Rabu, 07 Mei 2014

Masa depan Bahasa Using dan Lomba Mengarang

Kemana Bahasa Blambangan (atau Bahasa Using seperti penyebutannya selama ini) sepuluh tahun lagi? Saya mengusulkan sebutan Bahasa Blambangan karena dengan penyebutan wilayah (bukan etnis tertentu), bahasa ini akan jauh lebih bisa berkembang dan lebih bisa diterima oleh seluruh kelompok masyarakat.
   Bisa dianalogikan demikian: Orang Indonesia berbicara bahasa Indonesia, bukan
bahasa Melayu. Meski pun cikal bakalnya adalah bahasa Melayu. Mungkin saja, kalau bahasa Melayu yang dijadikan bahasa nasional akan mengalami kendala, soal rasa memiliki pada penduduknya.
   Bisa jadi akan timbul masalah, bahasa mana yang lebih baku, bahasa Melayu di Riau atau Melayu yang berkembang di daerah lain? Tetapi dengan nama yang merujuk pada wilayah, yaitu Indonesia,  orang Melayu pun tak banyak pertanyaan soal bahasa mereka yang diacak-acak oleh etnis lain.
   Bahasa Using menjadi identitas Kabupaten Banyuwangi karena etnis lokal yang menggunakan bahasa Using dianggap sebagai penduduk asli Banyuwangi dan memang jumlahnya mayoritas. Tetapi banyak juga etnis lain seperti Jawa, Madura, Arab, Tiongkok, Mandar, Bugis, Bali, peranakan Belanda dan lain-lain sebagai akibat posisi Banyuwangi sebagai daerah pelabuhan maritim.
   Etnis non-Using ini membentuk jumlah yang signifikan. Tanpa penyebutan wilayah sebagai identitas bahasa, mereka ini tidak akan punya sense of belonging yang menghambat perkembangan bahasa resmi tersebut.
   Kalau disebut bahasa Using, etnis lain ini tidak punya “kewajiban” untuk berbahasa tersebut karena mereka merasa bukan etniknya. Jadi bisa muncul pembicaraan seperti: “Saya etnis Mandar, tapi tinggal di Banyuwangi. Saya tetap berbahasa Mandar. Saya bukan orang Using.” Akan berbeda kalau disebut bahasa Blambangan. “Saya tinggal di Blambangan. Meski dari Mandar, saya harus bisa berbahasa Blambangan karena saya tinggal di sini.” Keadaan ini layaknya Bahasa Melayu yang dijadikan cikal-bakal Bahasa Indonesia
   Yang agak menakutkan, sebagian penutur bahasa Using, dari kelompok etnik Using ada yang merasa, bahwa bahasa kampung mereka lah yang paling asli, paling orisinal. Bahasa orang kota, atau bahkan desa lainnya, sudah tercemari bahasa pendatang.
   Mestinya bahasa Blambangan dibawa bergerak maju, bahwa sebuah bahasa tidak ada yang berdiri sendiri. Dan demi pengembangannya, jumlah kosa kata harus terus ditambah, bisa digali dari dalam atau pun menyerap bahasa lain.
   Bahkan bahasa semaju Bahasa Inggris, juga mesti mengambil istilah Prancis: Bon Appetit, sebuah ungkapan selamat makan, suatu kegiatan yang mereka lakoni bahkan sebelum mereka berinteraksi dengan orang Prancis.
   Bahasa Using mempunyai kosakata yang agak terbatas. Dikarenakan, bahasa ini tidak banyak diberi kesempatan mengembangkan dirinya dalam area bahasa tulis. (Apakah ini sebuah kesengajaan atau tidak, saya tidak ingin membahasnya). Setelah di-perda-kan menjadi bahasa resmi, boleh dibilang tidak sampai hitungan sepuluh buku yang ditulis dalam bahasa tersebut. Jangan pula disebut adanya periodikal, majalah dan koran.
   Sastra yang berkembang lebih banyak pada dongeng tutur lisan dan lagu-lagu. Sehingga terasa tergagap-gagap ketika dijadikan bahasa tulis. Dan pada gilirannya, banyak kata-kata yang harus menggunakan bahasa Indonesia atau Inggris yang memang lebih banyak ekspresi pilihannya untuk mengungkapkan pikiran dalam bahasa tulis. Meskipun ini juga merupakan suatu proses menuju bahasa yang lebih baik, lebih utuh.
   Nah, untuk usaha melawan gejala penciutan bahasa itu, saya bermimpi makin banyak naskah berbahasa Using yang ditelurkan. Saya dibantu oleh beberapa teman melakukan upaya kecil, diantaranya menyelenggarakan pelatihan menulis cerita pendek berbahasa Using, saya bikin lombanya, kemudian hasil lombanya saya jadikan buku antologi cerita pendek berbahasa Using. Bersama teman-teman yang peduli ini pula, saya berusaha mengangkat dan mempertahankan kelestarian Bahasa Blambangan ini melalui buku. Beberapa buku berbahasa Using sudah diterbitkan, baik secara Nasional maupun Lokal.
   Memang tidak mudah. Pada periode pertama bulan Desember 2013 lalu, peserta yang ikut sejumlah sekitar 30 orang. Mereka ini membayar untuk ikut serta dengan kompensasi mendapat sebuah buku Basa Using, sertifikat, makan kecil dan minum.
   Untuk menjangkau kalangan lebih banyak, saya sasar anak-anak sekolah dasar yang di sekolah diajari bahasa lokal oleh guru kelasnya. Karena saya melihat tidak banyak materi pengayaan yang mereka dapatkan karena materi yang tersedia juga sangat terbatas. Selain buku pelajaran, hanya ada sebuah buku dongeng, buku peribahasa dan nasihat.
   Jadi saya undang guru-guru pengajar SD untuk mengikuti pelatihan penulisan cerita pendek dan dongeng berbahasa Using. Harapan semula, kelas maksimal sebanyak 50 orang, supaya proses belajarnya ideal. Ternyata yang muncul ada sebanyak 84 guru.
   Saya tadinya gembira melihat antusias guru-guru SD ini, walaupun untuk itu panitia harus menyiapkan tambahan sertifikat dan konsumsi dadakan. Saya berharap guru-guru ini mau menulis dongeng untuk murid-muridnya. Sehingga mereka diharuskan untuk membuat dongeng. Di samping itu, ilmu yang mereka dapatkan pada pelatihan, bisa ditularkan pada murid-muridnya. Pada gilirannya, murid-murid yang sudah di”kompori” ini mau beramai-ramai mengikuti Lomba Mengarang Cerita Cendek Bahasa Using.
   Ternyata eh ternyata, setelah tiga bulan, hanya ada sembilan orang guru yang mengumpulkan dongeng karyanya. Dan tebak, berapa anak Sekolah Dasar (SD) yang ternyata ikut lomba cerpen? Dua orang. Sampai untuk kategori ini dihapuskan dari Lomba karena minimal peserta yang ikut harus sebanyak lima orang.
   Saya cukup bersedih dengan kenyataan ini. Apakah mereka ini ikut pelatihan ini hanya mengincar sertifikat yang ditandatangani oleh kepala Dinas Pendidikan Nasional untuk mendapat kredit poin? Entahlah. Memang motivasi orang sangat beragam.
   Seluruh peserta Lomba Mengarang tahun ini memang menurun secara kuantitas. Total karya yang mereka kumpulkan sebanyak 46 naskah, menurun dari tahun lalu yaitu sebanyak 54 naskah. Tetapi menurut Ketua Dewan Juri, Abdullah Fauzi, secara kualitas karya tahun ini lebih meningkat.

   Untuk itu saya masih bersyukur. Dan masih berharap akan tumbuh karya-karya lagi dengan menggunakan bahasa Using atau bahasa Blambangan.

2 komentar:

  1. wah benar2 aktif jenengan pak,, salut salam bangga...

    BalasHapus
  2. Kesuwun dukungange Cuci Tangan (kari gedigi arane yo hehehe)

    BalasHapus