Selasa, 29 Desember 2015

Berdoa untuk Banyuwangi dan Indonesia


Badan Pariwisata Dunia, United Nations World Tourism Organization (UNWTO), menyelenggarakan Lomba tahunan sejak 2003. Menurut websitenya, UNWTO ini mempunyai 153 negara anggota dan 350 anggota Afiliasi dari seluruh dunia.

Kategori yang diselenggarakan dalam lombanya adalah:

1.       Pemimpin yang memberi Kreasi dan Menyebarkan Pengetahuan (Creation and Dissemination of Knowledge) dan Penghargaan Seumur Hidup (Lifetime Achievement)

2.       Inovasi oleh Pemerintah

3.       Inovasi oleh Perusahaan

4.       Inovasi oleh Organisasi Non-Pemerintah

5.       Inovasi bidang Riset dan Teknologi

Lomba tahun ini diikuti oleh 109 proyek yang diajukan dari berbagai negara. Indonesia mengirimkan tiga proposal dan tiga-tiganya masuk menjadi finalis. Selengkapnya sebagai berikut:

A.      Finalis Award Bidang Inovasi dalam Kebijakan Publik dan Pemerintahan

1.       Kantor Walikota Medellin KOLUMBIA

2.       Kantor Dinas Pariwisata Banyuwangi INDONESIA

3.       Badan Pariwisata Afrika Timur KENYA

4.       Badan Pariwisata Puerto Rico PUERTO RICO

 

B.      Finalis UNWTO Award untuk Inovasi oleh Perusahaan

1.       Projeto Fartura – Plentifulnes Project – BRAZIL

2.       Garuda Indonesia – Membersihkan Pantai Bali Beach – INDONESIA

3.       Anyksciai Regional Park Direction – Jembatan di antara Puncak Pepohonan – LITHUANIA

4.       Melia Hotel – Professional Experience Project Pertama – SPANYOL

5.       Switzerland Explorers Tours – Bis Wisata 100% Elektric pertama di dunia – SWITZERLAND

 

C.      Finalis UNWTO Award untuk Inovasi oleh Organisasi Non-Pemerintah (LSM)

1.       Friends International – Gerakan Menyelamatkan Anak – KAMBOJA

2.       Yayasan Karang Lestari – Penyelamatan Terumbu Karang – INDONESIA

3.       Samrakshak Samuha Nepal – Program Sisterhood of Survivors (SOS) – NEPAL

4.       Children in the Wilderness – AFRIKA SELATAN

 

D.      Finalis UNWTO Award untuk Inovasi di bidang Riset dan Teknologi

1.       Fundacao Parque Tecnologico Itaipu – BRAZIL

2.       Rijeka Tourist Board – Aplikasi Bergerak Bike Rijeka – CROATIA

3.       Organisasi Pariwisata Korea – Platform untuk Wisata Kesehatan Online – REPUBLIK KOREA

Masing-masing finalis akan diminta memperesentasikan kegiatan mereka melalui video dan diterangkan dengan powerpoint pada tanggal 18 Januari di Palacio Neptuno Madrid.

Pengumuman Pemenangnya akan diselenggarakan tanggal 20 Januari di Madrid Spanyol dalam sebuah acara Gala Dinner.

Mudah-mudahan Indonesia menjadi pemenangnya.

Rabu, 16 Desember 2015

Seminar Bahasa Using, Catatan dan Masukan

(Sekedar informasi, catatan dan masukan ini sudah langsung diserahkan ke Ketua Panitia Bp. Bambang Lukito. Catatan dengan beberapa tambahan poin ini bagian dari diskusi terbuka untuk masalah yang menyangkut urusan publik).

 Saya diundang untuk menghadiri sebuah Seminar Ilmiah Nasional Bahasa Oseng, Mengungkap Perbedaan Bahasa Oseng dengan Bahasa Jawa. Seminar ini dilaksanakan oleh Dewan Kesenian Blambangan yang didukung oleh DPD RI dan Dinas Pendidikan Kabupaten Banyuwangi.
Berikut beberapa catatan saya:

1.     Konstruksi pemikiran panitia (yang semuanya anggota Dewan Kesenian Blambangan) dari semula seminar ini patut dipertanyakan, karena Bahasa Using sudah dinyatakan sebagai bahasa sejak 1987 dengan adanya desertasi S3 Universitas Indonesia “Bahasa Using di Kabupaten Banyuwangi”, kemudian ada Kamus Bahasa Daerah Using-Indonesia, Pedoman Ejaan Umum Bahasa Using, Perda Banyuwangi no 5/2005, sudah diajarkan di sekolah dasar sejak 1997.

Jadi diskusi (saya lebih suka menyebut diskusi, tidak bisa disebut seminar sebab tidak ada penyanggah atau pembandingnya) itu, merupakan sebuah setback (langkah mundur). Mengapa merobohkan lagi sesuatu yang sudah berdiri meski belum sempurna. Semestinya Panitia memikirkan bagaimana membangun bahasa Using ke depan, bukan melangkah mundur.

2.     Penyebutan Oseng, sama sekali tidak ada rujukan satu pun. Merupakan syahwat panitia yang ingin diakui sebagai orang yang paling tahu. Sementara secara legal formal, masih menggunakan ejaan Using. Panitia sangat tidak punya etika, menggunakan ejaan yang tanpa rujukan yang berpotensi membingungkan guru-guru, seperti yang diungkapkan oleh Ketua KKG Bahasa Using Singojuruh, Kang Juwono. Dengan begini, panitia tidak ikut menegakkan bangunan bahasa Using yang sudah dibangun oleh almarhum Hasan Ali dan kawan-kawan. Jadi, penghargaan yang ditujukan kepada Pak Hasan Ali hanyalah basa-basi.

3.     Panitia tidak serius menggarap diskusinya. Kalau serius tentu akan mengundang:

a.     Doktor Himawan, kepala biro Hukum Pemprov, orang yang berada di balik Peraturan Gubernur no. 19/2014. Pergub inilah yang diprotes keras oleh DKB.

b.     Prof. Dr. Setya Yuwono Sudikan, MA dosen Unesa Surabaya yang dituduh sebagai pembisik pemprov untuk melabeli bahasa Using sebagai dialek, sehingga tidak disebut sebagai bahasa dalam Pergub tersebut.

c.     Drs. Amir Machmud, M. Pd. Kepala Balai Bahasa Jawa Timur, yang mengurusi permasalahan bahasa di Jawa Timur.

Saya katakan tidak serius, karena panitia mengirim undangan kepada Pak Himawan dan Pak Amir Mahmud, pada hari Kamis, empat hari sebelum hari H seminar. Mestinya mereka ini lah yang diberi waktu cukup untuk mempresentasikan diskursus yang menjadi awal perdebatan.

d.     Kalau panitia serius, tentu akan menggalang seluruh kekuatan Banyuwangi menjadi satu untuk “melawan” musuh bersama, sehingga tujuan akhir untuk merevisi Pergub bisa dilakukan. Yang dilakukan panitia malah memecah-belah kekuatan di Banyuwangi seperti yang terjadi pada diskusi kemarin. Energi orang Banyuwangi habis untuk perdebatan oseng-using yang percuma, sementara mestinya seluruh energi disatukan untuk melawan para pemegang kekuasaan di pemprov.

4.     Diskusi kemarin, berencana mengundang Prof. Dr. Ayu Sutarto, sayang beliau pada hari yang sama masuk rumah sakit. Jadi ukuran nasionalnya yang mana? Seluruh penyaji, kecuali Ibu Emilia Contessa yang tidak menyajikan makalah, semua dari Banyuwangi.

 5.     Ada poin-poin yang disampaikan oleh dua orang pemakalah: 1. Kang Hasan Basri, bahwa kalau orang lain, lembaga lain menyebut Using sebagai dialek, kita teliti saja sendiri. Dan pemakalah lain: MH Qowim cenderung menyalahkan para peneliti dari luar, apakah pemilihan sampelnya, apakah Titik Pengamatan atau Daerah Penelitan. Atau peneliti luar sudah mempunyai kesimpulan sebelum penelitian dilakukan.

Membuat penelitian sendiri bukanlah sesuatu yang haram, tetapi prosudur ilmiah yang namanya penelitian juga harus dilakukan. Yang paling sederhana, seminar mestinya ada makalah pembanding/penyanggahnya. Dan yang jauh lebih penting adalah penelitian tersebut diuji oleh tim yang berkompeten dalam bidangnya, dengan prosedur yang sudah baku dalam dunia penelitian. Penilaian tidak cukup sorak-sorai teman-teman saja.

Soal menyalahkan peneliti dari luar, dalam dunia etika keilmuwan, kita boleh menyalahkan peneliti manapun. Tidak dengan mencerca mereka di depan umum bahwa penelitian mereka tidak valid, sampelnya salah, daerah penelitiannya keliru. Tapi bikinlah penelitian setara dan melalui ujian yang sama. Qowim sebagai Ketua Pusat Penelitian Bahasa Oseng semestinya tahu prosedur ilmiah. (Barangkali ada yang bisa memberi tahu kepada saya, Pusat Penelitian Bahasa Oseng ini sudah menghasilkan penelitian apa, hasilnya pernah dimuat di jurnal ilmiah apa, atau pernah diajukan lewat perguruan tinggi mana).

6.     Saya pernah berbicara dengan Pak Himawan menanyakan secara langsung soal Pergub 19/2014 tentang Mata Pelajaran Bahasa Daerah sebagai Muatan Lokal Wajib di Sekolah/Madrasah dan Perda Jatim No. 9/2014 tentang Penyelenggaraan Pendidikan pada saat Uji Sahih Undang-undang Bahasa Daerah di Surabaya. Beliau menyatakan sebenarnya tidak ada masalah dengan pengajaran bahasa Using, tergantung Pemda setempat.

Pada kesempatan lain, saya mendapat info dari Kang Hasan Basri, guru di SMPN1 yang ikut memberi materi dalam buku pelajaran, serta informasi dari Kelompok Kerja Guru Bahasa Using, dari tahun 2007, tidak pernah ada lagi pelatihan untuk guru-guru yang pada dasarnya mereka adalah bukan sarjana bahasa Using. Tidak pernah ada lagi materi ajar baru.

Jadi pada saat diskusi di Pendopo kemarin diteriakkan “Bahasa Using sebagai Harga Mati”, seakan-akan menjadi teriakan heroik. Pada kenyataannya, Pemerintah daerah dan DKB, dari tahun 2007 sampai keluarnya Pergub tersebut, tidak pernah melakukan sesuatu untuk membangun nguri-uri bahasa Using. Tidak menyisihkan anggaran untuk menguatkan pembelajaran bahasa Using. Jadi sebelum menyalahkan orang lain, dalam hal ini pemprov, ada baiknya kita menoleh lagi apa yang sudah kita kerjakan.

7.     Muncul pula dalam diskusi kemarin, usulan mengganti ejaan ortografi yang sekarang, yang dianggap terlalu kejawa-jawaan. “Pantas saja diakui sebagai dialek bukan bahasa,” demikian salah seorang pengusul. Ini adalah pemahawam orang awam. Pada penelitian dialektologi, untuk menentukan apakah sebuah bahasa itu dialek atau bahasa, tidak dilihat dari ejaan ortografinya, melainkan dari fonetiknya, yang ditulis dari tuturan sampel.

8.     Saya berpendapat, perbanyaklah karya-karya dalam bahasa Using ini justru dengan ejaan ortografi yang orang lain bisa membacanya. Sebuah kata yang sama dengan bahasa Jawa atau Indonesia, untuk menunjukkan berbeda artinya dengan bahasa Using. Bukan malah menghindar. Istilahnya kita harus bertempur pada ‘level playing field’ yang sama. Dengan ejaan yang sama dengan Jawa, ternyata orang Jawa tidak mengerti dengan benar kalimat-kalimat yang tersusun. akan menunjukkan bahwa bahasa Using berbeda dengan bahasa Jawa. Semakin banyak karya, semakin gampang meyakinkan mereka bahwa kedua bahasa ini berbeda. (Sebenarnya, Doktor Suparman sudah mengatakan dalam thesisnya tahun 1987, bahwa kedua bahasa ini mempunyai akar yang sama, tetapi terpisah dan berkembang seperti sekarang. Jadi mubazir lah kalau mencoba lagi mengutak-atik bahwa bahasa Jawa berbeda dengan bahasa Using).


 

Minggu, 06 Desember 2015

Pak Hasan Ali yang saya kenal


Pak Hasan Ali yang saya kenal
(memperingati hari ulang tahun Pak Hasan Ali 7 Desember)
Saya merasa beruntung menjadi salah satu generasi lare Belambangan yang mengenal secara langsung almarhum Pak Hasan Ali semasa hidupnya. Itu pun sebenarnya tidak terlalu intens. Saya menemui beliau pada saat liburan lebaran atau kalau sedang ada penugasan liputan ke arah Banyuwangi.
Pertama kali saya datang ke Mangir, Rogojampi, tempat terakhir beliau tinggal, diterima di ruang tamu rumahnya yang sangat sederhana. Rumahnya yang hanya bertembok gedhek, tetapi sangat rapi. Yang saya rasakan adalah: I found a friend in him. Pembawaannya yang ramah, sangat ngemong kepada orang yang lebih muda, dan memberi banyak saya wawasan tentang Banyuwangi. Misalnya, tentang rasa percaya diri yang harus dibangkitkan pada generasi mudanya. Lantas, beliau bercerita soal upaya para pemegang kebijakan di Banyuwangi pada tahun 1970-an, membalikkan cerita Damarwulan, dari sebuah ironi menjelek-jelekkan raja Blambangan, tetapi pada saat yang sama menjadi salah satu kesenian yang sangat digemari oleh rakyat Banyuwangi, menjadi cerita sebaliknya.
“Fiksi kita balas dengan fiksi,” kata beliau. Jadilah sejak saat itu, pakem cerita Damarwulan menjadi cerita yang mengagungkan Minakjinggo, karakter yang diyakini sebagai tokoh sejarah Bhre Wirabumi, satu-satunya anak lelaki Hayam Wuruk dari pihak selir, sebagai pewaris tahta yang dianggap lebih berhak dari anak perempuan Hayam Wuruk. 
Pada saat mewawancarai beliau soal Seblang, beliau bercerita juga soal penafsiran syair-syair gending tradisional Banyuwangi, yang sudah melampaui jamannya. Sebuah ide yang melahirkan tulisan lain untuk saya.
Angkatan Pujangga Baru tahun ’45 dianggap angkatan yang mengenalkan bentuk tak beraturan dari puisi-puisi yang dibilang pembaharuan. Sementara sudah puluhan bahkan ratusan tahun  sebelumnya syair gending tradisional Gandrung Banyuwangi atau lirik-lirik kuno yang dilantunkan  pada pertunjukan adat Seblang, bentuknya sudah tidak beraturan, tidak mengindahkan persajakan dan persamaan bunyi.
Pada tatanan isi, gending-gending tersebut juga sangat maju. Biasanya, isi pada lirik-lirik mantra dan upacara adat, menceritakan hubungan manusia dengan sesembahannya. Sementara lirik gending tradisional Gandrung Banyuwangi, bercerita di luar pakem tradisional, misalnya tentang kisah kasih antar manusia, atau cerita tentang taktik perang gerilya. Soal yang terakhir ini, diyakini karena orang-orang Banyuwangi tercerai-berai setelah berbagai perang yang melanda Blambangan. Medium gandrung yang bisa berpindah-pindah ngamen dari satu desa ke desa lain dan berkeliling tanpa banyak hambatan dari penguasa Belanda, dimanfaatkan untuk memberi wejangan yang dibungkus dengan lirik lagu.  Lirik gending Seblang Lukenta misalnya: //Lawang gedhe wonten hang njagi/ medala ring lawang butulan/ Wis biyasane ngemong adhine/ sak tinjak baliya mulih// - //Pintu besar ada yang jaga/ keluarlah lewat pintu yang rapuh/ Sudah biasa momong sang adik/ sekali tendang lantas kembali//.
Pak Hasan adalah narasumber yang sangat informatif. Pengalamannya sebagai anggota DPRD, sebagai panjak gandrung, sebagai ketua Dewan Kesenian Blambangan membawa pembicaraan seperti tak pernah ingin saya putus. Satu-satunya pemutus adalah waktu yang sudah menunjukkan jam dua dinihari. Padahal, kondisi badannya tidak tangguh lagi.
Pada tahun 1990-an, hubungan dengan telepon bukan sesuatu yang gampang dilakukan. Terutama karena tarif mahalnya kalau dilakukan secara inter-lokal. Telepon genggam belum ada. Saya sadari pertemuan dengan beliau adalah waktu-waktu yang sangat berharga.
Suatu saat beliau bercerita soal kamus Bahasa Daerah Using-Indonesia, yang pada saat pembuatannya banyak pula mendapat tantangan dari orang-orang Banyuwangi sendiri. Bukan hanya karena cara pengumpulannya yang tidak lazim. Saat itu komputer merupakan suatu barang mewah dan tidak setiap orang punya akses seperti sekarang. Tanpa komputer, Pak Hasan masih menggunakan mesin tulis manual dan mengetik satu per satu kata entry di luar kepala. Tanpa bantuan kartu entry kata.
Pada umumnya, penyusun kamus dibantu oleh kartu yang mencatat setiap entry kata baru. Setiap kartu ini mencatat setiap kata, arti katanya, pengucapannya, penggunaannya dalam konteks. Setiap menemukan kata baru, penyusun kamus menuliskannya dan memasukkan sesuai dengan urutan abjadnya. Tapi tidak Pak Hasan Ali. Ia bekerja tanpa kartu itu.
Di tengah-tengah pengerjaannya, untunglah ada seorang Jepang bernama Igarasi yang datang dan melihat, lantas merekomendasi Toyota Foundation untuk membekali Pak Hasan dengan sebuah komputer. Herannya, pada saat proses pembuatan kamus tersebut, ada beberapa orang Banyuwangi yang nyinyir, mengatakan bahwa kamus itu tak akan pernah selesai. Apa yang dilakukan oleh Pak Hasan? Tetap bekerja menyelesaikan kamus tersebut. Karya akan mematikan gerundelan orang yang tidak penting. Dan setelah kamus itu selesai, tak juga ada pengakuan dari orang-orang tersebut. Dalam hati saya membatin, orang-orang ini,  mestinya memperkaya hasil kerja Pak Hasan, bukan mencemooh apa yang dikerjakannya untuk Banyuwangi.
Salah satu yang dikejar Pak Hasan untuk menyelesaikan kamus itu adalah keprihatinannya melihat kondisi bahasa Using, salah satu bahasa lokal yang digunakan banyak dalam gending-gending kesenian ataupun tuturan dalam upacara adat di Banyuwangi. Tanpa ada pembelajaran bahasa ini di sekolah-sekolah, usia bahasa ini tinggal menunggu waktu. Pak Hasan waktu itu mengatakan,  sebagai medium, tanpa adanya bahasa ini, tak akan ada gandrung atau kesenian dan upacara adat lainnya.
Setelah beberapa kali pertemuan, ruang tamu berpindah ke belakang, di meja makan yang sekaligus meja kerjanya yang berada di depan rak-rak bukunya. “Buku saya hanya soal bahasa dan sejarah,” kata beliau menerangkan. Sesekali beliau mengambilkan saya referensi berupa buku atau fotokopian, yang kemudian dikembalikan ke tempatnya semula. Beliau perlu beberapa menit tambahan untuk memastikan naskah itu tersimpan rapi dalam arti harfiah, merapikan pinggir-pinggirnya sampai lurus.
Obsesinya yang sampai sekarang belum kesampaian adalah membawa Perang Bayu ke dalam buku serial Sejarah Nasional Indonesia (SNI). Matanya pernah seakan melihat saya dengan tidak percaya, saat saya bawakan enam jilid buku SNI, yang saya dapatkan dari sebuah pameran buku di Istora. Berkali-kali menanyakan,"Benar buku ini untuk saya?" Isi satu seri buku SNI itu lah yang terus menjadi ganjalan penuh kegundahan beliau, jauh sebelum beliau menerima seri buku tersebut.
“Bagaimana mungkin perang yang diakui sendiri oleh Belanda, yang menghabiskan biaya dan nyawa serdadu Belanda terbanyak mulai Belanda ada di nusantara sampai saat itu, tidak masuk ke dalam sejarah bangsa kita?” ungkapnya.
Upaya memasukkan bagian paling heroik dalam sejarah Blambangan, yang dikenal dengan Perang Bayu, ke dalam buku SNI yang saat itu akan diperbaharui, membuat saya menjadi semacam kurir yang menghubungkan Pak Hasan dengan tim penulis SNI. Salah satunya adalah Ibu Prof. Dr. Herlina Lubis, dosen Universitas Padjadjaran. Beberapa kali saya membawa naskah yang disiapkan oleh Pak Hasan dan menitipkannya pada Tim Penulis SNI yang sering menggelar rapatnya di kantor kementrian Pendidikan di Senayan Jakarta.
Buku sejarah kita memang diwariskan dari Belanda. Sehingga nama-nama pahlawan yang disebut dalam sejarah nasional adalah mereka yang pernah takluk atau dikalahkan penjajah Belanda. Sementara nama-nama dan peristiwa yang pernah memalukan Belanda, tidak pernah masuk dalam perjalanan sejarah yang mereka bikin, termasuk Perang Bayu, bulan Desember 1771.
Dalam buku Perebutan Hegemoni Blambangan, penulisnya Pak Sri Margana mengatakan, orang-orang Banyuwangi menentukan hari lahir kotanya tiga tahun lebih awal. Justru pilihan ini disadari dari awal. Pak Hasan , sebagai pengusul tanggal tersebut, mencari  hari di mana pahlawan Belambangan meluluhlantakkan penjajah sebagai rujukan hari lahir. Beliau meyakini, manusia tidak bisa memilih hari lahirnya, tetapi hari kelahiran sebuah kota atau daerah, bisa dicari sesuai dengan rujukan sebuah peristiwa yang mengilhami, yang membangkitkan semangat heroisme dan menginspirasi warganya untuk mewarisi semangat kakek buyutnya.  Bukan hari saat penjajah memberi beslit untuk menunjuk bupati baru di tempat baru, sebagai upaya menghilangkan jejak Blambangan. Apalagi tanggal saat bupati yang bersumpah setia kepada penjajah menduduki kantor baru. Karena pada tanggal-tanggal itu tidak ada satupun kenangan yang bisa dibanggakan anak cucu dan pada saat yang sama  mencederai perasaan para pahlawan yang berjuang mengusir para penjajah dari tanah air.
Kelemahan Pak Hasan adalah memberi label pada Perang Bayu, sebagai perang Puputan, yang rujukannya tidak dapat ditemui. Perdebatan panjang dengan orang-orang yang berseberangan secara ideologis, menafikkan ide tentang pentingnya memilih tanggal tersebut sebagai hari lahir Banyuwangi. Bengkerengan tentang ada tidaknya istilah Puputan menutupi pentingnya pemilihan tanggal 18 Desember sebagai hari lahir Banyuwangi.
Tentu saja, dengan mengatasnamakan Angkatan ’45, beliau menolak ide menggunakan tanggal 20 Oktober atau 24 Oktober 1773, sebagai hari jadi Banyuwangi. Memang pada tanggal tersebut, bupati pertama Mas Alit menempati pendopo barunya di Banyuwangi. Sehingga, sebagian orang bersikeras, tanggal ini lah sebagai tanggal lahirnya kota Banyuwangi.
“Bagaimana mungkin kita mengakui tanggal yang digunakan penjajah untuk memindahkan ibukota, menjadi tanggal hari lahir Banyuwangi? Mana ada pelajaran moral untuk pewaris Banyuwangi?” kata beliau bersemangat.
Jiwa besar beliau terlihat pada saat merekomendasikan saya untuk mewawancarai Pak Fatrah Abal (almarhum) meski beliau ini adalah salah satu yang ikut berseberangan soal Puputan Bayu. “Pak Fat teman baik saya di luar perbedaan yang kami punya.” Sampai sekarang, saya hanya sekali bertemu dengan Pak Fat, dan belum sempat berbicara panjang lebar tentang Banyuwangi. Mudah-mudahan keduanya diberi kubur yang lebar dan terang.
Penyesalan terbesar saya akan beliau adalah tak bisa mengantarnya ke liang kubur. Dan dari puterinya, Virgi, belakangan, saya mendengar ternyata beliau pernah meminta tolong sopir puterinya yang lain, mbak Emilia Contessa di Jakarta, untuk mengantarnya ke rumah saya di Pamulang. Tetapi tidak pernah terjadi. 
Pesan beliau untuk saya terakhir kali bertemu dengan beliau adalah: “Banyak-banyaklah menulis dalam bahasa Using.”  Wekas yang saya ingat sampai sekarang. “Sebagai bahasa yang utuh, bahasa Using harus bisa menjadi bahasa yang digunakan sebagai bahasa pengantar di sekolah, di kantor, bahkan sebagai bahasa ilmiah.  Bahasa Using harus bisa menerjemahkan buku-buku asing dan yang lebih bagus  kalau karya-karya berbahasa Using diterjemahkan ke bahasa asing.”
Mudah-mudahan Pak Hasan menyaksikan apa yang diperjuangkannya sedikit demi sedikit menunjukkan hasilnya. Lebih penting lagi, apa yang beliau perjuangkan, soal Perang Bayu dalam SNI dan bahasa Using menjadi bahasa yang utuh, bisa terlaksana di kemudian hari.
Selamat ulang tahun Pak Hasan!