Jumat, 12 Juli 2019

Catatan Tentang ISLOJ di Banyuwangi


Pertama kali saya mendapat kepastian bahwa abstrak makalah saya diterima oleh panitia International Symposium of the Languages of Java tahun 2018, hati saya sudah berbunga-bunga. Saya pikir simposium ini akan menjadi salah satu pengalaman berharga dalam hidup saya. Dunia penelitian bahasa bukan ladang penghidupan saya sehari-hari. Saya kecemplung ke dalamnya karena saya ikut terlibat dalam kegiatan melestarikan bahasa Using lewat Sengker Kuwung Belambangan. Saya sudah pernah ikut seminar nasional serupa di Universitas Jember, di Universitas Udayana Bali, bahkan pernah menjadi pembicara utama dalam acara yang diselenggarakan oleh Balai Bahasa Jawa Barat  di Bandung. Tapi menyajikan sebuah makalah dalam simposium internasional ini baru pertama kali.

ISLOJ digawangi oleh panitia dari Universitas Maryland, Universitas Rice, keduanya di Amerika dan Universitas Oslo Swedia.

Simposium ini sebenarnya diselenggarakan setiap dua tahun sekali berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain. Pernah di Malang dan di Solo. Yang ke delapan direncanakan di Hawaii Amerika Serikat. Pembahasannya adalah tentang bahasa-bahasa di Jawa dan sekitarnya. Pada ISLOJ ke 7 kemarin, selain bahasa Jawa, ada bahasan tentang bahasa Sunda, bahasa Madura, bahasa Dayak, bahasa Baduy, bahasa Jawa pedalangan, pemrograman bahasa Jawa Kuno, tentang bahasa facebook, basa walikan Malang dan Bahasa Using. Salah seorang peserta Juliana Wijaya, sebenarnya adalah orang Banyuwangi dari Kampung Melayu. Tapi ia mewakili UCLA, sebagai dosen jurusan Bahasa Indonesia.

Using diwakili makalah saya: Standard Javanese vs Using/Banyuwangen: A Note of the distinctive features found in the two dialects. Isinya menerangkan beberapa perbedaan menonjol yang ada di bahasa Jawa dan Using, utamanya soal afiksasi.

Sekitar 30an orang peserta dalam simposium ini datang dari berbagai negara dan universitas. Ada dari Amerika, Cina, Inggris, Jepang, Selandia Baru, Serbia. Meski dari luar negeri, rata-rata mereka bisa berbahasa Indonesia. Yang dari Indonesia pun beberapa mewakili institusi universitas di luar negeri karena mereka sedang menyelesaikan studinya di sana atau memang menjadi peneliti di luar.

Dengan berbagai latar belakang peserta, jadi simposium ini memakai bahasa pengantar apa? Rata-rata pengantarnya memakai bahasa Inggris. Ketua Panitianya, Dr. Thomas Conners tentu saja berbahasa Inggris saat memberi sambutan meski ia sudah 20 tahun berkecimpung dalam penelitian bahasa Jawa. Ia bisa berbahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Ada beberapa pembicara perempuan dari Universitas Negeri Malang yang bahasa Inggrisnya sangat bagus dan sama sekali tidak terdengar logat Jawanya.  Tapi tim dari Universitas Jember (yang mengirimkan tiga tim Ibu Novi Anoegrajekti kemudian Bapak Heru Saputra, Bapak Edy Hariyadi, Ibu Titik Maslikatin, dan BapakDidik Suharijadi,  semua menggunakan bahasa Indonesia.) Bukan karena mereka tidak mampu presentasi menggunakan bahasa Inggris tetapi karena mereka memilih berberbahasa Indonesia, dengan pertimbangan acara ini diadakan di Indonesia, tentang Indonesia. Salah satu peserta dari Jember, Bapak Didik Suharijadi yang meminta maaf karena menggunakan bahasa Indonesia, langsung mendapat interupsi dari Prof. Novi Anoegrajekti, bahwa permintaan maaf tidak perlu dilontarkan. Prof. Novi juga menjadi salah satu pembicara yang diundang khusus, selain Prof. Effendi Kadarisman dari UM Malang. Salut untuk Tim dari Unej soal pembelaan dan pengutamaan bahasa Indonesia.

Tentang isi bahasannya, ada beberapa peserta yang menampilkan riset doktoralnya untuk dibawa ke acara sini. Jadi sudah tentu, pembahasannya dalam, detil, bersandar pada teori-teori bahasa yang matang dan disampaikan dengan keahlian seorang peneliti yang mumpuni.

Yang cukup menarik bagi saya, tim dosen dari Universitas Malang yang menampilkan data yang diambil dari anak-anak SD di seluruh Jawa Tengah dan Timur untuk mengarang dengan topik mainan favorit mereka. Salah satu kata yang keluar adalah “hargae” yang seharusnya kalau memakai kaidah Jawa menjadi “hargane.” Tapi bisa jadi “hargae” muncul karena pengaruh bahasa Cina peranakan yang tumbuh subur di antara orang-orang keturunan Tiongkok di berbagai kota di Jawa Timur, termasuk Malang dan Banyuwangi.

Kebetulan saya tumbuh dalam lingkungan multibahasa. Di rumah memakai bahasa Jawa, di lingkungan rumah bahasa Using, lingkungan agak luas lagi saya juga menggunakan bahasa campuran Using/Indonesia/Arab yang digunakan oleh penduduk keturunan Arab di Kampung Arab dekat rumah saya dan lingkungan lebih luas lagi: bahasa Cina peranakan.

 Satu bahasan dari Prof. Effendi tentang tembang kuno bahasa Jawa lama, membuka mata saya tentang kekayaan sastra Jawa. Dan seorang anak muda David Muljadi yang bekerja pada Universitas Polacky di Ceko yang sedang mengembangkan software yang bisa membaca bahasa Jawa Kuno dengan gramatikal yang benar.

Ada juga bahasan yang kelihatannya sepele, seperti yang disampaikan oleh David Gil dari Max Plank Institute di Jerman, yaitu pertanyaan: What is your name? What is your facebook name? Di berbagai belahan bahasa di dunia (lebih dari 100 bahasa sebagai sampelnya) ternyata ada yang menanyakan nama orang memakai What (Apa), ada yang memakai Who(Siapa), tetapi pada saat menanyakan nama di facebook ada yang memakai apa, atau kata tanya yang lain.

Akan halnya saat pembahasan bahasa Using, ada pertanyaan, seberapa banyak pengaruh bahasa Bali? Memang bahasa Using menggunakan beberapa kata yang persis sama dengan bahasa Bali, tetapi berbeda dengan bahasa Jawa.

Misalnya:

Using                                 Bali                                     Jawa

Edheng-edheng                             adheng-adheng                             alon-alon

Semat                                semat                                biting

Bojog                                 bojog                                 kethek

Using                                 tusing                                ora

Parek                                 paak                                  cedhak

Picis                                   pis                                      duit

Tetapi karena jumlahnya tidak signifikan, oleh penyusun kamus Using-Indonesia alm Bapak Hasan Ali tidak diberikan suatu kekhususan.

Pertanyaan lain, atau lebih tepatnya saran adalah tentang klaim yang berhubungan dengan pertanyaan, “Apakah bahasa Using itu bahasa tersendiri atau dialek bahasa Jawa. Pertanyaannya adalah apakah pernah dilakukan penelitian, seorang anak yang hanya tahu bahasa Using saja, diberi ruang berinteraksi dengan anak berbahasa Jawa. Seberapa banyak ia mengerti?” Kalau banyak, berarti dialek, kalau tidak berarti Using bisa dianggap bahasa tersendiri. Ini merupakan tantangan bagi peneliti bahasa Using.


 

 

 

 

Boom


Pantai Boom dalam kenangan

Pantai di kota Banyuwangi ini menjadi semacam oase yang dipastikan setiap orang Banyuwangi pernah singgah dan punya kenangan meski secuil. Apalagi pada periode sebelum tahun 2000an, sebelum Banyuwangi punya banyak tempat wisata, Boom merupakan jujugan wajib. Ada yang menikmatinya setiap hari terutama untuk para pemancing, setiap minggu atau setiap tahun seperti para warga yang tinggal di daerah pegunungan untuk turun menikmati hiburan Taman Hiburan Rakyat yang memang digelar setahun sekali.
   Pantai itu menjadi tempat belajar anak-anak Banyuwangi menghabiskan waktu bermain sepakbola, memetik buah widara laut yg tumbuh di beberapa tempat atau sekedar jalan-jalan menghabiskan waktu. Yang paling utama adalah memancing, mencari kerang atau makan kacang kulit sambil duduk-duduk di pasir disambi melihat orang lalulalang dan menghitung ombak.
   Boom itu mengacu pada pelabuhan. Satu pelabuhan di dalam yang terlindungi dari ombak (di depan gudang Djakarta Lloyd) karenanya dinamakan Boom Meneng (Boom yang airnya diam tak berombak). Di sini banyak bersandar perahu-perahu pinisi dari Sulawesi dan perahu selereg Madura. Perahu pinisi dari Sulawesi biasanya datang membawa ikan asin dan pergi membawa produk plastik, bahkan batu bata dan barang kebutuhan membangun lainnya seperti semen.

   Satu lagi pelabuhan terletak di selat Bali yg berombak makanya dinamakan Boom Ombak. Dermaga kayu yang menjorok ke selat Bali di Boom ombak ini lama-kelamaan terkikis air dan dibiarkan rusak.
   Saat Boom menjadi tujuan wisata favorit jaman itu, dan malam minggu bertepatan dengan tanggal 15 bulan Jawa, artinya bulan bundar purnama sedang terang-terangnya, banyak keluarga berpiknik di pinggir selat Bali. Menggelar tikar, duduk, menikmati makan bersama keluarga dan banyak orang yang mandi meski malam gelap cuma diterangi cahaya bulan.
   Orang lalu lalang berjalan ke utara selatan entah apa yang dicari. Beberapa anak nakal, menggali pasir di tengah pesisir, menutupinya dengan ranting dan daun kering, lantas ditutup pasir, menjadi jebakan untuk orang yang sedang lewat. Dan saat ada korban, mereka menertawai korban yang cuma bisa memaki-maki atau tertawa melihat dirinya jadi korban keusilan anak-anak.
   Beberapa pemberani bahkan berenang ke tengah untuk berdiri di pelampung yg diletakkan agak ke tengah supaya tidak ada kapal yang terjebak kandas. Pelampungnya digoyang-goyang seperti naik "Ombak Asmara" membunyikan lonceng yang ada di pelampung tersebut.
   Kenangan saya selain main, mancing, mencari kerang, melihat orang ramai-ramai menarik jaring ikan, makan kacang dan tahuk petis, tentu mengunjungi kantor bapak yang berada di pelataran pantai Boom. Sampai sekarang kantor Bea Cukai ini masih berdiri kokoh tetapi sudah tidak digunakan. Kamar mandinya dulu sering saya pakai untuk berbilas setelah berenang di laut.
   Pengalaman paling heroik yang saya alami adalah saat kelas 3 SD, sekolah saya di Tegalloji 2 (sekarang Kepatihan), kira-kira jauhnya dua kilometer dari kantor bapak. Siang sepulang sekolah, saya kelaparan dan bermaksud meminta makanan ke bapak. Saya berjalan kaki sendiri menyusur jalan lewat bioskop Irama, lewat Sasak Cikar, melewati gudang dan Boom Meneng yang saat itu masih banyak bangkai kapal, menyeberang rel kereta dan sampai di kantor Bea Cukai.
   Bapak lumayan terkejut. Akhirnya saya dibelikan makanan, dicarikan dokar untuk mengantar pulang dan sebuah nasihat: Jangan diulangi lagi. Untung Bapak lagi ada di kantor. Kalau sedang bertugas di laut?
  Kapal-kapal dagang besar yang lewati selat Bali, biasanya berhenti di tengah laut di sebelah timur Boom dan kemudian diinspeksi oleh petugas BeaCukai. Kadang kala, setelah inspeksi bapak dihadiahi makanan atau buah kaleng (yang saat itu masih jarang di Indonesia). Kemudian kantor BeaCukai dipindah ke Ketapang dan yang di Boom terbengkalai.
   Tapi saya masih menikmati mandi di pantai, mancing, mencari kerang, main bola atau sekedar duduk di Dermaga rusak melihat orang memancing.

 

 

Boom ring Angenan

Pesisir kutha Banyuwangi iki dadi kaya panggonan nublek wong-wong sak Banyuwangi. Sapa bain hang tau urip ring Banyuwangi mesthi tau mampir nong panggonan iki lan nduwe angenan masiya sithik. Paran maning kadhung sedurunge taun 1990, sedurunge akeh panggonan kelenceran ring Banyuwangi. Ana hang dhemen menganan ring Boom saben dina, ana hang saben minggu ana pisan hang saben taun kaya wong-wong hang manggon ring dhaerah gunung-gunung hang mula mudhun setaun sepisan ngentekaken wektu lan picis ring Taman Hiburan Rakyat hang mula digelar setaun sepisan.
   Pesisir iku dadi panggonan lalare Banyuwangi sinau paran bain; memengan tembung, methik wohe widara laut hang merujuk ring pirangane panggonan utawa mung sukur melaku-melaku ngentekaken wektu. Hang paling didhemeni mula mancing, golet kuwuk utawa mangan kacang kulit ambi lungguh-lungguhan nong pasir ndeleng ubeke wong.

   Boom iku maksude pelabuhan. Ana Boom hang ring njero kalangan lan hing ana ombake (ana ring ngarepe gudhang Djakarta Llyod) mangkane diarani Boom Meneng maksude banyune meneng hing ana ombake. Ring kene akeh perahu sandar, ana perahu pinisi teka Sulawesi lan perahu selereg teka Medura. Perahu pinisi teka Sulawesi biyasahe teka sak perlu nggawa iwak gerang lan balik nyangking barang palen teka plastik, malah bata lan bahan kanggo mbangun umah kayata semen.

   Siji maning dermaga pelabuhan ana ring Selat Bali hang ngombak, mangkane diarani Boom Ombak. Dermaga kayu hang dawa nong nduwure banyu segara iki suwi-suwi ilang merga rusak digeningaken.

   Tepak Boom magih dadi panggon jujugan kelenceran hang seru didhemeni jaman semono, lan malem minggune tepak tanggal 15 Jawa, tepak ulan andhung-andhung lan sunare moncer barak, akeh keluwarga lan wong-wong hang ngelencer merana. Nggelar kelasa, lungguh lan mangan bareng sak keluwargane. Akeh pisan wong-wong hang adus-adusan masiya rada peteng mung ana sunare ulan.
   Wong-wong melaku ngalor ngidul embu nggolet paran. Lalare hang tambeng, nggawe jenglongan ring pasir-pasiran, ditutupi carang wit-witan, godhong garing aju ditutupi pasir maning makene wong hang melaku kejeglong. Tepak ana wong hang kejeglong, lalare mau pada cekakakan. Wong hang kejeglong mung bisa metu celathune, ana pisan hang mung munyik-munyik merga iyane wis dadi korbane lalare tambeng.

   Ana pisan lalare hang wanen seru, ngelangi mentengah, hang dituju pelampung gedhi hang ana ring tengah kanggo tandha makene kapal-kapal sing marek lan sing kandhas. Pelampune kampul-kampul digoyang lalare mau, sampek bel wesine muni.

   Angenanisun sak liyane menganan, mancing, golet kuwuk, ndeleng wong njaring iwak, mangan kacang lan tahuk petis, hing liya maning ya menganan nong kantore bapak ring pelatarane Boom Ombak. Seperene, kantor Bea Cukai iki magih mejegreg taping wis hing dienggo maning. Cedhine kerep hun enggo bilas sak mareke adus-adusan nong segara.        

   Pengalamanisun hang seru temancepe ring angenan yaiku tepak kelas 3 SD, sekolahisun ring Tegalloji 2 (saiki Kepatihan), kira-kira rong kilo adohe teka kantore bapak. Sak mulihe sekolah, weteng lempiriten, lan isun ngampiri bapak arep njaluk mangan. Isun melaku sikil teka wetane sekolahan, liwat ngarepe biskop Irama, ngeliwati Sasak Cikar, liwat gudang lan Boom Meneng hang jaman semono magih akeh bathange kapal, nyabrang ril sepur, sampek nggadhug ring kantor Bea Cukai.

   Bapak rada kaget. Taping isun pungkasane ditukaken panganan, digoletaken dhongkar kanggo ngateraken isun mulih, lan diwani wewarah: Aja dibaleni maning. Emane ana bapak ring kantor, kadhung tepak megawe nong tengah laut kelendi?

  Kapal-kapal dagang gedhi hang liwat Selat Bali, mula biyasahe mandheg ring tengah segara ring wetane Boom lan petugas Bea Cukai mareki sak perlu inspeksi. Kala-kala marek inspeksi, bapak diwani panganan kadhang daging cornet utawa woh kalengan (hang seperono magih arang ana ring Indonesia). Taping, kantor Bea Cukai dipindhah nyang Ketapang hang ana ring Boom digeningaken.

   Naming isun magih bisa adus-adusan ring segara, mancing, golet kuwuk, main tembung utawa lungguh-lungguhan ring dermaga kayu hang rusak ambi ndeleng wong mancing.

(iwandear@gmail.com 7 Jul 2019)