Senin, 20 Januari 2014

Quo Vadis Pariwisata Banyuwangi

Quo vadis Pariwisata Banyuwangi? 

(dimuat Radar Banyuwangi 10 Januari 2014) 


Apa boleh buat. Banyuwangi dikaruniai banyak tempat menarik, gunung di barat, laut di timur, sawah ladang dan penduduk yang gairah keseniannya tinggi di antara keduanya. Memang punya tempat menarik saja tidak cukup untuk pariwisata. Harus ada pengemasan yang lebih menarik. Untuk urusan itu memang Pemda Banyuwangi dan Bupati Kang Anas khususnya layak mendapat ucapan selamat. Dengan menyabet Travel Club Tourism Award dalam kategori The Most Creative, artinya memang sudah ada pada jalur yang tepat. Meningkat dari gelar The Most Improved dari tahun lalu. Tak perlu diragukan, keputusan Pemda untuk merentang kampanye kegiatan wisatanya dari September sampai Desember, merupakan ide yang brilian.    Jadi semua bisa terekspose: Banyuwangi Ethno Carnival, Festival Kuwung, Festival Jazz Pantai, Lomba balap sepeda Tour de Ijen, Paju Gandrung Sewu Yang masih perlu mendapat perhatian adalah, setelah kampanye wisatanya menarik, jumlah wisatawan meningkat, lalu apa? Terus terang saya tidak tahu apakah pemda akan mengambil keputusan untuk memberi ijin pada jaringan hotel-hotel nasional maupun internasional untuk menggelar produknya berupa hotel-hotel berbintang, atau mengembangkan pariwisata berbasis masyarakat (community-based tourism). 
   Masing-masing ada plus minusnya memang. Pendekatan dengan mendatangkan jaringan besar yang sudah biasa terlibat dalam industri pariwisata memang jalan paling mudah. Para investor ini yang akan membangun hotel, mengemas paket wisata, membawa wisatawan-wisatawan lewat jaringan wisata mereka yang cukup masif. 
   Tapi biasanya, sebagian besar keuntungan juga mereka keruk untuk kantong mereka. Bahkan kadang-kadang karena tuntutan standarisasi SDM, para penduduk lokal hanya menempati struktur bagian bawah. Memang bukan salah operator ini sepenuhnya. Kadang memang paket wisata rombongan, lebih mudah mereka lakukan. Dengan rombongan besar, keuntungan gampang diraih karena hitungan akumulasi kuantitatif. Hanya saja, rombongan wisatawan biasanya membutuhkan standar pelayanan, standar SDM, standar kualitas makanan, standar infrastruktur yang mudah mereka bandingkan dengan tempat lain. Jalan pintas memang mesti dengan menggandeng kelompok besar yang sudah punya track record di bidang ini.    Namun, sebagaimana namanya, kelompok bisnis ini pertimbangan perhitungannya selalu pertimbangan bisnis, sekedar untung rugi, bottomline, dan bagaimana mengembalikan modal usaha secepat-cepatnya. Bahkan kalau investor lokal ada yang terjun dengan menggandeng kelompok begini, tetap akan dihadapkan pada tuntutan industri yang sama. Kelompok bisnis begini, misalnya, bisa saja membawa rombongan dari Bali dalam paket wisata mereka, dengan seluruh paket yang dirancang dari Bali, memakai pemandu wisata dari sana, melewati wilayah Ketapang menuju tempat di Ijen, tanpa memberi masukan apa-apa untuk daerah. Tidak memberi kontribusi apa-apa kepada penduduk yang dilewati dan yang dituju. Penduduk di sekitar tempat tujuan wisata pun hanya berlaku sebagai peran tambahan, tanpa mendapat tambahan peran yang berarti. 
    Memang seringkali, pertanyaan yang mudah dilontarkan oleh para penjaja paket wisata adalah: kalau kampanye wisata berhasil, siapkah tuan rumah dengan sejumlah hotel yang memadai? Dengan jumlah restoran yang layak? Dengan jumlah pemandu yang mumpuni? Dengan daerah tujuan yang siap didatangi, memberi kesan mendalam, bersih bebas dari sampah yang berserakan, sajian pertunjukan khas daerah?        Pilihan kedua adalah Pariwisata berbasis masyarakat yang melibatkan penduduk lokal dan membagi keuntungan yang fair seluruh bagian yang dihasilkan dari wisata tersebut. Community-based tourism ini juga memberi peran penting pada masyarakat untuk memutuskan arah pengembangan wisata maupun bagaimana proyek-proyek wisatanya dikelola. Tentu, pasar yang dituju dengan paket wisata yang biasa diembel-embeli dengan eco-tourism ini agak berbeda dengan tourists, yang biasanya pergi dalam rombongan dan meminta standar seperti rumahnya, serta malas berhubungan dengan penduduk lokal. 
   Para pecinta eco-tourism ini biasanya para travellers, yang mau merasakan kehidupan alami di sekitar penduduk, ikut nimbrung dalam kegiatan penduduk lokal dan menikmati sajian alam yang lebih asli. Sebuah lodge, tempat wisata di Bali utara (meski sayangnya dikelola oleh orang Singapura), menawarkan kehidupan desa. Pengunjung tinggal di kamarnya yang terbuat dari kayu, tanpa AC, hanya dengan kelambu, HP harus diserahkan ke lobi dalam keadaan mati. Selama tinggal, tamu akan diajak bangun pagi, bermeditasi, memetik sayuran organik di ladang dekat lodge, memasaknya untuk dipakai sarapan, melihat kehidupan penduduk desa, dan ikut ke pasar kampung, masuk ke kegiatan di desa yang sudah disiapkan. Mereka membayar ribuan dollar untuk paket sederhana ini. 
  Selain pemilik lodge, petani sayur kecripatan rejeki, pedagang di desa, serta ada sumbangan dari pemilik lodge ke desa yang sudah dimasukkan dalam harga paket ribuan dollar tadi. Dengan model wisata ini, masyarakat lebih berdaya, merasakan langsung manfaat yang dihasilkan dari wisata. Meski memang, untuk menumbuhkannya perlu waktu yang lebih panjang. 
 Atau bisa juga dikembangkan dengan pendekatan gabungan dari keduanya. Pengelola wisata diajak untuk membuat paket-paket yang banyak melibatkan penduduk desa. Mereka datang ke sebuah tempat dengan tetap memberi kontribusi yang nyata pada masyarakat di sekitar. Kembali ke kampanye wisata, ada satu hal yang kurang dari hingar bingar Banyuwangi sebagai tujuan wisata, yaitu Banyuwangi belum mempunyai icon wisata yang bisa menjadi penanda. Biasanya sebuah landmark. New York punya patung Liberty, Paris punya Eiffel Tower. Tabanan punya Pura Tanah Lot. Meski tidak selalu besar dan masif, seperti Brussel di Belgia punya patung Manneken Pis, patung anak kecil telanjang yang sedang pipis. 
   Icon ini muncul dalam segala turunannya: lukisan, kartu pos, gantungan kunci, penanda buku, pembuka botol, hiasan dinding, asbak rokok, gelas, kaos dan souvenir lainnya. Setiap wisatawan yang datang pasti menuju tempat icon wisata, untuk mengambil foto sebagai kenang-kenangan (atau sekarang mempostingnya lewat facebook, twitter, instagram atau website grup). Dan orang yang melihat langsung segera mengenali: ini Banyuwangi. Bahkan tanpa embel-embel apapun. 
   PR satu lagi untuk Pemda adalah, membersihkan Banyuwangi dari pasar yang ada di jalanan. Pemda Surabaya bisa membersihkan pasar Keputran. Pemda Jakarta bisa menggeser pedagang Tanah Abang untuk masuk ke dalam pasar. Kuncinya pemimpinnya turun dan mengobrol dengan para pedagang. Dan tentunya, di dalam pasar, para pedagang ini disediakan tempat yang layak, bersih dan murah. Kalau pasar bisa tampil seperti Pasar Modern BSD, bahkan pasar bisa jadi tempat tujuan wisata juga.

(iwandear@gmail.com)

1 komentar:

  1. Membayangkan jalan utama di tengah kota bebas dari kumuhnya pasar tentu akan membuat kota Banyuwangi semakin tertata apik. Deretan toko-toko takkan lagi terlihat semrawut dan kumuh dengan adanya pedagang sayur didepan toko emas, pedagang ikan di depan toko kain dan pedagang lain diatas trotoir di teras depan toko. Toko-toko akan terlihat rapi, bersih, seimbang dan harmonis dengan bersih dan cantiknya Taman Sritanjung dan Gesibu Taman Blambangan yang lokasinya tak jauh dari lokasi pasar kota.
    Kios-kios lapak didalam pasar selatan dan utara takkan lagi terlihat sunyi dan mati sia-sia seperti yang sekarang terjadi.
    mudah-mudahan dinas-dinas terkait bisa melakukan pendekatan dan memberi pengertian kepada para pedagang dan juga pembeli, agar mengembalikan fungsi dua pasar kota tersebut dengan benar, sehingga kota Banyuwangi tercinta bisa semakin bersih, indah dan rapi.

    BalasHapus