Dalam sebuah pembicaraan di facebook soal asal mula angklung
Banyuwangi, berkembang, sampai pada sebuah usulan: perlunya didirikannya
Institut Kesenian Blambangan (IKB).
Memang menjadi sebuah usulan yang boleh dianggap sebagai mimpi
saat ini. Tapi sangat layak untuk diperjuangkan.
Seperti kata budayawan Banyuwangi Hasan Basri, materi kesenian
Banyuwangi (Blambangan) pilih tanding sagah saing.
Di saat daerah-daerah lain kebingungan dengan keberadaan
kesenian tradisionalnya, Banyuwangi justru berlebihan materi kesenian
rakyatnya. Di saat kesenian tradisional di daerah lain, seperti Remo (Surabaya)
atau Lenong (Betawi) kesulitan untuk mempertahankan hidupnya, sebagian grup
janger Banyuwangi kesulitan membagi waktunya untuk naik pentas.
Kesenian tradisional Banyuwangi sudah sering tampil di
pentas nasional, karena di lingkungan Jawa Timur seakan tidak menemui “lawan”
yang sepadan. Angklung Caruk, Angklung Paglak, Barong Bengi, Barong Ngarak,
Campursari, Hadrah Kuntul, Dadaran, Kundaran, Jaranan Buta, Janger, Kendang
Kempul, Patrol, belum lagi yang coba dihidupkan lagi, misalnya Ahmad Kehamad,
Rengganis.
Tapi selama ini dunia pertunjukan dan kesenian berkembang
karena kreativitas dan keinginan untuk berkesenian yang kuat dari orang
Blambangan. Sehingga semuanya seakan tercecer. Istilah-istilah angklung saja,
antara daerah kidulan dan kota, tidak ada keseragaman, meskipun suara yang
dihasilkan ujungnya sama. Belum ada keseragaman istilah-istilah dalam
tari-tarian. Akan lebih bagus kalau para seniman bisa duduk bersama membahas
masalah yang penting-gak-penting ini. Karena toh ada yang mengatakan, tidak
penting istilahnya, yang penting apa yang dihasilkan.
Saat ini memang Institut seni milik pemerintah terletak di
ibukota-ibukota provinsi, seperti Institut Seni Indonesia Bali, Padang Panjang,
Surakarta dan Yogyakarta. Dan satu lagi Sekolah Tinggi Seni di Bandung.
Untuk memulai mendirikan Institut Seni pemerintah bukan
pekerjaan gampang. Sama seperti hilangnya pengajaran bahasa Using di SMP,
karena tidak ada satu pun sarjana Bahasa Using. Kurikulum 2013 mensyaratkan
guru mengajar sesuai dengan bidang keahliannya. Tak akan pernah muncul sarjana
bahasa Using karena jurusan bahasa Using tidak ada di perguruan tinggi. Yang
sudah terjadi adalah sarjana-sarjana atau doktor yang kajiannya tentang bahasa
Using.
Kembali ke Institut Seni Blambangan, bagaimana jalan
keluarnya? Barangkali, Institut Kesenian Jakarta bisa menjadi rujukan. IKJ ini
dimiliki oleh sebuah yayasan yang didirikan oleh pemerintah daerah. Dari 500
pegawai dan dosennya berstatus pegawai swasta dan tidak semuanya memiliki
ijazah akademik. Keahlian ditentukan dengan kriteria lain selain ijazah.
IKJ saat ini memiliki tiga buah fakultas: Seni Rupa, Film
dan Televisi, Seni Pertunjukan. Mungkin IKB bisa memulainya dengan Fakultas Seni Pertunjukan saja yang mempunyai jurusan Seni Tari, Seni
Musik dan Teater. Meski Film dan Televisi adalah industri baru yang banyak
menarik peminat, keahlian seniman Blambangan belum menyentuh ke arah itu. Jadi mulai dengan yang kita sudah ahli.
Seperti halnya UNAIR yang “buka cabang” di Banyuwangi, hal
yang paling mudah barangkali juga “membuka cabang” IKJ di Banyuwangi.
Sehingga prosesnya tidak terlalu lama. Dan, dengan proses yang tidak lama, otomatis segera akan ada
penyeragaman istilah, soal musik tradisional, soal tari, soal pertunjukan. Mudah-mudahan segera terwujud. (iwandear@gmail.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar