Kamis, 25 Juni 2015

Dawet Mawar dan Kopi Banyuwangi


Kalau orang Banyuwangi ditanya, apa makanan khasnya? Segera kita dapat jawaban seabreg: sega janganan/sega cawuk, rujak soto, pecel rawon, rujak kecut, pecel pitik, pecel belencong dan masih banyak sederet lainnya.

Saat ditanya apa minuman khasnya? Angsle? Tidak bisa dibilang khas karena banyak ditemui di daerah lainnya. Secang? Minuman tradisional berbahan kayu yang menciptakan warna merah ini dimanfaatkan juga oleh tempat lain sebagai minuman.

Memang, mengklaim sebuah makanan atau minuman untuk daerah tertentu, tidak lah perlu orisinal 100 persen. Misalnya, pecel, rebusan sayuran dengan bumbu kacang tanah, diklaim oleh Madiun, meski tempat lain, khususnya di Jawa juga punya kebiasaan makan pecel yang sama persis. Pecelan Banyuwangi, meski juga menggunakan sayuran yang lebih dari sepuluh macam, boleh dibilang khas, karena agak berbeda dengan pecel yang ada di Jawa. Pecelan Banyuwangi, dengan sayur lebih banyak, bumbu yang agak kasar, dan disiram kuah sayuran. Sementara pecel Jawa, biasanya dikombinasikan dengan bumbu sambal tumpang, yang terbuat dari tempe bosok. Jadi bolehlah menyebut pecelan Banyuwangi sebagai makanan khas.

Terus lagi misalnya dodol, makanan olahan ketan. Berbagai daerah punya kebiasaan memasak dodol, termasuk Banyuwangi yang biasanya berbahan ketan atau waluh kuning. Tapi nama dodol identik dengan kota Garut. Juga jenang Kudus, yang mirip dengan dodol Garut. Sate identik dengan Madura, karena penjualnya kebanyakan orang Madura, padahal di tempat lain juga seabrek yang menyajikan sate. Mie ayam, diklaim oleh pulau Bangka. Sayur Asem diklaim oleh Jakarta. Lontong Balap oleh Surabaya.

Jadi sebenarnya, soal klaim sah-sah saja kalau orang lain juga mengakuinya. Dalam sebuah grup orang-orang Jember, mereka kebingungan mencari sebenarnya makanan khas Jember apa? Suwar-suwir memang identik dengan Jember. Tapi itu makanan cemilan. Makanan beratnya apa? Saya sempat mengusulkan, karena Jember terkenal dengan pecel Garahan-nya dan produksi kedele Edamame-nya, saya usulkan makanan khas Jember adalah pecel Garahan yang digabungkan dengan Rempeyek Edamame. Jadi kalau ada pecel dengan rempeyek edamame itu berarti pecel Jember. Yang tanpa rempeyek edamame berarti bukan pecel Jember.

Kasus tersebut sebenarnya mirip dengan Sego Tempong Banyuwangi. Sego Tempong, hadir juga di daerah lain dengan nama sega sambelan, sega penyetan dll. Hanya Banyuwangi, menamainya, mengklaimnya dan menambah bahan khusus yang sulit ditemukan di tempat lain, yaitu terong welut.

Kembali ke klaim minuman. Hari ini saya membaca tulisan koresponden Kompas.com Iraa Rachmawati soal dawet mawar yang berada di jalan Letkol Istiqlah 80 Banyuwangi. Klaim saja ini khas Banyuwangi, karena gampang ditiru oleh orang dari daerah lain. Tetapi kalau kita klaim terlebih dahulu, niscaya Dawet Mawar akan menjadi minuman khas Banyuwangi.

Saya acungi jempol untuk pembuatnya, karena selain menawarkan minuman yang mengandung bahan-bahan anti biotik, wangi bunga mawar, inovasi ini mengedepankan produk lokal yang dibranding dengan baik. Sudah pas kalau minuman ini dijadikan minuman khas Banyuwangi.

Cuma pekerjaan rumahnya tinggal satu lagi. Sebagai minuman khas, mestinya gampang ditemukan dimana-mana di seluruh Banyuwangi. Tidak seperti Kopi khas Banyuwangi. Kopi dari lereng timur gunung Ijen, sebenarnya tersohor ke manca negara sebagai salah satu kopi terbaik di dunia. Bisa muncul dengan nama Java Coffee, misalnya. Hanya saja, mencari kedai kopi yang menyajikan kopi asli Banyuwangi yang dimasak dan disajikan dengan benar seperti cafe-cafe internasional menyajikan produk kopinya, masih sulit ditemukan di Banyuwangi. Padahal sekarang, selain Kopai Osing milik Pak Iwan Kemiren, ada beberapa merek lain lagi yang beredar di pasar lokal. Mestinya, kedai-kedai kopi di Banyuwangi, sudah mulai menghilangkan menu kopi sachetan murahan, kopi yang asal hitam, dan menggantinya dengan kopi Banyuwangi yang diolah dengan benar. Meski harganya sedikit lebih mahal.

Selamat datang minuman khas Banyuwangi: Dawet Mawar.

(iwandear@gmail.com)

Minggu, 14 Juni 2015

Danang dan industri televisi


Seluruh masyarakat Banyuwangi, baik di kampung halaman maupun suporter Danang di perantauan dan di luar negeri, menangis melihat jagoannya hanya menjadi nomor dua setelah Evi Masamba. Media-media sosial, twitter, grup facebook dan blog, yang berhubungan dengan Banyuwangi penuh dengan caci maki, terutama menyalahkan televisi penayang dan si empunya acara Dangdut Academy 2.

Apa boleh buat. Acara DA2, memang belum jelas jenis kelaminnya, apakah program itu ajang pencarian bakat, sehingga keputusan ada di tangan dewan juri, atau kah people’s choice award (yang mendasarkan pemenang berdasarkan favorit permisa). Kedua model tersebut tidak ada yang diharamkan. Hanya seharusnya jelas dari awal.

Melihat gelagatnya, DA2 adalah People’s Choice Awards, tapi untuk apa gunanya duduk lima orang Dewan Juri? Host bahkan memaksa anggota Dewan Juri untuk memberi penilaian, yang pada lagu pertama skornya adalah 5-0 untuk Danang, karena dinilai lebih kreatif memadukan dangdut dan jazz.

Jadi, soal persyaratan panitia sebelumnya mulai dari kemampuan bernyanyi yang berstandar bagus, tekniknya dan mempunyai keunikan menarik dalam bernyanyi, penampilan, pengalaman serta bakat lainnya, menjadi tidak berarti.

Karena setelah dengan hitungan sms terakhir, Danang jadi nomer dua. Untuk apa penilaian dewan juri? Mestinya untuk program ajang pencarian bakat, yang dominan adalah dewan juri. Misalnya dengan porsi 75 persen penilaian juri, sisanya adalah SMS. Sedangkan kalau mau mencari favorit pemirsa, sms lah yang dominan. Dalam format DA2, yang banci, dewan juri menjadi tidak punya tanggung jawab moral pada keputusannya. Dewan juri bisa seenaknya menentukan pemenangnya, toh tidak ada beban moralnya, karena sms menentukan lain.

Bahkan salah satu juri, Inul sempat menyayangkan saat tersingkirnya dua kontestan bagus dari Jakarta dan Bandung, karena pendukung dari kedua kota itu tidak semilitan pendukung dari daerah. Primordialisme berbicara dalam ajang ini. Inul mengatakan sangat disayangkan dua orang ini tersenggol hanya karena orang Jakarta dan Bandung tidak tergerak untuk mengirim sms.

Ajang ini menjadi suatu hal yang tidak mendidik, dalam hal, tidak menghargai prestasi seseorang. Acara yang diklaim sebagai ajang pencarian bakat, ternyata dikalahkan oleh si kaya, yang mempunyai uang lebih banyak untuk menyokong idolanya. Semestinya reward (hadiah) diberikan kepada orang yang lebih baik menurut penilaian juri.

Jadi bisa dimaklumi, caci maki pendukung Danang, bahwa televisi penayang hanya mengedepankan bisnis untuk mengeruk uang penonton di balik program tersebut. Memang, sebagai badan komersial, televisi swasta tentu akan memanfaatkan, bagaimana caranya mendapat uang sebanyak-banyaknya dengan cara yang semudah-mudahnya, semurah-murahnya. Sah-sah saja kalau diumumkan dari awal. Jadi tidak perlu juri.

SMS premium untuk acara-acara televisi, biasanya stasiun televisi berbagi hasil setengah-setengah dengan operator telepon. Diyakini, uang sms yang beredar mencapai milyaran rupiah setiap episode berlangsung, karena sms yang masuk jumlahnya jutaan, menurut host acara. Sejatinya hasil SMS itu adalah hasil sampingan saja, untuk sebuah acara televisi dan stasiun televisi. Televisi swasta menggantungkan beban pendapatannya pada iklan yang berseliweran sepanjang acara.

Jadi, lain kali ke depan, kalau tidak mau kecewa saat mendukung salah satu kontestan di sebuah program, lihat acara televisinya:

1.       Acara apakah itu: Ajang pencarian bakat atau Ajang mencari favorit penonton?

2.       Kalau ajang pencarian bakat, berarti sms anda tidak begitu berarti, karena keputusan ada di dewan juri.

3.       Kalau ajang mencari favorit penonton (people’s choice award), siap-siaplah bahwa siapa yang didukung dengan uang yang lebih besar, dia yang akan menang.

Dalam kasus Danang, sebenarnya tidak usah terlalu ditangisi, karena dengan kemampuan vokal Danang dan caranya menyanyi, yakinlah di masa depan ia akan lebih sukses dari pesaingnya. Meskipun sekali lagi, kadang-kadang pasar punya maunya sendiri. Pasar itu termasuk anda yang kecewa, lain kali, kalau Danang sudah menelorkan album (yakin saat ini sudah ada produser musik yang mendekatinya), dukunglah dengan membeli kaset/vcd/dvd nya. Dengan cara mendukung begini, jagoan anda akan terus eksis. Kalau lagunya tidak anda dukung, ia juga akan tersungkur. Hilang dari pasar karena produser enggan membiayai album berikutnya. (iwandear@gmail.com)

Jumat, 12 Juni 2015

Institut Kesenian Blambangan


Dalam sebuah pembicaraan di facebook soal asal mula angklung Banyuwangi, berkembang, sampai pada sebuah usulan: perlunya didirikannya Institut Kesenian Blambangan (IKB).

Memang menjadi sebuah usulan yang boleh dianggap sebagai mimpi saat ini. Tapi sangat layak untuk diperjuangkan.

Seperti kata budayawan Banyuwangi Hasan Basri, materi kesenian Banyuwangi (Blambangan) pilih tanding sagah saing.

Di saat daerah-daerah lain kebingungan dengan keberadaan kesenian tradisionalnya, Banyuwangi justru berlebihan materi kesenian rakyatnya. Di saat kesenian tradisional di daerah lain, seperti Remo (Surabaya) atau Lenong (Betawi) kesulitan untuk mempertahankan hidupnya, sebagian grup janger Banyuwangi kesulitan membagi waktunya untuk naik pentas.

Kesenian tradisional Banyuwangi sudah sering tampil di pentas nasional, karena di lingkungan Jawa Timur seakan tidak menemui “lawan” yang sepadan. Angklung Caruk, Angklung Paglak, Barong Bengi, Barong Ngarak, Campursari, Hadrah Kuntul, Dadaran, Kundaran, Jaranan Buta, Janger, Kendang Kempul, Patrol, belum lagi yang coba dihidupkan lagi, misalnya Ahmad Kehamad, Rengganis.

Tapi selama ini dunia pertunjukan dan kesenian berkembang karena kreativitas dan keinginan untuk berkesenian yang kuat dari orang Blambangan. Sehingga semuanya seakan tercecer. Istilah-istilah angklung saja, antara daerah kidulan dan kota, tidak ada keseragaman, meskipun suara yang dihasilkan ujungnya sama. Belum ada keseragaman istilah-istilah dalam tari-tarian. Akan lebih bagus kalau para seniman bisa duduk bersama membahas masalah yang penting-gak-penting ini. Karena toh ada yang mengatakan, tidak penting istilahnya, yang penting apa yang dihasilkan.

Saat ini memang Institut seni milik pemerintah terletak di ibukota-ibukota provinsi, seperti Institut Seni Indonesia Bali, Padang Panjang, Surakarta dan Yogyakarta. Dan satu lagi Sekolah Tinggi Seni di Bandung.

Untuk memulai mendirikan Institut Seni pemerintah bukan pekerjaan gampang. Sama seperti hilangnya pengajaran bahasa Using di SMP, karena tidak ada satu pun sarjana Bahasa Using. Kurikulum 2013 mensyaratkan guru mengajar sesuai dengan bidang keahliannya. Tak akan pernah muncul sarjana bahasa Using karena jurusan bahasa Using tidak ada di perguruan tinggi. Yang sudah terjadi adalah sarjana-sarjana atau doktor yang kajiannya tentang bahasa Using.

Kembali ke Institut Seni Blambangan, bagaimana jalan keluarnya? Barangkali, Institut Kesenian Jakarta bisa menjadi rujukan. IKJ ini dimiliki oleh sebuah yayasan yang didirikan oleh pemerintah daerah. Dari 500 pegawai dan dosennya berstatus pegawai swasta dan tidak semuanya memiliki ijazah akademik. Keahlian ditentukan dengan kriteria lain selain ijazah.

IKJ saat ini memiliki tiga buah fakultas: Seni Rupa, Film dan Televisi, Seni Pertunjukan. Mungkin IKB bisa memulainya dengan Fakultas Seni Pertunjukan saja yang mempunyai jurusan Seni Tari, Seni Musik dan Teater. Meski Film dan Televisi adalah industri baru yang banyak menarik peminat, keahlian seniman Blambangan belum menyentuh ke arah itu. Jadi mulai dengan yang kita sudah ahli.

Seperti halnya UNAIR yang “buka cabang” di Banyuwangi, hal yang paling mudah barangkali juga “membuka cabang” IKJ di Banyuwangi. Sehingga prosesnya tidak terlalu lama. Dan, dengan proses yang tidak lama, otomatis segera akan ada penyeragaman istilah, soal musik tradisional, soal tari, soal pertunjukan. Mudah-mudahan segera terwujud. (iwandear@gmail.com)