Saya
tak hendak memutar jarum jam sejarah. Seperti membuat setback soal perdebatan apakah Using,
yang oleh peneliti Belanda Ben Arps dibilang direkayasa dari sebuah bahasa Jawa
pedesaan menjadi sebuah identitas kesukuan[1].
Atau dikatakan Using sebagai istilah yang melumpuhkan
jiwa, untuk menghancurkan moral masyarakat Blambangan[2].
Saya ingin mengusulkan agar kita kembali ke
istilah Blambangan, untuk mengganti
kata Using, Banyuwangen atau Banyuwangi, dalam menyebut suku Using, bahasa Using atau Banyuwangen,
atau kabupaten Banyuwangi. Mengapa?
1.
Bahasa Menunjukkan Bangsa.
Orang Indonesia berbicara bahasa
Indonesia, bukan bahasa Melayu. Meski cikal
bakalnya adalah
bahasa Melayu. Mungkin saja, kalau bahasa Melayu yang dijadikan bahasa nasional
akan mengalami kendala, soal rasa memiliki pada penduduknya.
Bisa timbul masalah, bahasa mana yang lebih baku , bahasa Melayu di
Riau atau Melayu yang berkembang di tempat lain di Indonesia? Dengan Bahasa Indonesia , yang mencakup wilayah,
orang Melayu pun tak banyak pertanyaan soal bahasa mereka yang diacak-acak oleh
etnis lain.
Kata Using merujuk pada suku, bahasa dan
orangnya, tercatat pertama kali
dikemukakan oleh Joh
Scholte pada sebuah penerbitan tahun 1926. Katanya itu merupakan julukan orang
luar pada penduduk asli Blambangan.
Yang menarik adalah, pada salah satu naskah Serat Sri Tanjung[3] (yang
versinya berpuluh-puluh), dan selalu dikaitkan dengan keberadaan asal mula kota Banyuwangi kata sing atau using, sama sekali tidak muncul.
Yang disebut pada naskah tersebut adalah kata nora dan tan yang
artinya menegasikan, seperti kata sing
dan using. Naskah yang selesai
ditulis 6 Maret 1898, itu menceritakan Sidopekso dan Sri Tanjung akhirnya
bersanding di pelaminan. Untuk merayakannya, mereka menanggap wayang, ludruk
pak Waluh, gandrung laki Marsan Suwarno, dan pertunjukan barong. Sangat
Blambangan.
Dalam peribahasa Indonesia disebut, Bahasa Menunjukkan Bangsa. Ternyata ini
merupakan sebuah filsafat Jerman abad 18, yang mengerucut pada sebuah ideologi
nasionalisme[4] yang menjadi pertimbangan mengangkat
bahasa, yang disebut belakangan sebagai bahasa
Using, menjadi bahasa resmi.
Bahasa yang menjadi identitas Kabupaten Banyuwangi
karena etnis lokal yang menggunakan bahasa Using dianggap sebagai penduduk asli
Banyuwangi dan memang jumlahnya mayoritas. Tapi banyak etnis lain seperti Jawa,
Madura, Arab, Tiongkok, Mandar, Bugis, Bali, peranakan Belanda dan lain-lain
sebagai akibat posisi Banyuwangi sebagai daerah pelabuhan maritim.[5]
Etnis non-Using ini jumlahnya
signifikan. Tanpa penyebutan
wilayah sebagai identitas bahasa, mereka ini tidak akan punya sense of belonging yang menghambat
perkembangan bahasa resmi tersebut.
Kalau disebut bahasa Using, etnis
lain ini tidak punya “kewajiban” untuk berbahasa tersebut karena mereka merasa
bukan etniknya. Jadi bisa muncul pembicaraan seperti: “Saya etnis Mandar, tapi
tinggal di Banyuwangi. Saya tetap berbahasa Mandar. Saya bukan orang Using.”
Akan berbeda kalau disebut bahasa Blambangan. “Saya tinggal di Blambangan.
Meski dari Mandar, saya harus bisa berbahasa Blambangan karena saya tinggal di
sini.” Keadaan ini layaknya Bahasa Melayu yang dijadikan cikal-bakal Bahasa
Indonesia.
2. Bahasa Blambangan harus dikembangkan, dan tidak
dengan mundur ke belakang.
Sebagian
penutur bahasa Using, dari kelompok etnik Using ada yang merasa, bahwa
bahasa kampung mereka lah yang paling asli, paling orisinal.
Mestinya bahasa Blambangan dibawa
bergerak maju, bahwa sebuah bahasa tidak ada yang berdiri sendiri. Demi
pengembangannya, jumlah kosa kata harus ditambah, bisa digali dari dalam atau
pun menyerap bahasa lain.
Kosakata bahasa Using agak
terbatas. Dikarenakan bahasa ini tidak banyak diberi kesempatan mengembangkan
dirinya dalam bahasa tulis. Boleh dibilang tidak sampai hitungan sepuluh buku
yang ditulis dalam bahasa tersebut saat ini.
Sastra yang berkembang lebih pada
tutur lisan dan lagu-lagu. Sehingga terasa tergagap-gagap ketika dijadikan
bahasa tulis.
3. Nama Banyuwangi minus latar belakang
sejarah kental.
Sampai saat
ini belum ditemukan rujukan tertulis bagaimana nama Banyuwangi ini bisa
muncul. Sebelum ditetapkan sebagai ibukota Blambangan baru, dan kemudian jadi
nama kabupaten, tidak banyak yang bisa diceritakan tentang daerah ini. Bahkan dalam arsip VOC sekalipun.[6]
Kita punya kebanggaan dengan
sesuatu yang mempunyai sandaran sejarah yang panjang, yang membanggakan, yang
bisa diceritakan dan diagul-agulkan menjadi
sebuah identitas.
Tidak seperti Banyuwangi, Blambangan
merujuk pada kerajaan yang orang-orangnya keras kepala dan selalu menentang
kekuasaan asing. Yang terkait dengan Banyuwangi, hanyalah legenda Sidopekso Sri
Tanjung dan Banterang Surati.
4. Semangat tak pernah padam
Semangat suku bangsa Blambangan,
diceritakan oleh Scholte[7],
meski dilanda oleh berbagai kekuatan luar yang menggerusnya, tapi tak pernah
padam. “Keturunannya yang ada sekarang
merupakan suku-suku bangsa yang gagah fisiknya dan berkepribadian serta
berkembang dengan cepat, berpegang kuat pada adat istiadat, tetapi juga mudah
menerima peradaban baru.”
Blambangan adalah negeri yang rakyatnya gagah berani menentang
penjajahan. Dan diakui oleh Belanda sendiri, Perang Bayu, sebagai perang yang
paling banyak menghabiskan biaya, dan nyawa selama Belanda menduduki Nusantara
sampai saat itu.[8]
Apakah karena ini kemudian Belanda
berkepentingan untuk mengganti nama Blambangan menjadi Banyuwangi yang tak
punya asal-usul? Sehingga lepas seluruh kekuatan yang menyertai nama
Blambangan? Sehingga rakyatnya tak lagi diasosiasikan dengan semangat membara
menentang penjajah? Sehingga anak cucunya pun segera melupakan kedigdayaan kakek
buyutnya? Sehingga lupa air susu berwarna indigo para wanitanya yang membuat
anak cucunya kebal senjata?
Upaya melumpuhkan semangat orang Blambangan
tak hanya unsur fisik, tapi juga lewat kampanye bawah sadar, pada kesenian.
Kelompok seni Janger, yang dipimpin
Madardji, mulanya menggunakan cerita yang penuh semangat Blambangan berjudul Bhre Wirabumi Mbalelo. Belakangan Wedana
kolonial Banyuwangi tahun 1930 menggantinya dengan cerita yang
menjelek-jelekkan raja Blambangan, yaitu Damarwulan
Ngenger.[9] Sangat
mendelegitimasi Blambangan. Apakah karena tekanan dari pihak penjajah? Diyakini
penulis Achmad Aksoro, perubahan ini bermuatan politis.
Jadi sekarang, marilah kita kembali pada Bahasa Blambangan, etnis Blambangan,
Kabupaten Blambangan.
iwandear@gmail.com
[1] Ben Arps dalam Terwujudnya
bahasa Using di Banyuwangi dan Peranan Media Elektronik di Dalamnya (Selayang Pandang, 1970-2009) dalam Geliat Bahasa Selaras Zaman, Perubahan
Bahasa-bahasa di Indonesia pasca Orde Baru), yang diterbitkan oleh Research
Institute for Languages and Cultures of Asia and Africa (ILCAA), Tokyo University
of Foreign Affairs Studies, 2010
[2] Endro Wilis, “Istilah Using adalah Racun yang Melumpuhkan Jiwa”,
Majalah Jejak – No. 02 tahun 2002
[3] Penulis mendapat copy transkripsi tulisan Latin dari aslinya yang
berhuruf Arab Pegon, dari koleksi Sumono Abdul Hamid
[4] Sri Margana dalam Perebutan Hegemoni Blambangan hal. 266, Pustaka
Ifada, 2012
[6] Ibid (Perebutan Hegemoni Blambangan) hal. 216
[7] Joh Scholte, Gandroeng van Banyuwangi, 1926
[8] C. Lekkerkerker, “Blambangan”, De Indische Gids, II, 1923
[9] Achmad Aksoro, Damarwulan,
Majalah Jejak 04 tahun 2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar