Jumat, 12 Juli 2019

Catatan Tentang ISLOJ di Banyuwangi


Pertama kali saya mendapat kepastian bahwa abstrak makalah saya diterima oleh panitia International Symposium of the Languages of Java tahun 2018, hati saya sudah berbunga-bunga. Saya pikir simposium ini akan menjadi salah satu pengalaman berharga dalam hidup saya. Dunia penelitian bahasa bukan ladang penghidupan saya sehari-hari. Saya kecemplung ke dalamnya karena saya ikut terlibat dalam kegiatan melestarikan bahasa Using lewat Sengker Kuwung Belambangan. Saya sudah pernah ikut seminar nasional serupa di Universitas Jember, di Universitas Udayana Bali, bahkan pernah menjadi pembicara utama dalam acara yang diselenggarakan oleh Balai Bahasa Jawa Barat  di Bandung. Tapi menyajikan sebuah makalah dalam simposium internasional ini baru pertama kali.

ISLOJ digawangi oleh panitia dari Universitas Maryland, Universitas Rice, keduanya di Amerika dan Universitas Oslo Swedia.

Simposium ini sebenarnya diselenggarakan setiap dua tahun sekali berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain. Pernah di Malang dan di Solo. Yang ke delapan direncanakan di Hawaii Amerika Serikat. Pembahasannya adalah tentang bahasa-bahasa di Jawa dan sekitarnya. Pada ISLOJ ke 7 kemarin, selain bahasa Jawa, ada bahasan tentang bahasa Sunda, bahasa Madura, bahasa Dayak, bahasa Baduy, bahasa Jawa pedalangan, pemrograman bahasa Jawa Kuno, tentang bahasa facebook, basa walikan Malang dan Bahasa Using. Salah seorang peserta Juliana Wijaya, sebenarnya adalah orang Banyuwangi dari Kampung Melayu. Tapi ia mewakili UCLA, sebagai dosen jurusan Bahasa Indonesia.

Using diwakili makalah saya: Standard Javanese vs Using/Banyuwangen: A Note of the distinctive features found in the two dialects. Isinya menerangkan beberapa perbedaan menonjol yang ada di bahasa Jawa dan Using, utamanya soal afiksasi.

Sekitar 30an orang peserta dalam simposium ini datang dari berbagai negara dan universitas. Ada dari Amerika, Cina, Inggris, Jepang, Selandia Baru, Serbia. Meski dari luar negeri, rata-rata mereka bisa berbahasa Indonesia. Yang dari Indonesia pun beberapa mewakili institusi universitas di luar negeri karena mereka sedang menyelesaikan studinya di sana atau memang menjadi peneliti di luar.

Dengan berbagai latar belakang peserta, jadi simposium ini memakai bahasa pengantar apa? Rata-rata pengantarnya memakai bahasa Inggris. Ketua Panitianya, Dr. Thomas Conners tentu saja berbahasa Inggris saat memberi sambutan meski ia sudah 20 tahun berkecimpung dalam penelitian bahasa Jawa. Ia bisa berbahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Ada beberapa pembicara perempuan dari Universitas Negeri Malang yang bahasa Inggrisnya sangat bagus dan sama sekali tidak terdengar logat Jawanya.  Tapi tim dari Universitas Jember (yang mengirimkan tiga tim Ibu Novi Anoegrajekti kemudian Bapak Heru Saputra, Bapak Edy Hariyadi, Ibu Titik Maslikatin, dan BapakDidik Suharijadi,  semua menggunakan bahasa Indonesia.) Bukan karena mereka tidak mampu presentasi menggunakan bahasa Inggris tetapi karena mereka memilih berberbahasa Indonesia, dengan pertimbangan acara ini diadakan di Indonesia, tentang Indonesia. Salah satu peserta dari Jember, Bapak Didik Suharijadi yang meminta maaf karena menggunakan bahasa Indonesia, langsung mendapat interupsi dari Prof. Novi Anoegrajekti, bahwa permintaan maaf tidak perlu dilontarkan. Prof. Novi juga menjadi salah satu pembicara yang diundang khusus, selain Prof. Effendi Kadarisman dari UM Malang. Salut untuk Tim dari Unej soal pembelaan dan pengutamaan bahasa Indonesia.

Tentang isi bahasannya, ada beberapa peserta yang menampilkan riset doktoralnya untuk dibawa ke acara sini. Jadi sudah tentu, pembahasannya dalam, detil, bersandar pada teori-teori bahasa yang matang dan disampaikan dengan keahlian seorang peneliti yang mumpuni.

Yang cukup menarik bagi saya, tim dosen dari Universitas Malang yang menampilkan data yang diambil dari anak-anak SD di seluruh Jawa Tengah dan Timur untuk mengarang dengan topik mainan favorit mereka. Salah satu kata yang keluar adalah “hargae” yang seharusnya kalau memakai kaidah Jawa menjadi “hargane.” Tapi bisa jadi “hargae” muncul karena pengaruh bahasa Cina peranakan yang tumbuh subur di antara orang-orang keturunan Tiongkok di berbagai kota di Jawa Timur, termasuk Malang dan Banyuwangi.

Kebetulan saya tumbuh dalam lingkungan multibahasa. Di rumah memakai bahasa Jawa, di lingkungan rumah bahasa Using, lingkungan agak luas lagi saya juga menggunakan bahasa campuran Using/Indonesia/Arab yang digunakan oleh penduduk keturunan Arab di Kampung Arab dekat rumah saya dan lingkungan lebih luas lagi: bahasa Cina peranakan.

 Satu bahasan dari Prof. Effendi tentang tembang kuno bahasa Jawa lama, membuka mata saya tentang kekayaan sastra Jawa. Dan seorang anak muda David Muljadi yang bekerja pada Universitas Polacky di Ceko yang sedang mengembangkan software yang bisa membaca bahasa Jawa Kuno dengan gramatikal yang benar.

Ada juga bahasan yang kelihatannya sepele, seperti yang disampaikan oleh David Gil dari Max Plank Institute di Jerman, yaitu pertanyaan: What is your name? What is your facebook name? Di berbagai belahan bahasa di dunia (lebih dari 100 bahasa sebagai sampelnya) ternyata ada yang menanyakan nama orang memakai What (Apa), ada yang memakai Who(Siapa), tetapi pada saat menanyakan nama di facebook ada yang memakai apa, atau kata tanya yang lain.

Akan halnya saat pembahasan bahasa Using, ada pertanyaan, seberapa banyak pengaruh bahasa Bali? Memang bahasa Using menggunakan beberapa kata yang persis sama dengan bahasa Bali, tetapi berbeda dengan bahasa Jawa.

Misalnya:

Using                                 Bali                                     Jawa

Edheng-edheng                             adheng-adheng                             alon-alon

Semat                                semat                                biting

Bojog                                 bojog                                 kethek

Using                                 tusing                                ora

Parek                                 paak                                  cedhak

Picis                                   pis                                      duit

Tetapi karena jumlahnya tidak signifikan, oleh penyusun kamus Using-Indonesia alm Bapak Hasan Ali tidak diberikan suatu kekhususan.

Pertanyaan lain, atau lebih tepatnya saran adalah tentang klaim yang berhubungan dengan pertanyaan, “Apakah bahasa Using itu bahasa tersendiri atau dialek bahasa Jawa. Pertanyaannya adalah apakah pernah dilakukan penelitian, seorang anak yang hanya tahu bahasa Using saja, diberi ruang berinteraksi dengan anak berbahasa Jawa. Seberapa banyak ia mengerti?” Kalau banyak, berarti dialek, kalau tidak berarti Using bisa dianggap bahasa tersendiri. Ini merupakan tantangan bagi peneliti bahasa Using.


 

 

 

 

Boom


Pantai Boom dalam kenangan

Pantai di kota Banyuwangi ini menjadi semacam oase yang dipastikan setiap orang Banyuwangi pernah singgah dan punya kenangan meski secuil. Apalagi pada periode sebelum tahun 2000an, sebelum Banyuwangi punya banyak tempat wisata, Boom merupakan jujugan wajib. Ada yang menikmatinya setiap hari terutama untuk para pemancing, setiap minggu atau setiap tahun seperti para warga yang tinggal di daerah pegunungan untuk turun menikmati hiburan Taman Hiburan Rakyat yang memang digelar setahun sekali.
   Pantai itu menjadi tempat belajar anak-anak Banyuwangi menghabiskan waktu bermain sepakbola, memetik buah widara laut yg tumbuh di beberapa tempat atau sekedar jalan-jalan menghabiskan waktu. Yang paling utama adalah memancing, mencari kerang atau makan kacang kulit sambil duduk-duduk di pasir disambi melihat orang lalulalang dan menghitung ombak.
   Boom itu mengacu pada pelabuhan. Satu pelabuhan di dalam yang terlindungi dari ombak (di depan gudang Djakarta Lloyd) karenanya dinamakan Boom Meneng (Boom yang airnya diam tak berombak). Di sini banyak bersandar perahu-perahu pinisi dari Sulawesi dan perahu selereg Madura. Perahu pinisi dari Sulawesi biasanya datang membawa ikan asin dan pergi membawa produk plastik, bahkan batu bata dan barang kebutuhan membangun lainnya seperti semen.

   Satu lagi pelabuhan terletak di selat Bali yg berombak makanya dinamakan Boom Ombak. Dermaga kayu yang menjorok ke selat Bali di Boom ombak ini lama-kelamaan terkikis air dan dibiarkan rusak.
   Saat Boom menjadi tujuan wisata favorit jaman itu, dan malam minggu bertepatan dengan tanggal 15 bulan Jawa, artinya bulan bundar purnama sedang terang-terangnya, banyak keluarga berpiknik di pinggir selat Bali. Menggelar tikar, duduk, menikmati makan bersama keluarga dan banyak orang yang mandi meski malam gelap cuma diterangi cahaya bulan.
   Orang lalu lalang berjalan ke utara selatan entah apa yang dicari. Beberapa anak nakal, menggali pasir di tengah pesisir, menutupinya dengan ranting dan daun kering, lantas ditutup pasir, menjadi jebakan untuk orang yang sedang lewat. Dan saat ada korban, mereka menertawai korban yang cuma bisa memaki-maki atau tertawa melihat dirinya jadi korban keusilan anak-anak.
   Beberapa pemberani bahkan berenang ke tengah untuk berdiri di pelampung yg diletakkan agak ke tengah supaya tidak ada kapal yang terjebak kandas. Pelampungnya digoyang-goyang seperti naik "Ombak Asmara" membunyikan lonceng yang ada di pelampung tersebut.
   Kenangan saya selain main, mancing, mencari kerang, melihat orang ramai-ramai menarik jaring ikan, makan kacang dan tahuk petis, tentu mengunjungi kantor bapak yang berada di pelataran pantai Boom. Sampai sekarang kantor Bea Cukai ini masih berdiri kokoh tetapi sudah tidak digunakan. Kamar mandinya dulu sering saya pakai untuk berbilas setelah berenang di laut.
   Pengalaman paling heroik yang saya alami adalah saat kelas 3 SD, sekolah saya di Tegalloji 2 (sekarang Kepatihan), kira-kira jauhnya dua kilometer dari kantor bapak. Siang sepulang sekolah, saya kelaparan dan bermaksud meminta makanan ke bapak. Saya berjalan kaki sendiri menyusur jalan lewat bioskop Irama, lewat Sasak Cikar, melewati gudang dan Boom Meneng yang saat itu masih banyak bangkai kapal, menyeberang rel kereta dan sampai di kantor Bea Cukai.
   Bapak lumayan terkejut. Akhirnya saya dibelikan makanan, dicarikan dokar untuk mengantar pulang dan sebuah nasihat: Jangan diulangi lagi. Untung Bapak lagi ada di kantor. Kalau sedang bertugas di laut?
  Kapal-kapal dagang besar yang lewati selat Bali, biasanya berhenti di tengah laut di sebelah timur Boom dan kemudian diinspeksi oleh petugas BeaCukai. Kadang kala, setelah inspeksi bapak dihadiahi makanan atau buah kaleng (yang saat itu masih jarang di Indonesia). Kemudian kantor BeaCukai dipindah ke Ketapang dan yang di Boom terbengkalai.
   Tapi saya masih menikmati mandi di pantai, mancing, mencari kerang, main bola atau sekedar duduk di Dermaga rusak melihat orang memancing.

 

 

Boom ring Angenan

Pesisir kutha Banyuwangi iki dadi kaya panggonan nublek wong-wong sak Banyuwangi. Sapa bain hang tau urip ring Banyuwangi mesthi tau mampir nong panggonan iki lan nduwe angenan masiya sithik. Paran maning kadhung sedurunge taun 1990, sedurunge akeh panggonan kelenceran ring Banyuwangi. Ana hang dhemen menganan ring Boom saben dina, ana hang saben minggu ana pisan hang saben taun kaya wong-wong hang manggon ring dhaerah gunung-gunung hang mula mudhun setaun sepisan ngentekaken wektu lan picis ring Taman Hiburan Rakyat hang mula digelar setaun sepisan.
   Pesisir iku dadi panggonan lalare Banyuwangi sinau paran bain; memengan tembung, methik wohe widara laut hang merujuk ring pirangane panggonan utawa mung sukur melaku-melaku ngentekaken wektu. Hang paling didhemeni mula mancing, golet kuwuk utawa mangan kacang kulit ambi lungguh-lungguhan nong pasir ndeleng ubeke wong.

   Boom iku maksude pelabuhan. Ana Boom hang ring njero kalangan lan hing ana ombake (ana ring ngarepe gudhang Djakarta Llyod) mangkane diarani Boom Meneng maksude banyune meneng hing ana ombake. Ring kene akeh perahu sandar, ana perahu pinisi teka Sulawesi lan perahu selereg teka Medura. Perahu pinisi teka Sulawesi biyasahe teka sak perlu nggawa iwak gerang lan balik nyangking barang palen teka plastik, malah bata lan bahan kanggo mbangun umah kayata semen.

   Siji maning dermaga pelabuhan ana ring Selat Bali hang ngombak, mangkane diarani Boom Ombak. Dermaga kayu hang dawa nong nduwure banyu segara iki suwi-suwi ilang merga rusak digeningaken.

   Tepak Boom magih dadi panggon jujugan kelenceran hang seru didhemeni jaman semono, lan malem minggune tepak tanggal 15 Jawa, tepak ulan andhung-andhung lan sunare moncer barak, akeh keluwarga lan wong-wong hang ngelencer merana. Nggelar kelasa, lungguh lan mangan bareng sak keluwargane. Akeh pisan wong-wong hang adus-adusan masiya rada peteng mung ana sunare ulan.
   Wong-wong melaku ngalor ngidul embu nggolet paran. Lalare hang tambeng, nggawe jenglongan ring pasir-pasiran, ditutupi carang wit-witan, godhong garing aju ditutupi pasir maning makene wong hang melaku kejeglong. Tepak ana wong hang kejeglong, lalare mau pada cekakakan. Wong hang kejeglong mung bisa metu celathune, ana pisan hang mung munyik-munyik merga iyane wis dadi korbane lalare tambeng.

   Ana pisan lalare hang wanen seru, ngelangi mentengah, hang dituju pelampung gedhi hang ana ring tengah kanggo tandha makene kapal-kapal sing marek lan sing kandhas. Pelampune kampul-kampul digoyang lalare mau, sampek bel wesine muni.

   Angenanisun sak liyane menganan, mancing, golet kuwuk, ndeleng wong njaring iwak, mangan kacang lan tahuk petis, hing liya maning ya menganan nong kantore bapak ring pelatarane Boom Ombak. Seperene, kantor Bea Cukai iki magih mejegreg taping wis hing dienggo maning. Cedhine kerep hun enggo bilas sak mareke adus-adusan nong segara.        

   Pengalamanisun hang seru temancepe ring angenan yaiku tepak kelas 3 SD, sekolahisun ring Tegalloji 2 (saiki Kepatihan), kira-kira rong kilo adohe teka kantore bapak. Sak mulihe sekolah, weteng lempiriten, lan isun ngampiri bapak arep njaluk mangan. Isun melaku sikil teka wetane sekolahan, liwat ngarepe biskop Irama, ngeliwati Sasak Cikar, liwat gudang lan Boom Meneng hang jaman semono magih akeh bathange kapal, nyabrang ril sepur, sampek nggadhug ring kantor Bea Cukai.

   Bapak rada kaget. Taping isun pungkasane ditukaken panganan, digoletaken dhongkar kanggo ngateraken isun mulih, lan diwani wewarah: Aja dibaleni maning. Emane ana bapak ring kantor, kadhung tepak megawe nong tengah laut kelendi?

  Kapal-kapal dagang gedhi hang liwat Selat Bali, mula biyasahe mandheg ring tengah segara ring wetane Boom lan petugas Bea Cukai mareki sak perlu inspeksi. Kala-kala marek inspeksi, bapak diwani panganan kadhang daging cornet utawa woh kalengan (hang seperono magih arang ana ring Indonesia). Taping, kantor Bea Cukai dipindhah nyang Ketapang hang ana ring Boom digeningaken.

   Naming isun magih bisa adus-adusan ring segara, mancing, golet kuwuk, main tembung utawa lungguh-lungguhan ring dermaga kayu hang rusak ambi ndeleng wong mancing.

(iwandear@gmail.com 7 Jul 2019)

Rabu, 24 Oktober 2018

Indramayu-Banyuwngi, Dua Bahasa, Satu Keprihatinan

(Latepost mestinya 16 Sep 2018)
Indramayu-Banyuwangi, Dua Bahasa, Satu Keprihatinan

Banyuwangi dan Indramayu terpisah sekitar 800 kilometer, tapi dalam beberapa hal bahasa yang mereka gunakan terdapat kemiripan. Misalnya, dibanding bahasa Jawa, banyak kosakata Jawa Kuno yang digunakan kedua bahasa ini. Yang paling mencolok adalah penggunaan akhiran –aken (bukan  -ake seperti dalam bahasa Jawa) dan status ‘tidak punya bahasa krama’ seperti dalam bahasa Jawa Kuno.

Bahasa ‘krama’ yang ada dalam bahasa Using disebut besiki, tak lebih dari 1000 kata. Menurut catatan sarjana Belanda, Stoppelaar, bahasa yang digunakan oleh penduduk Banyuwangi adalah “Bahasa Using”. Penduduk di desa-desa terutama di daerah pegunungan, tidak mengenal bahasa “krama.” Tulisan tersebut dibikin tahun 1927. Terhitung baru.

Sementara menurut Ketua Lembaga Basa lan Sastra Dermayu, Pak Supali Kasim, hanya sekitar 20 persen saja orang Dermayu yang bisa aktif menggunakan bahasa krama yang disebut Bebasan. Sisanya lebih pada basa ngoko (bagongan).

Pada saat saya diundang sebagai pembicara dalam acara “Ngenalaken Buku lan Mbedah Puisi,” saya bereksperimen menggunakan dua bahasa masing-masing. Setelah menanyakan kepada sekitar 50 orang peserta, Ketua Lembaga Basa lan Sastra Dermayu Bapak Supali Kasim yang juga pembedah buku, menggunakan bahasa Dermayu. Dan saya menggunakan bahasa Using.

Kata-kata “dewek (bukan dewe), bengen (bukan biyen), maning (bukan maneh), parek (bukan cidek)” merupakan sebagian kosakata yang digunakan pada kedua bahasa. Memang, kedua bahasa ini diyakini berasal dari bahasa yang sama yaitu bahasa Jawa kuno. Bahasa Using menurut disertasi Pak Suparman Herusantosa, diyakini terpisah dengan bahasa Jawa sekitar tahun 1115 atau 1174 berdasarkan mengetahui kata seasal dan kemudian dihitung menggunakan rumus leksikostatistik.

Pelajaran Basa Dermayu

Basa Dermayu lebih dahulu memulai diajarkan, tahun 1996. Tadinya pelajaran Bahasa Jawa untuk SD dan SMP. Tahun 1996 tersebut, muncul mulok: Bahasa Sunda dan Bahasa Indramayu, yang diajarkan dari SD-SMA sederajat. Karena penutur bahasa Sunda sangat kecil, sekitar 5 persen (meski berada di Jawa Barat), mulok mulai tahun 2002 adalah 1. Pendidikan Budi Pekerti dan 2. Bahasa Indramayu.

Materi pelajaran bahasa Indramayu mengikuti dua kurikulum. Pertama menggunakan kurikulum 2006 dan saat ini sedang direvisi menggunakan kurikulum 2013.

Buku ajar, pernah diterbitkan beberapa kali. Versi Pemkab Indramayu diterbitkan tahun 1996. Penerbit swasta dan penulis individual tahun 1990-2010, serta Dinas Pendidikan Jawa Barat tahun 2014.

Saat ini  pelajaran bahasa Indramayu dilaksanakan di seluruh sekolah dasar karena guru-gurunya adalah guru kelas. Sedangkan di SMP kurang dari 100 persen karena guru bidang studinya dari berbagai disiplin ilmu. Tetapi sebagian besar masih melaksanakan. Sementara di tingkat SMA, kurang lebih hanya 50 persen karena ada kepala sekolahnya yang menginginkan hanya bahasa asing saja yang diajarkan.

Pelatihan untuk guru bahasa Indramayu SD, SMP dan SMA dilaksanakan oleh Disdik Provinsi setiap tahun.   

Dari hasil diskusi saat peluncuran buku kumpulan puisi Langit Seduwure Langit  karya 11 pujangga Indramayu, didapat keterangan, antologi puisi itu adalah buku puisi kedua yang terbit dalam bahasa Dermayu. Yang pertama kumpulan puisi Sesambat karya Supali Kasim. Juga ada tiga buku kumpulan puisi Ceribon-Indramayu: Gandrung Kapilayu (2008), Nguntal Negara (2009), Suluk-Suluk Pesisir (2011).

Karya lain? Tidak ada. Ini yang bikin prihatin.

Pelajaran Bahasa Using

Bahasa Using diperjuangkan kurang lebih dengan waktu yang sama. Perjuangan untuk membawa Bahasa Using sebagai muatan lokal, dimulai dari tahun 1991, pada Kongres Bahasa Jawa I. Setelah Kongres Bahasa Jawa II di Batu tahun 1996, mendapat rekomendasi dari Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur, untuk diajarkan di sekolah. Tahun itu pula bupati Purnomo Sidik mengeluarkan keputusan pembentukan Tim Penyusun Materi Bahasa Using sebagai mulok.

Ujicoba di tiga kecamatan mulai tahun 1997. Baru mulai tahun 2003 keluar Surat Keputusan Bupati yang ditandatangani Samsul Hadi tentang Pemberlakuan Pengajaran Bahasa Using untuk seluruh SD dan SMP sederajat. Tadinya hanya 13 kecamatan, kemudian dikeluarkan lagi revisi keputusan itu pada tahun yang sama yang mencakup seluruh 21 kecamatan (Banyuwangi, Giri, Glagah, Kalipuro, Kabat, Rogojampi, Srono, Cluring, Purwoharjo, Gambiran, Sempu, Songgon, Singojuruh, Wongsorejo, Bangorejo, Pesanggaran, Tegaldlimo, Genteng, Kalibaru, Glenmore, Muncar).

Setahun sebelumnya, keluarlah kamus Bahasa Daerah Using-Indonesia yang disusun oleh Bp. Hasan Ali dan buku Unen-Unen Basa Using yang disusun oleh Bp. Andang CY.

Tahun 2005, keluarlah buku pelajaran bahasa Using untuk SD dan SMP. Disusul dua tahun kemudian, munculnya Perda No. 5 tahun 2007 yang ditandatangani oleh bupati Ratna Ani Lestari. Dalam pasa 2 Perda tersebut:

  • Pembelajaran Bahasa Daerah berfungsi mengenai, membina serta mengembangkan kemampuan berbahasa daerah pada peserta didik
  • Pembelajaran bahasa Daerah bertujuan untuk memberikan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang mengarah pada penggunaan serta pelestarian  bahasa daerah
  • Bahasa daerah yang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) adalah bahasa Using.
      Sayangnya, tahun itu juga menandai berhentinya perkembangan lainnya. Tidak ada lagi buku ajar baru, tidak ada lagi pelatihan untuk guru-guru pengajar yang sebagian bukan penutur bahasa Using.
    Lantas datanglah kurikulum 2013 yang memberi batasan pada guru untuk mengajar sesuai dengan bidang keahliannya. Pelajaran Bahasa Using menghilang dari SMP. Sementara di SD masih bisa bertahan karena pengajarnya adalah guru kelas, bukan guru bidang studi.
    Gelombang badai berikutnya datang tahun 2014. Peraturan Gubernur Jawa Timur (S) No. 19 tahun 2014 (3 April 2014) tentang Mata Pelajaran Bahasa Daerah Sebagai Muatan Lokal Wajib di SD/MI
    Pasal 2 mengatakan:
    Bahasa Daerah diajarkan secara terpisah sebagai mata pelajaran muatan lokal wajib di seluruh sekolah/madrasah di Jawa Timur, yang meliputi Bahasa Jawa dan bahasa Madura dengan Kurikulum sebagaimana tersebut dalam Lampiran .
    Lantas beberapa sekolah yang dari semua “enggan” mengajarkan bahasa Using, merasa mendapat pembenaran untuk menghapuskan pelajaran tersebut di sekolah.
    Pergub ini sampai berimbas pada Dewan Kesenian Blambangan yang mengancam memboikot seluruh kegiatan kesenian Banyuwangi untuk Jawa Timur. Banyuwangi tidak lagi mengirimkan dutanya sebagai protes akan adanya Pergub ini.
    Sampai tahun 2016 Panitia Hadiah Rancage, merujuk kepada Pergub tersebut untuk menentukan, bahwa novel berbahasa Using, harus masuk ke dalam kategori bahasa Jawa karena bahasa Using dianggap dialek Jawa. Tahun itu ada dua karya sastra yang masuk pada panitia Rancage, yaitu Kumpulan cerpen Kembang Ronce, dan novel dwi bahasa Agul-Agul Belambangan (AAB) yang mendapatkan hadiah utama mengalahkan 19 karya sastra Jawa lainnya.
    Mata orang Banyuwangi seakan masih tertutup meski sudah ada peraturan daerah yang kedudukannya lebih tinggi dari pergub yang dihasilkan oleh Eksekutif saja. Sampai terpilihnya gubernur baru tahun 2018, sekelompok individu masih melobi agar Pergub ini dicabut oleh gubernur yang baru.
    Sebuah gerakan yang tidak perlu sebenarnya. Pengajaran Bahasa Using sudah cukup kuat dasar hukumnya. Selain Perda No. 5 tahun 2007, itu Provinsi Jawa Timur juga mengeluarkan Perda No 9 tahun 2014 (22 Agustus 2014) tentang Penyelenggaraan Pendidikan.
    Pasal 17
    (1) Bahasa Daerah wajib diajarkan sebagai muatan lokal pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.
    (2) Bahasa daerah yang diajarkan sebagai muatan lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ialah Bahasa Jawa atau Bahasa Madura atau bahasa lainnya yang digunakan oleh masyarakat di wilayah kabupaten/kota setempat.
    Jadi, sebenarnya tidak usah ragu lagi untuk mengajarkannya di sekolah.
    Memang kendala yang dihadapi adalah tidak adanya keputusan bupati yang baru untuk penjabaran Perda No. 5 tahun 2007 untuk materi-materi pendukung pengajaran.  Misalnya, kamus bergambar untuk anak-anak, karya sastra, dan bacaan lain selayaknya produk sebuah bahasa.
    Untuk pengayaan, ada hampir 30 judul buku berbagai jenis: kumpulan cerpen, novel, kumpulan artikel, cerita anak, puisi, dan musik, serta satu kuartet.
    Soal pengembangan di sekolah? Ini yang bikin prihatin.

Kata Using baru: Wawarah


Wawarah

Kata Wawarah merupakan kata baru yang saya perkenalkan untuk memperkaya kosakata basa Using. Kata aslinya adalah “warah-warah” yang berarti pemberitahuan atau pengumuman.

Lantas dengan metode mengulang kata sebagian, jadilah wawarah.

Kata ulang dengan pengulangan sebagian ini terdapat dalam bahasa Using.

Misalnya:

Lare-lare menjadi lalare

Ameng-amengan menjadi memengan

Tadinya supaya terdengar lebih enak, saya buat wewarah, ternyata kata tersebut sudah ada dengan arti “petuah”, jadi harus dibedakan.

Warah-warah itu Wawarah (pengumuman).

 

Kamus Using Digital


Kamus Bahasa Daerah Using-Indonesia yang disusun oleh almarhum Hasan Ali sudah diterbitkan dari tahun 2002. Sebagai dasar pembelajaran Bahasa Using, kamus tersebut sangat diperlukan sebagai dasar rujukan. Akan tetapi sampai sekarang, kamus itu tidak pernah disempurnakan, tidak ditambah lemanya.
 Hari Minggu tanggal 21 Oktober 2018, sebuah organisasi yang mewadahi mahasiswa Poliwangi Rogojampi, Jinggolabs, mempresentasikan apa yang akan mereka bikin sebagai basis kamus digital Using-Indonesia dan Indonesia-Using, yang nantinya akan ada versi daring (dalam jaringan) dan aplikasi androidnya.
Boleh dibilang hari itu merupakan salah satu tonggak penting Bahasa Using karena Kamus yang sudah 16 tahun tidak pernah disempurnakan, akan dapat diakses melalui daring maupun lewat aplikasi yang bisa diunduh.
Dengan makin canggihnya teknologi, mau tidak mau ada bagian-bagian upaya pemertahanan Bahasa Using ini menggunakan teknologi yang ada.
Dasar kamus Using-Indonesia tetap menggunakan kamus besar Hasan Ali yang menjadi babon dan akan disempurnakan. Sementara kamus Indonesia-Using akan dimulai dari nol.
SKB sudah mengantongi ijin dari pihak ahli waris keluarga Pak Hasan Ali, lewat putera-puterinya, yaitu mbok Emilia Contessa, mas Dino, mbak Virgi, dan istri dari almarhum mas Rio. Mbok Emilia malah menawarkan keahlian anaknya, Enrico, yang sarjana IT. Pada saat itu juga, Enrico membagikan kamus kakeknya secara gratis kepada 50 orang peserta Pelatihan Menulis Kamus angkatan kedua.
Setelah pelatihan yang kedua dari Doktor Ganjar Harimansyah, bekal menulis kamus  memang dirasa belum cukup. Tetapi kenyataan bahwa penyempurnaan harus dilakukan membuat SKB bergerak. Yang digarisbawahi oleh mas Ganjar dalam pengembangan Bahasa Using ke depan adalah:
1.       Perlunya Perencanaan Bahasa (lima tahun lagi mau dikemanakan bahasa Using ini, misalnya)
2.       Perlunya Pedoman Umum Pembentukan Istilah, yang mengatur penyerapan unsur bahasa asing (Arab, Belanda, Inggris atau Jawa, Madura dll) ke dalam bahasa Using.
Penyerapan ini penting karena bahasa Using harus berkembang mengikuti zamannya. Kemajuan teknologi membawa banyak perubahan yang harus diakomodasi dalam bahasa Using. Misalnya, apa istilah Usingnya untuk bluetooth, hp, sms, copy paste, dll. Kalau kamus hanya mengakomodasi bahasa Using deles saja, bahasa Using tinggal menunggu waktu.
Jangankan yang kompleks, yang sehari-hari digunakan, banyak yang belum ada dalam bahasa Using, misalnya: selamat datang, selamat pagi, selamat siang, selamat ulang tahun, selamat hari raya, ikut berdukacita, dll.
Karena bahasa Using tulis tidak begitu populer, banyak juga istilah-istilah penulisan yang belum ada juga dalam bahasa Using, semisal: paragraf, halaman, tanda petik, kata sambung, garis bawah dll.
Peserta Pelatihan Menulis Kamus baik angkatan 1 maupun 2, diharapkan menjadi kontributor untuk kamus yang akan dibikin digital.
Dari kiri ke kanan

 
Defri Dava Wardana – Back end
Arik Fajar Cahyono – Mentor
Siti Nur Ilmiyah – Back end
Hani Z. Noor – Bendahara SKB
Dr. Ganjar Harimansyah peneliti bahasa Badan Bahasa Pusat
Antariksawan Jusuf – Ketum SKB
Tusfendi – Project Leader
Abi Sarirayndra – Front End
Velanda Aden Pradipta – Front End

Selasa, 23 Oktober 2018

Geger Gandrung Sewu Banyuwangi


Untunglah pertunjukan Gandrung Sewu (GS) 2018 yang  diselenggarakan di Pantai Boom Banyuwangi berjalan lancar. Meski kemudian ada perdebatan soal bendera Belanda bertuliskan VOC itu terus berkibar sampai akhir acara. Menurut saya itu hanya bagian kecil dari penyelenggaraan pertunjukan raksasa menhadirkan 1300 penari dari 5000an yang diseleksi.
Sebelumnya ada himbauan dari Front Pembela Islam (FPI) Banyuwangi agar pemda menghentikan acara tersebut mengingat begitu seringnya bencana alam yang menghantam beberapa daerah lain misalnya di Lombok atau Palu. Dikawatirkan acara tersebut mengundang bencana serupa ke Banyuwangi. Sempat terdengar kabar Pemda “agak goyah”  dan akan memindahkan acara tersebut di Taman Blambangan.
Himbauan FPI ini membuat banyak kalangan di Banyuwangi meradang. Mereka seperti menggaungkan ungkapan khas orang Using Banyuwangi: “Aja kakehan sereyat” yang berarti “Jangan banyak aturan/tingkah.”
Di medsos, ribuan suara “saur manuk” bersautan dan sebagian besar mengecam FPI dan bernada “Aja kakeyan sereyat.” Kekhawatiran mereka ini bisa dimengerti, karena gandrung sudah merupakan ikon Banyuwangi yang bahkan bagi sebagian orang, haram hukumnya diutak-atik. Sekali usulan FPI diakomodasi, bisa merembet ke produk budaya lainnya. Sementara Banyuwangi sudah nyaman hidup dengan simbol-simbol tradisional itu. Bahkan untuk menarik wisatawan, Pemda menggelar lebih 70 festival per tahun, yang sebagian besar merupakan adat dan budaya lokal.
Kekhawatiran muncul karena kasus serupa pernah terjadi. Misalnya, Bupati Azwar Anas menghilangkan simbol ular bermahkota yang dipercaya masyarakat sebagai simbol perlawanan yang ditemukan pada kaki kayu pegangan angklung atau gong pada alat musik tradisional. Bentuk ular bermahkota itu banyak ditemui juga bagai sepasang penjaga kembar di gerbang kantor-kantor pemerintah. Dan karena bisikan “paham baru” bahwa ular yang bercabang lidah merupakan simbol yang jelek, mengisyaratkan kalau orang Banyuwangi bersifat mendua, tidak bisa dipegang omongannya, seluruh patung naga di gerbang-gerbang kantor dan papan nama kantor, itu hilang, termasuk yang ada di gerbang pendopo, rumah dinas bupati.
Tentang perubahan pada kostum gandrung, Bupati Anas juga pernah mengakomodasi permintaan agar baju gandrung menjadi tertutup tidak memperlihatkan kulit penarinya. Menurut catatan pejabat Dinas Pendidikan, Dwi Yanto, untuk menutup kulitnya yang terbuka di bagian pundak dan lengan sampai jari-jari, penari GS diharuskan memakai baju ketat penari penutup tubuh sehingga menutup aurat tetapi pada saat yang sama masih terlihat seperti punggung dan lengan yang terbuka, seperti halnya pada gandrung pertunjukan. Dan untuk itu, Bupati menginginkan baju ketat yang bukan warna kulit, tetapi sekalian hijau, supaya kelihatan bahwa para penari itu memang menutup kulitnya. Para “dieharder” gandrung merasa pemakaian baju ketat daleman ini menyimpang dari ajaran gandrung murni. Banyak yang diam-diam menentang.
Gandrung sudah menutup rambutnya dengan memakai mahkota omprok. Dan penari bagian bawah tubuh penari GS tidak lagi dililit kain yang ketat seperti penari gandrung terob yang kelihatan erotis. Jadilah mereka seperti mengenakan rok yang longgar.
Saya kira usaha-usaha untuk “menutup aurat” yang diharuskan oleh Bupati Anas merupakan jalan tengah untuk mengakomodasi permintaan para pemuka agama (Islam) khususnya yang khawatir soal buka-bukaan aurat pada penari GS. Dan tari Gandrung Sewu ini merupakan pengembangan yang luar biasa dari gandrung pertunjukan. Sekarang Gandrung Sewu menjadi salah satu tari unggulan di sekolah-sekolah sehingga menumbuhkan sanggar-sanggar tari dan pemasok baju gandrung.
Hal ini merupakan suatu kemajuan yang luar biasa, kalau melihat bagaimana antipatinya orang-orang tua terhadap gandrung jaman dulu. Menurut cerita Pak Mitrok pemilik sanggar Jingga Putih Gladag Rogojampi, pada tahun 1970-an, tari gandrung hanya ada di pentas-pentas pertunjukan atau mengamen di jalanan. Gandrung bukan tari yang terhormat. Karena gandrung di pentas pertunjukan identik dengan minuman keras dan wanita-wanita hiburan, orang tua melarang anak-anaknya untuk mendekat ke gandrung.
Sampai suatu saat, bupati saat itu Joko Supaat Slamet (Pak Paat) menyuruh Pak Mitrok untuk menciptakan tari gandrung yang bisa ditarikan oleh anak-anak sekolah. Jadilah tari Jejer Gandrung, yang sekarang menjadi “tari wajib” dalam setiap pertujukan, ditampilkan pertama kali oleh siswi sekolah, termasuk puteri Bupati. Setelah tampil di Pendopo itu tari gandrung mengalami kenaikan martabat. Selain karena mulai ditarikan anak-anak sekolah, Pak Paat juga melarang gandrung untuk ngamen di jalanan, demi menjaga martabat gandrung. Ngamen di jalanan akan menjadikan gandrung sesuatu yang murahan dan menjadi cibiran orang, karena seperti mengemis di jalanan.
Jadi bisa dipahami keprihatinan dari para pemuka agama sejak dulu akan tari gandrung. Misalnya di beberapa desa, di daerah kota yang ada pondok pesantrennya seperti Lateng, tempat pondokan pahlawan lokal Kiai Saleh, atau Tukang Kayu, ada larangan dari kiai untuk “tidak menggantung gong” yang artinya jangan ada pertunjukan.  Istilah tidak menggantung gong berarti jangan menggelar pertunjukan, kalau tidak dituruti diyakini akan ada konsekuensinya, seperti rumahnya terbakar atau rumah tangga orangnya yang tidak pernah akur.
Di Lugjag Rogojampi orang yang punya hajat dilarang mengundang janger, dipercaya pertunjukan ini bisa mengundang banjir. Di Popongan, sunatan anak juga tidak boleh di’ramai’kan.
Lantas, apa maunya FPI? “Maksudnya adalah kita mengingatkan agar kita tidak diazab oleh Allah karena mengumbar kemaksitan seperti itu,” kata Ketua DPW FPI Banyuwangi Agus Iskandar.
Tapi, himbauan FPI terlanjur menyakiti hati banyak orang yang merasa gandrung sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari jati diri orang Banyuwangi. “Aja kakehan sereyat,” kira-kira begitu ungkapannya. Bermakna “Jangan banyak aturan/tingkah” karena berasal dari ungkapan “Aja kakehan syariat.”
GS sudah ditetapkan menjadi acara nasional oleh Menteri Pariwisata Arif Yahya orang Panderejo jadi sepertinya masih akan terus mengisi acara tahunan yang diselenggarakan oleh Pemkab Banyuwangi. Tentang bendera Belanda dan tentang bupati pertama Banyuwangi Mas Alit? Tinggal kita baca buku sejarah dan menyimpulkan sendiri.

Geger Gandrung Sewu Banyuwangi


Geger Gandrung Sewu Banyuwangi
Untunglah pertunjukan Gandrung Sewu (GS) 2018 yang  diselenggarakan di Pantai Boom Banyuwangi berjalan lancar. Meski kemudian ada perdebatan soal bendera Belanda bertuliskan VOC itu terus berkibar sampai akhir acara. Menurut saya itu hanya bagian kecil dari penyelenggaraan pertunjukan raksasa menhadirkan 1300 penari dari 5000an yang diseleksi.
Sebelumnya ada himbauan dari Front Pembela Islam (FPI) Banyuwangi agar pemda menghentikan acara tersebut mengingat begitu seringnya bencana alam yang menghantam beberapa daerah lain misalnya di Lombok atau Palu. Dikawatirkan acara tersebutbut mengundang bencana serupa ke Banyuwangi. Sempat terdengar kabar Pemda “agak goyah”  dan akan memindahkan acara tersebut di Taman Blambangan.
Himbauan FPI ini membuat banyak kalangan di Banyuwangi meradang. Mereka seperti menggaungkan ungkapan khas orang Using Banyuwangi: “Aja kakehan sereyat” yang berarti “Jangan banyak aturan/tingkah.”
Di medsos, ribuan suara “saur manuk” bersautan dan sebagian besar mengecam FPI dan bernada “Aja kakeyan sereyat.” Kekhawatiran mereka ini bisa dimengerti, karena gandrung sudah merupakan ikon Banyuwangi yang bahkan bagi sebagian orang, haram hukumnya diutak-atik. Sekali usulan FPI diakomodasi, bisa merembet ke produk budaya lainnya. Sementara Banyuwangi sudah nyaman hidup dengan simbol-simbol tradisional itu. Bahkan untuk menarik wisatawan, Pemda menggelar lebih 70 festival per tahun, yang sebagian besar merupakan adat dan budaya lokal.
Kekhawatiran muncul karena kasus serupa pernah terjadi. Misalnya, Bupati Azwar Anas menghilangkan simbol ular bermahkota yang dipercaya masyarakat sebagai simbol perlawanan yang ditemukan pada kaki kayu pegangan angklung atau gong pada alat musik tradisional. Bentuk ular bermahkota itu banyak ditemui juga bagai sepasang penjaga kembar di gerbang kantor-kantor pemerintah. Dan karena bisikan “paham baru” bahwa ular yang bercabang lidah merupakan simbol yang jelek, mengisyaratkan kalau orang Banyuwangi bersifat mendua, tidak bisa dipegang omongannya, seluruh patung naga di gerbang-gerbang kantor dan papan nama kantor, itu hilang, termasuk yang ada di gerbang pendopo, rumah dinas bupati.
Tentang perubahan pada kostum gandrung, Bupati Anas juga pernah mengakomodasi permintaan agar baju gandrung menjadi tertutup tidak memperlihatkan kulit penarinya. Menurut catatan pejabat Dinas Pendidikan, Dwi Yanto, untuk menutup kulitnya yang terbuka di bagian pundak dan lengan sampai jari-jari, penari GS diharuskan memakai baju ketat penari penutup tubuh sehingga menutup aurat tetapi pada saat yang sama masih terlihat seperti punggung dan lengan yang terbuka, seperti halnya pada gandrung pertunjukan. Dan untuk itu, Bupati menginginkan baju ketat yang bukan warna kulit, tetapi sekalian hijau, supaya kelihatan bahwa para penari itu memang menutup kulitnya. Para “dieharder” gandrung merasa pemakaian baju ketat daleman ini menyimpang dari ajaran gandrung murni. Banyak yang diam-diam menentang.
Gandrung sudah menutup rambutnya dengan memakai mahkota omprok. Dan penari bagian bawah tubuh penari GS tidak lagi dililit kain yang ketat seperti penari gandrung terob yang kelihatan erotis. Jadilah mereka seperti mengenakan rok yang longgar.
Saya kira usaha-usaha untuk “menutup aurat” yang diharuskan oleh Bupati Anas merupakan jalan tengah untuk mengakomodasi permintaan para pemuka agama (Islam) khususnya yang khawatir soal buka-bukaan aurat pada penari GS. Dan tari Gandrung Sewu ini merupakan pengembangan yang luar biasa dari gandrung pertunjukan. Sekarang Gandrung Sewu menjadi salah satu tari unggulan di sekolah-sekolah sehingga menumbuhkan sanggar-sanggar tari dan pemasok baju gandrung.
Hal ini merupakan suatu kemajuan yang luar biasa, kalau melihat bagaimana antipatinya orang-orang tua terhadap gandrung jaman dulu. Menurut cerita Pak Mitrok pemilik sanggar Jingga Putih Gladag Rogojampi, pada tahun 1970-an, tari gandrung hanya ada di pentas-pentas pertunjukan atau mengamen di jalanan. Gandrung bukan tari yang terhormat. Karena gandrung di pentas pertunjukan identik dengan minuman keras dan wanita-wanita hiburan, orang tua melarang anak-anaknya untuk mendekat ke gandrung.
Sampai suatu saat, bupati saat itu Joko Supaat Slamet (Pak Paat) menyuruh Pak Mitrok untuk menciptakan tari gandrung yang bisa ditarikan oleh anak-anak sekolah. Jadilah tari Jejer Gandrung, yang sekarang menjadi “tari wajib” dalam setiap pertujukan, ditampilkan pertama kali oleh siswi sekolah, termasuk puteri Bupati. Setelah tampil di Pendopo itu tari gandrung mengalami kenaikan martabat. Selain karena mulai ditarikan anak-anak sekolah, Pak Paat juga melarang gandrung untuk ngamen di jalanan, demi menjaga martabat gandrung. Ngamen di jalanan akan menjadikan gandrung sesuatu yang murahan dan menjadi cibiran orang, karena seperti mengemis di jalanan.
Jadi bisa dipahami keprihatinan dari para pemuka agama sejak dulu akan tari gandrung. Misalnya di beberapa desa, di daerah kota yang ada pondok pesantrennya seperti Lateng, tempat pondokan pahlawan lokal Kiai Saleh, atau Tukang Kayu, ada larangan dari kiai untuk “tidak menggantung gong” yang artinya jangan ada pertunjukan.  Istilah tidak menggantung gong berarti jangan menggelar pertunjukan, kalau tidak dituruti diyakini akan ada konsekuensinya, seperti rumahnya terbakar atau rumah tangga orangnya yang tidak pernah akur.
Di Lugjag Rogojampi orang yang punya hajat dilarang mengundang janger, dipercaya pertunjukan ini bisa mengundang banjir. Di Popongan, sunatan anak juga tidak boleh di’ramai’kan.
Lantas, apa maunya FPI? “Maksudnya adalah kita mengingatkan agar kita tidak diazab oleh Allah karena mengumbar kemaksitan seperti itu,” kata Ketua DPW FPI Banyuwangi Agus Iskandar.
Tapi, himbauan FPI terlanjur menyakiti hati banyak orang yang merasa gandrung sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari jati diri orang Banyuwangi. “Aja kakehan sereyat,” kira-kira begitu ungkapannya. Bermakna “Jangan banyak aturan/tingkah” karena berasal dari ungkapan “Aja kakehan syariat.”
GS sudah ditetapkan menjadi acara nasional oleh Menteri Pariwisata Arif Yahya orang Panderejo jadi sepertinya masih akan terus mengisi acara tahunan yang diselenggarakan oleh Pemkab Banyuwangi. Tentang bendera Belanda dan tentang bupati pertama Banyuwangi Mas Alit? Tinggal kita baca buku sejarah dan menyimpulkan sendiri.