Menurut budayawan Hasnan Singodimayan, kata ini berkembang
jaman peralihan masa sebelum Islam ke masa di mana Islam memasuki Blambangan.
Sebagai informasi, Blambangan merupakan salah satu kerajaan Hindu terakhir yang
ada di Pulau Jawa. Menurut sejarahwan penulis buku Perebutan Hegemoni
Blambangan, Dr. Sri Margana, Belanda berkepentingan untuk mengislamkan daerah
ini untuk meredam perlawanannya yang terus-menerus terhadap Belanda. Sejak pertengahan 1770-an ada beberapa petinggi kerajaan Blambangan yang beralih keyakinan menjadi pemeluk Islam.
Dari agama baru yang mereka anut, terdapat aturan-aturan
yang tidak sesuai dengan kepercayaan penduduk sebelumnya. Dalam
praktiknya, sering terjadi ada orang yang ingin mengingatkan bahwa perbuatan
tertentu tidak sesuai dengan syariat agama. Dan reaksi orang yang diingatkan
adalah: “Aja kakehan syariat” (maksudnya syariat agama Islam). Dengan
berjalannya waktu, kata “syariat” ini berubah menjadi “sereyat”, dan artinya
pun berkembang.
Saat ini, kata /sereyat/, dalam Kamus Bahasa Daerah
Using-Indonesia, berarti:
1.
Aturan; ketentuan
2.
(dalam percakapan) tingkah; ulah
Sementara /kakehan sereyat/ artinya:
1.
Terlalu banyak aturan
2.
Terlalu banyak tingkah
Kata /sereyat/ saat ini, lebih banyak digunakan dalam frasa
/aja kakehan sereyat/ atau /kari kakehan sereyat/, yang arti /sereyat/nya
merujuk pada ‘terlalu banyak tingkah’, dalam berbagai hal dan situasi.
Dalam sebuah situasi, misalnya, anak kecil yang terjatuh
karena ulahnya tidak bisa diam saat sedang bermain dengan teman-temannya, saat
menangis dan menuju ke orang tuanya, sang ayah menghardik dengan mengatakan:
“Kakehan sereyat, paran!” ‘terlalu banyak tingkah, sih!”
Semoga berguna.
iwandear@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar