Rabu, 24 Oktober 2018

Indramayu-Banyuwngi, Dua Bahasa, Satu Keprihatinan

(Latepost mestinya 16 Sep 2018)
Indramayu-Banyuwangi, Dua Bahasa, Satu Keprihatinan

Banyuwangi dan Indramayu terpisah sekitar 800 kilometer, tapi dalam beberapa hal bahasa yang mereka gunakan terdapat kemiripan. Misalnya, dibanding bahasa Jawa, banyak kosakata Jawa Kuno yang digunakan kedua bahasa ini. Yang paling mencolok adalah penggunaan akhiran –aken (bukan  -ake seperti dalam bahasa Jawa) dan status ‘tidak punya bahasa krama’ seperti dalam bahasa Jawa Kuno.

Bahasa ‘krama’ yang ada dalam bahasa Using disebut besiki, tak lebih dari 1000 kata. Menurut catatan sarjana Belanda, Stoppelaar, bahasa yang digunakan oleh penduduk Banyuwangi adalah “Bahasa Using”. Penduduk di desa-desa terutama di daerah pegunungan, tidak mengenal bahasa “krama.” Tulisan tersebut dibikin tahun 1927. Terhitung baru.

Sementara menurut Ketua Lembaga Basa lan Sastra Dermayu, Pak Supali Kasim, hanya sekitar 20 persen saja orang Dermayu yang bisa aktif menggunakan bahasa krama yang disebut Bebasan. Sisanya lebih pada basa ngoko (bagongan).

Pada saat saya diundang sebagai pembicara dalam acara “Ngenalaken Buku lan Mbedah Puisi,” saya bereksperimen menggunakan dua bahasa masing-masing. Setelah menanyakan kepada sekitar 50 orang peserta, Ketua Lembaga Basa lan Sastra Dermayu Bapak Supali Kasim yang juga pembedah buku, menggunakan bahasa Dermayu. Dan saya menggunakan bahasa Using.

Kata-kata “dewek (bukan dewe), bengen (bukan biyen), maning (bukan maneh), parek (bukan cidek)” merupakan sebagian kosakata yang digunakan pada kedua bahasa. Memang, kedua bahasa ini diyakini berasal dari bahasa yang sama yaitu bahasa Jawa kuno. Bahasa Using menurut disertasi Pak Suparman Herusantosa, diyakini terpisah dengan bahasa Jawa sekitar tahun 1115 atau 1174 berdasarkan mengetahui kata seasal dan kemudian dihitung menggunakan rumus leksikostatistik.

Pelajaran Basa Dermayu

Basa Dermayu lebih dahulu memulai diajarkan, tahun 1996. Tadinya pelajaran Bahasa Jawa untuk SD dan SMP. Tahun 1996 tersebut, muncul mulok: Bahasa Sunda dan Bahasa Indramayu, yang diajarkan dari SD-SMA sederajat. Karena penutur bahasa Sunda sangat kecil, sekitar 5 persen (meski berada di Jawa Barat), mulok mulai tahun 2002 adalah 1. Pendidikan Budi Pekerti dan 2. Bahasa Indramayu.

Materi pelajaran bahasa Indramayu mengikuti dua kurikulum. Pertama menggunakan kurikulum 2006 dan saat ini sedang direvisi menggunakan kurikulum 2013.

Buku ajar, pernah diterbitkan beberapa kali. Versi Pemkab Indramayu diterbitkan tahun 1996. Penerbit swasta dan penulis individual tahun 1990-2010, serta Dinas Pendidikan Jawa Barat tahun 2014.

Saat ini  pelajaran bahasa Indramayu dilaksanakan di seluruh sekolah dasar karena guru-gurunya adalah guru kelas. Sedangkan di SMP kurang dari 100 persen karena guru bidang studinya dari berbagai disiplin ilmu. Tetapi sebagian besar masih melaksanakan. Sementara di tingkat SMA, kurang lebih hanya 50 persen karena ada kepala sekolahnya yang menginginkan hanya bahasa asing saja yang diajarkan.

Pelatihan untuk guru bahasa Indramayu SD, SMP dan SMA dilaksanakan oleh Disdik Provinsi setiap tahun.   

Dari hasil diskusi saat peluncuran buku kumpulan puisi Langit Seduwure Langit  karya 11 pujangga Indramayu, didapat keterangan, antologi puisi itu adalah buku puisi kedua yang terbit dalam bahasa Dermayu. Yang pertama kumpulan puisi Sesambat karya Supali Kasim. Juga ada tiga buku kumpulan puisi Ceribon-Indramayu: Gandrung Kapilayu (2008), Nguntal Negara (2009), Suluk-Suluk Pesisir (2011).

Karya lain? Tidak ada. Ini yang bikin prihatin.

Pelajaran Bahasa Using

Bahasa Using diperjuangkan kurang lebih dengan waktu yang sama. Perjuangan untuk membawa Bahasa Using sebagai muatan lokal, dimulai dari tahun 1991, pada Kongres Bahasa Jawa I. Setelah Kongres Bahasa Jawa II di Batu tahun 1996, mendapat rekomendasi dari Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur, untuk diajarkan di sekolah. Tahun itu pula bupati Purnomo Sidik mengeluarkan keputusan pembentukan Tim Penyusun Materi Bahasa Using sebagai mulok.

Ujicoba di tiga kecamatan mulai tahun 1997. Baru mulai tahun 2003 keluar Surat Keputusan Bupati yang ditandatangani Samsul Hadi tentang Pemberlakuan Pengajaran Bahasa Using untuk seluruh SD dan SMP sederajat. Tadinya hanya 13 kecamatan, kemudian dikeluarkan lagi revisi keputusan itu pada tahun yang sama yang mencakup seluruh 21 kecamatan (Banyuwangi, Giri, Glagah, Kalipuro, Kabat, Rogojampi, Srono, Cluring, Purwoharjo, Gambiran, Sempu, Songgon, Singojuruh, Wongsorejo, Bangorejo, Pesanggaran, Tegaldlimo, Genteng, Kalibaru, Glenmore, Muncar).

Setahun sebelumnya, keluarlah kamus Bahasa Daerah Using-Indonesia yang disusun oleh Bp. Hasan Ali dan buku Unen-Unen Basa Using yang disusun oleh Bp. Andang CY.

Tahun 2005, keluarlah buku pelajaran bahasa Using untuk SD dan SMP. Disusul dua tahun kemudian, munculnya Perda No. 5 tahun 2007 yang ditandatangani oleh bupati Ratna Ani Lestari. Dalam pasa 2 Perda tersebut:

  • Pembelajaran Bahasa Daerah berfungsi mengenai, membina serta mengembangkan kemampuan berbahasa daerah pada peserta didik
  • Pembelajaran bahasa Daerah bertujuan untuk memberikan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang mengarah pada penggunaan serta pelestarian  bahasa daerah
  • Bahasa daerah yang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) adalah bahasa Using.
      Sayangnya, tahun itu juga menandai berhentinya perkembangan lainnya. Tidak ada lagi buku ajar baru, tidak ada lagi pelatihan untuk guru-guru pengajar yang sebagian bukan penutur bahasa Using.
    Lantas datanglah kurikulum 2013 yang memberi batasan pada guru untuk mengajar sesuai dengan bidang keahliannya. Pelajaran Bahasa Using menghilang dari SMP. Sementara di SD masih bisa bertahan karena pengajarnya adalah guru kelas, bukan guru bidang studi.
    Gelombang badai berikutnya datang tahun 2014. Peraturan Gubernur Jawa Timur (S) No. 19 tahun 2014 (3 April 2014) tentang Mata Pelajaran Bahasa Daerah Sebagai Muatan Lokal Wajib di SD/MI
    Pasal 2 mengatakan:
    Bahasa Daerah diajarkan secara terpisah sebagai mata pelajaran muatan lokal wajib di seluruh sekolah/madrasah di Jawa Timur, yang meliputi Bahasa Jawa dan bahasa Madura dengan Kurikulum sebagaimana tersebut dalam Lampiran .
    Lantas beberapa sekolah yang dari semua “enggan” mengajarkan bahasa Using, merasa mendapat pembenaran untuk menghapuskan pelajaran tersebut di sekolah.
    Pergub ini sampai berimbas pada Dewan Kesenian Blambangan yang mengancam memboikot seluruh kegiatan kesenian Banyuwangi untuk Jawa Timur. Banyuwangi tidak lagi mengirimkan dutanya sebagai protes akan adanya Pergub ini.
    Sampai tahun 2016 Panitia Hadiah Rancage, merujuk kepada Pergub tersebut untuk menentukan, bahwa novel berbahasa Using, harus masuk ke dalam kategori bahasa Jawa karena bahasa Using dianggap dialek Jawa. Tahun itu ada dua karya sastra yang masuk pada panitia Rancage, yaitu Kumpulan cerpen Kembang Ronce, dan novel dwi bahasa Agul-Agul Belambangan (AAB) yang mendapatkan hadiah utama mengalahkan 19 karya sastra Jawa lainnya.
    Mata orang Banyuwangi seakan masih tertutup meski sudah ada peraturan daerah yang kedudukannya lebih tinggi dari pergub yang dihasilkan oleh Eksekutif saja. Sampai terpilihnya gubernur baru tahun 2018, sekelompok individu masih melobi agar Pergub ini dicabut oleh gubernur yang baru.
    Sebuah gerakan yang tidak perlu sebenarnya. Pengajaran Bahasa Using sudah cukup kuat dasar hukumnya. Selain Perda No. 5 tahun 2007, itu Provinsi Jawa Timur juga mengeluarkan Perda No 9 tahun 2014 (22 Agustus 2014) tentang Penyelenggaraan Pendidikan.
    Pasal 17
    (1) Bahasa Daerah wajib diajarkan sebagai muatan lokal pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.
    (2) Bahasa daerah yang diajarkan sebagai muatan lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ialah Bahasa Jawa atau Bahasa Madura atau bahasa lainnya yang digunakan oleh masyarakat di wilayah kabupaten/kota setempat.
    Jadi, sebenarnya tidak usah ragu lagi untuk mengajarkannya di sekolah.
    Memang kendala yang dihadapi adalah tidak adanya keputusan bupati yang baru untuk penjabaran Perda No. 5 tahun 2007 untuk materi-materi pendukung pengajaran.  Misalnya, kamus bergambar untuk anak-anak, karya sastra, dan bacaan lain selayaknya produk sebuah bahasa.
    Untuk pengayaan, ada hampir 30 judul buku berbagai jenis: kumpulan cerpen, novel, kumpulan artikel, cerita anak, puisi, dan musik, serta satu kuartet.
    Soal pengembangan di sekolah? Ini yang bikin prihatin.

Kata Using baru: Wawarah


Wawarah

Kata Wawarah merupakan kata baru yang saya perkenalkan untuk memperkaya kosakata basa Using. Kata aslinya adalah “warah-warah” yang berarti pemberitahuan atau pengumuman.

Lantas dengan metode mengulang kata sebagian, jadilah wawarah.

Kata ulang dengan pengulangan sebagian ini terdapat dalam bahasa Using.

Misalnya:

Lare-lare menjadi lalare

Ameng-amengan menjadi memengan

Tadinya supaya terdengar lebih enak, saya buat wewarah, ternyata kata tersebut sudah ada dengan arti “petuah”, jadi harus dibedakan.

Warah-warah itu Wawarah (pengumuman).

 

Kamus Using Digital


Kamus Bahasa Daerah Using-Indonesia yang disusun oleh almarhum Hasan Ali sudah diterbitkan dari tahun 2002. Sebagai dasar pembelajaran Bahasa Using, kamus tersebut sangat diperlukan sebagai dasar rujukan. Akan tetapi sampai sekarang, kamus itu tidak pernah disempurnakan, tidak ditambah lemanya.
 Hari Minggu tanggal 21 Oktober 2018, sebuah organisasi yang mewadahi mahasiswa Poliwangi Rogojampi, Jinggolabs, mempresentasikan apa yang akan mereka bikin sebagai basis kamus digital Using-Indonesia dan Indonesia-Using, yang nantinya akan ada versi daring (dalam jaringan) dan aplikasi androidnya.
Boleh dibilang hari itu merupakan salah satu tonggak penting Bahasa Using karena Kamus yang sudah 16 tahun tidak pernah disempurnakan, akan dapat diakses melalui daring maupun lewat aplikasi yang bisa diunduh.
Dengan makin canggihnya teknologi, mau tidak mau ada bagian-bagian upaya pemertahanan Bahasa Using ini menggunakan teknologi yang ada.
Dasar kamus Using-Indonesia tetap menggunakan kamus besar Hasan Ali yang menjadi babon dan akan disempurnakan. Sementara kamus Indonesia-Using akan dimulai dari nol.
SKB sudah mengantongi ijin dari pihak ahli waris keluarga Pak Hasan Ali, lewat putera-puterinya, yaitu mbok Emilia Contessa, mas Dino, mbak Virgi, dan istri dari almarhum mas Rio. Mbok Emilia malah menawarkan keahlian anaknya, Enrico, yang sarjana IT. Pada saat itu juga, Enrico membagikan kamus kakeknya secara gratis kepada 50 orang peserta Pelatihan Menulis Kamus angkatan kedua.
Setelah pelatihan yang kedua dari Doktor Ganjar Harimansyah, bekal menulis kamus  memang dirasa belum cukup. Tetapi kenyataan bahwa penyempurnaan harus dilakukan membuat SKB bergerak. Yang digarisbawahi oleh mas Ganjar dalam pengembangan Bahasa Using ke depan adalah:
1.       Perlunya Perencanaan Bahasa (lima tahun lagi mau dikemanakan bahasa Using ini, misalnya)
2.       Perlunya Pedoman Umum Pembentukan Istilah, yang mengatur penyerapan unsur bahasa asing (Arab, Belanda, Inggris atau Jawa, Madura dll) ke dalam bahasa Using.
Penyerapan ini penting karena bahasa Using harus berkembang mengikuti zamannya. Kemajuan teknologi membawa banyak perubahan yang harus diakomodasi dalam bahasa Using. Misalnya, apa istilah Usingnya untuk bluetooth, hp, sms, copy paste, dll. Kalau kamus hanya mengakomodasi bahasa Using deles saja, bahasa Using tinggal menunggu waktu.
Jangankan yang kompleks, yang sehari-hari digunakan, banyak yang belum ada dalam bahasa Using, misalnya: selamat datang, selamat pagi, selamat siang, selamat ulang tahun, selamat hari raya, ikut berdukacita, dll.
Karena bahasa Using tulis tidak begitu populer, banyak juga istilah-istilah penulisan yang belum ada juga dalam bahasa Using, semisal: paragraf, halaman, tanda petik, kata sambung, garis bawah dll.
Peserta Pelatihan Menulis Kamus baik angkatan 1 maupun 2, diharapkan menjadi kontributor untuk kamus yang akan dibikin digital.
Dari kiri ke kanan

 
Defri Dava Wardana – Back end
Arik Fajar Cahyono – Mentor
Siti Nur Ilmiyah – Back end
Hani Z. Noor – Bendahara SKB
Dr. Ganjar Harimansyah peneliti bahasa Badan Bahasa Pusat
Antariksawan Jusuf – Ketum SKB
Tusfendi – Project Leader
Abi Sarirayndra – Front End
Velanda Aden Pradipta – Front End

Selasa, 23 Oktober 2018

Geger Gandrung Sewu Banyuwangi


Untunglah pertunjukan Gandrung Sewu (GS) 2018 yang  diselenggarakan di Pantai Boom Banyuwangi berjalan lancar. Meski kemudian ada perdebatan soal bendera Belanda bertuliskan VOC itu terus berkibar sampai akhir acara. Menurut saya itu hanya bagian kecil dari penyelenggaraan pertunjukan raksasa menhadirkan 1300 penari dari 5000an yang diseleksi.
Sebelumnya ada himbauan dari Front Pembela Islam (FPI) Banyuwangi agar pemda menghentikan acara tersebut mengingat begitu seringnya bencana alam yang menghantam beberapa daerah lain misalnya di Lombok atau Palu. Dikawatirkan acara tersebut mengundang bencana serupa ke Banyuwangi. Sempat terdengar kabar Pemda “agak goyah”  dan akan memindahkan acara tersebut di Taman Blambangan.
Himbauan FPI ini membuat banyak kalangan di Banyuwangi meradang. Mereka seperti menggaungkan ungkapan khas orang Using Banyuwangi: “Aja kakehan sereyat” yang berarti “Jangan banyak aturan/tingkah.”
Di medsos, ribuan suara “saur manuk” bersautan dan sebagian besar mengecam FPI dan bernada “Aja kakeyan sereyat.” Kekhawatiran mereka ini bisa dimengerti, karena gandrung sudah merupakan ikon Banyuwangi yang bahkan bagi sebagian orang, haram hukumnya diutak-atik. Sekali usulan FPI diakomodasi, bisa merembet ke produk budaya lainnya. Sementara Banyuwangi sudah nyaman hidup dengan simbol-simbol tradisional itu. Bahkan untuk menarik wisatawan, Pemda menggelar lebih 70 festival per tahun, yang sebagian besar merupakan adat dan budaya lokal.
Kekhawatiran muncul karena kasus serupa pernah terjadi. Misalnya, Bupati Azwar Anas menghilangkan simbol ular bermahkota yang dipercaya masyarakat sebagai simbol perlawanan yang ditemukan pada kaki kayu pegangan angklung atau gong pada alat musik tradisional. Bentuk ular bermahkota itu banyak ditemui juga bagai sepasang penjaga kembar di gerbang kantor-kantor pemerintah. Dan karena bisikan “paham baru” bahwa ular yang bercabang lidah merupakan simbol yang jelek, mengisyaratkan kalau orang Banyuwangi bersifat mendua, tidak bisa dipegang omongannya, seluruh patung naga di gerbang-gerbang kantor dan papan nama kantor, itu hilang, termasuk yang ada di gerbang pendopo, rumah dinas bupati.
Tentang perubahan pada kostum gandrung, Bupati Anas juga pernah mengakomodasi permintaan agar baju gandrung menjadi tertutup tidak memperlihatkan kulit penarinya. Menurut catatan pejabat Dinas Pendidikan, Dwi Yanto, untuk menutup kulitnya yang terbuka di bagian pundak dan lengan sampai jari-jari, penari GS diharuskan memakai baju ketat penari penutup tubuh sehingga menutup aurat tetapi pada saat yang sama masih terlihat seperti punggung dan lengan yang terbuka, seperti halnya pada gandrung pertunjukan. Dan untuk itu, Bupati menginginkan baju ketat yang bukan warna kulit, tetapi sekalian hijau, supaya kelihatan bahwa para penari itu memang menutup kulitnya. Para “dieharder” gandrung merasa pemakaian baju ketat daleman ini menyimpang dari ajaran gandrung murni. Banyak yang diam-diam menentang.
Gandrung sudah menutup rambutnya dengan memakai mahkota omprok. Dan penari bagian bawah tubuh penari GS tidak lagi dililit kain yang ketat seperti penari gandrung terob yang kelihatan erotis. Jadilah mereka seperti mengenakan rok yang longgar.
Saya kira usaha-usaha untuk “menutup aurat” yang diharuskan oleh Bupati Anas merupakan jalan tengah untuk mengakomodasi permintaan para pemuka agama (Islam) khususnya yang khawatir soal buka-bukaan aurat pada penari GS. Dan tari Gandrung Sewu ini merupakan pengembangan yang luar biasa dari gandrung pertunjukan. Sekarang Gandrung Sewu menjadi salah satu tari unggulan di sekolah-sekolah sehingga menumbuhkan sanggar-sanggar tari dan pemasok baju gandrung.
Hal ini merupakan suatu kemajuan yang luar biasa, kalau melihat bagaimana antipatinya orang-orang tua terhadap gandrung jaman dulu. Menurut cerita Pak Mitrok pemilik sanggar Jingga Putih Gladag Rogojampi, pada tahun 1970-an, tari gandrung hanya ada di pentas-pentas pertunjukan atau mengamen di jalanan. Gandrung bukan tari yang terhormat. Karena gandrung di pentas pertunjukan identik dengan minuman keras dan wanita-wanita hiburan, orang tua melarang anak-anaknya untuk mendekat ke gandrung.
Sampai suatu saat, bupati saat itu Joko Supaat Slamet (Pak Paat) menyuruh Pak Mitrok untuk menciptakan tari gandrung yang bisa ditarikan oleh anak-anak sekolah. Jadilah tari Jejer Gandrung, yang sekarang menjadi “tari wajib” dalam setiap pertujukan, ditampilkan pertama kali oleh siswi sekolah, termasuk puteri Bupati. Setelah tampil di Pendopo itu tari gandrung mengalami kenaikan martabat. Selain karena mulai ditarikan anak-anak sekolah, Pak Paat juga melarang gandrung untuk ngamen di jalanan, demi menjaga martabat gandrung. Ngamen di jalanan akan menjadikan gandrung sesuatu yang murahan dan menjadi cibiran orang, karena seperti mengemis di jalanan.
Jadi bisa dipahami keprihatinan dari para pemuka agama sejak dulu akan tari gandrung. Misalnya di beberapa desa, di daerah kota yang ada pondok pesantrennya seperti Lateng, tempat pondokan pahlawan lokal Kiai Saleh, atau Tukang Kayu, ada larangan dari kiai untuk “tidak menggantung gong” yang artinya jangan ada pertunjukan.  Istilah tidak menggantung gong berarti jangan menggelar pertunjukan, kalau tidak dituruti diyakini akan ada konsekuensinya, seperti rumahnya terbakar atau rumah tangga orangnya yang tidak pernah akur.
Di Lugjag Rogojampi orang yang punya hajat dilarang mengundang janger, dipercaya pertunjukan ini bisa mengundang banjir. Di Popongan, sunatan anak juga tidak boleh di’ramai’kan.
Lantas, apa maunya FPI? “Maksudnya adalah kita mengingatkan agar kita tidak diazab oleh Allah karena mengumbar kemaksitan seperti itu,” kata Ketua DPW FPI Banyuwangi Agus Iskandar.
Tapi, himbauan FPI terlanjur menyakiti hati banyak orang yang merasa gandrung sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari jati diri orang Banyuwangi. “Aja kakehan sereyat,” kira-kira begitu ungkapannya. Bermakna “Jangan banyak aturan/tingkah” karena berasal dari ungkapan “Aja kakehan syariat.”
GS sudah ditetapkan menjadi acara nasional oleh Menteri Pariwisata Arif Yahya orang Panderejo jadi sepertinya masih akan terus mengisi acara tahunan yang diselenggarakan oleh Pemkab Banyuwangi. Tentang bendera Belanda dan tentang bupati pertama Banyuwangi Mas Alit? Tinggal kita baca buku sejarah dan menyimpulkan sendiri.

Geger Gandrung Sewu Banyuwangi


Geger Gandrung Sewu Banyuwangi
Untunglah pertunjukan Gandrung Sewu (GS) 2018 yang  diselenggarakan di Pantai Boom Banyuwangi berjalan lancar. Meski kemudian ada perdebatan soal bendera Belanda bertuliskan VOC itu terus berkibar sampai akhir acara. Menurut saya itu hanya bagian kecil dari penyelenggaraan pertunjukan raksasa menhadirkan 1300 penari dari 5000an yang diseleksi.
Sebelumnya ada himbauan dari Front Pembela Islam (FPI) Banyuwangi agar pemda menghentikan acara tersebut mengingat begitu seringnya bencana alam yang menghantam beberapa daerah lain misalnya di Lombok atau Palu. Dikawatirkan acara tersebutbut mengundang bencana serupa ke Banyuwangi. Sempat terdengar kabar Pemda “agak goyah”  dan akan memindahkan acara tersebut di Taman Blambangan.
Himbauan FPI ini membuat banyak kalangan di Banyuwangi meradang. Mereka seperti menggaungkan ungkapan khas orang Using Banyuwangi: “Aja kakehan sereyat” yang berarti “Jangan banyak aturan/tingkah.”
Di medsos, ribuan suara “saur manuk” bersautan dan sebagian besar mengecam FPI dan bernada “Aja kakeyan sereyat.” Kekhawatiran mereka ini bisa dimengerti, karena gandrung sudah merupakan ikon Banyuwangi yang bahkan bagi sebagian orang, haram hukumnya diutak-atik. Sekali usulan FPI diakomodasi, bisa merembet ke produk budaya lainnya. Sementara Banyuwangi sudah nyaman hidup dengan simbol-simbol tradisional itu. Bahkan untuk menarik wisatawan, Pemda menggelar lebih 70 festival per tahun, yang sebagian besar merupakan adat dan budaya lokal.
Kekhawatiran muncul karena kasus serupa pernah terjadi. Misalnya, Bupati Azwar Anas menghilangkan simbol ular bermahkota yang dipercaya masyarakat sebagai simbol perlawanan yang ditemukan pada kaki kayu pegangan angklung atau gong pada alat musik tradisional. Bentuk ular bermahkota itu banyak ditemui juga bagai sepasang penjaga kembar di gerbang kantor-kantor pemerintah. Dan karena bisikan “paham baru” bahwa ular yang bercabang lidah merupakan simbol yang jelek, mengisyaratkan kalau orang Banyuwangi bersifat mendua, tidak bisa dipegang omongannya, seluruh patung naga di gerbang-gerbang kantor dan papan nama kantor, itu hilang, termasuk yang ada di gerbang pendopo, rumah dinas bupati.
Tentang perubahan pada kostum gandrung, Bupati Anas juga pernah mengakomodasi permintaan agar baju gandrung menjadi tertutup tidak memperlihatkan kulit penarinya. Menurut catatan pejabat Dinas Pendidikan, Dwi Yanto, untuk menutup kulitnya yang terbuka di bagian pundak dan lengan sampai jari-jari, penari GS diharuskan memakai baju ketat penari penutup tubuh sehingga menutup aurat tetapi pada saat yang sama masih terlihat seperti punggung dan lengan yang terbuka, seperti halnya pada gandrung pertunjukan. Dan untuk itu, Bupati menginginkan baju ketat yang bukan warna kulit, tetapi sekalian hijau, supaya kelihatan bahwa para penari itu memang menutup kulitnya. Para “dieharder” gandrung merasa pemakaian baju ketat daleman ini menyimpang dari ajaran gandrung murni. Banyak yang diam-diam menentang.
Gandrung sudah menutup rambutnya dengan memakai mahkota omprok. Dan penari bagian bawah tubuh penari GS tidak lagi dililit kain yang ketat seperti penari gandrung terob yang kelihatan erotis. Jadilah mereka seperti mengenakan rok yang longgar.
Saya kira usaha-usaha untuk “menutup aurat” yang diharuskan oleh Bupati Anas merupakan jalan tengah untuk mengakomodasi permintaan para pemuka agama (Islam) khususnya yang khawatir soal buka-bukaan aurat pada penari GS. Dan tari Gandrung Sewu ini merupakan pengembangan yang luar biasa dari gandrung pertunjukan. Sekarang Gandrung Sewu menjadi salah satu tari unggulan di sekolah-sekolah sehingga menumbuhkan sanggar-sanggar tari dan pemasok baju gandrung.
Hal ini merupakan suatu kemajuan yang luar biasa, kalau melihat bagaimana antipatinya orang-orang tua terhadap gandrung jaman dulu. Menurut cerita Pak Mitrok pemilik sanggar Jingga Putih Gladag Rogojampi, pada tahun 1970-an, tari gandrung hanya ada di pentas-pentas pertunjukan atau mengamen di jalanan. Gandrung bukan tari yang terhormat. Karena gandrung di pentas pertunjukan identik dengan minuman keras dan wanita-wanita hiburan, orang tua melarang anak-anaknya untuk mendekat ke gandrung.
Sampai suatu saat, bupati saat itu Joko Supaat Slamet (Pak Paat) menyuruh Pak Mitrok untuk menciptakan tari gandrung yang bisa ditarikan oleh anak-anak sekolah. Jadilah tari Jejer Gandrung, yang sekarang menjadi “tari wajib” dalam setiap pertujukan, ditampilkan pertama kali oleh siswi sekolah, termasuk puteri Bupati. Setelah tampil di Pendopo itu tari gandrung mengalami kenaikan martabat. Selain karena mulai ditarikan anak-anak sekolah, Pak Paat juga melarang gandrung untuk ngamen di jalanan, demi menjaga martabat gandrung. Ngamen di jalanan akan menjadikan gandrung sesuatu yang murahan dan menjadi cibiran orang, karena seperti mengemis di jalanan.
Jadi bisa dipahami keprihatinan dari para pemuka agama sejak dulu akan tari gandrung. Misalnya di beberapa desa, di daerah kota yang ada pondok pesantrennya seperti Lateng, tempat pondokan pahlawan lokal Kiai Saleh, atau Tukang Kayu, ada larangan dari kiai untuk “tidak menggantung gong” yang artinya jangan ada pertunjukan.  Istilah tidak menggantung gong berarti jangan menggelar pertunjukan, kalau tidak dituruti diyakini akan ada konsekuensinya, seperti rumahnya terbakar atau rumah tangga orangnya yang tidak pernah akur.
Di Lugjag Rogojampi orang yang punya hajat dilarang mengundang janger, dipercaya pertunjukan ini bisa mengundang banjir. Di Popongan, sunatan anak juga tidak boleh di’ramai’kan.
Lantas, apa maunya FPI? “Maksudnya adalah kita mengingatkan agar kita tidak diazab oleh Allah karena mengumbar kemaksitan seperti itu,” kata Ketua DPW FPI Banyuwangi Agus Iskandar.
Tapi, himbauan FPI terlanjur menyakiti hati banyak orang yang merasa gandrung sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari jati diri orang Banyuwangi. “Aja kakehan sereyat,” kira-kira begitu ungkapannya. Bermakna “Jangan banyak aturan/tingkah” karena berasal dari ungkapan “Aja kakehan syariat.”
GS sudah ditetapkan menjadi acara nasional oleh Menteri Pariwisata Arif Yahya orang Panderejo jadi sepertinya masih akan terus mengisi acara tahunan yang diselenggarakan oleh Pemkab Banyuwangi. Tentang bendera Belanda dan tentang bupati pertama Banyuwangi Mas Alit? Tinggal kita baca buku sejarah dan menyimpulkan sendiri.