Kamis, 11 Januari 2018

In memoriam Pak Andang CY


In memoriam Andang Chatib Yusuf

Hari ini 11 Januari 2018, saya mendengar kabar yang sangat menyesakkan dada, Pak Andang salah satu maestro musik Banyuwangi, pergi untuk selamanya. Satu lagi buku dalam perpustakaan Banyuwangi yang terbakar.

Pak Andang pribadi yang santun. Saya bertemu dengan beliau terakhir bulan Desember 2017 lalu. Beliau sudah keluar dari rumah sakit, tempat yang selama ini jarang, bahkan sama sekali tak pernah dikunjunginya. Badannya yang sudah tua, 83 tahun ambruk setelah menjadi salah satu juri di festival Banyuwangi dan memaksanya masuk rumah sakit. Almarhum mengaku tidak pernah sakit dan tidak pernah masuk rumah sakit.  

 Selama saya bertemu dengan beliau, biasanya di rumahnya di Jalan Musi persis bersebelahan dengan langgar, selalu bertutur kata lembut. Bahkan saat beliau tidak menyetujui sesuatu. Tentang musik, beliau mengaku tidak begitu mengerti tentang penciptaan nada-nada, tetapi sebagian besar karya lirik lagu-lagu yang musiknya diciptakan oleh Pak Bashir Noerdian atau almarhum MF Hariyanto, terlahir dari tangannya. Nama Yusuf di belakangnya berasal dari orang tua angkatnya, Safi’i Yusuf. Sedang ayahnya bernama Subandar.

Mimpi yang masih belum terlaksana adalah merekam ulang karya-karyanya, sambil “Ngeroti ilate lare hang nyanyi.” Supaya cengkok Usingnya terasa. Karena sebagai pencipta lagu, ia sungguh prihatin dengan perkembangan musik Banyuwangi.

Lahir di Banyuwangi 19 September 1934, Pak Andang lebih menyebut dirinya sebagai sastrawan. Lulusan sekolah guru dan pensiunan kepala sekolah ini, merupakan penggemar sastra sejak SMP. Tetapi kedekatannya dengan lagu-lagu, ia yakini sejak kecil saat ibunya mendendangkan lagu-lagu kudangan. Saat beranjak anak-anak, Andang kecil suka sekali mendengarkan orang-orang tua yang sedang mengobrol dan mengingat-ingat kata-kata yang keluar dari mulut orang tua. Kata-kata itu lah yang sebagian ia tuangkan menjadi lagu. Bahkan dikumpulkan menjadi sebuah buku yang berjudul Unen-Unen Basa Using (2003). Penciptaan lagunya dimulai dengan menelorkan lagu-lagu berbahasa Indonesia. Sampai akhirnya lahir lirik lagunya berbahasa Using pertama Perawan Sunthi (1967).Beberapa lirik yang ia ciptakan sangat fenomenal. Misalnya, Umbul-Umbul Belambangan, yang menjadi lagu ‘kebangsaan’ orang Banyuwangi. Dari lagu ini ia juga dihadiahi penghargaan oleh Pemda.

Lulusan sekolah guru dan pensiunan kepala sekolah ini, merupakan penggemar sastra sejak SMP. Tetapi kedekatannya dengan lagu-lagu, ia yakini sejak kecil saat ibunya mendendangkan lagu-lagu kudangan. Saat beranjak anak-anak, Andang kecil suka sekali mendengarkan orang-orang tua yang sedang mengobrol dan mengingat-ingat kata-kata yang keluar dari mulut orang tua. Kata-kata itu lah yang sebagian ia tuangkan menjadi lagu. Bahkan dikumpulkan menjadi sebuah buku yang berjudul Unen-Unen Basa Using (Dewan Kesenian Blambangan, 2003) atau Wewarah, kumpulan nasihat dan kata-kata bijak yang dirangkum dalam buku Isun Dhemen Basa Using (Sengker Kuwung Belambangan, 2015).

Penciptaan lagunya dimulai dengan menelorkan lagu-lagu berbahasa Indonesia. Sampai akhirnya lahir lirik lagunya berbahasa Using pertama Perawan Sunthi, yang lagunya diciptakan oleh MF Hariyanto tahun 1967.

 

Beberapa lirik yang ia ciptakan sangat fenomenal. Misalnya, Umbul-Umbul Belambangan, yang menjadi lagu ‘kebangsaan’ orang Banyuwangi. Dari lagu ini ia juga dihadiahi penghargaan oleh Pemda. ‘Lagu wajib’ lainnya, misalnya Isun Lare Using, yang sangat kental memompa energi ‘nasionalisme’ anak-anak Using. Sehingga anak-anak Using lebih menghargai pahlawan-pahlawan sebelum dan sesudah kemerdekaan. Atau Tanah Kelahiran, yang membuat diaspora orang Banyuwangi perantauan meneteskan air mata saat melantunkannya karena kedalaman artinya dapat menyentuh sisi terdalam hati yang sedang rindu kepada tanah kelahiran, tanah tumpah darah, tanah Blambangan.

 

“Lagu akan hidup kalau liriknya ditulis dengan hati dan penuh kontemplasi pengarangnya,” katanya saat ditemui di rumahnya di Welaran. Pak Andang suka menggunakan idiom-idiom alam untuk menggambarkan perilaku, sifat, atau kondisi seseorang. Sebut saja, istilah yang menggunakan kembang yang ternyata tak hanya berarti gambaran keindahan atau perempuan cantik. Kembang Terong berarti orang pelit sekaligus licik, Kembang Galengan berarti anak perempuan orang kebanyakan, Kembang Pethetan berarti bunga kesayangan, Mawar Kapuranta, menggambarkan perempuan cantik yang disia-siakan, atau Cengkir Gadhing yang digambarkan bak perawan yang sedang berjalan mengayun-ayunkan tangannya.

 

Dan ungkapan yang menggunakan benda-benda yang sering terlihat dalam kehidupan sehari-hari orang Banyuwangi. Misalnya, Cumplung (tempurung kelapa) dalam Blangkokan, Pengaron (belanga), Kali Elo.

 

Kepiawaian Pak Andang menciptakan syair-syair lagu mungkin belum ada tandingannya sampai saat ini di Banyuwangi. Ungkapan-ungkapan penuh persamaan bunyi yang pada saat yang sama mengisi bait-bait sebagai bagian dari jajaran kalimat yang indah, sehingga agak sukar untuk diterjemahkan ke dalam bahasa lain. Misalnya: jumplang-jumpling, buntang-bunting, gunjang-ganjing, morang-moring. Masing-masing berfungsi sebagai sampiran dalam pantun, tetapi pada saat yang sama mempunyai arti yang terkait dengan kalimat perangkainya.

Belum lagi basanan, pantun, yang masih sering digunakan dalam percakapan orang-orang Using. Dan banyak juga basanan yang muncul dalam lagu-lagu tradisional kesenian Gandrung.

 

iwandear@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar