Senin, 30 Juni 2014

Oase Kesenian Blambangan di Jakarta


 
Sungguh jarang saya menyaksikan sebuah latihan kesenian Blambangan di luar tanah kelahirannya. Apa boleh buat. Memang daerah ibukota Jakarta yang jaraknya lebih dari 1000 km bukan tempat yang gampang dijangkau oleh kelompok kesenian dari ujung timur Pulau Jawa.

Keberuntungan yang saya dapat terbatas pada menonton pertunjukan yang disajikan oleh Ikatan Keluarga Banyuwangi (IKAWANGI) pada saat diadakannya acara Halal Bi Halal setelah hari Raya Idul Fitri setiap tahunnya. Apakah itu gandrung (yang ini sepertinya wajib ada), barong caruk, angklung, kendang kempulan, atau musik yang lebih modern seperti Patrol Orkestra Banyuwangi (saat mereka masih utuh dan baru mengeluarkan album pertama).

Sisanya, pertunjukan lain yang dihidangkan oleh perwakilan pemda Jawa Timur di Jakarta untuk mengisi acara di anjungan Jawa Timur Taman Mini Indonesia Indah. Pertunjukan yang cukup beragam, angklung paglak, tiruan upacara minta hujan Kawin Kucing, atau cuplikan drama Janger.
Kadang kala, ketemu juga tari Blambangan atau yang diilhami oleh tari Blambangan yang dipentaskan oleh seniman dari luar Blambangan.

Hari Minggu 29 Jun 14 kemarin saya mendapat kemewahan luar biasa menyaksikan sebuah latihan Hadrah Kuntulan dari grup Ikawangi Tangerang, yang berlatih di rumah sekaligus workshop bengkel bubut milik orang Alas Malang, Kang Ketele Sumardi, di daerah Cikande, Jayanti Tangerang.
Latihan yang melibatkan enam orang tukang terbang, (kang Supriono, Habib, Sopian, Edi, Khoirul, Soleh Jumiran dan Yurianto) dua orang penabuh jidor (Kang Buanan, sekaligus pelatih dan Nurhadi), satu penabuh pantus/lincang (kang Mashudi) dan satu organ (kang Hasan), seperti menjadi sebuah oase pada padang gurun kesenian Blambangan di Jakarta. Para penabuh ini berasal dari beragam daerah: Alas Malang, Gambor, Lateng Rogojampi, Bubuk dan Melik.

Mereka membawakan sebuah gending random minus vokal berdurasi 12 menitan. Itu saja cukup untuk menyiram kedahagaan saya akan kesenian Blambangan. Seperti orang puasa disodori es blewah untuk menu berbukanya. Kebetulan hari itu hari pertama Ramadhan, tetapi tidak mengurangi semangat mereka untuk berlatih.

Menurut pemimpin Hadrah Kang Yurianto, para penabuhnya merupakan pegawai pabrik di sekitar Tangerang. Grup yang baru didirikan 2 Feb 2013 ini melakukan latihan satu minggu dua kali. Salah satu kendala grup ini adalah mereka hanya bisa berkumpul atau memenuhi undangan hanya pada hari Minggu atau Sabtu sore selepas mereka bekerja setengah hari di pabrik.

Mereka pernah mendapat order sekali mengiringi pengantin, dari rumah pengantin lelaki menuju rumah pengantin perempuan.
“Heboh, karena suara jidor ini terdengar jauh dan lantang. Jalanan macet karena banyak anak-anak yang mengikuti rombongan untuk menyaksikan iringan tabuhan,” kata Kang Lelek, panggilan Ketele.
“Lagunya bisa menyesuaikan permintaan tuan rumah. Bisa lagu-lagu Islami, sholawatan atau lagu-lagu kendang kempul lama,” kata Kang Juri.
 
Tanpa bermaksud menjelekkan, kalau kesenian Marawis yang tengah populer di Jabodetabek ini “diadu” dengan hadrah kuntulan, para penabuh Marawis pasti berpikir lebih baik menyimpan alat-alat musiknya dan berharap mereka tidak pernah mengenal Marawis. Marawis, yang memainkan alat mirip rebana, kendang dan kecimpring, populer sebagai kesenian di sekolah-sekolah sebagai bagian pertunjukan kesenian Islami.
Saya bermimpi, grup ini bisa tampil di Taman Mini pada saat Halal Bi Halal Ikawangi. Atau pada saat mengiringi pengantin sunat orang Banyuwangi di Jakarta dan sekitarnya, atau mengiringi pengantin. Atau sekedar tampil pada acara liburan Islami. Sehingga menambah harum nama kesenian Blambangan di luar daerahnya.

Saya bermimpi, grup kesenian Blambangan lainnya muncul dan eksis. Angklung, Gandrung, Kundaran, Janger atau apapun. Dan mereka mampu beradaptasi pada tanah baru, merambah penikmat baru yang tidak terbatas pada orang Blambangan saja.
iwandear@gmail.com
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar