Minggu pertengahan November lalu saya pulang kampung ke
Banyuwangi, membawa amanah dari Ikawangi untuk Hibah Buku ke sekolah-sekolah di
Banyuwangi. Sekalian esoknya saya ikut menyaksikan Banyuwangi Ethno Carnival.
Di saat-saat jam makan, selalu saya sempatkan merasakan nikmatnya makan ikan
bakar, sego cawuk dan membeli oleh-oleh sale pisang dan bagiak.
Suatu saat saya makan ikan bakar bersama beberapa teman.
Saya katakan kepada mereka: berbahagialah yang tinggal di Banyuwangi. Ikannya
selalu segar. Hing ana iwak hang manju.
Ikan pancingan besar-besar, segar gampang ditemui di pasar Kidul di Biskalan.
Teman-teman yang belum pernah tinggal di kota-kota besar
seperti Surabaya atau Jakarta, tentu belum pernah merasakan betapa Banyuwangi
begitu dilimpahi banyak kenikmatan oleh Yang Maha Kuasa, yaitu ikan segar yang
selalu melimpah. Di Jakarta khususnya, kita selalu makan ikan laut yang
pilihannya hanya dua: ikan yang berformalin dan ikan yang sudah berhari-hari
mungkin berminggu-minggu disimpan dalam es. Formalin atau sejenisnya, itu
adalah pengawet mayat. Di pasar-pasar tradisional, ikan laut selalu bebas dari
lalat, karena lalat tidak suka formalin. Rasa ikan, jadinya hambar tidak manis
dan berdaging segar seperti di Banyuwangi. Banyak orang Banyuwangi tidak sadar
akan hal ini, take it for granted.
Sama halnya dengan oleh-oleh sale pisang atau bagiak. Dua
jenis kue yang bagi orang yang tinggal di Banyuwangi, tidak dirasakan sebagai
makanan yang istimewa. Untuk orang-orang Banyuwangi yang sekarang tinggal di
luar tanah kelahirannya, dua jenis kue itu membawa banyak kenikmatan. Seakan
saat makan sale dan bagiak, mengingatkannya akan indahnya kampung halaman,
melepaskan dahaga rindu akan kampung halaman.
Jadi orang Banyuwangi harus disadarkan bahwa mereka punya
ikan yang segar, kue yang enak dan makanan yang kelasnya bisa disejajarkan
dengan jenis oleh-oleh dari daerah lain. Tentu dengan kemasan yang bagus.
Pada saat yang sama, saya sering mendengar keluhan
teman-teman yang punya kepedulian tentang Banyuwangi, bahwa anak-anak muda di
Banyuwangi, malu menggunakan bahasa Using. Pada saat mereka keluar Banyuwangi,
misalnya untuk kuliah di luar kota, mereka baru merasakan betapa mereka punya
suatu bahasa yang sangat bisa dibanggakan. Bahasa yang tidak kampungan, dan
bisa sejajar dengan bahasa lain. Bahkan ada kebanggaan tersendiri, kalau di
luar sana, berbicara bahasa Using dengan teman sekampung. You don’t know what you got until it’s gone. Anak-anak muda yang
malu menggunakan bahasa Using ini, tidak tahu betapa mereka punya sesuatu yang
bisa dibanggakan, dan baru merasakan betapa berharganya, saat sesuatu itu sudah
hilang. Anak muda harus ditumbuhkan kebanggaannya menggunakan bahasa Using.
Sama halnya Banyuwangi Ethno Carnival (BEC). Konsep semula
memang BEC ini dibikin seperti Jember Fashion Carnaval, karena otaknya orang
yang sama. Ini yang menurut saya salah besar. Dengan segala hormat, Jember
tidak punya akar kebudayaan seperti Banyuwangi yang kaya. Makanya festival yang
mereka bikin adalah mengekor Carnival de Rio (walau dengan modifikasi),
sehingga temanya misalnya Musim Dingin. Apa yang ada di benak orang Jember
ketika disodori Musim Dingin? Mungkin yang ada dipikiran mereka, Musim
Bediding, saat ayam banyak yang mati. Tetapi tetap bisa muncul karena mereka
tidak punya akar.
Meski akhirnya BEC, diberi sentuhan lokal, misalnya tema
Kebo-keboan, atau Seblang, warna JFCnya masih terasa. Jenis festival-festivalan
seperti ini, pada saat ditiru di daerah lain, misalnya di Solo, Semarang,
Pekalongan, Situbondo, Buleleng Bali, jadi kehilangan keunikannya. Pada saat
anda disodori foto dari festival Buleleng dengan Situbondo, anda tidak akan
tahu bedanya. Setali tiga uang dengan BEC.
Orang-orang Banyuwangi perlu disadarkan, betapa mereka
mempunyai kebudayaan yang sangat kaya, yang sangat bisa ditingkatkan kelasnya
ke nasional bahkan internasional. BEC akan dijadikan kalender pariwisata
nasional, karena menterinya kebetulan dari Banyuwangi.
Yang sangat disayangkan, mengapa pilihannya ke BEC, bukan
Festival Kuwung yang lebih tradisional, yang punya ciri kebanyuwangian yang
kental. JFC, BEC atau carnaval-carnival lainnya akan sangat gampang diamati,
ditiru, dan dimodifikasi (ATM) oleh daerah lain, dan akan kehilangan
identitasnya karena semuanya seragam. Kenapa bukan Kuwung? Entahlah itu memang
sebuah pilihan. Sekali lagi, yang saya lihat kita take for granted dan tidak sadar apa yang kita punya karena hal
tersebut belum hilang dalam genggaman kita. Apakah itu kesenian tradisionalnya,
apakah itu bahasa Using, apakah itu banyaknya ikan segar di pasar.
Saya lebih memilih Festival musik keplakan, yang bisa mengundang pemusik dari berbagai daerah juga, daripada jazz. Atau Festival Tabuhan Caruk, yang sangat atraktif, dan sebentar lagi mungkin tinggal kenangan, karena minimnya tanggapan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar