Pertama kali saya mendapat kepastian bahwa abstrak makalah
saya diterima oleh panitia International Symposium of the Languages of Java
tahun 2018, hati saya sudah berbunga-bunga. Saya pikir simposium ini akan
menjadi salah satu pengalaman berharga dalam hidup saya. Dunia penelitian
bahasa bukan ladang penghidupan saya sehari-hari. Saya kecemplung ke dalamnya
karena saya ikut terlibat dalam kegiatan melestarikan bahasa Using lewat
Sengker Kuwung Belambangan. Saya sudah pernah ikut seminar nasional serupa di
Universitas Jember, di Universitas Udayana Bali, bahkan pernah menjadi
pembicara utama dalam acara yang diselenggarakan oleh Balai Bahasa Jawa
Barat di Bandung. Tapi menyajikan sebuah
makalah dalam simposium internasional ini baru pertama kali.
ISLOJ digawangi oleh panitia dari Universitas Maryland,
Universitas Rice, keduanya di Amerika dan Universitas Oslo Swedia.
Simposium ini sebenarnya diselenggarakan setiap dua tahun
sekali berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain. Pernah di Malang dan di
Solo. Yang ke delapan direncanakan di Hawaii Amerika Serikat. Pembahasannya
adalah tentang bahasa-bahasa di Jawa dan sekitarnya. Pada ISLOJ ke 7 kemarin,
selain bahasa Jawa, ada bahasan tentang bahasa Sunda, bahasa Madura, bahasa Dayak,
bahasa Baduy, bahasa Jawa pedalangan, pemrograman bahasa Jawa Kuno, tentang
bahasa facebook, basa walikan Malang dan Bahasa Using. Salah seorang peserta
Juliana Wijaya, sebenarnya adalah orang Banyuwangi dari Kampung Melayu. Tapi ia
mewakili UCLA, sebagai dosen jurusan Bahasa Indonesia.
Using diwakili makalah saya: Standard Javanese vs Using/Banyuwangen: A Note of the distinctive
features found in the two dialects. Isinya menerangkan beberapa perbedaan
menonjol yang ada di bahasa Jawa dan Using, utamanya soal afiksasi.
Sekitar 30an orang peserta dalam simposium ini datang dari
berbagai negara dan universitas. Ada dari Amerika, Cina, Inggris, Jepang,
Selandia Baru, Serbia. Meski dari luar negeri, rata-rata mereka bisa berbahasa Indonesia.
Yang dari Indonesia pun beberapa mewakili institusi universitas di luar negeri
karena mereka sedang menyelesaikan studinya di sana atau memang menjadi
peneliti di luar.
Dengan berbagai latar belakang peserta, jadi simposium ini
memakai bahasa pengantar apa? Rata-rata pengantarnya memakai bahasa Inggris.
Ketua Panitianya, Dr. Thomas Conners tentu saja berbahasa Inggris saat memberi
sambutan meski ia sudah 20 tahun berkecimpung dalam penelitian bahasa Jawa. Ia
bisa berbahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Ada beberapa pembicara perempuan dari
Universitas Negeri Malang yang bahasa Inggrisnya sangat bagus dan sama sekali
tidak terdengar logat Jawanya. Tapi tim
dari Universitas Jember (yang mengirimkan tiga tim Ibu Novi Anoegrajekti
kemudian Bapak Heru Saputra, Bapak Edy Hariyadi, Ibu Titik Maslikatin, dan
BapakDidik Suharijadi, semua menggunakan
bahasa Indonesia.) Bukan karena mereka tidak mampu presentasi menggunakan
bahasa Inggris tetapi karena mereka memilih berberbahasa Indonesia, dengan
pertimbangan acara ini diadakan di Indonesia, tentang Indonesia. Salah satu
peserta dari Jember, Bapak Didik Suharijadi yang meminta maaf karena
menggunakan bahasa Indonesia, langsung mendapat interupsi dari Prof. Novi
Anoegrajekti, bahwa permintaan maaf tidak perlu dilontarkan. Prof. Novi juga
menjadi salah satu pembicara yang diundang khusus, selain Prof. Effendi
Kadarisman dari UM Malang. Salut untuk Tim dari Unej soal pembelaan dan
pengutamaan bahasa Indonesia.
Tentang isi bahasannya, ada beberapa peserta yang
menampilkan riset doktoralnya untuk dibawa ke acara sini. Jadi sudah tentu,
pembahasannya dalam, detil, bersandar pada teori-teori bahasa yang matang dan
disampaikan dengan keahlian seorang peneliti yang mumpuni.
Yang cukup menarik bagi saya, tim dosen dari Universitas
Malang yang menampilkan data yang diambil dari anak-anak SD di seluruh Jawa
Tengah dan Timur untuk mengarang dengan topik mainan favorit mereka. Salah satu
kata yang keluar adalah “hargae” yang seharusnya kalau memakai kaidah Jawa
menjadi “hargane.” Tapi bisa jadi “hargae” muncul karena pengaruh bahasa Cina
peranakan yang tumbuh subur di antara orang-orang keturunan Tiongkok di
berbagai kota di Jawa Timur, termasuk Malang dan Banyuwangi.
Kebetulan saya tumbuh dalam lingkungan multibahasa. Di rumah
memakai bahasa Jawa, di lingkungan rumah bahasa Using, lingkungan agak luas
lagi saya juga menggunakan bahasa campuran Using/Indonesia/Arab yang digunakan
oleh penduduk keturunan Arab di Kampung Arab dekat rumah saya dan lingkungan
lebih luas lagi: bahasa Cina peranakan.
Satu bahasan dari
Prof. Effendi tentang tembang kuno bahasa Jawa lama, membuka mata saya tentang
kekayaan sastra Jawa. Dan seorang anak muda David Muljadi yang bekerja pada Universitas
Polacky di Ceko yang sedang mengembangkan software yang bisa membaca bahasa
Jawa Kuno dengan gramatikal yang benar.
Ada juga bahasan yang kelihatannya sepele, seperti yang
disampaikan oleh David Gil dari Max Plank Institute di Jerman, yaitu
pertanyaan: What is your name? What is your facebook name? Di berbagai belahan
bahasa di dunia (lebih dari 100 bahasa sebagai sampelnya) ternyata ada yang
menanyakan nama orang memakai What (Apa), ada yang memakai Who(Siapa), tetapi
pada saat menanyakan nama di facebook ada yang memakai apa, atau kata tanya
yang lain.
Akan halnya saat pembahasan bahasa Using, ada pertanyaan,
seberapa banyak pengaruh bahasa Bali? Memang bahasa Using menggunakan beberapa
kata yang persis sama dengan bahasa Bali, tetapi berbeda dengan bahasa Jawa.
Misalnya:
Using
Bali Jawa
Edheng-edheng adheng-adheng alon-alon
Semat semat biting
Bojog bojog kethek
Using tusing ora
Parek paak cedhak
Picis pis duit
Tetapi karena jumlahnya tidak signifikan, oleh penyusun
kamus Using-Indonesia alm Bapak Hasan Ali tidak diberikan suatu kekhususan.
Pertanyaan lain, atau lebih tepatnya saran adalah tentang
klaim yang berhubungan dengan pertanyaan, “Apakah bahasa Using itu bahasa
tersendiri atau dialek bahasa Jawa. Pertanyaannya adalah apakah pernah
dilakukan penelitian, seorang anak yang hanya tahu bahasa Using saja, diberi
ruang berinteraksi dengan anak berbahasa Jawa. Seberapa banyak ia mengerti?”
Kalau banyak, berarti dialek, kalau tidak berarti Using bisa dianggap bahasa
tersendiri. Ini merupakan tantangan bagi peneliti bahasa Using.