Minggu, 12 Oktober 2014

Lonceng Kematian Bahasa Using

Dimuat di Jawa Pos nasional 12 Oktober 2014 halaman 4


Di mana posisi Bahasa Using, yang merupakan bahasa daerah di Banyuwangi, dua tahun mendatang? Lonceng kematian untuk Bahasa Using itu berdentang kencang.

   Bulan April lalu, Peraturan Gubernur Jawa Timur no. 19 tahun 2014 tentang Mata Pelajaran Bahasa Daerah sebagai Muatan Lokal wajib di sekolah/Madrasah, menyebut bahwa bahasa daerah di Jawa Timur hanya terdiri dari Bahasa Jawa dan Bahasa Madura.

   Peraturan ini sama dengan menafikkan keberadaan Bahasa Using yang sudah diajarkan di sekolah SD/Ibtidaiyah dan SMP/Tsanawiyah sejak tahun 2007.

   Aturan inipun tidak mempertimbangkan rekomendasi menyusul Kongres Bahasa Jawa bulan Oktober 1996, yang menyetujui pada tingkat provinsi Jatim bahwa pada prinsipnya Bahasa Using dapat diajarkan sebagai bahasa daerah.

   Seperti ditulis oleh sarjana Belanda Bernard Arps (Terwujudnya Bahasa Using di Banyuwangi dan Peranan Media Elektronik di dalamnya, 2010), bahwa Bahasa Using direkomendasikan sebagai bahasa daerah yang diajarkan di sekolah.

   Setelah rekomendasi yang dikeluarkan oleh Drs. Atlan, kepala Kantor Wilayah Dep. Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Timur saat itu, DPRD Banyuwangi pun melakukan hal serupa.

   Bahkan pada tahun 1997, menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengizinkan pengajaran Bahasa Using.

   Bagaimana mungkin peraturan gubernur melewatkan fakta-fakta di atas?

   Tadinya memang bahasa Using disebut sebagai dialek Jawa. Seperti banyak pemahaman yang diyakini oleh penutur bahasa Jawa di tempat lain. Tetapi Suparman Herusantosa dalam disertasi doktornya di Universitas Indonesia, berjudul Bahasa Using di Kabupaten Banyuwangi (1987), menemukan bahwa Bahasa Using dan Bahasa Jawa sejajar secara genealogis bahasa, yang merupakan perkembangan dari bahasa Jawa kuno.

   Dengan meneliti berbagai kata-kata Using dan Jawa, Suparman berkesimpulan dua bahasa tersebut akar bahasanya sama, tetapi masing-masing berkembang pada jalannya sendiri.

    Bahasa Using sebagai identitas adalah sebuah hal mutlak untuk eksistensi masyarakat Banyuwangi yang secara kasat mata memang mempunyai budaya yang berbeda dengan masyarakat Jawa pada umumnya.

   Dalam berbahasa, Jawa penuh dengan basa-basi dibanding dengan Using, yang belaka suta, apa adanya. Tidak seperti Bahasa Jawa, Bahasa Using egaliter, memakai bahasa yang sama tanpa membedakan manusia dari kasta, jabatan, posisi atau kekayaan. Kalau pun ada bahasa halus (besiki), itu karena masih kuatnya budaya kerajaan Blambangan , yang telah dihapuskan oleh VOC pada tahun 1772, serta kuatnya pengaruh alim ulama yang menggunakan bahasa Besiki.

   Demikian juga kesenian Banyuwangi berbeda dengan kebudayaan Jawa, budaya feodalisme keraton yang membedakan budaya keraton dengan budaya kawula alit. Kebudayaan Banyuwangi berasal dari aktivitas spiritual yang tidak membedakan kebudayaan keraton dan kawula alit. Seperti yang terjadi pada jaman Majapahit atau Bali atau kebudayaan pesantren.

  Gamelan Jawa berirama lamban dibanding gamelan Banyuwangi yang bergerak sangat cepat.

   Sejak tahun 1997, Tata Bahasa Baku sudah ada, ditambah buku pelajaran sekolah, bahan bacaan pengayaan, maupun Kamus Bahasa Daerah Using-Indonesia yang ditulis oleh almarhum Hasan Ali, ayah penyanyi Emilia Contessa.

   Sehingga Peraturan Gubernur yang sewenang-wenang ini makin mempercepat proses kematian Bahasa Using. Sebelumnya sudah ada aturan dalam Kurikulum 2013 yang mengharuskan seorang guru tingkat SMP mengajar mata pelajaran sesuai dengan keahliannya. Sehingga, untuk bahasa Using sebagai muatan lokal, tak seorang gurupun yang dapat mengajarkannya karena tak seorang pun yang bergelar sarjana Bahasa Using.

   Dan sejak tahun 2013 itu, seluruh SMP di Banyuwangi sudah meniadakan pelajaran Bahasa Using. Ke depan, pada tingkat sekolah dasar pun, tidak diketahui apakah akan ada mata pelajaran bahasa daerah ini sebagai muatan lokal.

   Tanpa aturan yang membela keberadaannya, masa depan Bahasa Using sudah suram. Secara teori, peraturan itu mengancam keberlangsungan bahasa Using, sesuatu yang sangat bertentangan dengan rumusan para founding fathers negara ini. Yaitu kebudayaan Indonesia adalah sumbangsih puncak-puncak kebudayaan lokal. Suatu hukum besi yang memberi ruang kebudayaan daerah untuk maju pesat.

  Artinya, kegelapan yang sama mengintai pada eksistensi masyarakat etnik Using Banyuwangi yang berjumlah hampir satu juta orang. Sebuah jumlah yang sangat signifikan untuk mempertahankan identitasnya.

   Tanpa Bahasa Using sebagai pelajaran, kematian Bahasa Using semakin cepat. Dan kematian bahasa ini ke depan akan memusnahkan kesenian Gandrung, misalnya. Karena lirik-lirik lagu dalam kesenian Gandrung atau upacara-upacara tradisional lainnya misalnya ritual trance Seblang, Kebo-keboan dan ritual lainnya, menggunakan bahasa Using.

   Pada akhirnya, keberadaan masyarakat Using yang menjadi sasaran.

   Karena kebudayaan Using/Banyuwangi adalah sebuah kebudayaan yang berakar pada peradaban Blambangan atau Majapahit Kedaton Timur, maka sepatutnya seluruh masyarakat yang peduli dengan kebudayaan Majapahit untuk bergerak, berjuang mempertahankan peradaban ini.

   Save bahasa Using, save uwong Banyuwangi, save peradaban Blambangan.

 

2 komentar:

  1. Dalam Kur.'13 keberadaan Bahasa Daerah memang sudah tidak menjadi satu mapel lagi di SD maupun SMP. Disana diisyaratkan menjadi muatan lokal dalam pembelajaran Seni Budaya. Bahasa Daerah (baik Bahasa Jawa maupun Madura) hanya diberikan di daerah yang mempunyai dasar jam tambahan yang diperkuat dengan terbitnya SK Kepala Daerah (Gubernur), saya pribadi meragukan kemampuan Daerah untuk mengelola pembelajaran Bahasa Daerah di sekolah. Dengan keberadaan Bahasa Daerah yang diajarkan dengan SK Gubernur tersebut akan memaksa Kepala Daerah untuk menanggarkan pembelajaran Bahasa Daerah dalam APBD-nya mulai dari pengadaan Buku, tunjangan sertifikasi bagi pengajarnya, Diklat-diklat dan segala tetek bengeknya harus ditanggung daerah. Saya pribadi menyarankan kepada Bupati untuk menerbitkan SK sebagai penjelasan yang mendiskripsikan bahwa bahasa daerah di Banyuwangi juga ada Bahasa Using, selain Bahasa Jawa, dan Bahasa Madura...

    BalasHapus
  2. Untuk bentuklah organisasi " Save Coro Using " di Banyuwangi , dengan seluruh komponen masyarakat . Lakukan Soft Diplomasi , ketemu Dik Nas, DPRD, kalau perlu demonstrasi damai ....untuk perhatian nasional ..... Ini bukan perjoangan tentang Coro Using , mungkin bisa menginspirasi daerah 2 lain

    BalasHapus