Selasa, 18 Maret 2014

Kereta dan Sepeda Motor Listrik: Belajar dari China

Awal Maret 2014 lalu saya mendapat tugas ke Shanghai China, menghadiri salah satu pasar program televisi. Memang bukan tugas saya yang pertama ke sini, sebelumnya pernah juga tahun 2008 dan 2005 kalau tak salah. Jadi Shanghai bukanlah kota yang terlalu asing. Meski pembangunan bergerak terus dan banyak gedung baru, kawasan The Bund yang tersohor masih tetap seperti itu.
   Tak perlu lah saya ceritakan pengalaman jelek tahun 2008. Saat itu travel agent yang diurus kantor, hanya membawakan voucher booking hotel, yang hanya berisi tulisan huruf latin. Tak seorang pun dapat mengenali hotel yang tertulis di situ. Bahkan petugas informasi di bandara Pudong yang bisa bahasa Inggris sekalipun.
   Kali ini saya membawa voucher yang bertuliskan nama dan alamat hotel dalam tulisan Mandarin. Saya pikir masalah sudah selesai. Ternyata saya menemukan problem baru. Petugas yang menawarkan taksi dalam bandara tahu hotel tempat saya menginap. Namun menawarkan tarif empat kali lipat (600 Yuan, sekitar Rp. 1,2 juta) dari tarif normal, yang dikasih tahu oleh petugas money changer yang sangat membantu sekitar maksimal 250 Yuan. Petugas tersebut bisa mengecek, berapa jauh dari satu tempat ke tempat lain, dan kira-kira argo taksinya berapa.
   Akhirnya atas saran petugas money changer itu juga, saya ambil kereta Maglev (Magnetic Levitation), satu-satunya kereta kecepatan tinggi maglev komersial yang dioperasikan di dunia. Ada dua yang lain, di Birmingham Inggris dan Berlin Jerman, tetapi kedua maglev ini kecepatan rendah, dan operasionalnya sudah ditutup sebelum kereta maglev Shangai dibuka tanggal 1 Jan 2004.



   Seperti namanya, Maglev, yang dibikin oleh perusahaan Jerman, Siemens dan Thyssenkrup, “melayang” di atas rel, karena dorongan "magnet" di atas relnya. Karenanya tidak seperti kereta biasa, nyaris tak bersuara. Dan bisa digeber sampai kecepatan lebih dari 500 km per jam.
Kecepatan 301 km/jam saat di foto


   Jadi jarak dari bandara Pudong ke kawasan kota, di stasiun di jalan Longyang, sekitar 30 km, hanya ditempuh dengan waktu 7 menit. Tiketnya sekitar Rp. 100,000. Keretanya bersih, rapi, dan di dekat pintu masuk, terdapat tempat untuk menyimpan tas dan koper.

Numpang nampang di depan Maglev

   Sebenarnya dari bandara Pudong, tersedia juga Metro (kereta bawah tanah), tetapi berhenti di setiap stasiun, jadi tidak begitu menarik untuk orang-orang yang ingin lebih cepat menuju hotel. Orang-orang lokal yang lebih tahu mesti berhenti di stasiun mana, mesti ganti kereta nomor berapa, di stasiun pergantian yang mana, biasanya lebih memilih Metro. Di samping lebih murah, juga lebih dekat dengan tempat tinggalnya.








Di dalam Metro, kereta bawah tanah
   Metronya pun tidak jelek. Buatan dalam negeri dan stasiun-stasiunnya lebih bersih daripada kereta bawah tanah yang di New York atau di London. Salut untuk pemerintah China yang bisa menyediakan transportasi umum dengan baik. Sebagai orang asing yang tidak berbahasa Mandarin sama sekali, saya bisa selamat naik dari daerah sekitar Century Park menuju The Bund, kawasan paling terkenal di Shanghai yang terlihat riang penuah warna. Beli tiket di mesin, cara menggunakannya, semua hampir sama dengan MRT di Singapura.

Pemandangan The Bund menjelang malam

   Sampai di ujung stasiun Maglev, saya terpaksa naik taksi. Selain lebih nyaman, naik kendaraan lainnya juga tidak gampang. Meski stasiun bis ada di dekat situ, tidak mudah menentukan bis mana yang   lewat dekat hotel. Dan berbicara kepada petugas sama sekali tidak membantu.
   Tapi naik taksi sekali lagi bukan tanpa tantangan. Sopir yang bisa sedikit bahasa Inggris, menawarkan Rp. 400.000 untuk rute yang sebenarnya cukup hanya Rp. 100.000. Terpaksa tawar menawar, supir minta Rp. 200.000, sampai akhirnya setuju di angka Rp. 160.000. Meski dengan ngedumel. Tanpa argo. Para supir yang mangkal dekat stasiun Maglev, sebenarnya menawarkan dengan argo, tetapi kita tidak pernah tahu, lewat mana, dan saya lebih merasa aman dengan angka yang sudah disepakati, daripada pakai argo dan jumlahnya kita juga tidak tahu.

   Di pinggir jalan raya, rata-rata trotoarnya lebar, jalanan bersih, bahkan panel listrik pinggir jalan di lukis, sehingga menjadi seperti karya seni berpenampilan menarik.
   







Trotoar lebar dan panel listrik dihias cantik

Di sungai-sungai yang membelah beberapa kawasan, terlihat orang-orang memancing ikan, menunjukkan indikator pengelolaan air yang bagus. Ikan masih bisa hidup.

   Yang mengagetkan memang, kebanyakan sepeda motor dari yang kecil mirip sepeda yang ditempeli mesin, sampai yang penampilannya besar untuk mengangkut barang, kebanyakan sepeda motor listrik.
   Tanpa bunyi, bergerak cepat dan eco-friendly. Saya melihat jajaran sepeda motor yang di parkir di pinggir jalan dan mereka lagi di-charge memakai kabel gulung yang diolor sampai di dekat sepeda motor.                                                                     
                                                                                    Sedang mengecharge sepeda motor di trotoar

   Saya mimpi Banyuwangi punya kereta yang tidak berisik, punya sepeda motor (bahkan angkutan umum) yang eco-friendly, bisa menambah prestasi Banyuwangi yang sudah juara dalam hal penanaman pohon satu miliar, sedekah oksigen untuk bumi.
   Kata hadist, Belajarlah sampai ke negeri China. Yang baik bisa diambil pelajarannya, yang jelek, dibuang ke laut saja.


iwandear@gmail.com

Sabtu, 01 Maret 2014

Haji Tejok, Maestro Angklung (Radar Banyuwangi 28 Feb 2014)



Senin, 24 Februari 2014. Saya mendapat pesan singkat dari pelukis Kang S Yadi K, “Telah meninggal dunia H. Sutejo Hadi Hanafi” Sawahan Pengantigan, dimakamakan pk 8.30.” Pesan yang sungguh meretakkan hati siapa saja yang punya kepedulian terhadap kelangsungan kehidupan berkesenian tradisional Banyuwangi.
Satu buku telah terbakar lagi. Utamanya buku tentang ilmu gending dan angklung Banyuwangi, yang dibawa ke liang lahat. Sebenarnya saya tidak begitu kenal dengan Pak Tejo, yang biasanya disebut Haji Tejok oleh orang-orang yang mengenalnya.
Pada saat acara pertunjukan perdana Malam Mingguan di Gesora Taman Blambangan awal 2013, saya dikenalkan oleh Wak Hasnan Singodimayan. Terus beberapa kali bertemu dalam acara lain, cuma sekelebatan. Tidak pernah ngobrol intens. ”Salah satu maestro angklung Banyuwangi,” demikian Wak Hasnan membisiki saya.
Pada saat Lebaran 2013 yang lalu, saya diantarkan oleh anak Wak Hasnan, Bonang Prasunan, bersilaturahmi ke rumah Haji Tejok, di Sawahan Pengantiga, dekat Masjid Al Amin Pengantigan. Rumahnya agak masuk gang, dan sebagaimana tuan rumah orang Banyuwangi lainnya, saya dijamu bagai tamu lebaran. Suguhan disajikan, gerunggung rengginang ketan dan kue Banyuwangi lainnya.
Mengetahui saya sedang berminat untuk menerbitkan naskah-naskah Banyuwangi, Haji Tejok mengungkapkan keinginannya untuk menulis buku tentang angklung Banyuwangi. Saya sanggupi untuk mencarikan jalan dan cara menerbitkan bukunya.
“Ya, nanti bulan Desember ambil naskahnya ya. Sekarang pun sebenarnya sudah ada, hanya belum lengkap. Masih kesingsal di beberapa tempat.”
Bulan Desember, pada saat acara peluncuran buku dan pelatihan menulis yang saya adakan, saya berusaha mampir, tetapi beliau sedang berkunjung ke tempat saudaranya di daerah Banyuwangi Selatan.
Sebenarnya, beliau bercerita, sudah pernah menulis buku soal angklung tersebut. Tetapi draft buku tersebut dipinjam orang dan sampai sekarang tak tahu dimana gerangan.
Begitu menyatunya Haji Tejok dengan angklung, kata Wak Hasnan, beliau bisa mengenali ada satu bambu yang hampir pecah di antara puluhan suara angklung.
Semasa hidupnya, Haji Tejok bercerita, mulai mengenal angklung sedari kecil. Sampai dewasa, ikut grup angklung. Yang saya ingat dari ceritanya, pada saat pertunjukan angklung caruk, pasti ada rapalan yang mesti diamalkan. Khususnya saat menghadapi dua desa yang dia sebutkan namanya.
”Jangan sampai naik, tanpa apa-apa. Ada saja gangguannya, mulai dari angklung yang ditabuh tapi tak bersuara, sampai si penabuh mengeluarkan berak darah. Memang itu yang terjadi.” Malah ada grup-grup yang tidak berani, lebih baik mengurungkan niatnya untuk caruk, daripada tidak bisa pulang.
Saya termasuk awam mengenai angklung, angklung caruk dan tetek bengeknya. Tapi yang saya catat dalam hati, Haji Tejok sudah berkeinginan menurunkan ilmunya pada anak cucunya orang Banyuwangi. Tetapi sekarang, keinginan itu entah dimana.
Dan saya kehilangan buku Banyuwangi. Buku dalam arti sebenarnya, yang sedang digarap oleh beliau. Dan buku yang terbakar seperti kiasan saat sang maestro membawa pengetahuannya ke liang kubur. Buku tentang kekayaan budaya Banyuwangi.
Pak Haji Tejok, anda mendahului saya. Saya cuma bisa mengucap, mudah-mudahan kuburnya dilapangkan, dosa-dosa diampuni. Dan doakan saya bisa menemukan buku angklung yang anda impikan untuk diwariskan. Entah akan saya gali darimana.
Antariksawan Jusuf
(iwandear@gmail.com)