Selepas magrib saya menuju ke sanggar tersebut, bertepatan
dengan Pak Ayu yang hendak meninggalkan rumahnya. Melihat saya datang, beliau
yang hendak bersilaturahim ke tetangga, berbalik arah dan membawa saya ke
sanggarnya.
Sebelumnya saya hanya mengenal beliau dari namanya yang
sering disebut-sebut dalam perbincangan dengan budayawan Hasnan Singodimayan.
Bahwa orang Pacitan ini sangat besar perhatiannya pada budaya Jawa Timur,
khususnya Using, Tengger dan Madura.
Perkenalan lewat media sosial itu kemudian membawa pada
pertukaran buku. Saya pernah memberikan beberapa buku berbahasa Using: Enam
Mata Tentang Banyuwangi, Kembang Ronce, Markas Ketelon dan Nawi BKL Inah.
Sore itu beliau menghadiahi saya sebuah dua buah buku. Sebenarnya
ada buku yang ingin saya punyai dari beliau yaitu Kamus Budaya dan Religi Using.
Tapi ternyata buku tersebut hanya tersedia di kampus Fak Sastra Universitas
Jember, tempat beliau mengajar sehari-harinya. Akhirnya saya mendapatkan buku
beliau lewat salah satu mahasiswanya.
“Senang selalu
menjadi yang pertama,” kata beliau. “Karena orang lain belum melakukannya.”
Memang beliau termasuk orang luar Banyuwangi yang mempunyai
perhatian besar pada Banyuwangi. Oleh beberapa budayawan Banyuwangi, Pak Ayu
dengan segala gelar dan jaringan akademisnya, selalu dianggap “membela” orang
Banyuwangi dalam berbagai kesempatan.
Termasuk dalam ‘pembelaannya’ itu adalah terbitnya buku
dongeng cerita rakyat Banyuwangi dan ensiklopedia bersampul merah itu.
Beliau sangat bangga dengan sanggarnya yang menjadi tempat
pembelajaran anak-anak, tempat bermain, sekaligus oase penyejuk pada makin
sedikitnya tempat bermain untuk anak-anak. Ada egrang, hulahop, dan berbagai
mainan anak-anak yang tersusun rapi.
Di seberang tempat baca dan bermain anak-anak, ada lapangan
kecil dan di sebelahnya lagi ada tempat yang paling beliau banggakan yaitu perpustakaannya
yang berisi lebih dari 15.000 buku dan berbagai jurnal ilmiah. Tempat ini tidak
hanya tempat baca. Di lantai atasnya, ada juga kamar yang bisa disewa untuk
peneliti yang mau menginap. Di sebelah perpustakaannya, terdapat dapur
kejujuran, di mana para tamu bisa membuat sendiri teh atau kopi, dan
membayarnya pada tempat yang sudah disediakan. Saya katakan, USK Pinggir Kali
Bedadung milik Prof Ayu, salah satu tempat jujugan wisata yang semestinya dipelihara
dan menjadi percontohan untuk berbagai daerah. Misi menghidupkan dan nguri-uri
budaya, sekaligus menjadi tempat akademisi menemukan berbagai rujukan untuk
bacaan dan penelitian.
Pada akhirnya, saya mengemukakan untuk memperbanyak lagi Kamus Budaya dan
Religi Using. Beliau setuju, hanya dengan kompensasi yang digunakan untuk
mendukung kehidupan USK. Saya setuju, meski belum sampai pada tahap
membicarakan detilnya.
Terakhir, saya mendengar beliau masuk rumah sakit tanggal 14
Desember 2015, bertepatan dengan seminar bahasa Using yang diselenggarakan di
pendopo Kabupaten. Direncanakan beliau akan menjadi salah satu pembicara dalam
seminar tersebut. Tapi rupanya Yang Maha Berkehendak mempunyai rencana lain
untuk beliau dengan memanggilnya tanggal 1 Maret 2016.
Prof. Ayu adalah pribadi yang ngemong, sangat bersahaja,
merendah dengan kemampuannya yang luar biasa. Angkat topi untuk usahanya
mendirikan USK dan menghidupinya dari kantong pribadi. Prof. Ayu adalah
kekuatan yang menjadi sandaran banyak orang. Mudah-mudahan peninggalannya
menjadi ladang amal yang tak berhenti mengalir untuk namanya yang saya yakin
akan terus dikenang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar