Rabu, 24 Oktober 2018

Indramayu-Banyuwngi, Dua Bahasa, Satu Keprihatinan

(Latepost mestinya 16 Sep 2018)
Indramayu-Banyuwangi, Dua Bahasa, Satu Keprihatinan

Banyuwangi dan Indramayu terpisah sekitar 800 kilometer, tapi dalam beberapa hal bahasa yang mereka gunakan terdapat kemiripan. Misalnya, dibanding bahasa Jawa, banyak kosakata Jawa Kuno yang digunakan kedua bahasa ini. Yang paling mencolok adalah penggunaan akhiran –aken (bukan  -ake seperti dalam bahasa Jawa) dan status ‘tidak punya bahasa krama’ seperti dalam bahasa Jawa Kuno.

Bahasa ‘krama’ yang ada dalam bahasa Using disebut besiki, tak lebih dari 1000 kata. Menurut catatan sarjana Belanda, Stoppelaar, bahasa yang digunakan oleh penduduk Banyuwangi adalah “Bahasa Using”. Penduduk di desa-desa terutama di daerah pegunungan, tidak mengenal bahasa “krama.” Tulisan tersebut dibikin tahun 1927. Terhitung baru.

Sementara menurut Ketua Lembaga Basa lan Sastra Dermayu, Pak Supali Kasim, hanya sekitar 20 persen saja orang Dermayu yang bisa aktif menggunakan bahasa krama yang disebut Bebasan. Sisanya lebih pada basa ngoko (bagongan).

Pada saat saya diundang sebagai pembicara dalam acara “Ngenalaken Buku lan Mbedah Puisi,” saya bereksperimen menggunakan dua bahasa masing-masing. Setelah menanyakan kepada sekitar 50 orang peserta, Ketua Lembaga Basa lan Sastra Dermayu Bapak Supali Kasim yang juga pembedah buku, menggunakan bahasa Dermayu. Dan saya menggunakan bahasa Using.

Kata-kata “dewek (bukan dewe), bengen (bukan biyen), maning (bukan maneh), parek (bukan cidek)” merupakan sebagian kosakata yang digunakan pada kedua bahasa. Memang, kedua bahasa ini diyakini berasal dari bahasa yang sama yaitu bahasa Jawa kuno. Bahasa Using menurut disertasi Pak Suparman Herusantosa, diyakini terpisah dengan bahasa Jawa sekitar tahun 1115 atau 1174 berdasarkan mengetahui kata seasal dan kemudian dihitung menggunakan rumus leksikostatistik.

Pelajaran Basa Dermayu

Basa Dermayu lebih dahulu memulai diajarkan, tahun 1996. Tadinya pelajaran Bahasa Jawa untuk SD dan SMP. Tahun 1996 tersebut, muncul mulok: Bahasa Sunda dan Bahasa Indramayu, yang diajarkan dari SD-SMA sederajat. Karena penutur bahasa Sunda sangat kecil, sekitar 5 persen (meski berada di Jawa Barat), mulok mulai tahun 2002 adalah 1. Pendidikan Budi Pekerti dan 2. Bahasa Indramayu.

Materi pelajaran bahasa Indramayu mengikuti dua kurikulum. Pertama menggunakan kurikulum 2006 dan saat ini sedang direvisi menggunakan kurikulum 2013.

Buku ajar, pernah diterbitkan beberapa kali. Versi Pemkab Indramayu diterbitkan tahun 1996. Penerbit swasta dan penulis individual tahun 1990-2010, serta Dinas Pendidikan Jawa Barat tahun 2014.

Saat ini  pelajaran bahasa Indramayu dilaksanakan di seluruh sekolah dasar karena guru-gurunya adalah guru kelas. Sedangkan di SMP kurang dari 100 persen karena guru bidang studinya dari berbagai disiplin ilmu. Tetapi sebagian besar masih melaksanakan. Sementara di tingkat SMA, kurang lebih hanya 50 persen karena ada kepala sekolahnya yang menginginkan hanya bahasa asing saja yang diajarkan.

Pelatihan untuk guru bahasa Indramayu SD, SMP dan SMA dilaksanakan oleh Disdik Provinsi setiap tahun.   

Dari hasil diskusi saat peluncuran buku kumpulan puisi Langit Seduwure Langit  karya 11 pujangga Indramayu, didapat keterangan, antologi puisi itu adalah buku puisi kedua yang terbit dalam bahasa Dermayu. Yang pertama kumpulan puisi Sesambat karya Supali Kasim. Juga ada tiga buku kumpulan puisi Ceribon-Indramayu: Gandrung Kapilayu (2008), Nguntal Negara (2009), Suluk-Suluk Pesisir (2011).

Karya lain? Tidak ada. Ini yang bikin prihatin.

Pelajaran Bahasa Using

Bahasa Using diperjuangkan kurang lebih dengan waktu yang sama. Perjuangan untuk membawa Bahasa Using sebagai muatan lokal, dimulai dari tahun 1991, pada Kongres Bahasa Jawa I. Setelah Kongres Bahasa Jawa II di Batu tahun 1996, mendapat rekomendasi dari Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur, untuk diajarkan di sekolah. Tahun itu pula bupati Purnomo Sidik mengeluarkan keputusan pembentukan Tim Penyusun Materi Bahasa Using sebagai mulok.

Ujicoba di tiga kecamatan mulai tahun 1997. Baru mulai tahun 2003 keluar Surat Keputusan Bupati yang ditandatangani Samsul Hadi tentang Pemberlakuan Pengajaran Bahasa Using untuk seluruh SD dan SMP sederajat. Tadinya hanya 13 kecamatan, kemudian dikeluarkan lagi revisi keputusan itu pada tahun yang sama yang mencakup seluruh 21 kecamatan (Banyuwangi, Giri, Glagah, Kalipuro, Kabat, Rogojampi, Srono, Cluring, Purwoharjo, Gambiran, Sempu, Songgon, Singojuruh, Wongsorejo, Bangorejo, Pesanggaran, Tegaldlimo, Genteng, Kalibaru, Glenmore, Muncar).

Setahun sebelumnya, keluarlah kamus Bahasa Daerah Using-Indonesia yang disusun oleh Bp. Hasan Ali dan buku Unen-Unen Basa Using yang disusun oleh Bp. Andang CY.

Tahun 2005, keluarlah buku pelajaran bahasa Using untuk SD dan SMP. Disusul dua tahun kemudian, munculnya Perda No. 5 tahun 2007 yang ditandatangani oleh bupati Ratna Ani Lestari. Dalam pasa 2 Perda tersebut:

  • Pembelajaran Bahasa Daerah berfungsi mengenai, membina serta mengembangkan kemampuan berbahasa daerah pada peserta didik
  • Pembelajaran bahasa Daerah bertujuan untuk memberikan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang mengarah pada penggunaan serta pelestarian  bahasa daerah
  • Bahasa daerah yang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) adalah bahasa Using.
      Sayangnya, tahun itu juga menandai berhentinya perkembangan lainnya. Tidak ada lagi buku ajar baru, tidak ada lagi pelatihan untuk guru-guru pengajar yang sebagian bukan penutur bahasa Using.
    Lantas datanglah kurikulum 2013 yang memberi batasan pada guru untuk mengajar sesuai dengan bidang keahliannya. Pelajaran Bahasa Using menghilang dari SMP. Sementara di SD masih bisa bertahan karena pengajarnya adalah guru kelas, bukan guru bidang studi.
    Gelombang badai berikutnya datang tahun 2014. Peraturan Gubernur Jawa Timur (S) No. 19 tahun 2014 (3 April 2014) tentang Mata Pelajaran Bahasa Daerah Sebagai Muatan Lokal Wajib di SD/MI
    Pasal 2 mengatakan:
    Bahasa Daerah diajarkan secara terpisah sebagai mata pelajaran muatan lokal wajib di seluruh sekolah/madrasah di Jawa Timur, yang meliputi Bahasa Jawa dan bahasa Madura dengan Kurikulum sebagaimana tersebut dalam Lampiran .
    Lantas beberapa sekolah yang dari semua “enggan” mengajarkan bahasa Using, merasa mendapat pembenaran untuk menghapuskan pelajaran tersebut di sekolah.
    Pergub ini sampai berimbas pada Dewan Kesenian Blambangan yang mengancam memboikot seluruh kegiatan kesenian Banyuwangi untuk Jawa Timur. Banyuwangi tidak lagi mengirimkan dutanya sebagai protes akan adanya Pergub ini.
    Sampai tahun 2016 Panitia Hadiah Rancage, merujuk kepada Pergub tersebut untuk menentukan, bahwa novel berbahasa Using, harus masuk ke dalam kategori bahasa Jawa karena bahasa Using dianggap dialek Jawa. Tahun itu ada dua karya sastra yang masuk pada panitia Rancage, yaitu Kumpulan cerpen Kembang Ronce, dan novel dwi bahasa Agul-Agul Belambangan (AAB) yang mendapatkan hadiah utama mengalahkan 19 karya sastra Jawa lainnya.
    Mata orang Banyuwangi seakan masih tertutup meski sudah ada peraturan daerah yang kedudukannya lebih tinggi dari pergub yang dihasilkan oleh Eksekutif saja. Sampai terpilihnya gubernur baru tahun 2018, sekelompok individu masih melobi agar Pergub ini dicabut oleh gubernur yang baru.
    Sebuah gerakan yang tidak perlu sebenarnya. Pengajaran Bahasa Using sudah cukup kuat dasar hukumnya. Selain Perda No. 5 tahun 2007, itu Provinsi Jawa Timur juga mengeluarkan Perda No 9 tahun 2014 (22 Agustus 2014) tentang Penyelenggaraan Pendidikan.
    Pasal 17
    (1) Bahasa Daerah wajib diajarkan sebagai muatan lokal pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.
    (2) Bahasa daerah yang diajarkan sebagai muatan lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ialah Bahasa Jawa atau Bahasa Madura atau bahasa lainnya yang digunakan oleh masyarakat di wilayah kabupaten/kota setempat.
    Jadi, sebenarnya tidak usah ragu lagi untuk mengajarkannya di sekolah.
    Memang kendala yang dihadapi adalah tidak adanya keputusan bupati yang baru untuk penjabaran Perda No. 5 tahun 2007 untuk materi-materi pendukung pengajaran.  Misalnya, kamus bergambar untuk anak-anak, karya sastra, dan bacaan lain selayaknya produk sebuah bahasa.
    Untuk pengayaan, ada hampir 30 judul buku berbagai jenis: kumpulan cerpen, novel, kumpulan artikel, cerita anak, puisi, dan musik, serta satu kuartet.
    Soal pengembangan di sekolah? Ini yang bikin prihatin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar