Di mana posisi
Bahasa Using, yang merupakan bahasa daerah di Banyuwangi, dua
tahun mendatang? Lonceng kematian untuk
Bahasa Using itu berdentang kencang.
Bulan April lalu, Peraturan Gubernur Jawa Timur
no. 19 tahun 2014 tentang Mata Pelajaran Bahasa Daerah sebagai Muatan Lokal
wajib di sekolah/Madrasah, menyebut bahwa bahasa daerah di Jawa Timur hanya
terdiri dari Bahasa Jawa dan Bahasa Madura.
Peraturan ini sama dengan menafikkan
keberadaan Bahasa Using yang sudah diajarkan di sekolah SD/Ibtidaiyah dan
SMP/Tsanawiyah sejak tahun 2007.
Aturan inipun tidak mempertimbangkan
rekomendasi menyusul Kongres Bahasa Jawa bulan Oktober 1996, yang menyetujui
pada tingkat provinsi Jatim bahwa pada prinsipnya Bahasa Using dapat diajarkan
sebagai bahasa daerah.
Seperti ditulis oleh sarjana Belanda Bernard
Arps (Terwujudnya Bahasa Using di
Banyuwangi dan Peranan Media Elektronik di dalamnya, 2010), bahwa Bahasa
Using direkomendasikan sebagai bahasa daerah yang diajarkan di sekolah.
Setelah rekomendasi yang dikeluarkan oleh
Drs. Atlan, kepala Kantor Wilayah Dep. Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Timur
saat itu, DPRD Banyuwangi pun melakukan hal serupa.
Bahkan pada tahun 1997, menteri Pendidikan
dan Kebudayaan mengizinkan pengajaran Bahasa Using.
Bagaimana mungkin peraturan gubernur
melewatkan fakta-fakta di atas?
Tadinya memang bahasa Using disebut sebagai
dialek Jawa. Seperti banyak pemahaman yang diyakini oleh penutur bahasa Jawa di
tempat lain. Tetapi Suparman Herusantosa dalam disertasi doktornya di
Universitas Indonesia, berjudul Bahasa
Using di Kabupaten Banyuwangi (1987), menemukan bahwa Bahasa Using dan
Bahasa Jawa sejajar secara genealogis bahasa, yang merupakan perkembangan dari
bahasa Jawa kuno.
Dengan meneliti berbagai kata-kata Using dan
Jawa, Suparman berkesimpulan dua bahasa tersebut akar bahasanya sama, tetapi
masing-masing berkembang pada jalannya sendiri.
Bahasa Using sebagai identitas adalah
sebuah hal mutlak untuk eksistensi masyarakat Banyuwangi yang secara kasat mata
memang mempunyai budaya yang berbeda dengan masyarakat Jawa pada umumnya.
Dalam berbahasa, Jawa penuh dengan basa-basi
dibanding dengan Using, yang belaka suta,
apa adanya. Tidak seperti Bahasa Jawa, Bahasa Using egaliter, memakai bahasa
yang sama tanpa membedakan manusia dari kasta, jabatan, posisi atau kekayaan.
Kalau pun ada bahasa halus (besiki), itu karena masih kuatnya budaya kerajaan Blambangan , yang telah dihapuskan
oleh VOC pada tahun 1772, serta kuatnya pengaruh alim ulama yang menggunakan bahasa Besiki.
Demikian juga kesenian Banyuwangi berbeda
dengan kebudayaan Jawa, budaya feodalisme keraton yang membedakan budaya
keraton dengan budaya kawula alit. Kebudayaan Banyuwangi berasal dari aktivitas
spiritual yang tidak membedakan kebudayaan keraton dan kawula alit. Seperti
yang terjadi pada jaman Majapahit atau Bali atau kebudayaan pesantren.
Gamelan
Jawa berirama lamban dibanding gamelan Banyuwangi yang bergerak sangat cepat.
Sejak tahun 1997, Tata Bahasa Baku sudah
ada, ditambah buku pelajaran sekolah, bahan bacaan pengayaan, maupun Kamus
Bahasa Daerah Using-Indonesia yang ditulis oleh almarhum Hasan Ali, ayah
penyanyi Emilia Contessa.
Sehingga Peraturan Gubernur yang
sewenang-wenang ini makin mempercepat proses kematian Bahasa Using. Sebelumnya
sudah ada aturan dalam Kurikulum 2013 yang mengharuskan seorang guru tingkat
SMP mengajar mata pelajaran sesuai dengan keahliannya. Sehingga, untuk bahasa
Using sebagai muatan lokal, tak seorang gurupun yang dapat mengajarkannya
karena tak seorang pun yang bergelar sarjana Bahasa Using.
Dan sejak tahun 2013 itu, seluruh SMP di
Banyuwangi sudah meniadakan pelajaran Bahasa Using. Ke depan, pada tingkat
sekolah dasar pun, tidak diketahui apakah akan ada mata pelajaran bahasa daerah
ini sebagai muatan lokal.
Tanpa aturan yang membela
keberadaannya, masa depan Bahasa Using sudah suram. Secara teori, peraturan itu
mengancam keberlangsungan bahasa Using, sesuatu yang sangat bertentangan dengan
rumusan para founding fathers negara
ini. Yaitu kebudayaan Indonesia adalah sumbangsih puncak-puncak kebudayaan
lokal. Suatu hukum besi yang memberi ruang kebudayaan daerah untuk maju pesat.
Artinya, kegelapan yang sama mengintai pada
eksistensi masyarakat etnik Using Banyuwangi yang berjumlah hampir satu juta
orang. Sebuah jumlah yang sangat signifikan untuk mempertahankan identitasnya.
Tanpa Bahasa Using sebagai
pelajaran, kematian Bahasa Using semakin cepat. Dan kematian bahasa ini ke
depan akan memusnahkan kesenian Gandrung, misalnya. Karena lirik-lirik lagu
dalam kesenian Gandrung atau upacara-upacara tradisional lainnya misalnya
ritual trance Seblang, Kebo-keboan dan
ritual lainnya, menggunakan bahasa Using.
Pada akhirnya, keberadaan
masyarakat Using yang menjadi sasaran.
Karena kebudayaan Using/Banyuwangi
adalah sebuah kebudayaan yang berakar pada peradaban Blambangan atau Majapahit
Kedaton Timur, maka sepatutnya seluruh masyarakat yang peduli dengan kebudayaan
Majapahit untuk bergerak, berjuang mempertahankan peradaban ini.
Save bahasa Using, save uwong
Banyuwangi, save peradaban
Blambangan.
Dalam Kur.'13 keberadaan Bahasa Daerah memang sudah tidak menjadi satu mapel lagi di SD maupun SMP. Disana diisyaratkan menjadi muatan lokal dalam pembelajaran Seni Budaya. Bahasa Daerah (baik Bahasa Jawa maupun Madura) hanya diberikan di daerah yang mempunyai dasar jam tambahan yang diperkuat dengan terbitnya SK Kepala Daerah (Gubernur), saya pribadi meragukan kemampuan Daerah untuk mengelola pembelajaran Bahasa Daerah di sekolah. Dengan keberadaan Bahasa Daerah yang diajarkan dengan SK Gubernur tersebut akan memaksa Kepala Daerah untuk menanggarkan pembelajaran Bahasa Daerah dalam APBD-nya mulai dari pengadaan Buku, tunjangan sertifikasi bagi pengajarnya, Diklat-diklat dan segala tetek bengeknya harus ditanggung daerah. Saya pribadi menyarankan kepada Bupati untuk menerbitkan SK sebagai penjelasan yang mendiskripsikan bahwa bahasa daerah di Banyuwangi juga ada Bahasa Using, selain Bahasa Jawa, dan Bahasa Madura...
BalasHapusUntuk bentuklah organisasi " Save Coro Using " di Banyuwangi , dengan seluruh komponen masyarakat . Lakukan Soft Diplomasi , ketemu Dik Nas, DPRD, kalau perlu demonstrasi damai ....untuk perhatian nasional ..... Ini bukan perjoangan tentang Coro Using , mungkin bisa menginspirasi daerah 2 lain
BalasHapus