Apakah yang ada di benak anda saat mendapat
undangan berjudul “Gama Gandrung”? Kalau anda berharap sebuah pertunjukan
tradisional gandrung, dengan pakem jejer, repen, dan seblang seblang, berarti
anda tidak salah.
Hanya saja anda akan kecewa besar saat melihat
pertunjukan aslinya di Gedung Kesenian Jakarta tanggal 11 Juni 2014. Bukan
karena tak satupun penarinya orang Banyuwangi, atau penabuh gamelannya tak
satupun dari Banyuwangi, tetapi karena ini sebuah repertoar tari.
Boleh dibilang ini sebuah sendratari yang
bercerita tentang Perjalanan Gandrung, yang dulu diawali dengan gandrung
lanang, sampai berakhir pada jamannya Marsan, lantas menjadi gandrung wadon
dengan segala lika-likunya.
Tetapi yang penting digarisbawahi bahwa
gandrung pernah menjadi sebuah alat orang-orang Blambangan dalam melawan
penjajah Belanda.
Sutradara dan koreografer yang masih berumur
17 tahun dan berbakat, Bathara Saverigadi Dewandoro, berhasil menceritakan
perjalanan gandrung yang bersejarah itu menjadi sebuah kemasan tontonan yang
enak untuk dinikmati, padat, dan tanpa meninggalkan kekentalan nuansa
tradisional gandrung seperti di tanah aslinya.
Meski hanya muncul dalam beberapa adegan,
seperti suara biola yang berderit mendayu-dayu di awal pertunjukan, atau saat
muncul tari paju gandrung saat mempertontonkan wajah gandrung baru di era
gandrung wadon dengan iringan gending Jaran Ucul.
Bathara bisa dengan jeli menangkap gerak tari
paju gandrung dan memperkayanya dengan gerakan tari yang ia pelajari banyak di
Yayasan Swargaloka milik orang tuanya, Suryandoro (asli Solo) dan Dewi Sulastri
(Jepara). Keduanya sarjana seni tari. Mereka ini yang mengenalkan Bathara
dengan membawanya dari kota ke kota lain untuk pertunjukan tari.
Gandrung tidak lagi hanya berhenti pada pakem
tradisionalnya, karena ini memang bukan pertunjukan gandrung. Tarian gandrung,
yang mirip aslinya, disajikan sebagai bagian dari sebuah tontonan utuh tanpa
terbebani pakemnya.
Yang patut diacungi jempol, para nayaga yang
bisa membawakan musik Banyuwangi, --
bergerak dari gamelan ke terbangan selayaknya para nayaga Banyuwangi
yang serba bisa – lengkap dengan suara celetukan bak tukang keluncing gandrung.
Meski untuk orang Banyuwangi, akan melihatnya sebagai gandrung rasa Jawa,
karena bahasanya.
Saat mengiringi tentara Belanda yang memerangi
rakyat Blambangan, musik terbangan juga dipakai, mirip seperti musik hadrah.
Semestinya akan lebih lengkap rasa Banyuwanginya kalau unsur hadrah kuntulan
juga ditampilkan. Gerak dinamis tentara sangat padu dengan unsur silat yang ada
pada kuntulan dadaran.
Satu-satunya kru yang asli Banyuwangi adalah
Ki Fathur Gamblang, yang memainkan bahola (biola) dengan nada gending
gandrungan, sebelum dia melukis wajah gandrung pada sebuah kanvas bundar di
atas panggung. Ki Fathur yang asli genteng ini, menyajikan sebuah pertunjukan
sendiri dengan melukis cepat wajah gandrung tanpa mengurangi sisi artistiknya
di sebuah kanvas ukuran diameter dua meteran.
Saya berharap tontonan ini dapat dibawa ke
Banyuwangi, dipertunjukkan di Banyuwangi, dan ditonton oleh berbagai pihak yang
terlibat dalam memajukan kesenian Banyuwangi. Pemusiknya,penarinya, penata
tari, pejabat pemda, promotor pertunjukan dan seluruh elemen pertunjukan di
Banyuwangi.
Agar seluruh unsur ini bisa belajar, bagaimana
membawa sebuah pertunjukan tradisional menjadi sebuah tontonan yang bisa
diterima kalangan yang lebih luas. Bisa belajar bagaimana tontonan utuh bisa
dijual dengan harga mahal. Bisa menarik sponsor (BCA, Djarum Foundation dll).
Serta sebuah buku pegangan menonton yang diberi pengantar oleh tiga orang
menteri, Mari Pangestu Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Menteri Pemuda
dan Olahraga Roy Suryo, dan Menteri Pendidikan Nasional Muhammad Nuh.
Soal kemampuan memainkan gending, soal menari,
soal mengatur tata cahaya, saya yakin orang Banyuwangi tidak kalah. Tinggal
menggabungkannya dan menjadikan tarian Banyuwangi yang sangat atraktif menjadi
tontonan, lebih dari sekedar tari tradisional.
Sudah saatnya Banyuwangi, yang punya potensi
segudang, bergerak maju melewati kungkungan mindset yang membatasi
geraknya.
Sebagai orang Banyuwangi bangga rasanya gandrung begitu tinggi dihargai orang luar. Tapi akan lebih sempurna jika minimal penari gandrungnya adalah penari gandrung asli Banyuwangi. Kenapa itu tidak dilakukan???? Kan bukan hal yg sulit mengajak penari bahkan sekalian pemain musik Gandrung asli Banyuwangi??? Misal temanya tentang suku Aborigin kemudian tokoh orang aborigin diperankan oleh orang aborigin asli kan lebih mantap.
BalasHapus