Jumat, 10 Agustus 2018

Kata-kata Menuju Kematian: Nasib Bahasa Using


Bagaimana nasib bahasa Using ke depan? Minggu ini kita dikagetkan oleh pernyataan Menteri Pendidikan Muhadjir Effendy:

"Karena itu mungkin harus ada pilihan mana bahasa daerah yang harus dilestarikan. Mungkin juga harus ada bahasa yang dijadikan satu bahasa daerah induk. Sehingga satu tempat jangan sampai ada 300 bahasa.”

Muhadjir berbicara dalam Semiloka dan Deklarasi Pengutamaan Bahasa Negara di Universitas Sebelas Maret (UNS), Solo tanggal 8 Agustus 2018 lalu, dan berharap ada rekomendasi soal bahasa daerah ini. Memang contoh yang disajikan oleh pak menteri adalah daerah Papua yang memang menjadi rumah lebih dari 300 bahasa. Menurut Muhadjir kadang masalah bahasa ini juga menyebabkan peperangan di daerah ujung timur Indonesia tersebut. Papua dengan kontur geografisnya memang menjadikan beberapa suku terisolasi dan mereka berkembang dengan menggunakan bahasanya sendiri, yang berbeda dengan bahasa suku tetangganya.

Apakah artinya kalau rekomendasi itu ada, bahasa Using kemudian harus menginduk ke bahasa Jawa?

Tanpa ada aturan harus menginduk ke bahasa Jawa pun, bahasa Using sebenarnya sudah sedikit demi sedikit terserap ke dalam bahasa Jawa. Secara linguistik disebut bunuhdiri bahasa. Fenomena ini terjadi saat dua bahasa yang mirip, yang kurang bergengsi meminjam kosakata, konstruksi dan ucapan dari bahasa lain yang secara social lebih diterima. Dalam proses jangka panjang, akhirnya bahasa tersebut akan diserap secara menyeluruh (Jean Aitchison,2001).

   Jadi memang benar, lanjut Aitchison, kematian sebuah bahasa bukan karena komunitas tersebut lupa cara bertutur, tetapi karena bahasa lain secara perlahan menggantikannya sebagai bahasa yang lebih dominan secara politis maupun sosial. Biasanya, generasi mudanya belajar ‘bahasa kuna’ dari orang tua mereka sebagai bahasa ibu, lantas berhadapan dengan bahasa lain yang lebih kekinian dan secara sosial lebih bermanfaat di sekolah.

   Hasil lomba mengarang cerita pendek Bahasa Using setiap tahun yang diselenggarakan SKB sejak 2013 menunjukkan semakin tahun semakin banyak kata bahasa Jawa yang dipakai anak-anak SMP untuk mengungkapkan kata yang sebenarnya sudah ada padanannya dalam bahasa Using.

   Gelombang keras yang menghajar keberadaan usaha untuk mempertahankan bahasa Using, khususnya pengajaran, sebenarnya sudah terjadi beberapa kali. Dari segi peraturan daerah, sejak munculnya Perda No. 5 tahun 2007 belum pernah ada aturan teknis penjabaran di bawahnya.

   Bahan ajar, yang berupa buku pelajaran, sejak tahun 2007 juga belum pernah ada diperbaharui. Guru-guru pengajar bahasa Using, tidak pernah lagi mendapat pelatihan tentang pengajaran bahasa Using. Siswa tidak pernah punya materi pengayaan. Kamus bahasa daerah Using-Indonesia yang terbit tahun 2002 tidak pernah disempurnakan dan diterbitkan lagi.

   Kurikulum 2013 memperparah keadaan karena mensyaratkan guru mengajar sesuai dengan bidang studi keahliannya. Karena bahasa Using, secara akademis merupakan “kajian baru” dan belum pernah ada sarjana bahasa Using, pengajaran bidang studi ini dibubarkan di tingkat SMP. Pengajaran masih diteruskan di tingkat sekolah dasar karena pengajarnya merupakan guru kelas.

   Tahun 2014, bahasa Using mendapat pukulan lagi dengan diterbitkannya Peraturan Gubernur Jawa Timur No. 19 tahun 2013, yang hanya mengakui bahasa Jawa dan Madura sebagai bahasa lokal yang diajarkan di sekolah.

   Tanpa disadari, sebenarnya teknologi juga memberi kontribusi dalam membunuh kosakata bahasa daerah. Misalnya, hadirnya penanak nasi (magic jar), membunuh banyak kosakata, dalam bahasa Using misalnya:

Aru (karu): nasi setengah matang

Cengkaruk: nasi kering, biasanya nasi sisa yang dijemur hingga kering

Dandang: periuk; tempat menanak nasi

Kekeb: tutup kukusan saat menanak nasi, biasanya terbuat dari tanah liat

Kemarang: tempat nasi yang terbuat dari anyaman bambu

Kukusan: wadah anyaman dari bambu untuk menanak nasi yang berbentuk kerucut

Pengaron: belanga yang terbuat dari kayu atau tanah liat untuk mengaduk nasi setengah matang

Sublukan: alat untuk menanak nasi tanpa kukusan

Tapung: menanak nasi dengan cara memasukkan nasi setengah matang ke dalam kukusan atau dandang

Wadang: nasi basi

Wanton: menambah air ke dalam kuali untuk menanak nasi

 Jadi, bagaimana nasib Bahasa Using ke depan? Seperti yang tertulis di atas, hanya komunitas orang Using yang sanggup untuk menjaga keberadaan bahasa ini. Caranya, dengan tetap menguri-urinya, memperbanyak tradisi tulisnya dan memperlebar penggunaannya.

 
iwandear@gmail.com

1 komentar:

  1. Munculnya semangat nasinalisme krn ada semangat kedaerahan yg kuat.jd seharusnya taburkan rasa kedaerahan sebanyak mungkin utk memperkokoh nasionalisme.

    Angkuhe gedigau....

    BalasHapus