Selasa, 25 November 2014

Kajian Pustaka dan Peran Dewan Kesenian Blambangan


Tanggal 21 November lalu saya mendapat amanah menyelenggarakan acara Hibah Buku dari Ikawangi untuk Banyuwangi. Buku yang akan dibagi adalah:

1.       Markas Ketelon (cerita anak-anak untuk kalangan Sekolah Dasar negeri dan swasta) berbahasa Using

2.       Kembang Ronce 2014 (kumpulan cerita pendek untuk kalangan SD, SMP, SMA/SMK negeri dan swasta) berbahasa Using. Merupakan kumpulan cerpen yang dihasilkan dari Lomba Mengarang Cerita Pendek Berbahasa Using tahun ini (diumumkan bulan Mei 2014 lalu).

3.       18+, merupakan sepenggal cerita perjalanan salah seorang sesepuh Ikawangi, sampai beliau menjadi petinggi sebuah perusahaan. Yang dibagian ke seluruh sekolah dari SD-SMA.

Selain 802 SD, 263 SMP-SMA/SMK, buku juga dibagikan ke para pejabat UPTD (Unit Pelaksana Teknis Daerah, pimpinan departemen Pendidikan yang ada di kecamatan) yang membawahi 24 kecamatan, para MKKS (Musyawarah Kerja Kepala Sekolah) yang membawahi 6 kelompok (SMP Negeri dan Swasta, SMA Negeri dan Swasta, SMK Negeri dan Swasta).

Buku juga dibagikan kepada beberapa pejabat terkait, perpustakaan daerah, rumah-rumah baca, seniman, budayawan hampir 300 eksemplar.

Yang paling menggembirakan saya adalah Dewan Kesenian Blambangan (DKB) ikut serta mengambil peran. Menurut Dinas Pendidikan, DKB memohon untuk ikut membuat kajian mendalam mengenai buku-buku yang khusus tentang budaya dan bahasa Using. Termasuk tiga buah buku di atas. Pertimbangannya banyak buku-buku yang akhir-akhir ini beredar di sekolah dengan muatan yang tidak sesuai dengan norma dan nilai yang berlaku di masyarakat.

Sudah seharusnya sebuah lembaga yang mengurus kesenian Blambangan, melakukan hal ini. Saya berharap, hasil kajiannya dipaparkan kepada umum dengan mengundang semua stakeholder Basa Using, semua orang dan lembaga yang berkepentingan dengan hidup matinya bahasa Using yang nasibnya sekarang sedang di ujung tanduk ini.

Sewajarnya DKB melakukan pengkajian pustaka  ini secara rutin dengan memaparkan kajiannya yang mendalam kepada masyarakat sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada publik. Karena belakangan banyak buku-buku yang beredar, tentang Banyuwangi secara umum.

Misalnya: Siapa Mereka? Tokoh Seniman dan Budayawan Banyuwangi (Eko Budi Setianto), ada Kembang Pethethan (Yeti Chotimah), Lilin yang Habis Terbakar (Eko Budi Setianto), Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti (Taufik Wr. Hidayat) dan judul-judul buku lain yang sekarang sedang dalam proses penerbitan.

Andai kajian pustaka ini dapat digelar rutin, misalnya sebulan sekali, DKB tentu akan menghidupkan salah satu simpul kebudayaan, berdiskusi tentang buku, memberi pencerahan. Pada ujungnya, memberi kontribusi nyata terhadap perkembangan kesenian di Banyuwangi. Serta memberikan iklim berkesenian secara umum yang sehat dan berwawasan mondial.

Senin, 24 November 2014

Ikan segar, bagiak dan festival


Minggu pertengahan November lalu saya pulang kampung ke Banyuwangi, membawa amanah dari Ikawangi untuk Hibah Buku ke sekolah-sekolah di Banyuwangi. Sekalian esoknya saya ikut menyaksikan Banyuwangi Ethno Carnival. Di saat-saat jam makan, selalu saya sempatkan merasakan nikmatnya makan ikan bakar, sego cawuk dan membeli oleh-oleh sale pisang dan bagiak.

Suatu saat saya makan ikan bakar bersama beberapa teman. Saya katakan kepada mereka: berbahagialah yang tinggal di Banyuwangi. Ikannya selalu segar. Hing ana iwak hang manju. Ikan pancingan besar-besar, segar gampang ditemui di pasar Kidul di Biskalan.

Teman-teman yang belum pernah tinggal di kota-kota besar seperti Surabaya atau Jakarta, tentu belum pernah merasakan betapa Banyuwangi begitu dilimpahi banyak kenikmatan oleh Yang Maha Kuasa, yaitu ikan segar yang selalu melimpah. Di Jakarta khususnya, kita selalu makan ikan laut yang pilihannya hanya dua: ikan yang berformalin dan ikan yang sudah berhari-hari mungkin berminggu-minggu disimpan dalam es. Formalin atau sejenisnya, itu adalah pengawet mayat. Di pasar-pasar tradisional, ikan laut selalu bebas dari lalat, karena lalat tidak suka formalin. Rasa ikan, jadinya hambar tidak manis dan berdaging segar seperti di Banyuwangi. Banyak orang Banyuwangi tidak sadar akan hal ini, take it for granted.

Sama halnya dengan oleh-oleh sale pisang atau bagiak. Dua jenis kue yang bagi orang yang tinggal di Banyuwangi, tidak dirasakan sebagai makanan yang istimewa. Untuk orang-orang Banyuwangi yang sekarang tinggal di luar tanah kelahirannya, dua jenis kue itu membawa banyak kenikmatan. Seakan saat makan sale dan bagiak, mengingatkannya akan indahnya kampung halaman, melepaskan dahaga rindu akan kampung halaman.

Jadi orang Banyuwangi harus disadarkan bahwa mereka punya ikan yang segar, kue yang enak dan makanan yang kelasnya bisa disejajarkan dengan jenis oleh-oleh dari daerah lain. Tentu dengan kemasan yang bagus.

Pada saat yang sama, saya sering mendengar keluhan teman-teman yang punya kepedulian tentang Banyuwangi, bahwa anak-anak muda di Banyuwangi, malu menggunakan bahasa Using. Pada saat mereka keluar Banyuwangi, misalnya untuk kuliah di luar kota, mereka baru merasakan betapa mereka punya suatu bahasa yang sangat bisa dibanggakan. Bahasa yang tidak kampungan, dan bisa sejajar dengan bahasa lain. Bahkan ada kebanggaan tersendiri, kalau di luar sana, berbicara bahasa Using dengan teman sekampung. You don’t know what you got until it’s gone. Anak-anak muda yang malu menggunakan bahasa Using ini, tidak tahu betapa mereka punya sesuatu yang bisa dibanggakan, dan baru merasakan betapa berharganya, saat sesuatu itu sudah hilang. Anak muda harus ditumbuhkan kebanggaannya menggunakan bahasa Using.

Sama halnya Banyuwangi Ethno Carnival (BEC). Konsep semula memang BEC ini dibikin seperti Jember Fashion Carnaval, karena otaknya orang yang sama. Ini yang menurut saya salah besar. Dengan segala hormat, Jember tidak punya akar kebudayaan seperti Banyuwangi yang kaya. Makanya festival yang mereka bikin adalah mengekor Carnival de Rio (walau dengan modifikasi), sehingga temanya misalnya Musim Dingin. Apa yang ada di benak orang Jember ketika disodori Musim Dingin? Mungkin yang ada dipikiran mereka, Musim Bediding, saat ayam banyak yang mati. Tetapi tetap bisa muncul karena mereka tidak punya akar.

Meski akhirnya BEC, diberi sentuhan lokal, misalnya tema Kebo-keboan, atau Seblang, warna JFCnya masih terasa. Jenis festival-festivalan seperti ini, pada saat ditiru di daerah lain, misalnya di Solo, Semarang, Pekalongan, Situbondo, Buleleng Bali, jadi kehilangan keunikannya. Pada saat anda disodori foto dari festival Buleleng dengan Situbondo, anda tidak akan tahu bedanya. Setali tiga uang dengan BEC.

Orang-orang Banyuwangi perlu disadarkan, betapa mereka mempunyai kebudayaan yang sangat kaya, yang sangat bisa ditingkatkan kelasnya ke nasional bahkan internasional. BEC akan dijadikan kalender pariwisata nasional, karena menterinya kebetulan dari Banyuwangi.
Yang sangat disayangkan, mengapa pilihannya ke BEC, bukan Festival Kuwung yang lebih tradisional, yang punya ciri kebanyuwangian yang kental. JFC, BEC atau carnaval-carnival lainnya akan sangat gampang diamati, ditiru, dan dimodifikasi (ATM) oleh daerah lain, dan akan kehilangan identitasnya karena semuanya seragam. Kenapa bukan Kuwung? Entahlah itu memang sebuah pilihan. Sekali lagi, yang saya lihat kita take for granted dan tidak sadar apa yang kita punya karena hal tersebut belum hilang dalam genggaman kita. Apakah itu kesenian tradisionalnya, apakah itu bahasa Using, apakah itu banyaknya ikan segar di pasar.
 
Saya lebih memilih Festival musik keplakan, yang bisa mengundang pemusik dari berbagai daerah juga, daripada jazz. Atau Festival Tabuhan Caruk, yang sangat atraktif, dan sebentar lagi mungkin tinggal kenangan, karena minimnya tanggapan.

Senin, 03 November 2014

The Imminent death of Banyuwangi’s Using Language

“Tiada bahasa, bangsa pun hilang (Without a language, a nation is lost), so goes the catchphrase of national hero Muhammad Yamin.

   As we commemorate the Youth Pledge of 1928, when our founding fathers declared Indonesian the unifying language, the future of the almost one million Using language speaking people of Banyuwangi in the eastern tip of Java is at stake.

   Banyuwangi in East Java is known for its unique culture which seems to have been uprooted from else where compared to the neighboring regencies.

  The traditional music, the rituals, and the language are totally separated from the rest of other Java’s regencies.

   Its literature mostly spoken form of poem, featured widely in rituals such as (trance dance) Seblang or erotic Gandrung dance, is uttered in Using language. And even charmed spells, locally known as ‘santet’ which Banyuwangi is also famous for, is done in Using language.

   Thanks to the die-hard supporters among others the late Hasan Ali, the local Using language has been officially learnt in the classrooms since 2007. Ali, the father of popular singer-cum-senator Emilia Contessa, also wrote a local 24,000-entry Using-Indonesian dictionary and also a book of Using grammar.

    Using language which was initially considered as a dialect of Javanese language, has been identified as a language of its own since 1987. Udayana University lecturer, Suparman Herusantosa, in that year wrote a thesis entitled “Using Language in Banyuwangi Regency”, for his doctoral degree from University of Indonesia in Jakarta.    

   Herusantosa said that Javanese and Using language genealogically share the same root. After studying words of Using language and Javanese, Herusantosa found that the two languages come from the same root but had developed on its own separate courses.

   But the dark time lingers over the fate of Using language. Gubernatorial Decree No. 19/ 2014 issued in April this year, states that the government recognizes only two local languages in East Java. Javanese, spoken in middle and western part of East Java and Madurese, a language spoken in the island Madura and in the regencies of Jember, Bondowoso, Situbondo and along northern coastal areas of the province.

  The two local languages will be the only ones to serve as mandatory local languages taught in schools.

   The decree defies an earlier recommendation from a Congress of Javanese Language in October 1996 which states that in principle Using language may be taught in schools as a local language.

   The recommendation was signed by Drs. Atlan, the then head of provincial education and culture agency of East Java.

   The Regional Legislative Council issued similar recommendation which promoted Usling language as part of the curriculum. Even the ministry of Education and Culture in Jakarta has permitted the teaching of the local language in schools.

   Using language is the soul of the Using people who considered themselves separated from their Javanese cousins.  Geographically Banyuwangi is separated from other Javanese regencies, with Baluran forest in the north, Ijen mountains in the west and Kumitir forest in the south and Bali Strait in the east.

   Blambangan, an ancient kingdom in the area now called Banyuwangi, was known for its fierce resistance to both the Dutch and Mataram kingdom of Central Java. The Dutch colonial rulers brought in thousands of people from Java and Madura to fight against  Banyuwangi people.

   The refusal to cooperate with the Dutch has created once a derogatory term ‘Using’ which means ‘No.’ From then on, the Dutch labels the locals as “Usingers”.

   The geographical situation has created isolation. Unlike Javanese language which has structural functions to address to different people of different social ranks, Banyuwangi’s Using language remain egalitarian without any “polite form.”  

   In its cultural perfomances, Banyuwangi’s culture does not draw a line to separate its art forms, unlike Javanese culture which differentiates between the refined art of the palace and the art of common people. Banyuwangi gamelan (traditional musical instrument) runs very fast compared to the slow style of Java’s gamelan.

   The most recent gubernatiorial decree has sparked an outcry from several prominent figures in Banyuwangi. One of them is Hasnan Singodimayan who says the days of Using language are numbered.

   “Once it is ousted from schools, the people of Using will soon be wiped out. The culture will not survive without its language,” Singodimayan who is also a leading novelist and guardian of Banyuwangi’s culture.

   Without any help from the local government, the language will soon be neglected and forgotten. “The decree will speed up the process.”

   The death of Gandrung, and other rituals  such as the Seblang trance danceand Kebo-Keboan is inevitable, simply because they use Using language.


The Jakarta Post 1 Nov 2014