In memoriam Andang Chatib Yusuf
Hari ini 11 Januari 2018, saya mendengar kabar yang sangat menyesakkan
dada, Pak Andang salah satu maestro musik Banyuwangi, pergi untuk selamanya.
Satu lagi buku dalam perpustakaan Banyuwangi yang terbakar.
Pak Andang
pribadi yang santun. Saya bertemu dengan beliau terakhir bulan Desember 2017
lalu. Beliau sudah keluar dari rumah sakit, tempat yang selama ini jarang,
bahkan sama sekali tak pernah dikunjunginya. Badannya yang sudah tua, 83 tahun
ambruk setelah menjadi salah satu juri di festival Banyuwangi dan memaksanya
masuk rumah sakit. Almarhum mengaku tidak pernah sakit dan tidak pernah masuk
rumah sakit.
Selama saya bertemu dengan beliau, biasanya di
rumahnya di Jalan Musi persis bersebelahan dengan langgar, selalu bertutur kata
lembut. Bahkan saat beliau tidak menyetujui sesuatu. Tentang musik, beliau mengaku
tidak begitu mengerti tentang penciptaan nada-nada, tetapi sebagian besar karya
lirik lagu-lagu yang musiknya diciptakan oleh Pak Bashir Noerdian atau almarhum
MF Hariyanto, terlahir dari tangannya. Nama Yusuf di belakangnya berasal dari
orang tua angkatnya, Safi’i Yusuf. Sedang ayahnya bernama Subandar.
Mimpi yang
masih belum terlaksana adalah merekam ulang karya-karyanya, sambil “Ngeroti
ilate lare hang nyanyi.” Supaya cengkok Usingnya terasa. Karena sebagai
pencipta lagu, ia sungguh prihatin dengan perkembangan musik Banyuwangi.
Lahir di
Banyuwangi 19 September 1934, Pak Andang lebih menyebut dirinya sebagai
sastrawan. Lulusan sekolah guru dan pensiunan kepala sekolah ini, merupakan
penggemar sastra sejak SMP. Tetapi kedekatannya dengan lagu-lagu, ia yakini
sejak kecil saat ibunya mendendangkan lagu-lagu kudangan. Saat beranjak
anak-anak, Andang kecil suka sekali mendengarkan orang-orang tua yang sedang
mengobrol dan mengingat-ingat kata-kata yang keluar dari mulut orang tua.
Kata-kata itu lah yang sebagian ia tuangkan menjadi lagu. Bahkan dikumpulkan
menjadi sebuah buku yang berjudul Unen-Unen
Basa Using (2003). Penciptaan lagunya dimulai dengan menelorkan lagu-lagu
berbahasa Indonesia. Sampai akhirnya lahir lirik lagunya berbahasa Using
pertama Perawan Sunthi (1967).Beberapa lirik yang ia ciptakan sangat
fenomenal. Misalnya, Umbul-Umbul Belambangan, yang
menjadi lagu ‘kebangsaan’ orang Banyuwangi. Dari lagu ini ia juga dihadiahi
penghargaan oleh Pemda.
Lulusan sekolah
guru dan pensiunan kepala sekolah ini, merupakan penggemar sastra sejak SMP.
Tetapi kedekatannya dengan lagu-lagu, ia yakini sejak kecil saat ibunya
mendendangkan lagu-lagu kudangan. Saat beranjak anak-anak, Andang kecil suka
sekali mendengarkan orang-orang tua yang sedang mengobrol dan mengingat-ingat
kata-kata yang keluar dari mulut orang tua. Kata-kata itu lah yang sebagian ia
tuangkan menjadi lagu. Bahkan dikumpulkan menjadi sebuah buku yang berjudul Unen-Unen Basa Using (Dewan Kesenian Blambangan,
2003) atau Wewarah, kumpulan nasihat
dan kata-kata bijak yang dirangkum dalam buku Isun Dhemen Basa Using (Sengker Kuwung Belambangan, 2015).
Penciptaan lagunya dimulai dengan
menelorkan lagu-lagu berbahasa Indonesia. Sampai akhirnya lahir lirik lagunya
berbahasa Using pertama Perawan Sunthi, yang lagunya
diciptakan oleh MF Hariyanto tahun 1967.
Beberapa lirik yang ia ciptakan
sangat fenomenal. Misalnya, Umbul-Umbul Belambangan, yang
menjadi lagu ‘kebangsaan’ orang Banyuwangi. Dari lagu ini ia juga dihadiahi
penghargaan oleh Pemda. ‘Lagu wajib’ lainnya, misalnya Isun Lare Using, yang
sangat kental memompa energi ‘nasionalisme’ anak-anak Using. Sehingga anak-anak
Using lebih menghargai pahlawan-pahlawan sebelum dan sesudah kemerdekaan. Atau Tanah
Kelahiran, yang membuat diaspora orang Banyuwangi perantauan meneteskan
air mata saat melantunkannya karena kedalaman artinya dapat menyentuh sisi
terdalam hati yang sedang rindu kepada tanah kelahiran, tanah tumpah darah,
tanah Blambangan.
“Lagu akan hidup kalau liriknya
ditulis dengan hati dan penuh kontemplasi pengarangnya,” katanya saat ditemui
di rumahnya di Welaran. Pak Andang suka menggunakan idiom-idiom alam untuk
menggambarkan perilaku, sifat, atau kondisi seseorang. Sebut saja, istilah yang
menggunakan kembang yang ternyata tak hanya berarti gambaran keindahan atau
perempuan cantik. Kembang Terong berarti
orang pelit sekaligus licik, Kembang
Galengan
berarti anak perempuan orang kebanyakan, Kembang Pethetan berarti bunga kesayangan, Mawar Kapuranta, menggambarkan perempuan
cantik yang disia-siakan, atau Cengkir
Gadhing yang digambarkan bak perawan yang sedang berjalan mengayun-ayunkan
tangannya.
Dan ungkapan yang menggunakan benda-benda yang sering terlihat dalam
kehidupan sehari-hari orang Banyuwangi. Misalnya, Cumplung (tempurung
kelapa) dalam Blangkokan, Pengaron
(belanga), Kali Elo.
Kepiawaian Pak Andang menciptakan syair-syair lagu mungkin belum ada
tandingannya sampai saat ini di Banyuwangi. Ungkapan-ungkapan penuh persamaan
bunyi yang pada saat yang sama mengisi bait-bait sebagai bagian dari jajaran
kalimat yang indah, sehingga agak sukar untuk diterjemahkan ke dalam bahasa
lain. Misalnya: jumplang-jumpling, buntang-bunting, gunjang-ganjing,
morang-moring. Masing-masing berfungsi sebagai sampiran dalam pantun,
tetapi pada saat yang sama mempunyai arti yang terkait dengan kalimat
perangkainya.
Belum lagi basanan,
pantun, yang masih sering digunakan dalam percakapan orang-orang Using. Dan
banyak juga basanan yang muncul dalam lagu-lagu tradisional kesenian Gandrung.
iwandear@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar