Untunglah pertunjukan Gandrung Sewu (GS) 2018 yang diselenggarakan di Pantai Boom Banyuwangi
berjalan lancar. Meski kemudian ada perdebatan soal bendera Belanda bertuliskan
VOC itu terus berkibar sampai akhir acara. Menurut saya itu hanya bagian kecil
dari penyelenggaraan pertunjukan raksasa menhadirkan 1300 penari dari 5000an
yang diseleksi.
Sebelumnya ada himbauan dari Front Pembela Islam (FPI)
Banyuwangi agar pemda menghentikan acara tersebut mengingat begitu seringnya
bencana alam yang menghantam beberapa daerah lain misalnya di Lombok atau Palu.
Dikawatirkan acara tersebut mengundang bencana serupa ke Banyuwangi. Sempat terdengar
kabar Pemda “agak goyah” dan akan
memindahkan acara tersebut di Taman Blambangan.
Himbauan FPI ini membuat banyak kalangan di Banyuwangi
meradang. Mereka seperti menggaungkan ungkapan khas orang Using Banyuwangi: “Aja kakehan sereyat” yang berarti
“Jangan banyak aturan/tingkah.”
Di medsos, ribuan suara “saur
manuk” bersautan dan sebagian besar mengecam FPI dan bernada “Aja kakeyan sereyat.” Kekhawatiran
mereka ini bisa dimengerti, karena gandrung sudah merupakan ikon Banyuwangi
yang bahkan bagi sebagian orang, haram hukumnya diutak-atik. Sekali usulan FPI
diakomodasi, bisa merembet ke produk budaya lainnya. Sementara Banyuwangi sudah
nyaman hidup dengan simbol-simbol tradisional itu. Bahkan untuk menarik
wisatawan, Pemda menggelar lebih 70 festival per tahun, yang sebagian besar
merupakan adat dan budaya lokal.
Kekhawatiran muncul karena kasus serupa pernah terjadi.
Misalnya, Bupati Azwar Anas menghilangkan simbol ular bermahkota yang dipercaya
masyarakat sebagai simbol perlawanan yang ditemukan pada kaki kayu pegangan
angklung atau gong pada alat musik tradisional. Bentuk ular bermahkota itu
banyak ditemui juga bagai sepasang penjaga kembar di gerbang kantor-kantor
pemerintah. Dan karena bisikan “paham baru” bahwa ular yang bercabang lidah
merupakan simbol yang jelek, mengisyaratkan kalau orang Banyuwangi bersifat
mendua, tidak bisa dipegang omongannya, seluruh patung naga di gerbang-gerbang kantor
dan papan nama kantor, itu hilang, termasuk yang ada di gerbang pendopo, rumah
dinas bupati.
Tentang perubahan pada kostum gandrung, Bupati Anas juga
pernah mengakomodasi permintaan agar baju gandrung menjadi tertutup tidak
memperlihatkan kulit penarinya. Menurut catatan pejabat Dinas Pendidikan, Dwi
Yanto, untuk menutup kulitnya yang terbuka di bagian pundak dan lengan sampai
jari-jari, penari GS diharuskan memakai baju ketat penari penutup tubuh
sehingga menutup aurat tetapi pada saat yang sama masih terlihat seperti
punggung dan lengan yang terbuka, seperti halnya pada gandrung pertunjukan. Dan
untuk itu, Bupati menginginkan baju ketat yang bukan warna kulit, tetapi
sekalian hijau, supaya kelihatan bahwa para penari itu memang menutup kulitnya.
Para “dieharder” gandrung merasa pemakaian baju ketat daleman ini menyimpang
dari ajaran gandrung murni. Banyak yang diam-diam menentang.
Gandrung sudah menutup rambutnya dengan memakai mahkota omprok.
Dan penari bagian bawah tubuh penari GS tidak lagi dililit kain yang ketat
seperti penari gandrung terob yang kelihatan erotis. Jadilah mereka seperti
mengenakan rok yang longgar.
Saya kira usaha-usaha untuk “menutup aurat” yang diharuskan
oleh Bupati Anas merupakan jalan tengah untuk mengakomodasi permintaan para
pemuka agama (Islam) khususnya yang khawatir soal buka-bukaan aurat pada penari
GS. Dan tari Gandrung Sewu ini merupakan pengembangan yang luar biasa dari
gandrung pertunjukan. Sekarang Gandrung Sewu menjadi salah satu tari unggulan
di sekolah-sekolah sehingga menumbuhkan sanggar-sanggar tari dan pemasok baju
gandrung.
Hal ini merupakan suatu kemajuan yang luar biasa, kalau
melihat bagaimana antipatinya orang-orang tua terhadap gandrung jaman dulu. Menurut
cerita Pak Mitrok pemilik sanggar Jingga Putih Gladag Rogojampi, pada tahun
1970-an, tari gandrung hanya ada di pentas-pentas pertunjukan atau mengamen di
jalanan. Gandrung bukan tari yang terhormat. Karena gandrung di pentas
pertunjukan identik dengan minuman keras dan wanita-wanita hiburan, orang tua
melarang anak-anaknya untuk mendekat ke gandrung.
Sampai suatu saat, bupati saat itu Joko Supaat Slamet (Pak
Paat) menyuruh Pak Mitrok untuk menciptakan tari gandrung yang bisa ditarikan
oleh anak-anak sekolah. Jadilah tari Jejer Gandrung, yang sekarang menjadi
“tari wajib” dalam setiap pertujukan, ditampilkan pertama kali oleh siswi
sekolah, termasuk puteri Bupati. Setelah tampil di Pendopo itu tari gandrung
mengalami kenaikan martabat. Selain karena mulai ditarikan anak-anak sekolah,
Pak Paat juga melarang gandrung untuk ngamen di jalanan, demi menjaga martabat
gandrung. Ngamen di jalanan akan menjadikan gandrung sesuatu yang murahan dan
menjadi cibiran orang, karena seperti mengemis di jalanan.
Jadi bisa dipahami keprihatinan dari para pemuka agama sejak
dulu akan tari gandrung. Misalnya di beberapa desa, di daerah kota yang ada
pondok pesantrennya seperti Lateng, tempat pondokan pahlawan lokal Kiai Saleh,
atau Tukang Kayu, ada larangan dari kiai untuk “tidak menggantung gong” yang
artinya jangan ada pertunjukan. Istilah
tidak menggantung gong berarti jangan menggelar pertunjukan, kalau tidak
dituruti diyakini akan ada konsekuensinya, seperti rumahnya terbakar atau rumah
tangga orangnya yang tidak pernah akur.
Di Lugjag Rogojampi orang yang punya hajat dilarang
mengundang janger, dipercaya pertunjukan ini bisa mengundang banjir. Di
Popongan, sunatan anak juga tidak boleh di’ramai’kan.
Lantas, apa maunya FPI? “Maksudnya adalah kita mengingatkan
agar kita tidak diazab oleh Allah karena mengumbar kemaksitan seperti itu,”
kata Ketua DPW FPI Banyuwangi Agus Iskandar.
Tapi, himbauan FPI terlanjur menyakiti hati banyak orang
yang merasa gandrung sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari jati diri orang
Banyuwangi. “Aja kakehan sereyat,” kira-kira begitu ungkapannya. Bermakna
“Jangan banyak aturan/tingkah” karena berasal dari ungkapan “Aja kakehan
syariat.”
GS sudah ditetapkan menjadi acara nasional oleh Menteri
Pariwisata Arif Yahya orang Panderejo jadi sepertinya masih akan terus mengisi
acara tahunan yang diselenggarakan oleh Pemkab Banyuwangi. Tentang bendera
Belanda dan tentang bupati pertama Banyuwangi Mas Alit? Tinggal kita baca buku
sejarah dan menyimpulkan sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar