Asal-usul Banyuwangi hanya hidup dalam legenda. Legenda, suka
atau tidak suka, adalah sebuah cerita fiksi. Bagaimana mungkin seorang manusia,
mengawini seorang bidadari yang lantas melahirkan Sritanjung? Sidhapeksa juga
keturunan Pandawa. Jadi boleh dibilang ini cerita berbingkai. Menggabungkan
cerita pewayangan dengan cerita (fiksi) yang melibatkan tokoh manusia. Meskipun
di Banyuwangi sendiri, ada orang-orang yang yakin sumur di desa
Temenggungan yang merupakan tempat tertumpahnya darah Sritanjung, sehingga
pada waktu-waktu tertentu airnya berbau wangi sampai sekarang.
Kalau anda bertanya kisah fiksinya, anda perlu belajar dari
Cak Lontong, untuk mencoba menggali dari orang sekitar. Adakan survey, bagaimana
cerita Sritanjung Sidhapeksa? Bagaimana dengan versi yang muncul dalam drama
rakyat? Bagaimana yang keluar dalam buku cerita anak-anak? Saya yakin, 99
persen, ceritanya berhenti sampai air sungai semerbak mewangi setelah
Sritanjung dibunuh oleh Sidhapeksa. Sementara yang 1 persen? Mereka mempercayai
apa yang dikatakan 99 persen orang yang disurvey. Misalnya yang ada pada Kemiren Art Performance yang dipentaskan di atas Banyu Gulung Kemiren beberapa hari lalu.
Padahal dalam serat aselinya (paling tidak yang saya dapat
copynya tulisan orang Lugonto Rogojampi ditulis dalam huruf arab pegon, selesai
ditulis tahun 1896 masehi), cerita Sritanjung adalah sebuah cerita happy
ending.
Sritanjung, anak bidadari yang kawin dengan manusia,
disunting oleh patih Sidhapeksa, yang keturunan dari Pandawa. Sritanjung
mewarisi sebuah selendang yang bisa membuat orang yang memakainya terbang ke
kahyangan tempat tinggal para dewa. Parasnya yang cantik membuat raja Kerajaan Sindureja,
Sulakrama, jatuh cinta dan ingin merebutnya dari patihnya.
Akhirnya, Sidhapeksa diberi tugas yang sulit untuk mencari
emas tiga gelung yang adanya hanya di kahyangan. Dengan bantuan selendang
isterinya, dia bisa ke kahyangan dan mengobrak-abrik isinya. Sampai akhirnya
dia dikeroyok oleh para dewa, dan ternyata dia tidak jadi dibunuh karena dia
mengaku sebagai suaminya Sritanjung dan merupakan keturunan Pandawa.
Pada saat suaminya pergi ke kahyangan, Sritanjung didatangi oleh raja
Sulakrama. Tetapi Sritanjung menolak segala keinginan raja.
Setelah turun ke bumi dan menghadap raja untuk menyerahkan apa yang dicari raja, Sidhapeksa dapat
berita miring dari raja, bahwa Sritanjung mengajaknya serong. Sidhapeksa
akhirnya marah pada Sritanjung dan membunuhnya. (Dan semua sudah tahu karena
tidak bersalah air sungai menjadi wangi dan ini menjadi asal-usul Banyuwangi).
Sementara Sidhapeksa menyesali perbuatannya, Sritanjung
dihidupkan lagi oleh dewa dan dikirim ke kakeknya. Di sana ia bertemu
suaminya lagi. Dan pertemuan membahagiakan ini dirayakan dengan suka cita (yang
dalam versi Lugonto, mereka nanggap ludruk, gandrung pria Marsan, dan wayang).
Mestinya mulai sekarang Legenda Sritanjung Sidhapeksa harus
dikembalikan kepada pakemnya. Yang happy ending. Pakem asli itu memberi banyak
pelajaran. Selain happy ending (penonton/pembaca selalu menyukai happy ending),
juga memberi kesempatan kedua kepada orang yang melakukan kesalahan, dan tidak
melulu hanya cerita kejam suami yang menghabisi isterinya. Tapi juga ada cerita
cinta yang indah suami istri, dan akhir yang membahagiakan (semacam reward) untuk seorang istri yang sudah berbuat baik. Istri yang menjaga kehormatan
untuk suaminya.
Kalau ceritanya dipotong hanya sampai Sritanjung mati,
seakan-akan memberi pelajaran sebuah kesia-siaan untuk sebuah perbuatan baik.
Jadi, ayo kembalikan lagi legenda Sritanjung Sidhapeksa pada pakem aslinya. Di semua media, tulis, panggung atau cerita lisan.
iwandear@gmail.com