Jumat, 20 Juni 2014

Dari Using dan Banyuwangi kembali ke Blambangan

(Dimuat Radar Banyuwangi 29 Juni 2014)

Saya tak hendak memutar jarum jam sejarah. Seperti membuat setback soal perdebatan apakah Using, yang oleh peneliti Belanda Ben Arps dibilang direkayasa dari sebuah bahasa Jawa pedesaan menjadi sebuah identitas kesukuan[1]. Atau dikatakan Using sebagai istilah yang melumpuhkan jiwa, untuk menghancurkan moral masyarakat Blambangan[2].

   Saya ingin mengusulkan agar kita kembali ke istilah Blambangan, untuk mengganti kata Using, Banyuwangen atau Banyuwangi, dalam menyebut suku Using, bahasa Using atau Banyuwangen, atau kabupaten Banyuwangi. Mengapa?

 

1.      Bahasa Menunjukkan Bangsa.

   Orang Indonesia berbicara bahasa Indonesia, bukan bahasa Melayu. Meski cikal

bakalnya adalah bahasa Melayu. Mungkin saja, kalau bahasa Melayu yang dijadikan bahasa nasional akan mengalami kendala, soal rasa memiliki pada penduduknya.

   Bisa timbul masalah, bahasa mana yang lebih baku, bahasa Melayu di Riau atau Melayu yang berkembang di tempat lain di Indonesia? Dengan Bahasa Indonesia, yang mencakup wilayah, orang Melayu pun tak banyak pertanyaan soal bahasa mereka yang diacak-acak oleh etnis lain.

Kata Using merujuk pada suku, bahasa dan orangnya, tercatat pertama kali

dikemukakan oleh Joh Scholte pada sebuah penerbitan tahun 1926. Katanya itu merupakan julukan orang luar pada penduduk asli Blambangan.

   Yang menarik adalah, pada salah satu naskah Serat Sri Tanjung[3] (yang versinya berpuluh-puluh), dan selalu dikaitkan dengan keberadaan asal mula kota Banyuwangi kata sing atau using, sama sekali tidak muncul.

   Yang disebut pada naskah tersebut adalah kata nora dan tan yang artinya menegasikan, seperti kata sing dan using. Naskah yang selesai ditulis 6 Maret 1898, itu menceritakan Sidopekso dan Sri Tanjung akhirnya bersanding di pelaminan. Untuk merayakannya, mereka menanggap wayang, ludruk pak Waluh, gandrung laki Marsan Suwarno, dan pertunjukan barong. Sangat Blambangan.

   Dalam peribahasa Indonesia disebut, Bahasa Menunjukkan Bangsa. Ternyata ini merupakan sebuah filsafat Jerman abad 18, yang mengerucut pada sebuah ideologi nasionalisme[4] yang menjadi pertimbangan mengangkat bahasa, yang disebut belakangan sebagai bahasa Using, menjadi bahasa resmi.

   Bahasa yang menjadi identitas Kabupaten Banyuwangi karena etnis lokal yang menggunakan bahasa Using dianggap sebagai penduduk asli Banyuwangi dan memang jumlahnya mayoritas. Tapi banyak etnis lain seperti Jawa, Madura, Arab, Tiongkok, Mandar, Bugis, Bali, peranakan Belanda dan lain-lain sebagai akibat posisi Banyuwangi sebagai daerah pelabuhan maritim.[5]

   Etnis non-Using ini jumlahnya signifikan. Tanpa penyebutan wilayah sebagai identitas bahasa, mereka ini tidak akan punya sense of belonging yang menghambat perkembangan bahasa resmi tersebut.

   Kalau disebut bahasa Using, etnis lain ini tidak punya “kewajiban” untuk berbahasa tersebut karena mereka merasa bukan etniknya. Jadi bisa muncul pembicaraan seperti: “Saya etnis Mandar, tapi tinggal di Banyuwangi. Saya tetap berbahasa Mandar. Saya bukan orang Using.” Akan berbeda kalau disebut bahasa Blambangan. “Saya tinggal di Blambangan. Meski dari Mandar, saya harus bisa berbahasa Blambangan karena saya tinggal di sini.” Keadaan ini layaknya Bahasa Melayu yang dijadikan cikal-bakal Bahasa Indonesia.

 

2.      Bahasa Blambangan harus dikembangkan, dan tidak dengan mundur ke belakang.

Sebagian penutur bahasa Using, dari kelompok etnik Using ada yang merasa, bahwa

bahasa kampung mereka lah yang paling asli, paling orisinal.

   Mestinya bahasa Blambangan dibawa bergerak maju, bahwa sebuah bahasa tidak ada yang berdiri sendiri. Demi pengembangannya, jumlah kosa kata harus ditambah, bisa digali dari dalam atau pun menyerap bahasa lain.

   Kosakata bahasa Using agak terbatas. Dikarenakan bahasa ini tidak banyak diberi kesempatan mengembangkan dirinya dalam bahasa tulis. Boleh dibilang tidak sampai hitungan sepuluh buku yang ditulis dalam bahasa tersebut saat ini.

   Sastra yang berkembang lebih pada tutur lisan dan lagu-lagu. Sehingga terasa tergagap-gagap ketika dijadikan bahasa tulis.

 

3.      Nama Banyuwangi minus latar belakang sejarah kental.

Sampai saat ini belum ditemukan rujukan tertulis bagaimana nama Banyuwangi ini bisa

muncul. Sebelum ditetapkan sebagai ibukota Blambangan baru, dan kemudian jadi nama kabupaten, tidak banyak yang bisa diceritakan tentang daerah ini. Bahkan dalam arsip VOC sekalipun.[6]

   Kita punya kebanggaan dengan sesuatu yang mempunyai sandaran sejarah yang panjang, yang membanggakan, yang bisa diceritakan dan diagul-agulkan menjadi sebuah identitas.

   Tidak seperti Banyuwangi, Blambangan merujuk pada kerajaan yang orang-orangnya keras kepala dan selalu menentang kekuasaan asing. Yang terkait dengan Banyuwangi, hanyalah legenda Sidopekso Sri Tanjung dan Banterang Surati.

 

4.      Semangat tak pernah padam

   Semangat suku bangsa Blambangan, diceritakan oleh Scholte[7], meski dilanda oleh berbagai kekuatan luar yang menggerusnya, tapi tak pernah padam. “Keturunannya yang ada sekarang merupakan suku-suku bangsa yang gagah fisiknya dan berkepribadian serta berkembang dengan cepat, berpegang kuat pada adat istiadat, tetapi juga mudah menerima peradaban baru.”

   Blambangan adalah negeri yang rakyatnya gagah berani menentang penjajahan. Dan diakui oleh Belanda sendiri, Perang Bayu, sebagai perang yang paling banyak menghabiskan biaya, dan nyawa selama Belanda menduduki Nusantara sampai saat itu.[8]

   Apakah karena ini kemudian Belanda berkepentingan untuk mengganti nama Blambangan menjadi Banyuwangi yang tak punya asal-usul? Sehingga lepas seluruh kekuatan yang menyertai nama Blambangan? Sehingga rakyatnya tak lagi diasosiasikan dengan semangat membara menentang penjajah? Sehingga anak cucunya pun segera melupakan kedigdayaan kakek buyutnya? Sehingga lupa air susu berwarna indigo para wanitanya yang membuat anak cucunya kebal senjata?

   Upaya melumpuhkan semangat orang Blambangan tak hanya unsur fisik, tapi juga lewat kampanye bawah sadar, pada kesenian.

   Kelompok seni Janger, yang dipimpin Madardji, mulanya menggunakan cerita yang penuh semangat Blambangan berjudul Bhre Wirabumi Mbalelo. Belakangan Wedana kolonial Banyuwangi tahun 1930 menggantinya dengan cerita yang menjelek-jelekkan raja Blambangan, yaitu Damarwulan Ngenger.[9] Sangat mendelegitimasi Blambangan. Apakah karena tekanan dari pihak penjajah? Diyakini penulis Achmad Aksoro, perubahan ini bermuatan politis.

   Jadi sekarang, marilah kita kembali pada Bahasa Blambangan, etnis Blambangan, Kabupaten Blambangan.

iwandear@gmail.com



[1] Ben Arps dalam Terwujudnya bahasa Using di Banyuwangi dan Peranan Media Elektronik di Dalamnya (Selayang Pandang, 1970-2009) dalam Geliat Bahasa Selaras Zaman, Perubahan Bahasa-bahasa di Indonesia pasca Orde Baru), yang diterbitkan oleh Research Institute for Languages and Cultures of Asia and Africa (ILCAA), Tokyo University of Foreign Affairs Studies, 2010
[2] Endro Wilis, “Istilah Using adalah Racun yang Melumpuhkan Jiwa”, Majalah Jejak – No. 02 tahun 2002
[3] Penulis mendapat copy transkripsi tulisan Latin dari aslinya yang berhuruf Arab Pegon, dari koleksi Sumono Abdul Hamid
[4] Sri Margana dalam Perebutan Hegemoni Blambangan hal. 266, Pustaka Ifada, 2012
[5]Kusnadi, Perempuan dalam Timangan Tradisi, makalah Mei 2002
[6] Ibid (Perebutan Hegemoni Blambangan) hal. 216
[7] Joh Scholte, Gandroeng van Banyuwangi, 1926
[8] C. Lekkerkerker, “Blambangan”, De Indische Gids, II, 1923
[9]  Achmad Aksoro, Damarwulan, Majalah Jejak 04 tahun 2003

Tidak ada komentar:

Posting Komentar