Bagaimana nasib bahasa
Using ke depan? Minggu ini kita dikagetkan oleh pernyataan Menteri Pendidikan
Muhadjir Effendy:
"Karena itu
mungkin harus ada pilihan mana bahasa daerah yang harus dilestarikan. Mungkin
juga harus ada bahasa yang dijadikan satu bahasa daerah induk. Sehingga satu
tempat jangan sampai ada 300 bahasa.”
Muhadjir berbicara
dalam Semiloka dan Deklarasi Pengutamaan Bahasa Negara di Universitas Sebelas
Maret (UNS), Solo tanggal 8 Agustus 2018 lalu, dan berharap ada rekomendasi soal
bahasa daerah ini. Memang contoh yang disajikan oleh pak menteri adalah daerah
Papua yang memang menjadi rumah lebih dari 300 bahasa. Menurut Muhadjir kadang
masalah bahasa ini juga menyebabkan peperangan di daerah ujung timur Indonesia
tersebut. Papua dengan kontur geografisnya memang menjadikan beberapa suku
terisolasi dan mereka berkembang dengan menggunakan bahasanya sendiri, yang
berbeda dengan bahasa suku tetangganya.
Apakah artinya kalau
rekomendasi itu ada, bahasa Using kemudian harus menginduk ke bahasa Jawa?
Tanpa ada aturan harus
menginduk ke bahasa Jawa pun, bahasa Using sebenarnya sudah sedikit demi
sedikit terserap ke dalam bahasa Jawa. Secara linguistik disebut bunuhdiri
bahasa. Fenomena ini terjadi saat dua bahasa yang mirip, yang kurang bergengsi
meminjam kosakata, konstruksi dan ucapan dari bahasa lain yang secara social
lebih diterima. Dalam proses jangka panjang, akhirnya bahasa tersebut akan
diserap secara menyeluruh (Jean Aitchison,2001).
Jadi memang benar, lanjut Aitchison, kematian
sebuah bahasa bukan karena komunitas tersebut lupa cara bertutur, tetapi karena
bahasa lain secara perlahan menggantikannya sebagai bahasa yang lebih dominan
secara politis maupun sosial. Biasanya, generasi mudanya belajar ‘bahasa kuna’
dari orang tua mereka sebagai bahasa ibu, lantas berhadapan dengan bahasa lain
yang lebih kekinian dan secara sosial lebih bermanfaat di sekolah.
Hasil lomba mengarang cerita pendek Bahasa
Using setiap tahun yang diselenggarakan SKB sejak 2013 menunjukkan semakin
tahun semakin banyak kata bahasa Jawa yang dipakai anak-anak SMP untuk
mengungkapkan kata yang sebenarnya sudah ada padanannya dalam bahasa Using.
Gelombang keras yang menghajar keberadaan
usaha untuk mempertahankan bahasa Using, khususnya pengajaran, sebenarnya sudah
terjadi beberapa kali. Dari segi peraturan daerah, sejak munculnya Perda No. 5
tahun 2007 belum pernah ada aturan teknis penjabaran di bawahnya.
Bahan ajar, yang berupa buku pelajaran,
sejak tahun 2007 juga belum pernah ada diperbaharui. Guru-guru pengajar bahasa
Using, tidak pernah lagi mendapat pelatihan tentang pengajaran bahasa Using.
Siswa tidak pernah punya materi pengayaan. Kamus bahasa daerah Using-Indonesia
yang terbit tahun 2002 tidak pernah disempurnakan dan diterbitkan lagi.
Kurikulum 2013 memperparah keadaan karena
mensyaratkan guru mengajar sesuai dengan bidang studi keahliannya. Karena
bahasa Using, secara akademis merupakan “kajian baru” dan belum pernah ada
sarjana bahasa Using, pengajaran bidang studi ini dibubarkan di tingkat SMP.
Pengajaran masih diteruskan di tingkat sekolah dasar karena pengajarnya
merupakan guru kelas.
Tahun 2014, bahasa Using mendapat pukulan lagi
dengan diterbitkannya Peraturan Gubernur Jawa Timur No. 19 tahun 2013, yang
hanya mengakui bahasa Jawa dan Madura sebagai bahasa lokal yang diajarkan di
sekolah.
Tanpa disadari, sebenarnya teknologi juga
memberi kontribusi dalam membunuh kosakata bahasa daerah. Misalnya, hadirnya
penanak nasi (magic jar), membunuh
banyak kosakata, dalam bahasa Using misalnya:
Aru (karu):
nasi setengah matang
Cengkaruk:
nasi kering, biasanya nasi sisa yang dijemur hingga kering
Dandang:
periuk; tempat menanak nasi
Kekeb:
tutup kukusan saat menanak nasi, biasanya terbuat dari tanah liat
Kemarang:
tempat nasi yang terbuat dari anyaman bambu
Kukusan:
wadah anyaman dari bambu untuk menanak nasi yang berbentuk kerucut
Pengaron:
belanga yang terbuat dari kayu atau tanah liat untuk mengaduk nasi setengah
matang
Sublukan:
alat untuk menanak nasi tanpa kukusan
Tapung:
menanak nasi dengan cara memasukkan nasi setengah matang ke dalam kukusan atau
dandang
Wadang:
nasi basi
Wanton:
menambah air ke dalam kuali untuk menanak nasi
Munculnya semangat nasinalisme krn ada semangat kedaerahan yg kuat.jd seharusnya taburkan rasa kedaerahan sebanyak mungkin utk memperkokoh nasionalisme.
BalasHapusAngkuhe gedigau....