Jumat, 12 Juni 2015

Institut Kesenian Blambangan


Dalam sebuah pembicaraan di facebook soal asal mula angklung Banyuwangi, berkembang, sampai pada sebuah usulan: perlunya didirikannya Institut Kesenian Blambangan (IKB).

Memang menjadi sebuah usulan yang boleh dianggap sebagai mimpi saat ini. Tapi sangat layak untuk diperjuangkan.

Seperti kata budayawan Banyuwangi Hasan Basri, materi kesenian Banyuwangi (Blambangan) pilih tanding sagah saing.

Di saat daerah-daerah lain kebingungan dengan keberadaan kesenian tradisionalnya, Banyuwangi justru berlebihan materi kesenian rakyatnya. Di saat kesenian tradisional di daerah lain, seperti Remo (Surabaya) atau Lenong (Betawi) kesulitan untuk mempertahankan hidupnya, sebagian grup janger Banyuwangi kesulitan membagi waktunya untuk naik pentas.

Kesenian tradisional Banyuwangi sudah sering tampil di pentas nasional, karena di lingkungan Jawa Timur seakan tidak menemui “lawan” yang sepadan. Angklung Caruk, Angklung Paglak, Barong Bengi, Barong Ngarak, Campursari, Hadrah Kuntul, Dadaran, Kundaran, Jaranan Buta, Janger, Kendang Kempul, Patrol, belum lagi yang coba dihidupkan lagi, misalnya Ahmad Kehamad, Rengganis.

Tapi selama ini dunia pertunjukan dan kesenian berkembang karena kreativitas dan keinginan untuk berkesenian yang kuat dari orang Blambangan. Sehingga semuanya seakan tercecer. Istilah-istilah angklung saja, antara daerah kidulan dan kota, tidak ada keseragaman, meskipun suara yang dihasilkan ujungnya sama. Belum ada keseragaman istilah-istilah dalam tari-tarian. Akan lebih bagus kalau para seniman bisa duduk bersama membahas masalah yang penting-gak-penting ini. Karena toh ada yang mengatakan, tidak penting istilahnya, yang penting apa yang dihasilkan.

Saat ini memang Institut seni milik pemerintah terletak di ibukota-ibukota provinsi, seperti Institut Seni Indonesia Bali, Padang Panjang, Surakarta dan Yogyakarta. Dan satu lagi Sekolah Tinggi Seni di Bandung.

Untuk memulai mendirikan Institut Seni pemerintah bukan pekerjaan gampang. Sama seperti hilangnya pengajaran bahasa Using di SMP, karena tidak ada satu pun sarjana Bahasa Using. Kurikulum 2013 mensyaratkan guru mengajar sesuai dengan bidang keahliannya. Tak akan pernah muncul sarjana bahasa Using karena jurusan bahasa Using tidak ada di perguruan tinggi. Yang sudah terjadi adalah sarjana-sarjana atau doktor yang kajiannya tentang bahasa Using.

Kembali ke Institut Seni Blambangan, bagaimana jalan keluarnya? Barangkali, Institut Kesenian Jakarta bisa menjadi rujukan. IKJ ini dimiliki oleh sebuah yayasan yang didirikan oleh pemerintah daerah. Dari 500 pegawai dan dosennya berstatus pegawai swasta dan tidak semuanya memiliki ijazah akademik. Keahlian ditentukan dengan kriteria lain selain ijazah.

IKJ saat ini memiliki tiga buah fakultas: Seni Rupa, Film dan Televisi, Seni Pertunjukan. Mungkin IKB bisa memulainya dengan Fakultas Seni Pertunjukan saja yang mempunyai jurusan Seni Tari, Seni Musik dan Teater. Meski Film dan Televisi adalah industri baru yang banyak menarik peminat, keahlian seniman Blambangan belum menyentuh ke arah itu. Jadi mulai dengan yang kita sudah ahli.

Seperti halnya UNAIR yang “buka cabang” di Banyuwangi, hal yang paling mudah barangkali juga “membuka cabang” IKJ di Banyuwangi. Sehingga prosesnya tidak terlalu lama. Dan, dengan proses yang tidak lama, otomatis segera akan ada penyeragaman istilah, soal musik tradisional, soal tari, soal pertunjukan. Mudah-mudahan segera terwujud. (iwandear@gmail.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar