Selasa, 23 Oktober 2018

Geger Gandrung Sewu Banyuwangi


Untunglah pertunjukan Gandrung Sewu (GS) 2018 yang  diselenggarakan di Pantai Boom Banyuwangi berjalan lancar. Meski kemudian ada perdebatan soal bendera Belanda bertuliskan VOC itu terus berkibar sampai akhir acara. Menurut saya itu hanya bagian kecil dari penyelenggaraan pertunjukan raksasa menhadirkan 1300 penari dari 5000an yang diseleksi.
Sebelumnya ada himbauan dari Front Pembela Islam (FPI) Banyuwangi agar pemda menghentikan acara tersebut mengingat begitu seringnya bencana alam yang menghantam beberapa daerah lain misalnya di Lombok atau Palu. Dikawatirkan acara tersebut mengundang bencana serupa ke Banyuwangi. Sempat terdengar kabar Pemda “agak goyah”  dan akan memindahkan acara tersebut di Taman Blambangan.
Himbauan FPI ini membuat banyak kalangan di Banyuwangi meradang. Mereka seperti menggaungkan ungkapan khas orang Using Banyuwangi: “Aja kakehan sereyat” yang berarti “Jangan banyak aturan/tingkah.”
Di medsos, ribuan suara “saur manuk” bersautan dan sebagian besar mengecam FPI dan bernada “Aja kakeyan sereyat.” Kekhawatiran mereka ini bisa dimengerti, karena gandrung sudah merupakan ikon Banyuwangi yang bahkan bagi sebagian orang, haram hukumnya diutak-atik. Sekali usulan FPI diakomodasi, bisa merembet ke produk budaya lainnya. Sementara Banyuwangi sudah nyaman hidup dengan simbol-simbol tradisional itu. Bahkan untuk menarik wisatawan, Pemda menggelar lebih 70 festival per tahun, yang sebagian besar merupakan adat dan budaya lokal.
Kekhawatiran muncul karena kasus serupa pernah terjadi. Misalnya, Bupati Azwar Anas menghilangkan simbol ular bermahkota yang dipercaya masyarakat sebagai simbol perlawanan yang ditemukan pada kaki kayu pegangan angklung atau gong pada alat musik tradisional. Bentuk ular bermahkota itu banyak ditemui juga bagai sepasang penjaga kembar di gerbang kantor-kantor pemerintah. Dan karena bisikan “paham baru” bahwa ular yang bercabang lidah merupakan simbol yang jelek, mengisyaratkan kalau orang Banyuwangi bersifat mendua, tidak bisa dipegang omongannya, seluruh patung naga di gerbang-gerbang kantor dan papan nama kantor, itu hilang, termasuk yang ada di gerbang pendopo, rumah dinas bupati.
Tentang perubahan pada kostum gandrung, Bupati Anas juga pernah mengakomodasi permintaan agar baju gandrung menjadi tertutup tidak memperlihatkan kulit penarinya. Menurut catatan pejabat Dinas Pendidikan, Dwi Yanto, untuk menutup kulitnya yang terbuka di bagian pundak dan lengan sampai jari-jari, penari GS diharuskan memakai baju ketat penari penutup tubuh sehingga menutup aurat tetapi pada saat yang sama masih terlihat seperti punggung dan lengan yang terbuka, seperti halnya pada gandrung pertunjukan. Dan untuk itu, Bupati menginginkan baju ketat yang bukan warna kulit, tetapi sekalian hijau, supaya kelihatan bahwa para penari itu memang menutup kulitnya. Para “dieharder” gandrung merasa pemakaian baju ketat daleman ini menyimpang dari ajaran gandrung murni. Banyak yang diam-diam menentang.
Gandrung sudah menutup rambutnya dengan memakai mahkota omprok. Dan penari bagian bawah tubuh penari GS tidak lagi dililit kain yang ketat seperti penari gandrung terob yang kelihatan erotis. Jadilah mereka seperti mengenakan rok yang longgar.
Saya kira usaha-usaha untuk “menutup aurat” yang diharuskan oleh Bupati Anas merupakan jalan tengah untuk mengakomodasi permintaan para pemuka agama (Islam) khususnya yang khawatir soal buka-bukaan aurat pada penari GS. Dan tari Gandrung Sewu ini merupakan pengembangan yang luar biasa dari gandrung pertunjukan. Sekarang Gandrung Sewu menjadi salah satu tari unggulan di sekolah-sekolah sehingga menumbuhkan sanggar-sanggar tari dan pemasok baju gandrung.
Hal ini merupakan suatu kemajuan yang luar biasa, kalau melihat bagaimana antipatinya orang-orang tua terhadap gandrung jaman dulu. Menurut cerita Pak Mitrok pemilik sanggar Jingga Putih Gladag Rogojampi, pada tahun 1970-an, tari gandrung hanya ada di pentas-pentas pertunjukan atau mengamen di jalanan. Gandrung bukan tari yang terhormat. Karena gandrung di pentas pertunjukan identik dengan minuman keras dan wanita-wanita hiburan, orang tua melarang anak-anaknya untuk mendekat ke gandrung.
Sampai suatu saat, bupati saat itu Joko Supaat Slamet (Pak Paat) menyuruh Pak Mitrok untuk menciptakan tari gandrung yang bisa ditarikan oleh anak-anak sekolah. Jadilah tari Jejer Gandrung, yang sekarang menjadi “tari wajib” dalam setiap pertujukan, ditampilkan pertama kali oleh siswi sekolah, termasuk puteri Bupati. Setelah tampil di Pendopo itu tari gandrung mengalami kenaikan martabat. Selain karena mulai ditarikan anak-anak sekolah, Pak Paat juga melarang gandrung untuk ngamen di jalanan, demi menjaga martabat gandrung. Ngamen di jalanan akan menjadikan gandrung sesuatu yang murahan dan menjadi cibiran orang, karena seperti mengemis di jalanan.
Jadi bisa dipahami keprihatinan dari para pemuka agama sejak dulu akan tari gandrung. Misalnya di beberapa desa, di daerah kota yang ada pondok pesantrennya seperti Lateng, tempat pondokan pahlawan lokal Kiai Saleh, atau Tukang Kayu, ada larangan dari kiai untuk “tidak menggantung gong” yang artinya jangan ada pertunjukan.  Istilah tidak menggantung gong berarti jangan menggelar pertunjukan, kalau tidak dituruti diyakini akan ada konsekuensinya, seperti rumahnya terbakar atau rumah tangga orangnya yang tidak pernah akur.
Di Lugjag Rogojampi orang yang punya hajat dilarang mengundang janger, dipercaya pertunjukan ini bisa mengundang banjir. Di Popongan, sunatan anak juga tidak boleh di’ramai’kan.
Lantas, apa maunya FPI? “Maksudnya adalah kita mengingatkan agar kita tidak diazab oleh Allah karena mengumbar kemaksitan seperti itu,” kata Ketua DPW FPI Banyuwangi Agus Iskandar.
Tapi, himbauan FPI terlanjur menyakiti hati banyak orang yang merasa gandrung sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari jati diri orang Banyuwangi. “Aja kakehan sereyat,” kira-kira begitu ungkapannya. Bermakna “Jangan banyak aturan/tingkah” karena berasal dari ungkapan “Aja kakehan syariat.”
GS sudah ditetapkan menjadi acara nasional oleh Menteri Pariwisata Arif Yahya orang Panderejo jadi sepertinya masih akan terus mengisi acara tahunan yang diselenggarakan oleh Pemkab Banyuwangi. Tentang bendera Belanda dan tentang bupati pertama Banyuwangi Mas Alit? Tinggal kita baca buku sejarah dan menyimpulkan sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar