Kamis, 07 Mei 2015

Catatan tentang protes DKB terhadap Pemprov Jatim

Saya mendukung protes keras Dewan Kesenian Blambangan (DKB) kepada Gubernur Jawa Timur yang menerbitkan peraturan Nomor 19 tahun 2014, karena tidak mengakui Basa Using sebagai mata pelajaran bahasa daerah. Bahasa yang diakui hanya Bahasa Jawa dan Bahasa Madura. (tempo.co 6 Mei 2015)

Salut juga untuk DKB yang akan memboikot kegiatan-kegiatan seni-budaya yang digelar oleh pemerintah Jawa Timur. Dengan tidak memasukkan bahasa Using sebagai muatan lokal, Gubernur Soekarwo dianggap tidak mengakui budaya Banyuwangi.

Banyuwangi, yang kental dengan adat, tradisi dan kesenian punya andil memperkaya wajah Jawa Timur. Dan sudah seharusnya mendapatkan perhatian yang lebih tentang bahasanya. Karena adat dan kesenian Banyuwangi, berhubungan erat dengan bahasanya. Gandrung tidak akan hidup, tanpa bahasa Using, karena gending-gending Gandrung dilagukan dengan bahasa tersebut. Seblang tidak bisa terlaksana kalau bahasa Using hilang.

Dengan tidak diakui sebagai pelajaran daerah, Bahasa Using makin cepat menuju liang lahatnya. Sejak 2007, Basa Using diajarkan di sekolah, SD maupun SMP. Saat ini hanya diajarkan di sekolah dasar kelas 4,5, dan 6. Sementara di SMP, dengan kurikulum 2013 yang tidak mengakui guru yang tidak punya kompentensi sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan, bahasa Using lebih dulu dihapuskan mata pelajaran basa Using. Memang, sampai saat ini belum ada sarjana Bahasa Using, jadi tak seorang pun bisa menjadi pengajarnya. Sesederhana itu.

Bahasa Using mulai diperjuangkan masuk pelajaran sekolah sejak awal 2000an. Almarhum Pak Hasan Ali menyusun buku Tata Bahasanya, aturan Ejaannya, sampai menyusun Kamus Bahasa Daerah Using-Indonesia, yang memuat sekitar 24.000 entry.

Perlu dicatat, buku pegangan pelajaran SD, hanya ada masing-masing satu buku pelajaran di masing-masing level kelas yang diterbitkan tahun 2005 oleh Pemda. Ada juga dua buah buku pengayaan berupa Dongeng Cerita Rakyat Banyuwangi (2002) dan buku Unen-Unen Basa Using (2003).

Setelah itu, pemda Banyuwangi sendiri seperti tidak punya kepedulian. Dalam 5-6 tahun terakhir, tidak ada pelatihan sekali pun untuk guru-guru bahasa Using. Tidak ada buku-buku baru sebagai pelajaran bahasa Using. Tidak ada buku pengayaan untuk anak-anak sekolah. Tidak ada bentuk karya tulis, misalnya cerpen, puisi, novel, majalah yang diterbitkan. Setelah anak-anak belajar di sekolah, lantas apa? Karena bahasa tidak hanya diajarkan sebagai mata pelajaran, lantas berhenti di dalam kelas. Apalagi sebagai mata pelajaran, bahasa Using relatif baru. Perlu usaha ekstra keras untuk ikut mendudukkan bahasa Using menjadi pelajaran yang mapan.

Dengan terbitnya pergub di atas, pemerintah daerah Banyuwangi makin punya alasan, untuk tidak menganggarkan pengembangan bahasa Using. Lengkaplah sudah proses menuju kematian bahasa Using. Kalau kita peduli, mestinya kita melakukan sesuatu. Mulai dari yang kecil, menggunakan basa Using di rumah, ikut menulis dalam bahasa Using, ikut membuat karya tertulis bahasa Using. Kadung duduk awak-awak hang nguri-nguri sapa maning?
Jadi selain "menyalahkan" orang lain dalam hal ini pemprov Jawa Timur, pemerintah daerah Banyuwangi harus instropeksi mengenai perlakuannya yang membuat kematian bahasa Using lebih cepat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar