Awal Maret 2014 lalu saya mendapat tugas ke Shanghai
China ,
menghadiri salah satu pasar program televisi. Memang bukan tugas saya yang
pertama ke sini, sebelumnya pernah juga tahun 2008 dan 2005 kalau tak salah.
Jadi Shanghai bukanlah kota
yang terlalu asing. Meski pembangunan bergerak terus dan banyak gedung baru,
kawasan The Bund yang tersohor masih tetap seperti itu.
Tak perlu lah saya
ceritakan pengalaman jelek tahun 2008. Saat itu travel agent yang diurus
kantor, hanya membawakan voucher booking hotel, yang hanya berisi tulisan huruf
latin. Tak seorang pun dapat mengenali hotel yang tertulis di situ. Bahkan
petugas informasi di bandara Pudong yang bisa bahasa Inggris sekalipun.
Kali ini saya membawa voucher yang bertuliskan nama dan alamat hotel dalam
tulisan Mandarin. Saya pikir masalah sudah selesai. Ternyata saya menemukan problem baru.
Petugas yang menawarkan taksi dalam bandara tahu hotel tempat saya menginap. Namun menawarkan tarif empat kali lipat (600
Yuan, sekitar Rp. 1,2 juta) dari tarif normal, yang dikasih tahu oleh petugas money changer yang sangat membantu sekitar maksimal 250 Yuan. Petugas
tersebut bisa mengecek, berapa jauh dari satu tempat ke tempat lain, dan
kira-kira argo taksinya berapa.
Akhirnya atas saran
petugas money changer itu juga, saya ambil
kereta Maglev (Magnetic Levitation), satu-satunya kereta kecepatan tinggi
maglev komersial yang dioperasikan di dunia. Ada dua yang lain, di Birmingham Inggris dan
Berlin Jerman, tetapi kedua maglev ini kecepatan rendah, dan operasionalnya sudah
ditutup sebelum kereta maglev Shangai dibuka tanggal 1 Jan 2004.
Seperti namanya,
Maglev, yang dibikin oleh perusahaan Jerman, Siemens dan Thyssenkrup, “melayang”
di atas rel, karena dorongan "magnet" di atas relnya. Karenanya tidak seperti kereta biasa, nyaris tak
bersuara. Dan bisa digeber sampai kecepatan lebih dari 500 km per jam.
Kecepatan 301 km/jam saat di foto
Kecepatan 301 km/jam saat di foto
Jadi jarak dari bandara Pudong ke kawasan
kota, di stasiun di jalan Longyang, sekitar 30 km, hanya ditempuh dengan waktu
7 menit. Tiketnya sekitar Rp. 100,000. Keretanya bersih, rapi, dan di dekat
pintu masuk, terdapat tempat untuk menyimpan tas dan koper.
Numpang nampang di depan Maglev
Sebenarnya dari bandara Pudong, tersedia juga Metro (kereta bawah tanah), tetapi berhenti di setiap stasiun, jadi tidak begitu menarik untuk orang-orang yang ingin lebih cepat menuju hotel. Orang-orang lokal yang lebih tahu mesti berhenti di stasiun mana, mesti ganti kereta nomor berapa, di stasiun pergantian yang mana, biasanya lebih memilih Metro. Di samping lebih murah, juga lebih dekat dengan tempat tinggalnya.
Di dalam Metro, kereta bawah tanah
Metronya pun tidak jelek. Buatan dalam
negeri dan stasiun-stasiunnya lebih bersih daripada kereta bawah tanah yang di
New York atau di London. Salut untuk pemerintah China yang bisa menyediakan
transportasi umum dengan baik. Sebagai orang asing yang tidak berbahasa
Mandarin sama sekali, saya bisa selamat naik dari daerah sekitar Century Park
menuju The Bund, kawasan paling terkenal di Shanghai yang terlihat riang penuah warna. Beli tiket di mesin, cara menggunakannya, semua hampir sama
dengan MRT di Singapura.
Pemandangan The Bund menjelang malam
Tapi naik taksi sekali lagi bukan tanpa tantangan.
Sopir yang bisa sedikit bahasa Inggris, menawarkan Rp. 400.000 untuk rute yang
sebenarnya cukup hanya Rp. 100.000. Terpaksa tawar menawar, supir minta Rp.
200.000, sampai akhirnya setuju di angka Rp. 160.000. Meski dengan ngedumel.
Tanpa argo. Para supir yang mangkal dekat stasiun Maglev, sebenarnya menawarkan
dengan argo, tetapi kita tidak pernah tahu, lewat mana, dan saya lebih merasa
aman dengan angka yang sudah disepakati, daripada pakai argo dan jumlahnya kita
juga tidak tahu.
Di pinggir jalan raya, rata-rata trotoarnya
lebar, jalanan bersih, bahkan panel listrik pinggir jalan di lukis, sehingga
menjadi seperti karya seni berpenampilan menarik.
Trotoar lebar dan panel listrik dihias cantik
Di sungai-sungai yang membelah beberapa kawasan, terlihat orang-orang memancing ikan, menunjukkan indikator pengelolaan air yang bagus. Ikan masih bisa hidup.
Yang mengagetkan memang, kebanyakan sepeda
motor dari yang kecil mirip sepeda yang ditempeli mesin, sampai yang
penampilannya besar untuk mengangkut barang, kebanyakan sepeda motor listrik.
Tanpa
bunyi, bergerak cepat dan eco-friendly. Saya melihat jajaran sepeda motor yang
di parkir di pinggir jalan dan mereka lagi di-charge memakai kabel gulung yang
diolor sampai di dekat sepeda motor.
Sedang mengecharge sepeda motor di trotoar
Sedang mengecharge sepeda motor di trotoar
Saya mimpi Banyuwangi punya kereta yang
tidak berisik, punya sepeda motor (bahkan angkutan umum) yang eco-friendly,
bisa menambah prestasi Banyuwangi yang sudah juara dalam hal penanaman pohon
satu miliar, sedekah oksigen untuk bumi.
Kata hadist, Belajarlah sampai ke negeri
China. Yang baik bisa diambil pelajarannya, yang jelek, dibuang ke laut saja.
iwandear@gmail.com
Muantaaaappp banget tulisannya Mas, saya kasih 2 jempol dehh utk tulisan sebagus ini. Saya sbg warga Banyuwangi juga punya keinginan sama seperti sampeyan. Marilah kita bu,a cakrawala pemikiran kita. Indonesia ini kaya akan sumber daya yg terbarukan. Sinar matahari, angin, air, panas bumi, biogas dll. Jgn hanya terjebak oleh subsidi BBM yg menyedot habis2an APBN kita. Kita harus mengembangkan energi alternatif yg ramah lingkungan. Utk sampai Bwi terlebih dl pemerintah harus mendukung program ini dl. Ayoo.... Dukung energi ramah lingkungan utk masa depan yg lbh baik.
BalasHapusTerimakasih komentarnya dr. Thary, tinggal kita tunggu saja langkah dari pemda...
Hapus