam istilah penggiat lingkungan, segala macam bayi ikan, bayi kepiting, dan bayi biota laut lainnya yang bukan merupakan tangkapan sasaran serta segala macam makhluk hidup di laut yang nantinya dibuang (sengaja atau tidak), dinamakan Tangkapan Sampingan (bycatch).

Sejak tahun 1997, menurut Wikipedia, Organisasi Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), menyebut tangkapan sampingan ini secara tidak sengaja mempercepat penurunan jumlah ikan dan bisa dinamakan merupakan praktik pengambilan ikan secara berlebihan.

Tadinya, istilah Tangkapan Sampingan ini hanya mengacu pada kematian Lumba-lumba pada jaring nelayan penangkap ikan tuna.

Paling tidak saat ini ada empat cara yang dibilang merupakan Tangkapan Sampingan:

1.     Tangkapan yang bukan target utama tetapi diambil juga oleh nelayan

2.     Spesies yang dibuang oleh nelayan

3.     Tangkapan yang bukan ikan target, tetapi diambil baik untuk dijual atau dibuang

4.     Jenis biota lain, yang tidak punya nilai ekonomis seperti kerang-kerangan, burung laut, mamalia laut maupun bayi ikan hiu.

Sayangnya, banyak biota laut, yang menurut orang luar tidak memiliki nilai ekonomi, tetapi bisa menghasilkan uang di Banyuwangi. Dan menjadi bahan konsumsi sehari-hari. Misalnya, bayi ikan-ikan tadi. Karena rasanya sangat gurih, banyak orang yang justru menyukai bayi ikan. Bahkan bayi ikan hiu pun bisa kita temui di pasar. Telur penyu yang semestinya dilarang untuk diperjualbelikan, bisa gampang kita temui di pasar.

Jadi selain pelepasan tukik dengan upacaranya yang meriah, para penggiat lingkungan mulai saat ini juga harus memberi edukasi penyadaran baik kepada nelayan untuk melepas lagi, anak-anak ikan dan tangkapan lain yang tidak mereka jual. Misalnya ubur-ubur. Atau anak ikan hiu.

Dan juga penyadaran kepada konsumen, untuk tidak lagi mengkonsumsi ikan-ikan bayi (termasuk bayi hiu), agar nelayan pun tidak merasa kehilangan saat mereka menceburkan kembali anak-anak ikan ini, karena mereka tidak punya nilai ekonomis (artinya tak ada pembeli lagi).

Dari segi pemerintah, bisa juga diadakan pembatasan penjaringan ikan pada daerah tertentu. Atau jenis jala halus pada ujung jaring yang diatur penggunaannya. Diperlebar lubang mata jalanya misalnya.

Paling tidak, usulan untuk mengembalikan bayi ikan ini ke laut akan menjaga kelangsungan hidup biota laut, kelangsungan hidup nelayan, dan kekayaan laut Banyuwangi bisa lebih terjaga.

iwandear@gmail.com

Senin, 04 Agustus 2014

Ijen dan Gondola

Libur lebaran 2014 kemarin, saya beserta istri dan tiga orang anak melaksanakan keinginan yang tertunda setahun lalu: mendaki puncak Gunung Ijen yang ada di sebelah barat kota Banyuwangi. Sebenarnya, dari kota Banyuwangi Gunung Ijen, tersembunyi di belakang Gunung Merapi (Ungub-Ungub) dan Gunung Rante. Tahun lalu kami sudah mencapai Paltuding, pos pertama yang bisa dicapai menggunakan kendaraan roda empat, tapi karena persiapan yang kurang baik, akhirnya diurungkan. Libur lebaran tahun ini moment yang sangat pas.
Kebetulan anak pertama saya ulang tahun tanggal 29 Juli, dan saya ingin memberinya hadiah “The highest birthday celebration ever” di puncak Ijen. Di samping saya juga ingin menanamkan semangat yang saya punyai jaman sekolah dulu: Jangan sebut sebagai anak Banyuwangi kalau belum mendaki Ijen. (Selain berjalan kaki beberapa kali, tahun 1983, saya pernah bersepeda solo sendirian dari Banyuwangi-Asembagus-Gerduwatak Bondowoso-Sukasari-Jampit-Paltuding-Licin-balik lagi Banyuwangi. Saya kira itulah pertama kali ada sepeda mencapai Paltuding di jaman pendakian dimulai dari Jambu).
Pada hari itu, hari kedua lebaran. Pada saat yang sama ada keramaian upacara adat Ider Bumi di Kemiren. Tahun 2013, kami sudah sempat menyaksikan Ider Bumi. Jadi tidak terlalu kehilangan.
Hari Selasa itu saya berangkat dari rumah di Lateng pukul 6.30. Sebenarnya, meski masih terbiasa puasa, jauh lebih enak kalau sarapan terlebih dahulu dua jam sebelum mendaki. Saya pikir bisa temukan penjual makanan di jalan, tapi yang ada hanya penjual bakso. Bahkan sampai Jambu, sebelum memasuki perkebunan menuju Ijen, tak satupun ada penjual makanan.
Apa boleh buat. Setelah mencapai Paltuding, kami mencari warung dan satu-satunya warung yang buka, tak hanya menyediakan mie instant, tapi juga ketupat lebaran, dan gule encer penuh lemak.
Saya dipersilahkan mengambil ketupat sendiri, dan mengambil kuah gule dan daging berlemak di panci yang masih di atas kompor. Beberapa orang lokal, menikmati kehangatan di depan perapian.
Begitu piring ketupat gule mencapai meja, lemak gule tadi sudah kembali mengeras, dan menempel di gigi. Anak saya terkecil minta tukar pop mie. Sisa-sisa lemak di mulut, saya siram dengan teh hangat.
Saat minta bon, saya hanya bisa tersenyum, ternyata ketupat gulenya, tidak dihitung. “Magih lebaran,” kata ibu penjual.
Setelah ke toilet yang lumayan bersih dengan air mengalir kencang, lebih dari rata-rata toilet di rest-area cum pompa bensin di beberapa kota di pantura, kami mulai mendaki. Yang menjadi pertanyaan saya dari awal, mengapa tak sepeser pun kami dimintai retribusi. Uang retribusi ini penting untuk menjaga kebersihan. Lihatlah, meski ada tempat sampah di kiri kanan jalan, tapi seakan berhari-hari sampah itu tidak diurus. Bahkan sepertinya, para pendaki wisata ini sepertinya tidak melihat tempat sampah yang tersedia, dan membuang sampah tepat di sebelah tempat sampah.
Kabut menggantung sepanjang jalan. Nyaris, jarak pandang sekitar 5-7 meter.  Di beberapa tempat, ada beberapa batang kayu roboh yang bisa kami jadikan tempat istirahat ketika kaki sudah berat untuk dilangkahkan. Sebenarnya ada pula, tempat peristirahatan, tapi terlihat tidak bersih.
Kami mencapai Pondok Bunder (2214 meter di atas permukaan laut) kira-kira dua jam kemudian. Mendapati pemikul belerang yang menjual souvenir belerang yang dicetak berbentuk kura-kura, teddy bear atau dinosaurus. Beberapa yang lain, ada yang berupa tulisan I Love Ijen 2014.
Setelah Pondok Bunder, jalanan sedikit mendaki, setelah itu mendatar. Kabut masih tebal. Sampai di puncak bibir kawah kira-kira pukul 11.30. Kami sangat beruntung, kabut bergerak cepat dari puncak. Lantas terlihatlah Ijen, danau kawah yang berwarna hijau, satu dua orang pemikul belerang yang menawarkan tenaga memandu kalau mau turun ke kawah.
Tak sampai sepuluh menit cuaca cerah, kabut datang lagi. Untung kami sudah foto-foto.  
Kemudian kami turun dengan beberapa catatan:
1.       Mestinya ada retribusi di Paltuding, sehingga pemeliharaan tempat wisata lebih terjamin. Saya tidak tahu siapakah yang berkepentingan, apakah Pemda Banyuwangi atau Pemda Bondowoso, karena sepanjang jalan menuju Pondok Bunder, selalu didapati perbatasan kedua kabupaten.
2.       Mesti ada pasukan pembersih sampah yang bisa digaji dari retribusi pengunjung.
3.       Pada tempat istirahat yang sudah lumayan bagus (terutama mungkin untuk berteduh pengunjung saat musim hujan), disediakan pula toilet yang bersih dan air yang berkecukupan. Saya yakin pengunjung (yang sebagian orang kota) tidak berkeberatan untuk membayar asal toiletnya bersih dan dijaga kebersihannya. Daripada mesti mencari pohon besar untuk buang air.
4.       Di pinggir-pinggir jalanan menuju Pondok Bunder atau menuju puncak, diberi pagar pengaman.
5.       Selain blue fire, yang konon hanya ada dua fenomenanya di dunia ini, bisa juga ditawarkan kepada wisatawan, nonton sunrise, di bibir kawah. Mengapa hanya Bromo yang bisa menyuguhkan nonton sunrise ini, yang ditungguin ratusan wisatawan, sementara yang punya slogan Sunrise of Java adalah Banyuwangi? Memang melihat matahari terbit ini bagi sebagian orang sangat menakjubkan. Seorang teman dari Australia, bernama Dorothy McIlvena, mengistilahkannya: “Saat dimana saya merasa paling dekat dengan Tuhan, dalam keadaan hidup.”
6.       Andai saya punya cukup duit, dan diijinkan oleh pemilik kawasan, saya ingin membangun gondola, skylift atau apapun namanya, dari Paltuding menuju bibir kawah. Agar lebih banyak orang, terutama orang-orang tua dan orang yang secara fisik tidak mampu mendaki, bisa menikmati keindahan Gunung Ijen. Gunung Ijen untuk semua. Sehingga orang Banyuwangi pun dapat lebih menghargai anugerah Tuhan yang sudah diberikan kepada Banyuwangi. Seorang teman dari Singapura bernama Affendi Senin, menulis dalam komentar facebook saya,” Lucky for you to have nature's beauty right at your doorstep. In Singapore, our highest hill is only about 100+ meters tall.”  Sungguh beruntung punya keindahan alam pas di depan pintu rumah, katanya. Memang, usulan skylift ini bakal ada yang keberatan, karena akan memicu lebih cepat kerusakan alam. Tapi di sisi lainnya, kalau dikelola dengan baik, retribusi wisatawan ini dapat menjaga keindahan alamnya dengan lebih baik.
Ijen betul-betul memberi sebuah pengalaman yang tak terlupakan.
iwandear@gmail.com