Rabu, 23 September 2015

Niti Negari Bala Abangan, novel Banyuwangi yang mencerahkan


Ada berapa banyak novel tentang Banyuwangi? Tercatat ada beberapa penulis yang menggarap ujung timur Jawa ini sebagai setting dan bercerita tentang orang-orang dan budaya Blambangan.    

Sebut saja Putu Praba Darana yang menulis trilogi: 1. Tanah Semenanjung 2. Gema di Ufuk Timur dan 3. Banyuwangi yang semuanya berlatar sejarah. Terbit tahun 1990.

Lantas ada Armaya yang menulis novel sejarah 1. Berdirinya Kerajaan Macan Putih (1998) dan Banyuwangi (Tirtaganda) tahun 1994. Juga Laut Selatan (2011) dan Keris Emas (2010).

Lantas ada novelet berbahasa Using karya Fauzi Abdullah atau Kang Ujik tahun 2005 berjudul Pereng Puthuk Giri.

Penulis tetralogi Gajahmada kelahiran Tegaldlimo, Langit Kresna Hariadi, juga menulis novel berlatar belakang sejarah Bre Wirabhumi, berjudul Menak Jinggo, Sekar Kedaton tahun 2013.

Yang terakhir saya membaca naskah novelis budayawan yang masih aktif menulis, Hasnan Singodimayan. Selain novelnya Badai Selat Bali (1994) Kerudung Santet Gandrung (2003), Suluk Muktazilah (2011), beliau menulis Niti Negari Bala Abangan, yang masih dalam proses penerbitan. Novel berbahasa Indonesia itu dialihbahasakan ke bahasa Using oleh seniwat Uun Hariyati.

Niti Negari Bala Abangan bersetting modern, tetapi pada saat yang sama banyak mengupas fenomena kepurbaan yang ada di Banyuwangi dan bagian dunia lain. Tak terbatas pada Hutan Purba (Alas Purwa) yang menurut Jayabaya merupakan kepala dari Jawa, tapi juga mendiskusikan beragam masalah. Ada geografi, kepercayaan orang Using, agama, dan persinggungan sosial lainnya.  

Misalnya filosofi orang Using, sedulur papat: Aluwamah, Sofiyah, Amarah dan Mutmainah (yang dalam bahasa Yunani disebut sebagai Egos, Eros, Palemos dan Religios).

Fakta-fakta yang pernah menggelayut dalam langit Banyuwangi modern juga tak luput dari pembicaraan, misalnya santet, pembunuhan orang yang dicurigai sebagai dukun santet, tempat-tempat Banyuwangi seperti Kulandan, Buyukan, Tumenggung dan Sukma Ilang di Olehsari.

Santet Celeng Kresek, yang bisa melumpuhkan orang, bahkan disertakan juga mantranya. Semua diceritakan dari mulut tokoh-tokoh dalam novel ini yang merupakan orang Banyuwangi asli.

Saya temukan banyak hal yang sebelumnya belum pernah saya dengar, belum pernah saya baca dalam referensi buku lainnya. Persis seperti tokohnya bernama Jurji Zaidan, yang ternyata namanya sendiri berasal dari bahasa asing. Dan dalam lidah Arab, George dilafalkan Jurji.

Saya pikir novel ini harus menjadi bacaan wajib anak-anak Banyuwangi yang ingin mengetahui sejarah nagarinya, tentang keterikatan dunia purba pada dunia purba lainnya, dan tentang banyak hal lagi. Novel yang mencerahkan dan membuka wawasan tentang Banyuwangi.

iwandear@gmail.com

Senin, 14 September 2015

Ejaan Pak Endro Wilis dan Pak Hasan Ali


Ejaan bahasa Belambangan Pak Endro Wilis dan bahasa Using Pak Hasan Ali

Ada dua budayawan Banyuwangi yang menulis buku mengenai ejaan bahasa Belambangan/Using. Yang pertama adalah Bp. B.E. Endro Wilis yang menulis Cara Penulisan Dan Pengucapan Kata-Kata Belambangan, diterbitkan oleh Pusat Studi Budaya Banyuwangi tahun 2001. Dan yang kedua Bp. Hasan Ali yang menulis Pedoman Umum Ejaan Bahasa Using (Cara Menulis dan Membaca Bahasa Using) diterbitkan oleh Dewan Kesenian Blambangan tahun 2006.
Dua-duanya sudah almarhum (semoga dilapangkan kuburnya).
Sebelumnya perlu saya sebutkan tentang ‘perbedaan’ kalau mau disebut sebagai perbedaan penyebutan nama bahasa, yang lebih ideologis alasannya, antara kedua orang tokoh ini.
Pak Endro Wilis lebih memilih istilah bahasa Belambangan. Karena menurut beliau “Using” lebih berarti penghinaan kepada bangsa Blambangan. Memang istilah “Using” atau “Oesing” dalam ejaan lama, menurut orang Belanda Joh Scholte yang menulis tahun 1926 sebuah artikel berjudul Gandroeng van Banjoewangi mengacu pada sisa-sisa orang Blambangan yang beragama Hindu Jawa yang memelihara adat istiadat dan hidup di antara para pendatang dari Madura, Kulonan (Jawa Tengah), Bali, Bugis dsb.

“Nama Using diberikan pada orang Blambangan oleh para pendatang berdasarkan kata penyangkal ‘Using’ atau ‘Sing’ yang berarti ‘tidak’ atau ‘bukan’.

Orang Blambangan sendiri menamakan dirinya orang Jawa asli. Nama yang paling tepat untuk mereka adalah orang Blambangan.”

Pak Hasan Ali menyangkal bahwa konotasi Using itu merendahkan. Karena Scholte sendiri menyebut dalam tulisan yang sama dengan nada yang membanggakan. “Semangat juang rakyat Blambangan tidak pernah sama sekali padam dan keturunannya yang ada sekarang merupakan suku-suku bangsa yang gagah fisiknya dan berkepribadian serta berkembang dengan cepat, berpegang kuat pada adat istiadat, tetapi  juga mudah menerima peradaban baru.

Ukuran tubuh yang tinggi-tinggi yang terdapat pada kaum lelaki dan warna kuning yang menyolok yang dipunyai kaum wanitanya serta keserasian ukuran dari bagian-bagian tubuh serta muka mereka yang membuktikan asal mereka sebagai satu ras yang mulia di jaman dahulu kala.”
Jadi penyebutan Using tidak masalah.
Saya pribadi lebih suka menyebut bahasa Blambangan, karena letak geografisnya ada di wilayah Blambangan. Orang-orangnya pun seharusnya disebut orang Blambangan. Bahkan kabupatennya seharusnya dikembalikan namanya menjadi Kabupaten Blambangan.

Dengan sebutan wilayahnya, orang-orang keturunan dari suku lain, misalnya Jawa, Madura, Bali, Mandar, Tionghoa, Arab menjadi punya semacam kewajiban untuk berbahasa Blambangan, tempat mereka tinggal. Sementara, karena mengacu pada etnik tertentu, seperti sekarang bahasa Using, orang dari etnis lain tidak punya kepentingan.

Kembali, ke masalah ejaan dari beliau berdua.

1.       Dua-duanya menyatakan bahwa huruf mati (konsonan) dalam bahasa Blambangan/Using adalah 20 buah, yaitu: b,c,d,dh, g, h, j, k,l, m, n, ng, ny, p, r, s, t, th, w, y.

Pak Endro membaginya lagi menjadi Huruf Dasar Mapan dan Luwes. (Menurut saya tidak terlalu material untuk dibicarakan)

2.       Dan ada lima huruf hidup (dalam penyederhanaan) a, i, u, o, e (yang boleh dikembangkan menjadi e, è, é apabila diperlukan untuk membedakan arti).

Pak Endro membagi lagi menjadi Huruf Sandang (dasar0 Entheng dan Abot. (Menurut saya tidak terlalu material untuk dibicarakan)

Untuk menulis bunyi seperti dalam kata bahasa Indonesia /ada/, dua-duanya menulis /ana/ bukan /ono/.

Jadi penulisan menurut mereka berdua adalah:

angka ‘angka’ bukan ongko

sega ‘nasi’ bukan sego

lara ‘sakit’ bukan loro ‘dua’

Ini juga penulisan yang sudah diajarkan di sekolah-sekolah sebagai muatan lokal.

3.       Memang keduanya memberi istilah yang berbeda-beda untuk unsur-unsur yang ada.

a.       Dua-duanya menyebutkan, tidak ada Diftong.

Maksudnya diftong adalah dua huruf hidup yang berurutan. Jadi: Tetap ditulis

/sapi/ boleh diucapkan ‘sapai’ kalau berada di akhir kata.

/kaku/ boleh diucapkan ‘kakau’

/pari/ boleh diucapkan ‘parai’

/api-api/ boleh diucapkan ‘api-apai’

b.      Umlaut (seperti diucapkan dengan dua konsonan). Istilah yang dipakai Pak Endro adalah bunyi yang “berat tapi melemas”. Yaitu hasil dari huruf n, w. L, r, m, y, ny, ng yang dipengaruhi huruf hidup ‘u’ dan ‘i’.

Contoh:

/umah/ diucapkan ‘ummah’

/sira/ diucapkan ‘sirra’

/Jamillah/ diucapkan ‘Jamillah’

c.       Palatal (seperti ada sisipan ‘y’ setelah beberapa huruf tertentu), tidak dibicarakan dalam buku Pak Endro.

Misalnya:

/bathuk/ diucapkan ‘byathuk’

/sebar/ diucapkan ‘sebyar’

 

d.      Glotal (dalam buku Pak Endro disebut Sigeg).

Glotal itu adalah suara seperti huruf /k/ yang muncul di akhir kata.

Dalam buku Pak Hasan, Glotal/sigeg tidak dituliskan.

 

Misalnya:

/bako/ diucapkan /bakok/

/sate/ diucapkan /satek/

 

Yang menarik adalah Pak Endro membagi Glotal stop (Sigeg) tadi menjadi tiga:

A.      Sigeg Angkeq (akhiran seperti dalam kata /emak/ atau /enak/ yang ditulis dengan huruf ‘q’. Ini sama sekali tidak disinggung dalam buku Pak Hasan.

Misal:

/emaq/

/bapaq/

/tamaq/

/manuk kakaqtuwaq/

 

B.      Sigeg Athuk (akhiran /k/ yang dibunyikan ringan tapi jelas)

Misal:

/anak/

/apik/

/tuwek/

/belarak/

 

C.      Sigeg Sereg (akhiran /g/ yang disuarakan dengan jelas dan lebih dalam/berat)

Misal:

/endhog/

/bedhug/

/geludhug/

/gabag/

 

Catatan penulis:

Saya setuju penggunaan akhiran /k/, /q/ dan /g/ digunakan dalam bahasa Blambangan/Using ini. Karena huruf-huruf itu membedakan arti.

Misalnya:

/papaq/ ‘tumpul/ berbeda artinya dengan /papag/ ‘jemput’
/ambek/ 'menangis berlama-lama' berbeda dengan /ambeg/ 'berhenti mengalir'

(Dalam buku Pak Hasan Ali, semuanya ditulis dengan akhiran /k/, /q/ dan /g/ ditulis dengan /k/ atau /g/ saja)
 

(Hanya saja, menurut saya, dalam buku Pak Endro, ada yang terbalik. Huruf /q/ semestinya tidak mengakhiri huruf kata seperti /enak/ menjadi /enaq/ karena /k/ sebenarnya dibunyikan ‘ringan tapi jelas’ seperti dalam  /enak/ atau /emak/. Sementara huruf /q/ seharusnya muncul dalam kata seperti /anaq/ bukan /anak/, /dheweq/ bukan /dhewek/ atau /sepaq/ bukan /sepak/.

Ini seperti penulisan huruf qof dalam bahasa Arab dalam kata /siddiq/ dan huruf kaf dalam kata /tamak/ dan bukan sebaliknya.

 

4.       Pak Endro menulis, huruf hidup /u/ dan /i/ yang mendahului dan mengakhiri huruf Dasar sambil membunuh Huruf Dasar berikutnya, bunyinya berubah.

Misal:

/umbul/ diucapkan ‘ombol’

/urub/ diucapkan ‘orob’

/pitik/ diucapkan ‘petek’

/miring/ diucapkan ‘mereng’

/using/ diucapkan ‘oseng’

 

Dan kalau diberi imbuhan /di-/, bunyinya kembali ke bunyi semula, seperti yang tertulis:

/diumbulaken/ diucapkan ‘diumbulaken’ bukan ‘diombolaken’

/diurubi/ diucapkan ‘diurubi’ bukan ‘diorobi’

/pitike/ diucapkan ‘pitike’ bukan ‘peteke’

/dimiringaken/ diucapkan ‘dimiringaken’ bukan ‘dimerengaken’

/usinge/ diucapkan ‘usinge’ bukan ‘osenge’

 

5.       Gugus Konsonan

Kedua penulis setuju, konsonan yang berurutan hanya ada di tengah dan bukan di awal kata.

 

Kecuali, ada beberapa:

a.       Yang di awal: mbarep, mbisuk, ndaru, ndika

b.      Yang di tengah: seblak, aclak, omprok

c.       Tiruan bunyi: bruk, jreng, plung

d.      Kata serapan dari bahasa lain: blok, drama, gratis, klakson

 

Sementara kata bahasa Jawa seperti:

Glugu, krupuk, klasa, kraton dalam bahasa Belambangan/Using ditulis:

Gelugu, kerupuk, kelasa, keraton

 

Jadi, yang betul: Belambangan bukan Blambangan.

 


 

Bacaan:

Endro Wilis, Cara Penulisan dan Pengucapan Kata-kata Belambangan, PSBB, 2001

Hasan Ali, Ejaan Bahasa Using (Cara Menulis dan Membaca Bahasa Using) DKB, 2006

Selasa, 01 September 2015

Menulis Bahasa Using yang benar


Saya masih sering ditanya, kenapa ‘using’ ditulis /using/ bukan /osing/ seperti bunyi yang diucapkan orang, atau malah /oseng/?

Tulisan ini dimaksudkan untuk memberi sedikit gambaran tentang tata cara menulis dalam bahasa Using. Sehingga diharapkan sedikit banyak menjawab pertanyaan yang sering terlontar tentang penulisan dalam bahasa formal.  Bahasa formal itu misalnya penulisan dalam buku, artikel dalam majalah atau koran dan media lain.

Dalam bahasa yang tidak formal, misalnya dalam teks pesan pendek (sms), pembicaraan dalam media sosial (chat dll), siapapun boleh menuliskan caranya berbahasa, karena itu merupakan model “omong-omongan” yang kemudian dituliskan.

Misalnya,  /aku/ disingkat cuma menjadi /Q/ atau /uwis/ hanya ditulis /wz/ tidak termasuk dalam cara yang akan dibicarakan di sini. Karena bentuknya lebih sebagai pembicaraan dua orang atau lebih, sepanjang itu dimengerti oleh orang yang terlibat, tidak terlalu bermasalah.

Dalam bahasa Indonesia pun, orang tidak mempermasalahkan penulisan /nya/ yang direpresentasikan dengan huruf /x/. Istilah-istilah ini tidak mungkin dimunculkan dalam tulisan formal seperti laporan penelitian, artikel koran, dan bahasa tulis formal yang lain.

Kita perlu menggunakan sebuah perangkat bahasa formal yang disetujui bersama.

Memang banyak generasi yang lahir lebih dahulu daripada saat bahasa Using diperkenalkan pertama kali di sekolah Banyuwangi tahun 1997. Jadi memang bisa dimaklumi kalau pertanyaan soal penulisan /using/ menjadi pertanyaan berkali-kali.

Bahasa yang diajarkan di sekolah tersebut, sebenarnya sudah dimulai perjuangannya sejak awal tahun 1970an. Para sesepuh Banyuwangi, sudah memperjuangkan bahasa Banyuwangi yang selalu dianggap hanya sebagai “dialek” bahasa Jawa.

Perjuangannya sudah melewati banyak proses, termasuk seminar, saresehan dan kongres bahasa Jawa. Tahun 1987, seorang dosen Universitas Udayana, Suparman Heru Santosa,  dalam disertasi S3nya di Universitas Indonesia berjudul Bahasa Using di Kabupaten Banyuwangi, menyatakan bahwa bahasa Using merupakan suatu bahasa tersendiri.

Dikatakan, secara genealogis, bahasa Using dan bahasa Jawa modern, berasal dari akar bahasa yang sama yaitu bahasa Jawa Kuno.  Bahkan bahasa Using lebih mirip dengan bahasa Jawa Kuno dalam hal keduanya tidak mempunyai ragam ngoko-krama. Bahasa Jawa Kuno dan bahasa Using merupakan sebuah bahasa yang egaliter, tidak membeda-bedakan orang dari unsur kasta sosialnya. 

Setelah perjuangan yang panjang, akhirnya tahun 2007 terbit Peraturan Daerah tentang Pembelajaran Bahasa Daerah. Bahasa Using mulai diajarkan di sekolah-sekolah. Sebelumnya, sudah diterbitkan pula Kamus Bahasa Daerah Using-Indonesia.

Karena pelajaran bahasa Using baru masuk sekolah tahun 2007, banyak generasi sebelum itu, tidak mengenal dengan baik cara penulisan yang standar (baku).

Muncullah pertanyaan yang dibahas di atas.

Saya mencoba menerangkan dengan memakai logika-logika bahasa yang umum. Ingat kita tidak sedang menulis simbol fonetis (simbol-simbol dalam ilmu bahasa untuk mencatat sebuah bunyi). Kita menulis ejaan. Dan ini lah yang sudah diajarkan di sekolah-sekolah.

Coba perhatikan ini:

Bunyi /sing/, kita bandingkan dengan bunyi dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.

Indonesia                                        Inggris                                              Using

/pusing/                                          /sing/ ‘ menyanyi’                         /........../’tidak’

/kering/                                           /ring/ ‘bel’                                      /............../’kering’

/pening/                                          /morning/ ‘pagi’                            /............../’bening’

 

Dari tiga contoh di atas, apakah jawaban yang anda pilih untuk kata ‘tidak’, ‘kering’, dan ‘bening’ dalam bahasa Using:

Pilihan A                           Pilihan B

/seng/                               /sing/

/gareng/                           /garing/

/keneng/                          /kening/

 

Betul. Pilihan yang tepat adalah Pilihan B.

Apalagi /seng/, /gareng/, /keneng/ punya arti lain, yaitu ‘logam seng’ ‘tokoh pewayangan’  dan ‘kena’.

Jadi sekarang anda bisa menulis dengan tepat dan benar.

Coba pilih mana yang benar untuk kata berikut:

‘pencuri’ ditulis /maleng/ atau /maling/?

‘alat wadah makanan’ ditulis /pereng/ atau /piring/?

‘pinjam’ ditulis /seleh/ atau /silih/?

‘banting’ ditulis /banteng/ atau /banting/?

‘kaki’ ditulis /sekel/ atau /sikil/?

‘pinjam’ ditulis /seleh/ atau /silih/?

Anda semua pilih, pilihan kedua kan? Baik, sekarang kita sudah punya pengertian yang sama tentang penulisan huruf /i/ dan /e/ ya?

Jadi, ‘tidak’ ditulis /sing/ bukan /seng/.

 

Sekarang kita bicarakan /u/ dan /o/

Dalam bahasa tulis, harus ada satu bentuk tertentu. Harus ada konsistensi, tidak boleh dua versi muncul dalam sebuah tulisan. Maksudnya?

Begini.

Kata /using/ tidak ditulis /osing/ karena ada bentuk lain pada saat kata tersebut diberi imbuhan.

Misalnya:

 /uwong osing kari sing ngarti usinge/. ‘orang osing kok tidak mengerti soal ke’using’annya’.

Ini kalau tulisan hanya berdasarkan ucap yang kita dengar, ya kan? Perhatikan ada /osing/ dan /using/ dalam satu kalimat.

Dalam bahasa tutur, /using/ boleh diucapkan /osing/, karena variasi ucapan. Sedangkan /usinge/ tidak bisa ditulis /osinge/.

Jadi yang betul adalah: /uwong using kari sing ngarti usinge/ bukan /wong osing kari sing ngarti osinge/, ya kan?

Contoh lain:

/dulur/ bukan /dolor/, karena setelah diberi imbuhan menjadi /dulurisun/ bukan /dolorisun/.

 

Jadi yang mana penulisan yang betul?

‘kening’ /bathok/ atau /bathuk/? ----------------à ingat ada /bathuke/

‘intai’ /rondhok/ atau /rundhuk/?----------------à ingat ada /rundhuken/

‘tekuk’ /tekok/ atau /tekuk/?----------------------à ingat ada /tekuken/

‘pulang’ /moleh/ atau /mulih/?-------------------à ingat ada /mulihe/

‘menyentuh dengan jari’ /totol/ atau /tutul/?-à ingat ada /tutulaken/

‘jeruk’ /jerok/ atau /jeruk/?------------------------à ingat ada /jeruke/

Nah, sepakat kan, pilihannya ada pada yang kedua?

Jadi, /using/ atau /osing/ atau /oseng/?

Benar, /using/ yang paling tepat.

Mari kita hargai upaya para sesepuh Banyuwangi dengan berbahasa penulisan yang baku. Tidak hanya memakai cara kemauan kita sendiri. Sesepuh kita sudah susah payah untuk menegakkan bahasa Using sebagai bahasa sendiri. Yang harus kita lakukan adalah mendukung upaya mereka.

Mari kita biasakan melakukan hal yang benar. Bukan membenarkan hal yang sudah biasa.


Bacaan:

Ali, Hasan, Kamus Bahasa Daerah Using-Indonesia, DKB Banyuwangi, 2002

------------,  Pedoman Umum Ejaan Bahasa Using (Cara Menulis dan Membaca Bahasa Using), DKB Banyuwangi 2006

Arps, Ben, Terwujudnya Bahasa Using di Banyuwangi dan Peranan Media Elektronik Di Dalamnya (Selayang Pandang 1970-2009), ILCAA, 2010

Santosa, Suparman Heru, Bahasa Using di Kabupaten Banyuwangi, disertasi S3 tidak diterbitkan, UI 1987