Senin, 24 November 2014

Ikan segar, bagiak dan festival


Minggu pertengahan November lalu saya pulang kampung ke Banyuwangi, membawa amanah dari Ikawangi untuk Hibah Buku ke sekolah-sekolah di Banyuwangi. Sekalian esoknya saya ikut menyaksikan Banyuwangi Ethno Carnival. Di saat-saat jam makan, selalu saya sempatkan merasakan nikmatnya makan ikan bakar, sego cawuk dan membeli oleh-oleh sale pisang dan bagiak.

Suatu saat saya makan ikan bakar bersama beberapa teman. Saya katakan kepada mereka: berbahagialah yang tinggal di Banyuwangi. Ikannya selalu segar. Hing ana iwak hang manju. Ikan pancingan besar-besar, segar gampang ditemui di pasar Kidul di Biskalan.

Teman-teman yang belum pernah tinggal di kota-kota besar seperti Surabaya atau Jakarta, tentu belum pernah merasakan betapa Banyuwangi begitu dilimpahi banyak kenikmatan oleh Yang Maha Kuasa, yaitu ikan segar yang selalu melimpah. Di Jakarta khususnya, kita selalu makan ikan laut yang pilihannya hanya dua: ikan yang berformalin dan ikan yang sudah berhari-hari mungkin berminggu-minggu disimpan dalam es. Formalin atau sejenisnya, itu adalah pengawet mayat. Di pasar-pasar tradisional, ikan laut selalu bebas dari lalat, karena lalat tidak suka formalin. Rasa ikan, jadinya hambar tidak manis dan berdaging segar seperti di Banyuwangi. Banyak orang Banyuwangi tidak sadar akan hal ini, take it for granted.

Sama halnya dengan oleh-oleh sale pisang atau bagiak. Dua jenis kue yang bagi orang yang tinggal di Banyuwangi, tidak dirasakan sebagai makanan yang istimewa. Untuk orang-orang Banyuwangi yang sekarang tinggal di luar tanah kelahirannya, dua jenis kue itu membawa banyak kenikmatan. Seakan saat makan sale dan bagiak, mengingatkannya akan indahnya kampung halaman, melepaskan dahaga rindu akan kampung halaman.

Jadi orang Banyuwangi harus disadarkan bahwa mereka punya ikan yang segar, kue yang enak dan makanan yang kelasnya bisa disejajarkan dengan jenis oleh-oleh dari daerah lain. Tentu dengan kemasan yang bagus.

Pada saat yang sama, saya sering mendengar keluhan teman-teman yang punya kepedulian tentang Banyuwangi, bahwa anak-anak muda di Banyuwangi, malu menggunakan bahasa Using. Pada saat mereka keluar Banyuwangi, misalnya untuk kuliah di luar kota, mereka baru merasakan betapa mereka punya suatu bahasa yang sangat bisa dibanggakan. Bahasa yang tidak kampungan, dan bisa sejajar dengan bahasa lain. Bahkan ada kebanggaan tersendiri, kalau di luar sana, berbicara bahasa Using dengan teman sekampung. You don’t know what you got until it’s gone. Anak-anak muda yang malu menggunakan bahasa Using ini, tidak tahu betapa mereka punya sesuatu yang bisa dibanggakan, dan baru merasakan betapa berharganya, saat sesuatu itu sudah hilang. Anak muda harus ditumbuhkan kebanggaannya menggunakan bahasa Using.

Sama halnya Banyuwangi Ethno Carnival (BEC). Konsep semula memang BEC ini dibikin seperti Jember Fashion Carnaval, karena otaknya orang yang sama. Ini yang menurut saya salah besar. Dengan segala hormat, Jember tidak punya akar kebudayaan seperti Banyuwangi yang kaya. Makanya festival yang mereka bikin adalah mengekor Carnival de Rio (walau dengan modifikasi), sehingga temanya misalnya Musim Dingin. Apa yang ada di benak orang Jember ketika disodori Musim Dingin? Mungkin yang ada dipikiran mereka, Musim Bediding, saat ayam banyak yang mati. Tetapi tetap bisa muncul karena mereka tidak punya akar.

Meski akhirnya BEC, diberi sentuhan lokal, misalnya tema Kebo-keboan, atau Seblang, warna JFCnya masih terasa. Jenis festival-festivalan seperti ini, pada saat ditiru di daerah lain, misalnya di Solo, Semarang, Pekalongan, Situbondo, Buleleng Bali, jadi kehilangan keunikannya. Pada saat anda disodori foto dari festival Buleleng dengan Situbondo, anda tidak akan tahu bedanya. Setali tiga uang dengan BEC.

Orang-orang Banyuwangi perlu disadarkan, betapa mereka mempunyai kebudayaan yang sangat kaya, yang sangat bisa ditingkatkan kelasnya ke nasional bahkan internasional. BEC akan dijadikan kalender pariwisata nasional, karena menterinya kebetulan dari Banyuwangi.
Yang sangat disayangkan, mengapa pilihannya ke BEC, bukan Festival Kuwung yang lebih tradisional, yang punya ciri kebanyuwangian yang kental. JFC, BEC atau carnaval-carnival lainnya akan sangat gampang diamati, ditiru, dan dimodifikasi (ATM) oleh daerah lain, dan akan kehilangan identitasnya karena semuanya seragam. Kenapa bukan Kuwung? Entahlah itu memang sebuah pilihan. Sekali lagi, yang saya lihat kita take for granted dan tidak sadar apa yang kita punya karena hal tersebut belum hilang dalam genggaman kita. Apakah itu kesenian tradisionalnya, apakah itu bahasa Using, apakah itu banyaknya ikan segar di pasar.
 
Saya lebih memilih Festival musik keplakan, yang bisa mengundang pemusik dari berbagai daerah juga, daripada jazz. Atau Festival Tabuhan Caruk, yang sangat atraktif, dan sebentar lagi mungkin tinggal kenangan, karena minimnya tanggapan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar